• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesadaran

2.1.1. Defenisi

Kesadaran adalah keinsafan; keadaan mengerti; hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang (Suharso et al., 2005 ; Tim Penyusun Kamus, 2005).

Kesadaran dalam bentuk lain adalah pemahaman atau pengetahuan seseorang tentang dirinya dan keberadaan dirinya. Kesadaran merupakan unsur dalam manusia dalam memahami realitas dan bagaimana cara bertindak atau menyikapi terhadap realitas (Halawa, 2007).

Cambridge International Dictionary of English (1995), ada sejumlah definisi tentang kesadaran. Pertama, kesadaran diartikan sebagai kondisi terjaga atau mampu mengerti apa yang sedang terjadi. Kesadaran dapat juga diartikan sebagai semua ide, perasaan, pendapat, dan lain sebagainya yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang (Halawa, 2007).

2.1.2. Level Kesadaran

Rochat (2003) ada level 0-5 dari kesadaran diri antara lain:

1. Level 0: bingung

Dihasilkan persepsi yang tidak sesuai dengan realitas.

2. Level 1: Diferensiasi

Terdapat perbedaan antara persepsi dengan realitas.

(2)

Individu sadar akan persepsi dan realitas yang sedang terjadi, dimana realitas berhubungan dengan dirinya.

4. Level 3: Identifikasi

Individu dapat mengidentifikasikan persepsi dengan realitas yang terjadi.

5. Level 4: Permanen

Individu telah mengidentifikasikan arti dirinya dalam pengalaman.

6. Level 5: kesadaran diri

Individu tidak hanya sadar siapa dirinya tetapi juga bagaimana pemikiran orang lain terhadap dirinya.

2.1.3. Cara Mengembangkan Kesadaran

Sunny (2008) cara mengembangkan kesadaran diri dapat dilakukan dengan cara analisis diri, dimana mengrefleksikan diri (pikiran dan perasaan). Refleksi ini meliputi:

1. Perilaku, yakni: motivasi, pola berpikir, pola tindakan dan pola interaksi dalam relasi dengan orang lain.

2. Kepribadian, kondisi karakter/temperamen diri yang relatif stabil sebagai hasil bentukan faktor sosial, budaya dan lingkungan sosial.

3. Sikap, cara respon terhadap stimulus objek luar tertentu (menyenangkan/tidak menyenangkan).

4. Persepsi, suatu proses menyerap informasi dengan panca indera kita kemudian memberikan pemaknaan.

(3)

2.2. Tuberkulosis Paru

2.2.1. Defenisi

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. TB paru merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah (Alsagaff et al., 2002).

Robert Koch (1882) menemukan kumam penyebabnya semacam bakteri berbentuk batang dan dari sinilah diagnosis mikrobiologis dimulai dan penatalaksanaanya lebih terarah. (Sudoyo et al., 2006 ; Departemen Kesehatan RI, 2002 dalam Simanungkalit, 2006) Tahun 1892, Robert Koch mengidentifikasi BTA Mycobacterium tuberculosis sebagai bakteri penyebab TB. Tahun 1896 Rontgen menemukan sinar X sebagai alat Bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat (Sudoyo et al., 2006).

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lengkung dan tidak membentuk spora jika diwarnai dengan teknik Ziehl-Neelsen. (Alice, 1977 ; Parry 1986 dalam Alfred et al., 2005) Basili tuberkel adalah gram positif, lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, panjang sekitar 2-4 µm. Mereka dapat tampak sendiri-sendiri atau dalam kelompok pada spesimen klinis yang diwarnai atau media biakan (Berhman et al., 1999).

Sebagian besar dinding kumam terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang menbuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut BTA dan juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis (Sudoyo et al., 2006).

2.2.2. Epidemiologi

WHO memperkirakan jumlah kasus baru terbanyak TB paru pada tahun 2008 terjadi di Asia Tenggara sebanyak 34% dari seluruh insiden secara global. (USAID/Indonesia, 2009) dan juga melakukan estimasi insidensi kasus TB paru

(4)

secara global sebanyak 8,9 - 9,9 juta kasus, prevalensi 9,6 - 13,3 juta kasus, dengan kematian 1,1 – 1,7 juta kematian TB dengan HIV (-) dan 0,45 – 0,62 kematian TB dengan HIV (+) (WHO, 2009). Estimasi ini didasarkan pada program Stop TB Strategy dan Global Plan To Stop TB yang memiliki target untuk tahun 2015, yaitu prevalensi TB menurun 50% dibandingkan dengan tahun 1990. Terdapat juga target untuk tahun 2050, yaitu insidensi dari kasus TB aktif kurang dari 1 kasus per 1 juta populasi per tahun (WHO, 2009).

Menurut WHO Global Tuberculosis Control Report 2009, Prevalensi TB di Indonesia tahun 2007 diperkirakan 528,063 kasus baru TB dan teridentifikasi sebanyak 102 kasus pada pemeriksaan sputum positif dari 100.000 populasi pada tahun 2007 (USAID/Indonesia, 2009). Indonesia menduduki peringkat ke-3 dari 22 negara yang memiliki kasus TB tertinggi seluruh dunia. (USAID/Indonesia, 2009).

2.2.3. Klasifikasi

Menurut Sudoyo et al., (2006) di Indonesia, klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikrobiologis:

1. TB paru

2. Bekas TB paru

3. TB paru tersangka

a. TB paru tersangka yang diobati, disini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif.

b. TB paru tersangka yang tidak diobati, disini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain juga meragukan.

(5)

2.2.4. Faktor Resiko

Menurut Iseman (2007) adapun resiko untuk terkena TB jika sering berkontak dengan pasien TB, malnutrisi, tinggal ditempat yang padat dan memiliki kondisi sanitasi yang buruk. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan rasio infeksi TB pada populasi jika terjadi peningkatan infeksi HIV, jumlah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal (pada lingkungan kotor dan nutrisi kurang) dan ada tampilan resistensi terhadap OAT.

2.2.5. Cara Penularan

Penularan Penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi droplet nuclei yang mengandung basil, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA (Sudoyo et al., 2006). Faktor lingkungan terutama sirkulasi yang buruk, memperbesar penularan (Berhman et al., 1999). Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB (Sudoyo et al., 2006).

2.2.6. Patogenesis

2.2.6.1. Tuberkulosis Primer

Sebagian besar basil Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection (Alsagaff et al., 2002). Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 mm), kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi proses imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis

(6)

makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Gohn (Djitowiyono et al., 2008). Selama perkembangan kompleks primer, basili tuberkel di bawa ke kebanyakan jaringan tubuh melalui pembuluh darah dan limfe (Behrman et al., 1999). Dari fokus primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju kelenjar limfe regional sehingga terbentuk suatu primer kompleks yang disebut primer kompleks dari Ranke. Infeksi primer dari Gohn dan primer kompleks dari Ranke dinamakan TB primer. TB paru primer adalah suatu keradangan yang terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadapa basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar penderita TB primer (90%) akan sembuh sendiri dan 10% akan mengalami penyebaran endogen (Alsagaff et al., 2002).

2.2.6.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dorman pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (Sudoyo et al., 2006). TB sekunder juga dapat berasal dari eksogen berupa infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB (Alsagaff et al.,2002). TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru (Sudoyo et al., 2006).

2.2.7. Manifestasi Klinis

Batuk yang terus-menerus dan lebih dari 3 minggu tanpa pengobatan dengan menggunakan antibiotik dapat dianggap telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (Kochi, 1997 dalam Alfred et al., 2005) dan bersputum disertai dengan gejala tambahan sputum bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan nyeri di dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat di malam hari, demam, meriang lebih dari sebulan. Gejala tersebut juga ditemukan pada penyakit paru

(7)

lain selain TB, maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis TB (Departemen Kesehatan RI, 2002 dalam Simanungkalit, 2006).

2.2.8. Diagnosis

Alat diagnosis TB paru adalah sangat sederhana, dan terdiri atas 3: 1. Pemeriksaan tes Tuberkuline, yang lazim dipakai adalah Mantoux-test, 2. Pemeriksaan Roentgen, 3. Pemeriksaan sputum, dan 4. Biakan. (Soeroso, 1968 ; Crofton et al., 1998).

Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan, dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen sputum SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen sputum yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto roentgen dada atau pemeriksaan sputum SPS diulang. Kalau hasil roentgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC BTA Positif. Tetapi kalau hasil roentgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan sputum SPS diulang kembali. (Departemen Kesehatan RI, 2002 dalam Simanungkalit, 2006).

2.2.9. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk menjamin kesembuhan dan mencegah terjadinya resistensi primer, yang dapat merugikan penderita serta menyulitkan kesembuhan, bila dilakukan dengan baik dan benar, maka 85% penderita akan sembuh dalam waktu enam bulan. OAT harus diberikan dalam kombinasi paling sedikit dua obat yang bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Dasar pemberian obat ganda adalah karena selalu didapatkan kuman yang sensitif (mutan resisten). OAT dapat diberikan baik tiap hari maupun secara berkala (intermiten) 2-3 kali seminggu. Dasar pemberian obat secara berkala adalah karena adanya ”lag periode”, yaitu jangka waktu tertentu dimana kuman-kuman

(8)

TB tidak dapat tumbuh setelah kontak dengan obat habis, efek obat masih tetap berlangsung selama 24-72 jam (Simanungkalit, 2006).

Tahap Pengobatan TB Paru

Menurut Simanungkalit (2006) tahap pengobatan sesuai WHO (1991) dibagi pada 2 tahap yaitu:

1. Tahap intensif

Melalui kegiatan bakterisid memusnahkan kuman terutama pada populasi kuman yang membelah dengan cepat, dengan menggunakan sedikitnya 2 obat bakterisid. Diberikan setiap hari selama 2 bulan, optimal pada 2 bulan dimana konversi sputum terjadi pada akhir bulan kedua.

2. Tahap lanjutan

Melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka pendek, atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional selama sisa masa pengobatan, dengan menggunakan 2 obat setiap hari atau berkala 2-3 kali seminggu.

Menurut Depkes (2007) Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan OAT sebagai berikut:

1. Kategori 1: 2 (HRZE) / 4 (HR)3

Tahap intensif diberikan untuk penderita baru TB paru BTA Positif, penderita TB paru BTA negatif rontgen positif dan penderita TB ekstra paru terdiri dari Isonazid (H),Rifampisin (R),Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obatan ini diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu Selama 4 bulan.

(9)

2. Kategori 2: 2 (HRZE)S / (HRZE) / 5 (HR)3E3

Tahap intensif diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan streptomisin (S), diberikan setelah penderita selesai menelan obat. setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

3. Kategori anak: 2 (HRZ) / (4 HR)

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun lanjutan. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Medikamentosa

Tabel 2.1.

Daftar obat-obat anti tuberkulosis yang mempunyai sifat bakterisidal dan bakteriostatik sesuai dengan dosis pemakaian, aktivitas obat dan efek

samping yang mungkin terjadi (Alsagaff et al., 2002).

Nama Obat Dosis Harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis 2x smg

(mg/kgBB/hari)

Efek Samping Aktivitas

BAKTERISIDAL Streptomisin (S) 15-25 (0.75-1 g) 25-30 (0.75-1 g) Toksik terhadap nervus vestibular (N. VIII) Ekstraseluler aktif pada pH netral atau basa

(10)

Isoniazid (H) 5-11 15 Neuritis perifer Hepatotoksik Ekstraseluler Intraseluler Rifampisin (R) 10 (450-600 mg) 10 (450-600 mg) Hepatitis Nausea Vomiting Flu like syndrome Ekstraseluler Intraseluler Pirazinamid (Z) 30-35 (1.5-2 g) 50 (1.5-3 g) Hiperurisemia Hepatotoksik Aktif dalam suasana asam (intraseluler) BAKTERIOSTATIK Etambutol (E) 15-25 (900-1200 mg) 50 Neuritis Optik Skin rash Intraseluler Ekstraseluler Menghambat timbulnya mutan resisten Etionamid 15-30 (0.75-1 g) dibagi - Nausea Vomiting Hepatotoksik Intraseluler Ekstraseluler Menghambat timbulnya mutan resisten PAS (P) 150 (10-12 g) dibagi - Gastritis Hepatotoksik Ekstraseluler

(11)

Nonmedikamentosa

Strategi Penanggulangan Penyakit TB Paru Dengan Strategi DOTS

Menurut WHO (1997) dalam Simanungkalit (2006) pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS, yaitu strategi komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer diseluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB paru, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat.

Lima strategi DOTS sesuai dengan rekomendasi WHO, yang terdiri atas komponen-komponen:

1. Komitmen politis berkesinambungan dari pemegang kebijakan termasuk anggaran dana.

2. Pemeriksaan sputum mikroskopis yang terjamin mutunya.

3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. 4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

2.2.10. Pencegahan

1. Vaksinasi BCG, dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. (Sudoyo et al., 2006).

2. Kemoprofilaksis. isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya murah dan efek sampingnya sedikit. Obat alternatif lain adalah Rifampisin. (Sudoyo et al., 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk Kegiatan : Peserta KKN melakukan inspeksi ke rumah-rumah warga di Desa Jetis bersama kader posyandu untuk melihat lokasi tempat pembuangan sampah pada rumah

Overhead pabrik merupakan suatu biaya keseluruhan yang membantu jalannya proses produksi namun tidak mempunyai hubungan langsung dengan hasil produksinya, atau dengan kata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SIOLA di Mamuju dalam Proses Kemitraan Yayasan Karampuang dengan Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat melalui

[r]

Filtering merupakan hasil pada data OLAP yang akan meringkas dan mengumpulkan sejumlah besar data, melakukan filtering, pengurutan,dan memberikan peringkat

Gejala klinis yang ditunjukkan udang vaname (L. vannamei) sampel dan udang vaname (L. vannamei) yang diinfeksi oleh 5 bakteri berbeda pada uji Postulat Koch mengakibatkan gejala

Setelah terapis melakukan terapi sebanyak 4 kali didapatkan hasil yaitu: (1) terdapat perubahan mengenai pemeriksaan sputum yaitu pada T4 didapatkan hasil sputum berada pada