• Tidak ada hasil yang ditemukan

TIPE ERUPSI, SKALA, DAN FREKUENSINYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TIPE ERUPSI, SKALA, DAN FREKUENSINYA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENDAHULUAN

Letusan gunung api menunjukan berbagai variasi karakter, produk, skala maupun frekuensi letusannya. Pada bab sebelumya telah dijelaskan tentang faktor dasar sebagai pengendali letusan, apakah letusan bersifat effusiv atau eksplosiv, apakah letusannya berkesinambungan atau transient.

Letusan ditentukan oleh beberapa faktor, di mana faktor terpenting itu ialah komposisi dari magma itu sendiri. Dan komposisi kimia dari magma memiliki pengaruh besar. Kehadiran gas serta derajat viskositas dari magma lah pengontrol utamanya.

Di setengah bagian awal akan menjelaskan bagaimana komposisi kimia akan mempengaruhi karakter dan produk letusan. Di setengah bagian akhir akan menjelaskan faktor pengontrol frekuensi dan skala letusan gunung api.

Dalam tabel di atas di dasari pada pengamatan kandungan magma, pada tipe magma letusan strombolian dan hawaii biasanya melibatkan magma basaltik. Untuk tipe vulcanian baisanya melibatkan komposisi dari basaltik andesit dan dasit. Untuk tipe letusan plinian terjadi dengan tingkat komposisi andesit dan rhyolites yang tinggi.

Dalam pengontrol letusan, koahdiran gas serta viskositas dari magma merupakan faktor utama. Kandungan gas akan berperan apakah termasuk letusan effusiv atau eksplosiv. Untuk viskositas sendiri akan mempengaruhi seberapa cepat magma dapat bergerak. Sebenarnya viskositas ini masih dikontrol oleh beberapa faktor yaitu kandungan silika, suhu dan kandungan gasnya. Semakin tinggi kandungan silika maka magma akan semakin viskous. Semakin rendah suhu magma maka akan semakin viskous. Semakin banyak kehadiran kristal maka akan semakin viskous. Sedangkan kehadiran gas yang terpenting ialah kehadiran air dan karbon dioksida. Penyebab terjadinya letusan effusive:

- Kandungan gas awal yang rendah

- Kehilangan kandungan gas selama penyimpanan

(3)

Produk utama dari letusan effusiv ialah aliran lava dan karakter lava akan dipengaruhi oleh tingkat viskositasnya.

Gambar di atas menunjukan adanya variasi viskositas yang dikontrol oleh temperatur dan secara tak langsung dikontrol oleh tingkat keasaman dan kandungan silika.

KOMPOSISI KIMIA DAN KE-EXPLOSIVE-AN ERUPSI

Transient dan sustained explosive activity

Sebagian besar erupsi gunung api di bumi ini memiliki karakteristik yang cenderung explosive. Hal yang mendasar yang membedakannya bisa dilihat antar, apakah erupsi itu sustained (berkelanjutan) apa transient (sementara). Contoh dari erupsi yang transien yaitu tipe strombolian dan vulcanian, contoh erupsi sustained yaitu hawaiian dan plinian. Kedua jenis erupsi itu berbeda di carakter, produk, dan juga kandungan magmanya.

Di sini kita akan melihat apakah erupsi yang transient atau sustained dipengaruhi oleh kecepatan naiknya dari aliran magma itu sendiri. Hal itu dikarenakan komposisi magma akan mempengaruhi viskositas dan viskositas tersebut akan mempengaruhi atau mengontrol kecepatan munculnya gelembung gas dalam magma , dan akan mengontrol kecepatan gelembung gelembung gas tersebut untuk saling bergerak dan menyatu menjadi gelembung gas yang lebih besar.

Gambar yang tertera di bawah ini adalah gambar grafik pemodelan dari komputer untuk melihat faktor apa saja yang mempengaruhi aktivitas pada magma basalt.

Gambar pertama menunjukan dengan naiknya viskositas membuat coalescene seakan berkurang untuk memberi kecepatan magma naik. Gambar kedua menun jukan bahwa coalescence naik dengan naimnya juga kandungan gas untuk menunjukan naiknya kecepatan. Gambar ketiga merupakan kombinasi dari keduanya, disini gas dan viscositas naik bersamaan , dengan kombinasi efek tersebut menunjukan coalscence semakin kecil kemungkinannya untuk memberikanan tambahan kecepatan.

Viskositas dari magma itu sangat bervariasi. Dibandingkan dengan variasi relativ dari kandungan gas magma dan kecepatan naiknya magma, viskositas mungkin merupakan faktor yang dominan untuk mengontrol koalensi pada gelembung.

(4)

Komposisi kimia dan transient explosive activity

Transient exposive ini terbentuk ketika magma tersebut naik dengan kecepatan yang rendah. Contoh tipe ini adalah strombolian dan vulkanian. Berdasarkan observasi dilapangan dan juga hitung hitungan matematik, terlihat bahwa perbedaan kekuatan letusan keduanya berhubungan dengan kekuatan dari cap pada kolom magma sebelum mengalami erupsi. Pada kasus strombolian jarak antar ledakannya terlalu singkat sehingga pembentukan capnya belum mendingin sempurna, dan bagian kulit yang belum didinginkan akan keluar tears dan membuat gelembung gas kecil menumpuk dibawahnya sehingga mengakibatkanledakanya lemah. Untuk kasus vulkanian bagian capnya mendingin lebih lama sehingga energi yang terbentuk dibagian bawah menjadi sangat besar dan ledakan yang ditimbulkanya pun semakin besar.

Pada magma baslatikdengan viskositas yang kecil mengakibatkan gelembung gas yang terbentuk dengan cepat dan sering muncul dan bergerak keatas, sehingga mengakibatkan capnya belum sempat terbentuk. Kecepatan naiknya gelembung gas mengontrol pembentukan skin pada kolom magma untuk mengembang. Sehingga tipe magma basaltik lebih cenderung ke strombolian. Untuk magma intermediete kecepatanya lebih rendah sehingga masih meungkinkan terbentuknya cap. Sehingga jika ada capnya mengakibatkan adanya tekanan yang terakumulasi dibawah dan menimbulkan ledakan yang vulcanian.

(5)

Komposisi kimia dan sustained explosive eruption

Kita telah melihat bahwa sustained explosive eruption terjadi ketika kecepatan munculnya magma cukup besar untuk mencegah pemisahan gelembung gas magmatik yang berasal dari terbentuknya gelmbung itu.

 Peran viskositas

Perbedaan utama dari erupsi hawaiian dan plinian itu terdapat pada derajat fragmentasi dari erupsi clast nya. Pada tipe hawaiian menghasilkan coarse clast yang biasanya bisa terbawa hanya pada beberapa ratus meter dari vent pada incandescent lava fountains dan biasanya jtuh kembali disekitar vent dan membentuk kerucut dan aliran lava. Dalam letusan plinian derajat fragmentasi dari magmanya lebih besar dan juga clastnya yang meletus lebih kecil. Hal ini meningkatkan transportasi untuk bergerak keatas dalam convecting eruption plume dan penyebaranya menjadi lebih luas. Sehingga masalah utamanya adalah faktor yang mengontrol derajat fragmentasi dan penyebaran ukuran clast pada material erupsi.

Proses fragmentasi selama ini masih dalam tahap penelitian dan dikatakan bahwa fragmentasi terjadi dalam dua mekanisme yaitu: rapid acceleration atau rapid decompresion pada magma. Rapid decompresion merupakan seperti pemicu utama pada fragmentasi dan explosive activity apada situasi dimana ada reduction yang secara terus menerus pada stress pembatas pada magma. Seperti ketika runtuhnya kubah lava. Rapid acceleration dianggap lebih memungkinkan terjadi pada tipe hawaiian dan dibanyak plinian. Pada kasus ini, vesiculation larutan padat dari gas yang berasal dari naiknya magma ditunda sampai tercapainya supersaturation pada derajat yang tinggi. Rapid exolution kemudaian menyebabkan pembangunan da rapid acceleration dari magmatik foam. Rapid acceleration hasil dari tingginya strain rate yang menginduksi stress di sebrang buble yang cukup untuk mengakibatkan kerapuhan dan fragmentation pada dinding. Dalam proses ini viskositas dari magma dianggap sangatlah penting. Viskositas dari magma bisa berubah secara dramatis seperti air yang pecah. Efek ini sangat kecil kemungkinanya terjadi pada magma basa dan sehingga fragmentasi basa terbentuk secara progresive oleh penipisan dan robeknya buble wall dan menghasilkan lebih besar dan cair lava clots. Masuknya air dalam magma membuat lebih berkembang walaupun mengakibatkan peningkatan viskositas. Tingginya viskositas magma berarti rapid acceleration menyebabkan strain yang cukup kuat untuk mengakibatkan magma fail dan pada mode britle. Hal ini mengakibatkan fragmentasi yang lebih lengkap dan clasts yang kecil. Strain yangtertinggi cendrung mengakibatkan derajat fragmentasi tertinggi.

Berikut adalah percobaan variasi dari viscositas dari veriasi magma dengan camputran air pada suhu constant.

Dari gambar itu terlihat kalau turunya kandungan air mengakibatkan naiknya viskositas.  Peran dari kandungan gas.

Jumlah gas dalam magma mempengaruhi energi yang dilepaskan selama naiknya magma dan dengan demikian kemungkinan akan mempengaruhi jumlah percepatan sebelum fragmentasi dan untuk mempengaruhi tingkat strain yang dialami magma, dengan kandungan gas yang tinggi mengakibatkan tingginya tingkat strain dan fragmentasi yang lebih besar.

(6)

Kandungan gas juga mempengaruhi kecepatan keluarnya magma pata sustained eruption dengan mempengruhi kedalaman fragmentasi dan pelepasan energi total, dengan kandungan gas yang rendah menyebabkan kecepatan untuk keluar juga rendah.

MAGNITUDO DAN FREKUENSI ERUPSI GUNUNG API

Magnitudo erupsi gunung api dalam sejarah

Rincian aktivitas vulkanik masa lalu direkonstruksi menggunakan informasi catatan sejarah, data geofisika, dan pemetaan geologi di masanya. Salah satu rekaman data vulkanik disimpan di Global Volcanism Program, di Smithsonian Institution, Washington DC. Daftar tersebut mencakup seluruh erupsi yang terjadi selama 10.000 tahun terakhir, yang diklasifikasikan menggunakan indeks yang disebut Volcanic Explosivity Index atau VEI. Indeks tersebut merupakan metode pengklasifikasian yang paling banyak digunakan yang didasarkan pada magnitudo dan intensitas dari erupsi gunung api.

Magnitudo didefinisikan sebagai total volume atau massa material hasil erupsi. Sementara intensitas adalah ukuran tingkat volume atau massa hasil erupsi. Tabel 10.3 menunjukkan sistem klasifikasi dari VEI. Dan tabel 10.4 menunjukkan hasil pengklasifikasian beberapa erupsi dalam sejarah dengan menggunakan sistem VEI.

Meskipun sistem VEI banyak digunakan secara luas, tetapi sistem ini memiliki sejumlah kelemahan, salah satunya menyangkut letusan eksplosif. Setiap letusan yang merupakan erupsi penghasil lava akan dimasukkan dalam kelompok VEI bernilai rendah, meskipun letusan tersebut memiliki tingkat erupsi yang tinggi dan menghasilkan volume lava yang besar. Sistem lain yang lebih dapat diandalkan adalah dengan menggunakan perhitungan dari magnitudo dan intensitas. Sistem tersebut menghitung nilai magnitudo letusan dengan:

Magnitudo = log10 (Me) – 7

(7)

Intensitas = log10 (Mf) + 3

Dengan Mf adalah flux massa (dalam kg/s). Sistem ini memiliki keuntungan yang memungkinkan adannya perbandingan langsung antara letusan eksplosif dan letusan penghasil lava (efusif). Dalam tabel 10.4, untuk erupsi yang jelas bersifat eksplosif, nilai VEI hampir sama dengan nilai magnitudonya. Tapi untuk erupsi yang menghasilkan lava, semisal letusan Mauna Loa (1950) dan Etna (1991 – 1993), ada perbedaan cukup signifikan dari nilai VEI dan magnitudo.

Magnitudo erupsi gunung api dalam catatan geologi

Tabel 10.5 menunjukkan daftar dari erupsi gunung api terbesar yang tercatat secara geologi. Dibandingkan dengan data pada tabel 10.4, ada perbedaan nilai yang sangat besar antara erupsi di masa lalu tersebut dengan erupsi sekarang. Sebagai contoh, erupsi Gunung St. Helens (Mei, 1980) merupakan erupsi yang cukup besar, tetapi kemudian diketahui bahwa besar erupsi Yellowstone (2 MA) hampir sebanding dengan 200 kali letusan Gunung St. Helen.

(8)

Magma chamber dan magnitudo (dan frekuensi) erupsi gunung api

Magma umumnya tersimpan pada level tertentu di dalam kerak bumi sebelum terjadi erupsi. Dari situ bisa diambil bayangan bahwa ada hubungan antara magnitudo erupsi dengan ukuran dari magma chamber-nya. Sebagai contoh, gunung api dengan erupsi basaltik yang frekuensi kejadiannya sering dan magnitudonya kecil di Hawaii dan Islandia, terjadi dari magma chamber yang umumnya hanya memiliki volume 35-150 km3. Pada kenyataannya, volume dari erupsi hanya mencakup sebagian kecil dari volume magma chamber. Volume magma chamber di Hekla, Islandia, misalnya, mencapai 145 km3. Pada letusan tahun 1991 di Hekla, lava yang dihasilkan adalah 0,15 km3 atau hanya ~0,1% dari volume magma chamber-nya. Di Kilauea, volume magma chamber berkisar ~50 km3. Erupsi yang terjadi umumnya menghasilkan 10-3 dan 0.1 km3, atau 0.002 dan 0,2% dari volume magma chamber-nya.

ERUPSI ELASTIK DAN INELASKTIK

Model sederhana yang dibahas sebelumnya di bagian 4.4 dapat digunakan untuk menjelaskan sifat umum dari sitem vulkanik dan memprediksi pola aktivitas vulkanik gunung tersebut.

(9)

Sebuah model sistem magma dengan ukuran magma chamber yang telah ditentukan, misalnya, akan dapat diprediksi bagaimana pola aktivitasnya saat ruangan magma chamber tersebut mengembang akibat diberi tambahan magma, kemudian mengalami erupsi dengan volume magma tertentu saat mencapai failure point, terisi kembali oleh magma setelah erupsi berakhir, dan demikian dimulai kembali siklus aktivitasnya. Ada beberapa hal yang dapat membuat adanya perbedaan dalam jeda waktu antar kejadian dan volume hasil erupsi, diantaranya adalah kegagalan akibat kondisi (ketidakteraturan dalam dinding magma chamber, misalnya) dan tingkat suplai magmanya. Gambaran sederhana semacam itu sering ditemui di banyak aktivitas sistem basaltik. Gambar 10.9 menunjukkan sebagian dari rekaman tilt Kilauea tahun 1983 dan 1984. Di puncak gunung tersebut, sebuah tilmeter dipasang dan terus menerus merekam data kemiringan lereng (atau nilai tilt) dari permukaan tanah. Ketika magma chamber di bawahnya terisi oleh magma, maka lapisan tanah di atasnya akan memberi respon dengan perubahan kemiringan ke atas dan ke samping. Ketika kemudian ada intrusi atau erupsi yang mengurangi volume magma dalam magma chamber, maka akan terjadi deflasi dan respon kemiringan terjadi ke arah sebaliknya. Gambar 10.9 menunjukkan serangkaian kejadian inflasi dan deflasi yang terjadi di puncak gunung api selama tahun 1983 dan 1984 sebagai respon dari terjadinya rentetan erupsi di gunung tersebut. Keseluruhan, ada 47 erupsi selama kurun waktu antara 1983 hingga 1986, dan gambar 10.9 menggambarkan variasi tilt yang terjadi pada erupsi 3 – 19. Rekaman data tilt tersebut menunjukkan adanya pola siklus inflasi dan deflasi dari magma chamber. Sebelum terjadi erupsi, magma chamber terisi oleh magma baru yang mengakibatkan permukaan tanah perlahan mengalami kemiringan perlahan ke arah luar. Adanya erupsi diasosiasikan dengan perubahan drastis nilai kemiringan ke dalam sebagai respon dari deflasi magma chamber. Rekaman data tilt pada gambar 10.9 tersebut juga menunjukkan adanya perbedaan jeda waktu tiap erupsi dan perbedaan jumlah inflasi dan deflasi untuk tiap kejadian erupsi. Bisa dibandingan, misalnya, perbedaan jumlah deflasi pada erupsi 18 dan 19. Lebih tingginya nilai deflasi di erupsi 18 menunjukkan lebih banyaknya volume lava yang dihasilkan saat erupsi – 12 kali lebih banyak dibanding erupsi 19. Dibuktikan bahwa memang ada kesamaan antara pola kejadian asli yang ditunjukkan dalam gambar 10.9 dengan pola kejadian yang diprediksi melalu perhitungan model

sederhana seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya.

Jenis aktivitas erupsi yang baru saja dijelaskan di atas adalah jenis elastis, di mana kejadian inflasi dan deflasi dalam magma chamber merupakan sebuah siklus yang tidak terkait dengan adanya deformasi permanen yang signifikan. Erupsi akan berhenti ketika overpressure yang ada sebelumnya menghilang atau berkurang. Namun demikian, tidak semua sistem vulkanik bersifat

(10)

elastis. Ada banyak kasus di mana pola aktivitas erupsinya berubah karena letusan yang terjadi mengakibatkan sistem vulkanik menjadi inelastik. Seperti, adanya deformasi yang ireversibel dalam magma chamber-nya. Erupsi semacam itu terjadi ketika aktivitas vulkaniknya terus berjalan meskipun overpressure sudah tidak ada lagi, atau ketika erupsi yang berkelanjutan tersebut mengurangi tekanan di dalam magma chamber hingga meruntuhkan atapnya. Erupsi inelastik dapat terjadi ketika volume letusan melebihi ~10 – 50 km3. Beberapa contoh erupsi inelastik merupakan erupsi yang besar. Dalam tabel 10.5 semua erupsi yang membentuk ignimbrite (ignimbrite-forming) merupakan contoh dari erupsi inelastik dan kesemuanya berasosiasi dengan runtuhnya kaldera. Peristiwa inelastik juga dapat terjadi, meskipun dalam jumlah kecil, di beberapa sistem basaltik. Kaldera yang ada di Kilauea, misalnya, terbentuk dari erupsi 1790. Dan karena erupsi inelastik umumnya menghasilkan material dalam volume besar, maka sangat penting untuk dapat mempelajari bagaimana suatu erupsi melewati batas elastisnya.

Ada dua kondisi yang memungkinkan erupsi dapat berlangsung meskipun overpressure sudah tidak ada. Yang pertama terjadi di shield volcano, atau gunung api perisai. Jika vent di mana erupsi terjadi terletak di ketinggian yang lebih rendah dari bagian atas magma chamber, maka magma dapat terus mengalir dari sistem dike tersebut meskipun overpressure sudah hilang.

Skenario lain yang memungkinkan aktivitas inelastik dan pembentukan kaldera terkait dengan erupsi eksplosif skala tinggi memiliki kondisi yang berbeda. Hal itu bergantung dengan ada atau tidaknya fase gas di bagian atas magma chamber pada saat overpressure awal dilepaskan. Jika tidak terdapat gas di sana, maka erupsi akan berhenti karena tidak ada lagi tekanan yang tersedia untuk mendorong magma ke atas melalui sistem dike atau conduit-nya. Jika, misalnya, magma tersebut mula-mula tersaturasi hingga menjadi volatil atau menjadi volatil karena adanya tekanan saat magma chamber terdeflasi (selama fase elastik dalam erupsi), maka pembentukan gelembung gas akan mendorong campuran magma dan gas keluar dari magma chamber dan memungkinkan erupsi terus berlangsung meskipun tekanan di dalam chamber semakin berkurang. Jika kemudian aktivitas ini berjalan terus dalam waktu yang lama, maka berkurangnya tekanan akan dapat mengakibatkan rusaknya atap magma chamber dan memungkinkan pembentukan kaldera. Volume magma yang dapat dierupsikan tergantung pada aktivitas eruptifnya. Jika larutan padat gas dari magma berhenti sebelum terjadinya runtuhan kaldera, maka faktor batas limitnya adalah jumlah gas mula-mula yang terlarut dalam magma dan kedalaman dari magma chamber-nya. Namun jika kaldera ternyata mengalami keruntuhan, maka gaya tekanan dari atas akan menekan sisa magma dalam chamber dan menyebabkan keluarnya magma dalam proporsi yang besar.

ERUPSI PEMBENTUKAN IGNIMBRIT DAN ERUPSI FLOOD BASALT

Erupsi pembentukan ignimbrit

Ignimbrit adalah batuan yang merupakan endapan dari aliran piroklastik, ataupun dari partikel suspensi yang sangat panas, dan gas, yang mengalir cepat dari puncak gunuung api karena dikendalikan oleh massa jenisnya yang lebih besar daripada atmosfer di sekitarnya. Karena lebih dipengaruji oleh pengaruh gravitasi, maka sortasi atau pemilahan antar butirannya akan menjadi buruk karena terdiri dari berbagai macam percampuran material vulkanik. Ada abu vulkanik, batu apung, lapili, dan beberapa fragmen lainnya. Bisanya semakin dekat dengan sumber, ignimbrit akan banyak terdapat endapan block maupun bomb. Ignimbrit bisa terlithifikasi maupun tidak.

(11)

Erupsi pembentukan ignimbrit berlangsung pada proses inelastic dimana merupakan kelanjutan dari aktivitas plinian. Pada aktivitas plinian, kandungan gas yang bercampur dengan magma cukup tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan tekanan tinggi serta terjadi pembentukan kaldera. Aktivias erupsi pembentukan ignimbrit dimulai kertika kandungan gas yang bercampur pada magma tersebut menurun melewati critical point dan massa flux bertambah secara signifikan. Kandungan gas yang menurun secara signifikan akan menyebabkan turunnya tekanan sehingga kubah akan runtuh dan membentuk kaldera. Rekahan yang terjadi akan berkembang sesuai dengan orientasi dan lokasinya sehingga bila rekahan melebar, maka material yang keluar dari gunung api akan semakin banyak. Semakin banyak material yang dikeluarkan dari magma chamber maka semakin turun tekanannya dan erupsi mulai reda, serta akan mulai terjadi pembentukan ignimbrit dari material-material yang dikeluarkan saat terjadi erupsi tersebut. Pembentukan ignimbrit sendiri terjadi pada very high mass flux.

Erupsi Flood Basalt

Pada bahasan sebelumnya telah dibahas mengenai mantle plume yang berhubungan langsung dengan mantel. Akumulasi magma dalam jumlah yang cukup besar pada plume head akan mendesak litosfer sehingga menimbulkan rekahan sebagai tempat keluarnya magma. Pada erupsi flood basalt magma berasal langsung dari mantel tanpa adanya magma chamber pada kerak bumi.Flood basalt akan terhubung dengan mantle plumesebagaimana seperti dalam sistem dike dan akan tertampung di plume head sebelum akhirnya keluar ke permukaan. Erupsi dapat berhenti terjadi saat overpressure yang menjadi suber tenaga magma untuk keluar hilang. Besarnya setiap erupsi yang terjadi menggambarkan banyaknya magma yang terakumulasi pada plume head di bawah litosfer.

Erupsi yang menggambarkan erupsi flood basalt adalah erupsi tipe hawaian. Erupsi yang terjadi ini mengeluarkan magma dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa berhenti, namun keluar secara lambat dalam kurun waktu tahunan bahkan sampai sepuluh tahunan. Erupsi ini berlangsung lama karena sistem dike menyalurkan magma dari mantel ke permukaan sehingga magma keluar dengan konstan /tetap tanpa berhenti (inactive).

KESIMPULAN

1. Sifat dari volcanic system.

a. Ada hubungan antara kekuatan dan frekuensi dari aktivitas gunung api. Erupsi yang kecil dapat diprediksikan (secara teratur), sedangkan erupsi yang besar kita tidak tahu kapan akan terjadi.

b. Volume magma yang keluar berhubungan dengan ukuran magma chamber. Semakin besar ukuran magma chamber makan semakin besar erupsinya.

c. Erupsi yang besar ada 2, erupsi pembentukan ignimbrit dan erupsi flood basalt.

2. Magma chamber yang akan mengalami erupsi akan menggembung dengan isinya berupa magma. Apabila tekanannya melebihi critical point (menunjukkan kekuatan dinding chamber), maka akan terjadi erupsi atau intrusi. Semakin besar chamber maka semakin banyak magma yang diperlukan untuk melampaui batas critical point tersebut sehinggaterjadi erupsi. Hubungan antara ukuran magma chamber dengan frekuensi kejadian

(12)

erupsi adalah berbanding terbalik, semakin besar ukuran magma chamber maka frekuensi kejadian erupsi semakin kecil.Volume magma yang masuk mengisi magma chamber akan kurang lebih sama dengan volume magma yang yang keluar saat terjadinya erupsi, sehingga chamber yang besar akan menghasilkan erupsi yang besar pula.

3. Erupsi yang paling besar hanya ada 2 tipe, karena erupsi menggambarkan kondisi tertentu, seperti contohnya banyaknya material magnetik yang keluar saat erupsi terjadi.

4. Erupsi pembentukan ignimbrit terjadi secara inelastik bersamaan dengan pembentukan kaldera. Kadang kala erupsi yang terjadi dapat menghasilkan lebih banyak material magma yang dikeluarkan daripada ada proses elastik. Erupsi ini dapat terjadi jika ada kandungan gas pada magma chamber, sehingga banyaknya gas dan magma yang bercampur akan menyebabkan tekanan yang lebih besar dan terjadilah erupsi. Jika campuran magma dan gas telah banyak keluar, tekanan akan menurun dan erupsi semakin lama akan mulai berhenti. Saat terjadi erupsi terjadi runtuhan dan terbentuklah kaldera sehingga erupsi menyebabkan magma yang keluar semakin banyak dan terjadi pembentukan ignimbrit dalam volume yang besar.

5. Erupsi flood basalt berhubungan dengan penyimpangan dengan mantle plume pada litosfer. Magma yang keluar saat erupsi flood basalt berasal langsung dari mantel dan tidak melalui sistem penyimpanan di kerak bumi.Erupsi yng terjadi dapat terjadi dalam jangka waktu yang pendek dengan material yang dikeluarkan langsung dalam jumlah yang besar, atau dapat terjadi dalam kurun waktu yang lama (bisa setahun atau sebulan) dengan volume yang dikeluarkan sedikit demi sedikit. Magma yang keluar dibatasi oleh seberapa lama magma dapatkeluar melalui sistem dike yang menjadi jalan bagi magma untuk keluar dari litosfer. Jika magma dari litosfer tidak mampu lagi naik ke permukaan maka sistem dike tersebut akan tertutup akibat pendinginan magma dan erupsi flood basalt baru akan terjadi lagi jika sistem dike terbentuk kembali.

Gambar

Gambar di atas menunjukan adanya variasi viskositas yang dikontrol oleh temperatur dan secara  tak langsung dikontrol oleh tingkat keasaman dan kandungan silika
Tabel  10.5  menunjukkan  daftar  dari  erupsi  gunung  api  terbesar  yang  tercatat  secara  geologi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashari (1994), Zuhro (1996) dan Jin dan Machfoed (1998) dimana hasil penelitian yang dilakukan

Dari tahap-tahap yang dilalui manusia, aspek yang distimulasi adalah aspek fisik, intelektual (baik kognitif maupun bahasa), emosi dan sosial moral (Santrock,

menyebabkan Indonesia beriklim wet tropic sehingga memerlukan strategi dalam bangunannya, seperti menghalangi radiasi matahari, isolasi radiasi panas dengan ruang

Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan dalam penelitian ini, terdapat 16 kebutuhan penderita stroke akan sistem rehabilitasi atau terapi okupasi

26:70 Tetapi ia menyangkalnya di depan semua orang, katanya: "Aku tidak tahu, apa yang engkau maksud." 26:71 Ketika ia pergi ke pintu gerbang, seorang hamba lain melihat

1) Pengeleman dengan menggunakan mesin pada cetakan tertentu dapat mempercepat pekerjaan dan menghasilkan kualitas pengeleman yang baik. 2) Perawatan mesin dilakukan untuk

Dari hasil pengukuran suhu dan pH di sumur penduduk tersebut, maka dilakukan uji sampling air tanah untuk mengetahui kualitas air di sekitar TPA Bulusan dengan

Tujuan dari penelitian adalah mengetahui jarak tanam yang tepat untuk pertumbuhan tanaman bawang merah dan pengaruh pemberian pupuk silika dalam produksi umbi mini