• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang didominasi oleh dua per tiga wilayah perairan laut dari keseluruhan wilayah. Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur dengan jelas baik secara spasial maupun secara legal mengenai penetapan wilayah maritim, termasuk batas-batas maritim yang berkaitan dengan negara-negara tetangga yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Indonesia telah mendeklarasikan secara resmi 10 negara tetangga yaitu, India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia. Secara geografis Indonesia memiliki klaim maritim yang tumpang tindih dengan negara-negara tersebut. Saat ini, Indonesia belum membuat kesepakatan batas maritim dengan Timor Leste dan Palau, akan tetapi hingga tahun 2015, Indonesia telah berhasil menyepakati beberapa segmen yang dirangkum ke dalam 19 perjanjian dengan Malaysia, Singapura, India, Thailand, Papua Nugini, Australia, Vietnam, dan Filipina (Arsana 2015).

Timor Leste (dahulu bernama Timor Timur) pernah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 24 tahun. Namun pada tahun 1999, Timor Leste secara resmi merdeka dan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 20 Mei 2002. Secara geografis, Timor Leste berdampingan dan berhadapan dengan Indonesia sehingga diperlukan penyusunan kesepakatan batas antara kedua negara. Kedua negara telah melakukan perundingan penentuan batas darat negara tetapi belum tuntas sepenuhnya, sehingga belum ada kesepakatan penetapan batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste karena batas darat merupakan penentuan titik awal batas maritim. Batas tersebut adalah titik akhir batas darat di garis pantai yang akan menjadi titik awal garis

(2)

2 batas maritim. Tanpa kesepakatan empat titik batas tersebut maka pembahasan tentang batas maritim tidak dapat dimulai (Arsana 2007).

Delimitasi batas maritim adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan negara tetangganya di laut. Ditinjau dari kedudukan geografis dan pengukuran jarak dari garis pangkal normal, Indonesia dan Timor Leste berpotensi melakukan delimitasi di tiga kawasan maritim. Ketiga lokasi tersebut adalah di sebelah utara Oekussi (Selat Ombai), di sebelah utara Pulau Timor (Selat Wetar) dan di sebelah selatan Pulau Timor (Laut Timor).

Delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste terdiri dari beberapa tahap. Tahapan tersebut meliputi deskripsi titik pangkal dan garis pangkal, pengkajian atas klaim masing-masing negara dan kemungkinan klaim yang tumpang tindih, penarikan garis ekuidistan murni, dan menentukan kemungkinan garis batas maritim final berdasarkan berbagai pertimbangan yang relevan (Arsana 2007).

Penetapan batas maritim pada kawasan Laut Timor akan lebih kompleks dibanding pada kawasan Selat Ombai dan Selat Wetar, dikarenakan terdapat beberapa perjanjian mengenai kawasan tersebut. Ditambah dengan keberadaan 2 pulau kecil di sebelah timur Pulau Timor yaitu Pulau Leti (Indonesia) dan Pulau Jako (Timor Leste) yang menjadi pertimbangan penting dalam penentuan batas maritim. Terdapat dua garis batas lateral di Laut Timor yaitu segmen barat yang ditarik dari titik terminal batas darat Mota Masin dan segmen timur yang bermula di titik antara Pulau Jako dan Pulau Leti menuju selatan.

Dalam penentuan delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor menggunakan Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach) sebagai metode delimitasi. Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach) adalah metode yang digunakan pertama kali dalam penyelesaian kasus batas maritim antara Ukraina dan Rumaina mengenai Laut Hitam pada tahun 2009. Kasus tersebut diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) dan International Tribunal

for the Law of the Sea (ITLOS). Pendekatan ini memiliki tiga tahapan yaitu pembuatan

garis batas sementara, modifikasi garis batas sementara dengan menentukan faktor-faktor yang relevan dan uji disproporsionalitas.

(3)

3 Penggunaan metode Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach) menghasilkan zona maritim yang berbeda dengan penelitian mengenai Laut Timor yang telah dilakukan oleh individu maupun instansi tertentu. Pada penelitian ini dikaji dan dianalisis delimitasi batas wilayah Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor, kedudukan geografis Indonesia berdasarkan daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia dan koordinat titik-titik garis pangkal Timor Leste berdasarkan Timor Leste Opening

Statement. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari kajian penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya di Selat Wetar dan Selat Ombai.

I.2. Rumusan Masalah

Penentuan delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor sudah pernah dilakukan sebagai suatu penelitian sebelumnya tetapi belum mempertimbangkan penggunaan metode Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage

Approach). Terdapat beberapa perjanjian yang disepakati di kawasan Laut Timor yang

menjadi faktor penting yang berpengaruh dalam penentuan batas yaitu Joint Petroleum Development Area (JPDA), koordinat dasar laut (seabed) antara Indonesia dan Timor Leste pada tahun 1972 dan koordinat titik batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Timor Leste pada tahun 1997. Pulau-pulau kecil yang berada di sebelah timur Pulau Timor juga akan menjadi pertimbangan. Penelitian ini akan menerapkan metode Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage-Approach) untuk delimitasi batas maritim yaitu Laut Teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor. Luas laut teritorial dan ZEE akan dibandingkan secara adil untuk kedua negara. Penggunaan garis pangkal (baseline) yang berbeda antar negara dan faktor-faktor yang berperan penting seperti bobot secara penuh atau setengah untuk sebuah pulau dalam delimitasi ini diduga akan menghasilkan beberapa opsi batas maritim. Peluang dan tantangan akan timbul sesuai dengan opsi batas maritim yang akan digunakan sebagai acuan dalam bahan perundingan dan penegasan antara Indonesia dan Timor Leste di kemudian hari.

(4)

4 I.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dibuat, permasalahan utama dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa faktor yang berpengaruh dalam delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor?

2. Apa opsi dan hasil delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor dengan menggunakan Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage

Approach)?

3. Apa peluang dan tantangan yang dihadapi Indonesia dan Timor Leste dalam memanfaatkan hasil penelitian dalam delimitasi batas maritim di Laut Timor?

I.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diajukan, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor.

2. Menentukan opsi delimitasi batas maritim yang paling baik antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor serta menghasilkan peta batas laut teritorial, peta batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan area ZEE antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor serta menghasilkan koordinat titik batas laut territorial dan ZEE antara kedua negara dengan menggunakan Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach).

3. Mengetahui peluang dan tantangan yang akan dihadapi Indonesia dan Timor Leste jika memanfaatkan hasil kajian penelitian ini dalam penentuan delimitasi batas maritim.

(5)

5 I.5. Manfaat Penelitian

Berdasarkan penelitian ini dapat dirumuskan manfaat dari penelitian sebagai berikut:

1. Mendapat pemahaman bahwa beberapa faktor menjadi pengaruh penting dalam penentuan delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor.

2. Mengetahui opsi dan hasil delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor yang paling baik bagi kedua negara dengan mempertimbangkan penggunaan garis pangkal yang berbeda dan menggunakan Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach).

3. Dapat digunakan sebagai referensi bahan perundingan bagi para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan delimitasi batas wilayah maritim antara Indonesia dan Timor Leste dikemudian hari.

I.6. Cakupan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, penelitian ini difokuskan pada hal sebagai berikut:

1. Lokasi penelitian adalah Laut Timor.

2. Negara yang terlibat dalam delimitasi batas maritim di Laut Timor adalah Indonesia dan Timor Leste.

3. Data yang digunakan adalah data koordinat titik pangkal Indonesia yang tercantum pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008.

4. Koordinat titik pangkal Timor Leste diasumsikan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.3 berdasarkan pernyataan Timor Leste dalam Timor Leste

Opening Statement (PCA 2016) karena Timor Leste belum secara resmi

mempublikasikan dan menyerahkan data titik pangkal kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.

(6)

6 5. Peta dasar yang digunakan adalah Peta Laut Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) zona 322, zona 323, zona 328, zona 329, zona 375, zona 376 dan zona 378. Zona 378 diperbarui pada tahun 2008; zona 328 dan zona 329 diperbarui pada tahun 2011; zona 322 dan zona 376 diperbarui pada tahun 2012; dan zona 323 serta zona 375 diperbarui pada tahun 2013.

6. Penelitian ini dikaji dengan beberapa asumsi yaitu asumsi pertama adalah bahwa 1 mil laut adalah 1,852 meter. Asumsi kedua adalah data koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia telah diperbaharui oleh instansi terkait.

I.7. Tinjauan Pustaka

Sutisna (2014) menyatakan bahwa “permasalahan wilayah negara pasca proklamasi kemerdekaan, salah satunya adalah wilayah negara yang berupa pulau-pulau dan kepulauan yang terpisah-pisah, dimana perairan diantara pulau dan kepulauan yang jaraknya lebih dari 3 mil laut adalah laut bebas (berdasarkan doktrin Mare Liberum) sebagaimana diatur dalam TZMKO (Territorial Zee en Maritime Krigen Ordonantie) 1939. Pada persoalan surta nasional dan keutuhan NKRI bahwa masalah batas wilayah negara sudah muncul di penghujung tahun 1969, seiring dengan “kampanye geopolitik” Indonesia untuk mengusung konsepsi Wawasan Nusantara. Pada tahun 1969 dibentuk Panitia Teknis Landas Kontinen Indonesia, yang kemudian pada tahun 1974 diintegrasikan ke dalam Panitia Koordinasi Wilayah Nasional (Pangkorwilnas) untuk menyelesaikan masalah batas-batas wilayah internasional dengan negara tetangga. Peran geodesi adalah suatu kebutuhan dalam penetapan (delimitasi) batas maritim. Setiap perjanjian batas maritim diawali dengan menyepakati “Principles and Guidelines” tentang bagaimana garis batas ditarik bersama dan ditetapkan bersama. Sehingga penetapan batas-batas wilayah dan yurisdiksi NKRI dimulai dari penetapan daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia sebagai pondasi dan legal bagi penetapan dan penegasan batas perairan negara kepulauan Indonesia, salah satunya adalah penegasan

(7)

7 batas negara di darat antara Indonesia dan Timor Leste dengan melakukan pembaruan sistem datum geodesi dan proyeksi peta.”

Arsana (2007) menyatakan bahwa “penentuan delimitasi batas wilayah, garis pangkal, klaim atas wilayah maritim, prinsip-prinsip delimitasi, metode delimitasi, aspek-aspek teknis dalam delimitasi batas maritim, faktor utama yang mempengaruhi delimitasi batas maritim, teknologi geospasial dan peran pakar teknis, mengenal batas maritim Indonesia, kasus batas maritim dan kajian batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste yang penting untuk dikaji. Delimitasi batas maritim adalah pembagian laut yang ada disekitar negara-negara yang berbatasan yang memiliki area yang saling tumpang tindih. Dilakukan secara bilateral melalui negosiasi, mediasi, arbitrasi atau melalui pengadilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ) atau International Tribunal for

The Law Of The Sea (ITLOS). Batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste mengalami

tumpang tindih yang belum disepakati batasnya. Diperlukan kesepakatan antar kedua negara agar batas wilayah menjadi jelas dan dapat menghilangkan konflik. Oleh karena itu, dalam delimitasi batas antar negara digunakan daftar koordinat geografis titik-titik pangkal kepulauan Indonesia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 untuk mendapat asumsi yang mendekati benar mengenai batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste.”

Sabila (2015) menyatakan bahwa “evaluasi penggunaan metode Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach) yang diperkenalkan pertama kali oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) atau ITLOS (International Tribunal for

the Law of the Sea) dalam penyelesaian kasus delimitasi batas maritim antara negara

Ukraina dan Romania pada tahun 2009. Metode tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu pembuatan garis tengah sementara, modifikasi garis tengah yang telah dibuat dengan mempertimbangkan faktor-faktor relevan yang ada dan uji disproporsionalitas. Penelitian tersebut juga digunakan untuk menguji kehandalan dari metode Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach) dalam kasus delimitasi batas maritim, khususnya perundingan bilateral.”

(8)

8 Estefania (2016) menyatakan bahwa “metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach) dengan mengacu pada UNCLOS 1982. Penelitian dengan meode tersebut dilakukan untuk penentuan batas maritime antara Indonesia dan Timor Leste di Selat Wetar dan Selat Ombai. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut antara lain mengenai kondisi geografis garis pantai Indonesia dan Timor Leste yang saling berhadapan maupun berdampingan, titik pangkal Timor Leste yang belum resmi dipublikasikan merupakan hasil buatan perangkat lunak ArcGIS dengan menggunakan datum WGS 1984 dan sistem koordinat UTM Zone 51S, garis batas sementara dibuat sesuai dengan prinsip garis ekuidistan, dan garis pantai relevan adalah garis yang menentukan garis batas ZEE. Hasil kajian batas maritim ini dapat menjadi masukan bagi penarikan batas maritim bagi Indonesia dan Timor Leste dalam menentukan prinsip penarikan batas ZEE yang digunakan dalam proses perundingan perbatasan kedua negara.”

Moszkowski (2014) menyatakan bahwa “penentuan batas maritime di Laut Timor berdasarkan pada sejarah dan faktor tertentu. Sejarah yang menjadi faktor penentuan batas maritime yaitu perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai dasar laut (seabed) tahun 1972, perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Zona Kerjasama tahun 1989, perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tahun 1997, Timor Sea Treaty antara Timor Leste dan Australia tahun 2002, perjanjian antara Timor Leste dan Australia mengenai blok Sunrise and Troubadour tahun 2007 dan perjanjian antara Timor Leste dan Australia mengenai Certain Maritime Arrangements in

the Timor Sea (CMATS) tahun 2007. Penggambaran ZEE Indonesia, Timor Leste dan

Australia menggunakan garis median (median line). Penjelasan mengenai aturan garis ekuidistan (equidistance line) berdasarkan UNCLOS dalam penentuan batas maritim. Perbandingan hasil zona maritime dihasilkan oleh perbedaan pemberian efek kepada pulau-pulau kecil yaitu pulau Leti dan pulau Jako. Pemberian efek adalah efek setengah (½ effect) dan efek tigaperempat (¾ effect) pada segmen timur. Dasar dan/ atau prinsip yang adil serta sama jarak juga diterapkan dalam penelitian ini. Penentuan batas maritime di Laut Timor juga mempertimbangkan mengenai Joint Petroleum Development Area

(9)

9 (JPDA) pada segmen barat dan segmen timur serta blok yaitu Laminaria-Corallina dan

Greater Sunrise.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut, delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor merupakan hal yang perlu dikaji dan dianalisis hasilnya agar kedua negara dapat menentukan batas maritim berdasarkan aspek teknis dan yuridis. Dalam penelitian ini, wilayah Laut Timor digunakan sebagai referensi penentuan batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste yang sudah pernah dilakukan penelitian sebelumnya tetapi belum menggunakan metode Pendekatan Tiga Tahap

(Three-Stage Approach)

I.8. Landasan Teori

1.8.1. Klaim atas Wilayah Maritim

Secara umum, zona maritim terbagi menjadi dua yaitu zona maritim nasional dan zona maritim internasional (Schofield 2003). Zona maritim nasional terdiri dari perairan pedalaman (internal waters), laut teritorial (territorial sea), perairan kepulauan (archipelagic waters), zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (exclusive economy zone) dan landas kontinen (continental shelf). Sedangkan zona maritim internasioanl terdiri dari laut bebas (high seas) dan dasar laut dalam (deep seabed) (Arsana 2007). Ilustrasi zona maritim disajikan pada Gambar I.1.

(10)

10 Gambar I.1. Zona maritim

1.8.1.1. Perairan pedalaman (internal waters). Dalam pasal 8 UNCLOS, Perairan Pedalaman atau Perairan Nasional atau Perairan Interior adalah perairan yang terletak pada bagian darat dari garis pangkal laut teritorial negara yang bersangkutan yang diukur ke arah daratan. Kedaulatan secara penuh terdapat dalam zona maritim ini sehingga di dalam perairan pedalaman akan berlaku juga mengenai hak lalu lintas damai (innocent

passage).

1.8.1.2. Laut teritorial (territorial sea). Dalam pasal 3 UNCLOS, dijelaskan bahwa setiap negara memiliki hak atas laut teritorial sebesar tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal tertentu. Terdapat tambahan dalam pasal 4 UNCLOS mengenai batas laut teritorial yaitu garis yang mempunyai jarak setiap titik dari titik yang terdekat garis pangkal sama dengan lebar laut teritorial.

Laut teritorial termasuk kedalam kedaulatan negara yang harus diperhatikan secara penuh. Negara memiliki hak dan/ atau kewenangan tentang hukum dan peraturan atas beberapa hal tetapi dengan tetap memberikan kebebasan kepada negara lain diantaranya mengenai hak lintas damai (innocent passage).

(11)

11 1.8.1.3. Zona tambahan (contiguous zone). Dalam pasal 33 UNCLOS, zona tambahan adalah zona yang berbatasan langsung dengan laut teritorial suatu negara. Zona tambahan diukur dengan tidak dapat melebihi 24 mil laut dari garis pangkal yang digunakan.

Dalam zona tambahan, negara yang bersangkutan dapat melaksanakan pengawasan untuk hal-hal seperti mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan mengenai bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah dan/ atau laut teritorial serta menegakkan hukuman atas pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan di dalam wilayah dan/ atau laut teritorialnya. Perlu dilakukan keputusan atas penentuan zona tambahan karena zona maritim ini tidak didapat secara otomatis.

1.8.1.4. Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone). Dalam pasal 57 UNCLOS, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah zona maritim yang dikur ke arah laut sebesar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal tertentu yang digunakan negara yang bersangkutan. Hak-hak dan kewajiban negara lain atas ZEE negara tertentu adalah semua negara, baik negara berpantai atau tidak berpantai memiliki hak kebebasan dalam hal pelayaran dan penerbangan serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut (dalam pasal 87 UNCLOS) menurut hukum internasional. Negara pantai juga memiliki yurisdiksi eksklusif atas pulau buatan, instalasi dan bangunan tertentu.

1.8.1.5. Landas kontinen (continental shelf). Dalam Bab VI pasal 76, landas kontinen merupakan dasar laut dan tanah yang ada dibawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak diluar zona laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggir terluar dari tepian kontinen atau dengan jarak 200 mil laut dari garis pangkal tertentu. Tepian kontinen terdiri dari bagian daratan yang berada dibawah permukaan air, dasar laut dan tanah dibawahnya dari daratan kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Dalam pasal 76 ayat 5 dan 6 dijelaskan bahwa negara pantai menetapkan titik-titik sebagai garis batas luar landas kontinen dengan tidak melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) 2.500 meter.

(12)

12 Negara pantai memiliki hak atas zona maritim landas kontinen yang telah diklaim yaitu menjalankan hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam. Dengan kata lain, jika negara lain ingin melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen negara tersebut harus dengan perizinan dan persetujuan dari negara yang bersangkutan. Sumber kekayaan alam yang dimaksud dalam hal ini adalah sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non-hayati yang ada pada dasar laut dan tanah dibawahnya, seperti ikan teripang yang termasuk organisme hidup. Negara pantai juga memiliki hak eksklusif untuk melakukan pengeboran di landas kontinen.

1.8.1.6. Laut bebas (high sea). Dalam pasal 86 UNCLOS dijelaskan bahwa Laut Bebas atau Laut Lepas adalah bagian laut yang tidak termasuk dalam zona maritim perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan maupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kebebasan laut bebas antara lain:

1. Kebebasan berlayar; 2. Kebebasan penerbangan;

3. Kebebasan untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut;

4. Kebebasan dalam membangun pulau buatan dan instalasi lain berdasarkan hukum internasional;

5. Kebebasan menangkap ikan; dan 6. Kebebasan melakukan riset ilmiah.

Setiap negara mempunyai hak untuk berlayar dengan kapal menggunakan benderanya di laut lepas.

Kewenangan negara atas zona-zona maritimnya ada 2, yaitu kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereign rights):

1. Kedaulatan

Kedaulatan memiliki arti bahwa negara tersebut memiliki kewenangan secara penuh untuk menjalankan kekuasaan terhadap suatu wilayah. Negara tidak perlu mendapat atau meminta izin/persetujuan dari negara lain dalam menjalankan kegiatan. Kedaulatan berlaku di semua wilayah daratan negara

(13)

13 yaitu perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic

waters) dan laut teritorial (territorial sea) (Arsana 2007).

2. Hak berdaulat

Hak berdaulat memiliki arti bahwa negara tersebut memiliki kewenangan secara terbatas dimana negara tersebut harus mengikuti aturan hukum internasional. Negara tidak bisa dengan bebas menjalankan suatu kegiatan tanpa persetujuan dari negara lain yang berkepentingan. Hak berdaulat juga merupakan hak untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat pada wilayah tertentu dan tidak termasuk dalam wilayah kedaulatan. Hak berdaulat berlaku di wilayah tertentu yaitu Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE (Economic

Exclusive Zone/EEZ) dan landas kontinen (continental shelf).

1.8.2. Prinsip Delimitasi Batas Maritim

Delimitasi zona maritim dilakukan apabila negara-negara saling berbatasan maupun berhadapan. Proses delimitasi zona maritim memerlukan prinsip-prinsip dan aturan hukum internasional. Pelaksanaan delimitasi zona maritim dilakukan dengan perundingan antara kedua negara bersangkutan. Penyelesaian melalui pihak ketiga juga dapat dilakukan melalui International Court of Justice (ICJ) atau International Tribunal for the

Law Of the Sea (ITLOS) atau dengan mediasi maupun arbitrase.

Delimitasi batas maritim yang diatur dalam hukum internasional adalah delimitasi laut territorial, delimitasi zona tambahan, delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan delimitasi landas kontinen.

1.8.2.1. Delimitasi laut teritorial. Pengaturan mengenai penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara pantai yang berhadapan atau berdampingan diatur dalam pasal 15 UNCLOS. Dua negara yang berhadapan atau berdampingan tidak berhak untuk menetapkan batas laut teritorial melebihi garis tengah (median line) jika tidak ada persetujuan diantara kedua negara bersangkutan. Garis tengah (median line) adalah garis yang memiliki titik-titik dengan jarak sama yang diukur dari garis pangkal. Cara lain

(14)

14 (dengan tidak menggunakan garis tengah) dapat digunakan apabila terdapat hak historis atau alasan lain yang menyebabkan metode tersebut tidak dapat diterapkan untuk kedua negara.

1.8.2.2. Delimitasi zona tambahan. Zona tambahan semestinya mencakup lebar maksimum 24 mil laut dari garis pangkal. Tidak ada aturan secara eksplisit mengenai delimitasi untuk zona tambahan. Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi hal ini yaitu bahwa zona tambahan sebenarnya berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan zona tambahan bukan merupakan wilayah kedaulatan atau yurisdiksi eksklusif sehingga tidak ada alasan adanya delimitasi khusus untuk zona tambahan (Churcill dan Lowe 1999 dalam Arsana 2007).

1.8.2.3. Delimitasi zona ekonomi eksklusif. Penetapan batas zona maritim yaitu Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) diatur dalam pasal 74 UNCLOS. Penetapan batas ZEE yaitu harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional sesuai ketetapan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional.

Persetujuan atas delimitasi yang diajukan atas negara-negara yang bersangkutan harus disertai rasa semangat, saling pengertian dan kerjasama serta melakukan usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis. Namun, dalam penetapan delimitasi untuk ZEE tidak terdapat petunjuk secara rinci. Para pembuat kesepakatan batas dapat secara bebas mempertimbangkan segala faktor yang dianggap relevan dan berpengaruh terhadap garis batas. Meski demikian, prinsip ‘two-stage approach’ pada umumnya dianggap sebagai alternatif pendekatan yang bisa diterima dalam delimitasi batas maritim. Oleh karena itu, garis ekuidistan biasanya ditarik sebagai garis batas sementara dan akan dimodifikasi berdasarkan pertimbangan yang relevan (Arsana 2007).

1.8.2.4. Delimitasi landas kontinen. Penetapan garis batas landas kontinen antara negara pantai yang berhadapan atau berdampingan diatur dalam pasal 83 UNCLOS.

(15)

15 Penetapan dilakukan melalui persetujuan atas dasar hukum internasional sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai penyelesaian yang adil. Tidak dijelaskan lebih lanjut atau rinci mengenai delimitasi landas kontinen dalam pasal 83 ini. Prinsip delimitasi dengan istilah equitable division (pembagian adil) dan equitable principles (prinsip-prinsip yang adil) (Churcill dan Lowe 1999). Kenyataan bahwa dalam Konvensi Landas Kontinen 1958 menyarankan penggunaan prinsip sama jarak, tetapi tidak ada ketentuan atau konvensi yang benar-benar memberi petunjuk rinci untuk delimitasi landas kontinen.

Hal ini mengindikasikan bahwa negara-negara yang bersangkutan dapat mencapai kesepakatan melalui ngoisasi dengan mempertimbangkan faktor yang dianggap berpengaruh dan metode yang sesuai. Dengan kata lain, metode delimitasi yaitu penggunaan garis ekuidistan atau garis tengah (median line) yang telah digunakan dalam penyelesaian kasus hukum sebelumnya akan mungkin digunakan dalam penyelesaian kasus-kasus serupa berikutnya (Arsana 2007).

1.8.3. Aspek Teknis dalam Delimitasi Batas Maritim

Aspek-aspek teknis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pulau, elevasi pasang rendah (low-tide elevation), titik dasar (basepoint) dan garis pangkal (baseline). Aspek-aspek tersebut terdapat dalam Technical Aspects on the Law of the Sea (TALOS) yang diterbitkan oleh International Hydrographic Bureau (IHB) tahun 2014.

1.8.3.1. Pulau. UNCLOS 1982 mendefiniskan bahwa pulau adalah sebuah wilayah daratan atau tanah yang terbentuk secara alami yang dikelilingi oleh air dan berada diatas permukaan air pada saat air pasang surut tinggi. Suatu pulau berhak mengklaim zona maritim secara penuh atas laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen.

Pulau-pulau yang dimiliki oleh negara pantai berperan sangat penting karena sebuah pulau memiliki nilai intrinsik dalam hal wilayah dan nilai yang berkaitan dengan zona maritim yang dapat di klaim disekitarnya. Meski sebuah pulau berukuran kecil dan tidak

(16)

16 begitu luas, pulau tersebut dapat mengklaim zona maritim dengan signifikan yang luas. Dapat dikatakan bahwa zona maritim yang diklaim bisa lebih luas dari luas daratan pulau tersebut walaupun pulau tersebut tidak dapat dihuni oleh manusia (Arsana 2007).

1.8.3.2. Elevasi pasang rendah (low-tide elevation/LTE). Dalam pasal 13 UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa elevasi merupakan wilayah daratan yang terbentuk secara alami yang dikelilingi dan berada diatas permukaan air laut pada saat air surut tetapi berada dibawah permukaan laut saat air pasang. Garis air surut dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk menentukan zona maritim yaitu laut teritorial apabila elevasi pasang rendah atau

Low-Tide Elevation (LTE) terletak sebagian atau seluruhnya pada jarak dengan tidak

melebihi lebar laut teritorial dari suatu pulau. Jika LTE terletak seluruhnya dalam jarak yang melebihi luas laut teritorial dari suatu pulau, maka LTE tersebut dianggap tidak dapat mengklaim laut teritorialnya. Ilustrasi pulau dan elevasi pasang terendah disajikan pada Gambar I.2.

Gambar I.2. Ilustrasi pulau dan elevasi pasang terendah (IHO 2006 dalam Sabila 2015)

(17)

17 1.8.3.3. Titik dasar (basepoint). Titik dasar adalah titik yang diukur pada muka laut terendah (chart datum) yang diketahui koordinatnya. Digunakan sebagai acuan dalam menentukan garis pangkal (baseline) untuk melakukan klaim zona maritim. Pemilihan titik-titik terluar atau menonjol pada garis nol kedalaman sebagai titik dasar digunakan untuk mendapatkan luas wilayah maritim yang optimal.

Bentuk geografis yang dianggap mewaliki bentuk geografis pada wilayah perairan untuk digunakan sebagai titik dasar antara lain pantai landai (pada garis air rendah di tepi pantai landai), elevasi surut (bentukan alamiah yang tampak pada waktu air surut) dan pantai curam (karena sulitnya diperoleh kontur nol kedalaman) (Estefania 2016). Penentuan titik-titik dasar yang digunakan Indonesia terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008. Sedangkan, titik-titik dasar yang digunakan Timor Leste adalah pendefinisian dari perangkat lunak ArcGIS 10.3 berdasarkan pernyataan Timor Leste dalam Timor Leste Opening Statement karena belum ada pendefinisian secara resmi dari Timor Leste mengenai koordinat titik dasar yang digunakan.

1.8.3.4. Garis pangkal (baseline). Dalam pasal 5 UNCLOS 1982, garis pangkal merujuk pada garis pangkal biasa (normal baseline) yaitu garis air rendah pada sepanjang pantai yang ditandai pada peta skala besar secara resmi oleh negara pantai yang bersangkutan. Garis pangkal (baseline) adalah garis yang dijadikan referensi dalam penentuan zona-zona maritim suatu negara. Secara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, garis pangkal merupakan garis yang terbentuk dari air surut terendah masing-masing wilayah. Garis tersebut akan menjadi referensi dari peta laut yang dibuat.

Macam-macam garis pangkal antara lain garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis pangkal penutup sungai, garis pangkal karang, garis pangkal penutup teluk dan garis pangkal kepulauan. Pada Gambar I.3 disajikan macam-macam garis pangkal yang dapat digunakan oleh negara dalam penentuan zona maritim.

(18)

18 Gambar I.3. Macam-macam garis pangkal

(Arsana 2007)

1.8.3.4.1. Garis pangkal normal (normal baseline). Dalam pasal 5 UNCLOS dijelaskan bahwa garis pangkal normal adalah garis air rendah disepanjang pantai yang diakui oleh negara pantai yang bersangkutan dengan ditandai pada peta skala besar yang diakui secara resmi oleh negara tersebut. Secara pengertian umum, garis pangkal normal dapat disamakan dengan garis air rendah di sepanjang pantai benua dan/ atau pulau yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.

1.8.3.4.2. Garis pangkal lurus (straight baseline). Dalam pasal 7 UNCLOS dijelaskan bahwa garis pangkal lurus dapat digunakan jika garis pantai menjorok jauh kedalam dan menikung ke atau jika terdapat suatu deretan pulau di sepanjang pantai didekatnya, terdapat delta dan kondisi alam lain sehingga garis pantai menjadi tidak tetap dan tidak ditarik dari ke dari dan ke elevasi surut kecuali jika diatasnya didirikan mercusuar atau instalasi serupa secara permanen yang terdapat diatas permukaan laut. Negara-negara cenderung menginterpretasikan isi dalam pasal ini melalui pandangannya masing-masing karena UNCLOS menggunakan istilah yang kurang umum dan tidak terdapat keterangan secara lebih lanjut.

(19)

19 1.8.3.4.3. Garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline). Dalam pasal 46 UNCLOS dijelaskan bahwa negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lainnya. Kepulauan yang dimaksud meliputi gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan wujud alamiah lainnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah merupakan suatu kesatuan.

Garis pangkal kepulauan dalam pasal 47 UNCLOS dapat digunakan jika perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan (termasuk atol) adalah satu berbanding satu 1:1 dan sembilan berbanding satu 9:1, panjang garis pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut dan penarikan garis pangkal tidak boleh ditarik menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan. Oleh karena Indonesia merupakan negara kepulauan, maka penggunaan garis pangkal kepulauan dapat diterapkan dalam pembuatan delimitasi batas zona maritim.

Dalam pembuatan zona maritim negara kepulauan terdapat daratan-daratan yang terpisah oleh lautan. Garis pangkal kepulauan dibuat dari titik-titik terluar masing-masing daratan. Terdapat perairan pedalaman dalam garis pangkal kepulauan tersebut. Zona maritime yaitu laut territorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen dapat diukur melalui gars pangkal kepulauan yang telah terbentuk.

(20)

20 1.8.3.4.4. Garis pangkal penutup sungai (mouth of river). Dalam pasal 9 UNCLOS 1982, garis pangkal penutup sungai adalah garis lurus yang melintasi mulut sungai antara titik-tititk pada garis air rendah kedua tepi sungai. Penentuan posisi titik-titik yang membentuk mulut sungai tidaklah mudah jika garis pantai mulus. Sulit menentukan titik awal dan akhir dari garis lurus penutup mulut sungai sehingga panjang garis bisa beragam tergantung pada posisi titik awal dan akhir. Hal lain yang perlu diperhatikan untuk garis pangkal ini adalah untuk sungai yang memasuki lautan tidak secara langsung melainkan melalui estuari (estuary). Dalam hal ini, penentuan garis pangkal harus mengikuti aturan dalam menentukan garis pangkal untuk penutup teluk (Churcill dan Lowe 1999). Tetapi penentuan secara pasti apakah sebuah sungai mengalir ke laut melalui estuari atau tidak, tidaklah mudah. Churchill dan Lowe (1999) menegaskan bahwa ketidakpastian seringkali disalahgunakan oleh negara pantai dalam menafsirkan kemungkinan agar garis pangkal dapat menguntungkan negara pantai (Arsana 2007).

1.8.3.4.5. Garis pangkal penutup teluk (bay). Lekukan yang jelas dengan lekukannya yang sebanding dengan lebar mulut sehingga merupakan perairan yang tertutup adalah definisi dari teluk. Daerah suatu lekukan adalah daerah yang terletak antara garis air rendah sepanjang pantai lekukan dan garis yang menghubungkan titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alami (UNCLOS 1982). Pasal 10 UNCLOS menyatakan bahwa teluk adalah bagian laut yang menjorok kearah daratan yang jarak masuknya dan lebar mulut teluknya memenuhi perbandingan tertentu yang memuat wilayah perairan dan bukan sekedar lekukan pantai. Luas teluk ini juga harus lebih besar dari luas setengah lingkaran yang diameternya adalah garis penutup teluk. Luas teluk tersebut disebut teluk yuridis (pada keterangan a). Sedangkan, untuk luas teluk yang tidak lebih besar dari diameter luas setengah lingkarannya disebut teluk non-yuridis (pada keterangan b). Panjang garis pangkal lurus yang menutup mulut teluk tidak boleh melebihi 24 mil laut, walaupun ketentuan ini tidak berlaku pada teluk bersejarah (historic bays) (Arsana 2007). Ilustrasi penentuan garis pangkal pada teluk disajikan pada Gambar I.5.

(21)

21 Gambar I.5. Penentuan garis pangkal pada teluk

(a) (b)

1.8.3.4.6. Garis pangkal Indonesia dan Timor Leste. Kemerdekaan Timor Leste pada tahun 2002 menyebabkan Timor Leste (yang sudah berganti nama menjadi Republik Demokratik Timor Leste atau RDTL) harus melakukan kewajiban sebagai suatu negara diantaranya adalah penentuan dan penegasan batas maritim dengan negara tetangga.

(22)

22 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 yang mengatur tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia diamandemen menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008.

Indonesia merupakan negara kepulauan, sedangkan Timor Leste adalah negara pantai. Indonesia telah menetapkan titik-titik koordinat yang akan dijadikan sebagai acuan dari garis pangkal dalam penentuan klaim zona maritim. Karena Timor Leste adalah sebuah negara pantai dan belum mengeluarkan kebijakan atau peraturan mengenai koordinat titik-titik pangkal yang akan dijadikan acuan, maka garis pangkal yang digunakan sebagai pendefinisian adalah garis pangkal normal yang berdasar pada pernyataan Timor Leste dalam Timor Leste Opening Statement (PCA 2016).

Pada tahun 2005, Dishidros TNI AL telah menentukan garis pangkal Indonesia untuk digunakan dalam penentuan batas maritim dengan Timor Leste menggunakan acuan garis air rendah (the low-water). Akan tetapi, Timor Leste sampai saat ini belum memiliki peraturan atau ketentuan hukum yang terkait dengan koordinat titik-titik garis pangkal negara. Dengan demikian, delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste akan mempertimbangkan titik pangkal dan garis pangkal yang sudah ada dan yang baru hasil dari simulasi (Arsana 2013 dalam Estefania 2016).

1.8.4. Metode Delimitasi Batas Maritim

Penentuan delimitasi batas maritim memiliki beberapa metode antara lain metode garis ekuidistan, metode paralel dan meridian, metode enklaf, metode tegak lurus (perpendicular), metode garis paralel dan metode batas alami (natural boundary).

1.8.4.1. Metode garis ekuidistan (equidistance line). Metode garis ekuidistan atau sama jarak atau garis tengah adalah metode penentuan batas maritim dengan menggunakan dua buah garis yang memiliki jarak sama jika diukur dari garis pangkal.

Sebenarnya tidak ada perbedaan antara penggunaan istilah median line atau

equidistance line, tetapi beberapa pendapat mengatakan bahwa istilah median line

(23)

23

line digunakan untuk kasus negara-negara yang berdampingan. Meski ada perbedaan

istilah, kedua metode mengacu kepada geometri matematis yang sama yaitu untuk garis tengah yang diperoleh dengan metode sama jarak (Arsana 2007).

Gambar I.6. Garis ekuidistan untuk negara yang berhadapan

Sebuah garis dikatakan ekuidistan antara sembarang dua titik adalah bisektor tegak lurus terhadap garis yang menghubungkan dua titik pangkal terdekat. Karena hampir semua garis pantai bersifat tidak teratur (irregular) maka sebuah garis lurus tidak akan memenuhi syarat ekuidistan pada jarak yang sangat panjang. Untuk menjaga sifat ekuidistan dan tegak lurus maka garis ekuidistan yang awalnya bisektor tegak lurus harus mengubah arahnya di titik tertentu apabila memiliki titik belok untuk menyesuaikan dengan geografis garis pantai negara yang diwakili oleh titik pangkal terdekat di garis pantai negara-negara yang bersangkutan (Legault dan Honkey 1993).

(24)

24 Gambar I.7. Garis ekuidistan untuk negara yang berdampingan

Garis ekuidistan yang menggambarkan garis batas maritim dua negara yang berdampingan mirip dengan garis ekuidistan untuk negara yang berhadapan. Garis ekuidistan ini terdiri atas segmen-segmen garis lurus yang menghubungkan titik-titik dengan jarak yang sama dari masing-masing titik pangkal disepanjang garis pangkal sebagai referensi pengukuran zona maritim berupa laut teritorial dari kedua negara yang bersangkutan.

Metode garis ekuidistan (equidistance line) terdiri atas tiga metode yaitu garis ekuidistan murni (strict equidistance line), garis ekuidistan yang disederhanakan (simplified equidistance line) dan garis ekuidistan termodifikasi (modified equidistance

line).

1. Garis ekuidistan murni (strict equidistance line)

Garis yang dihasilkan dengan menarik garis dari titik pangkal terdekat antar kedua negara, kemudian membaginya sama panjang dan dilakukan sepanjang bentuk geometri negara (Yuniar 2014). Metode garis ekuidistan ini menghasilkan titik-titik belok (turning points) agar sifat garis tetap ekuidistan sepanjang garis sehingga garis yang dihasilkan sangat kompleks karena terdiri dari banyak segmen garis lurus (Arsana 2007).

2. Garis ekuidistan yang disederhanakan (simple equidistance line)

Garis yang disederhanakan menggunakan prinsip yang sama dengan garis ekuidistan murni. Garis yang dihasilkan adalah modifikasi dengan mengurangi

(25)

25 titik belok yang berakibat pada bertambahnya panjang segmen pembentuk garis batas maritim. Dengan menggunakan metode ini maka akan bisa terjadi pertukaran atau kompensasi wilayah maritim antara kedua negara yang (Arsana 2007).

3. Garis ekuidistan termodifikasi (modified equidistance line)

Garis yang dihasilkan menggunakan prinsip yang sama dengan garis ekuidistan murni. Modifikasi atau penggeseran garis ekuidistan murni akan menguntungkan salah satu pihak yang terlibat dalam penentuan batas maritim. Unsur-unsur geografis (geographic features) seperti pulau-pulau, karang atau elevasi surut (low-tide elevation) akan menjadi pertimbangan dalam modifikasi yang perannya diabaikan atau karena bobot yang dikurangi. Pengubahan terhadap pemilihan titik pangkal, pemberian efek parsial terhadap unsur tertentu, pertimbangan non-seismik (seperti kepentingan ekonomi, navigasi dan penggunaan titik pangkal negara lain (Legault dan Hankey 1993 dalam Arsana 2007).

1.8.4.2. Efek parsial. Efek parsial adalah efek yang diberikan pada garis batas maritim yang telah dibuat konstruksinya dengan garis ekuidistan murni. Efek parsial ini dapat berupa bobot nol (null-effect), bobot setengah penuh (half-effect) dan bobot penuh

(full-effect) dari sebuah fitur maritim yang dapat mengubah garis ekuidistan murni sesuai

dengan kesepakatan kedua negara yang bersangkutan. Ilustrasi disajikan pada Gambar I.8.

(26)

26 1.8.4.3. Enklaf (enclaving). Metode enklaf (enclaving) adalah suatu cara untuk memberikan sabuk kawasan laut (zona maritim) kepada pulau yang terenklaf shingga berwujud garis batas berupa busur lingkaran yang diukur dari titik pangkal terluar (United Nations 2000). Enclaving dapat juga disebut sebagai salah satu bentuk ekuidistan termodifikasi karena metode ini memberikan efek/bobot yang tidak penuh kepada pulau terenklaf yang merupakan bagian kedaulatan salah satu negara yang bersangkutan.

Terdapat dua jenis metode enklaf yang dipublikasikan oleh PBB yaitu enklaf penuh (full-enclave) dan enklaf sebagian (semi-enclave).

1. Full-enclave

Diterapkan ketika kawasan maritim yang diberikan kepada sebuah pulau terenklaf terpisah secara keseluruhan dengan kawasan maritim yang dimiliki oleh kawasan daratan utama negara pantai yang memiliki pulau tersebut. 2. Semi-enclave

Diterapkan ketika kawasan maritim yang diberikan kepada sebuah pulau terenklaf yang sebagian terhubung atau berada di kawasan maritim yang masih merupakan yurisdiksi atau kedaulatan negara pemilik pulau tersebut. Metode ini sering digunakan ketika sebuah atau sekelompok pulau berlokasi dekat atau tepat di tengah-tengah kawasan maritim yang memerlukan delimitasi (Arsana 2007).

(27)

27 1.8.4.4. Garis perwakilan (lines of bearing). Metode ini tidak menggunakan bentuk pantai sebagai garis batas, melainkan disederhanakan dengan beberapa pertimbangan. Metode ini terdiri dari metode-metode paralel dan meridian serta metode tegak lurus (perpendicular).

a. Paralel dan Meridian

Metode yang menggunakan garis paralel lintang dan/ atau meridian bujur. Diterapkan untuk kasus negara-negara yang berdampingan untuk menghindari efek pemotongan atau “cut-off”.

b. Tegak Lurus (Perpendicular)

Metode yang menggunakan garis yang tegak lurus dengan arah umum garis pantai (general direction of the coast). Digunakan untuk kasus negara yang memiliki bentuk bibir pantai sangat kompleks dan posisi kedudukan kedua negara yang berdampingan.

1.8.4.5. Pendekatan dua tahap (two-stage approach). Metode ini dilakukan dengan cara menarik garis ekuidistan atau garis tengah murni (strict or robust equidistance or median

line) sebagai garis batas sementara antara negara-negara bersangkutan. Kemudian

dianalisis pertimbangan faktor-faktor relevan untuk mendapatkan solusi garis batas yang adil.

1.8.4.6. Pendekatan tiga tahap (three-stage approach). Pendekatan Tiga Tahap adalah metode baru yang digunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of

Justice/ICJ) dan International Tribunal for the Law Of the Sea (ITLOS) dalam

menentukan zona maritim untuk kasus antara Laut Hitam antara Ukraina dan Rumania pada tahun 2009. Delimitasi batas maritim menggunakan Pendekatan Tiga Tahap agar menghasilkan garis final yang adil. Tahapan pendekatan ini terdiri dari:

a. Membuat garis batas sementara,

b. Memodifikasi garis batas sementara dengan menentukan faktor-faktor yang relevan,

(28)

28 c. Uji disproporsionalitas.

Secara umum proses delimitasi batas maritim diawali dengan penentuan pantai relevan dan area relevan. Pantai relevan digunakan untuk menentukan titik-titik pangkal yang tepat untuk kemudian digunakan dalam garis pangkal yang akan digunakan dalam pembentukan garis ekuidistan. Area relevan dapat ditentukan setelah diketahui pantai relevan, untuk mengetahui wilayah yang menjadi area delimitasi batas maritim. Penentuan pantai relevan dan area relevan akan digunakan dalam uji disproporsionalitas pada tahap akhir delimitasi batas maritim.

Metode delimitasi pendekatan tiga tahap meliputi tiga tahapan, yaitu: 1. Konstruksi garis batas sementara

Penentuan garis batas sementara dilakukan dengan metode bisektor sehingga didapat garis ekuidistan sementara dengan mempertimbangkan titik pangkal masing-masing negara. Metode bisektor adalah konstruksi garis ekuidistan dengan memperhatikan jarak dan sudut yang sama.

2. Modifikasi garis batas sementara

Modifikasi garis batas sementara dilakukan karena terdapat faktor-faktor relevan yang mempengaruhi suatu garis batas. Pada keputusan Mahkamah Internasional yang sudah ditetapkan untuk beberapa kasus sengketa batas maritim, faktor relevan yang berpengaruh dapat berupa keberadaan fitur maritim seperti pulau, panjang pantai dari masing-masing negara, maupun kemudahan transportasi di wilayah tersebut.

3. Uji disproporsionalitas

Uji disproporsionalitas adalah tahap ketiga dalam metode Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach). Uji disproporsionalitas dapat juga disebut Uji Keadilan atau Tes Keadilan. Pada tahapan ini panjang pantai relevan masing-masing negara dan luas wilayah maritim yang sudah didapatkan dari delimitasi dibandingkan. Uji disproporsionalitas digunakan untuk memastikan bahwa garis batas maritim yang dihasilkan pada tahap-tahap sebelumnya adil dan tidak melanggar asas proporsionalitas, terutama pada perbandingan pantai relevan

(29)

29 dan area relevan hasil delimitasi. Uji disproporsionalitas dapat memberi perubahan pada garis batas maritim yang dihasilkan, namun bisa juga tidak memberi pengaruh apapun jika pada kasus tersebut perbandingan pantai relevan dan area hasil delimitasi tidak signifikan.

Uji disproporsionalitas adalah uji keadilan atas penentuan zona maritim. Adil dalam uji ini menyatakan bahwa zona maritim dilakukan dengan menggunakan aturan hukum internasional yaitu UNCLOS 1982. Dalam metode Kasus Rumania dan Ukraina dalam penentuan zona maritim di Laut Hitam menjadi awal dari diperkenalkan metode pendekatan tiga tahap. Penggunaan garis pangkal juga ditentukan sesuai dengan kondisi atau bentuk negara. Tidak ada parameter khusus yang mengatur mengenai cakupan adil untuk zona maritim yang dapat diklaim dan digunakan oleh negara dalam penentuan delimitasi batas maritim. Panjang pantai relevan dan area relevan merupakan bagian penting dalam metode pendekatan tiga tahap.

1.8.5. Dasar Hukum Penentuan Batas Maritim yang Berlaku di Indonesia dan Timor Leste

Dasar hukum yang mendasari dalam penentuan delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste di Laut Timor adalah sebagai berikut:

a. Traktat Timor 1904 berjudul The International Boundaries of East Timor. b. Permanent mission of the Republic Democratic of Timor Leste to the United

Nations NV/MIS/85/2012 mengacu pada dokumen M.Z.N 67.2009 (Maritime Zone Notification) tentang Batas Maritim Wilayah dari Republik Demokratik

Timor Leste.

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

d. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). e. Technical Aspects on the Law of the Sea (TALOS).

(30)

30 1.8.6. Perangkat Lunak CARIS LOTS

Dalam pengolahan data berupa peta untuk melakukan demilitasi batas maritim digunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG). CARIS (Computer Aided

Resource Information System Low of The Sea) LOTSTM (Law Of The Sea) merupakan produk dari perusahaan CARIS, Kanada, sebuah perusahaan di bidang geomatika untuk melakukan delimitasi batas maritim. Juga sebagai aplikasi infromasi kebumian yang didasarkan pada CARIS GIS. Perangkat lunak ini dirancang sebagai media untuk melakukan proses delineasi dan delimitasi dalam penentuan batas maritim yang ditentukan oleh UNCLOS. Menurut UKHO, CARIS LOTSTM membuat proses penentuan delimitasi batas maritim menjadi lebih mudah dan memberikan tingkat ketelitian yang sesuai dalam proses perhitungan geodesi rumit dalam penentuan batas laut. Penentuan batas maritim menjadi lebih efisien dan mengurangi pengeluaran uang dan waktu (Gent, 2001). Beberapa fitur yang dimiliki oleh perangkat lunak CARIS LOTSTM antara lain pendefinisian titik pangkal, garis pangkal, klaim berbobot, georeferensi peta dan beberapa pekerjaan teknis batas maritim lainnya (CARIS 2015). CARIS LOTSTM juga dapat digunakan untuk melakukan beberapa fungsi antara lain klaim landas kontinen ekstensi, aplikasi batas maritim negara pantai, global digital data, aplikasi hukum laut, dan aplikasi khusus lainnya.

1.8.7. Peta Laut Dinas Hidro-Oseanografi

Peta Laut Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) adalah peta navigasi dan keselamatan pelayaran yang dikeluarkan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Dinas Hidro-Oseanografi Tahun 2008. Peta ini memiliki skala 1:100.000 dan 1:200.000, menggunakan datum World Geodetic System 1984 (WGS84) dan proyeksi Mercator. Peta ini juga memuat informasi spasial yang dapat dipercaya dan diperbaharui secara rutin. Peta Laut Dishidros diakui secara internasional sehingga sering digunakan dalam penentuan batas maritim internasional.

Gambar

Gambar I.2. Ilustrasi pulau dan elevasi pasang terendah   (IHO 2006 dalam Sabila 2015)
Gambar I.4. Garis pangkal kepulauan (IHO 2014)
Gambar I.6. Garis ekuidistan untuk negara yang berhadapan
Gambar I.8. Efek parsial
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pemaparan cuaca ( weathering ) terhadap karakteristik komposit HDPE–sampah organik berupa kekuatan bending dan

Jurnal Perpajakan Volume 09 Nomer 01, Tahun 2016 dari Leli Ardiani ,dkk mahasiswa Brawijaya dengan judul “ Implementasi Layanan Inovasi SAMSAT Keliling Dalam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

Suku bunga efektif adalah suku bunga yang secara tepat mendiskontokan estimasi penerimaan atau pembayaran kas di masa datang (mencakup seluruh komisi dan bentuk

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

192 / 393 Laporan digenerate secara otomatis melalui aplikasi SSCN Pengolahan Data, © 2018 Badan

[r]