• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTRIBUSI USAHA PETERNAKAN KAMBING DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONTRIBUSI USAHA PETERNAKAN KAMBING DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KONTRIBUSI USAHA PETERNAKAN KAMBING

DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

SETEL KARO KARO

Loka Penelitian Kambing Potong, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan ABSTRACT

Contribution of the goat agribusiness to agricultural activities. Income contribution on the goat agribusiness with the initial populations are 20 females and 1 male, 2 years of activities and the investments were not considered as a part of the cost activities, were Rp.882,059. The average value of Indonesian goat export and import during 1981-2003 were 641.000 US$ and 523.000 US$ respectively. Meanwhile, the growth of export and import during the same period were –28.17% and –24.79%. Indonesia gained the highest import during 1996 with the value of 43,000 US$ and the highest export during 1998 with the value of 61,000 US$. It indicated that Indonesian goat production systems are not efficient.. The production is not keeping face with the local demand or export recent years. Under the concept of goat agribusiness, the development and standard of product qualities, market opportunities for local market or export and involved institutions should be paid into consideration

Key words: Income contribution, export, import and involved institution

ABSTRAK

Nilai kontribusi usaha agribisnis ternak kambing dalam usaha pertanian dengan skala 20 ekor induk dan 1 pejantan setelah dua tahun pemeliharaan ternak serta nilai investasi tidak diperhitungkan dalam biaya produksi adalah Rp.882.059. Nilai rata-rata expor dan impor ternal kambing Indonesia selama periode 1981-2003 berturut-turut adalah 641.000 dan 523.000 US$ dengan pertumbuhan export dan import berturut-turut -28,17%, –24,79%. Nilai impor tertinggi kambing terdapat pada tahun 1996 yaitu 43.000 US$ dan nilai ekspor terbesar Indonesia diperoleh pada tahun 1998 sebanyak 61.000 US$. Hal ini menunjukkan bahwa hingga saat ini negara Indonesia masih relatif belum mampu untuk memproduksi daging kambing dengan tujuan ekspor ke luar negeri. Produksi kambing tidak sejalan dengan jumlah permintaan baik lokal maupun tujuan ekspor. Dengan konsepsi pengembangan agribisnis yang berwawasan agroekosistem maka beberapa simpul penting dalam pengembangan peternakan perlu diperhatikan seperti pengembangan dan standarisasi mutu hasil produk sesuai dengan tuntutan konsumen, peluang-peluang pemasaran produk baik pasar domestik maupun ekspor melalui sistem informasi pasar yang akurat, hubungan kelembagaan antara petani, pengusaha dan pemerintah, dan peraturan perjanjian penanaman modal pada sub sector peternakan.

Kata kunci: Nilai kontribusi, ekspor, impor dan kelembagaan

PENDAHULUAN

Strategi dan kebijaksanaan pembangunan agribisnis terpadu yang berkelanjutan merupakan wujud penelitian peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian. Prospek usaha peternakan yang mengarah kepada komoditas unggulan dan spesifik lokasi akan berperan penting sebagai pasok pengetahuan dan teknologi peternakan serta memberikan umpan kedepan bagi pembangunan sector pertanian pada umumnya untuk mewujudkan pertanian yang tangguh, maju dan efisien yang dicirikan oleh kemampuan dalam peningkatan kesejahteraan petani dan mampu mendorong pertumbuhan sektor terkait dan ekonomi nasional secara keseluruhan (RANGKUTI et al., 1995).

BATUBARA et al.(1996) menyebutkan bahwa agar mampu mencapai laju pertumbuhan produksi sesuai yang diharapkan, maka telah dilakukan identifikasi kendala produksi dan penyediaan paket teknologi. Namun demikian Kurang berkembangnya sistim agribisnis kambing potong di Indonesia pada skala ekonomi terutama disebabkan oleh beberapa kendala biologis. Beberapa permasalahan nyata dalam usaha peternakan kambing yang masih akan dihadapi pada masa mendatang (SASTRAPRADJA, 1995) antara lain: 1) masalah peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing; 2) masalah suplai secara berkelanjutan; 3) masalah expor dan impor; dan 4) masalah penyakit. Jika perkiraan jumlah anak sekelahiran (litter size) sebesar 1,2 ekor sebagaimana yang sering dilaporkan para pembiak tentunya sistim usaha ternak tradisionil yang relatif berskala rendah (dibawah 5 ekor

(2)

induk), akan sulit untuk mentransformasi usaha dari tradisionil menjadi agribis yang mampu menopang ekonomi rumah tangga petani. Untuk dapat memperoleh nilai jual ternak yang layak sebagai sumber daging dan bernilai ekonomis (umur diatas 8 bulan) membutuhkan waktu pemeliharaan yang relatif lama, terlebih kualitas kambing bibit yang umum digunakan petani adalah bibit lokal dengan tampilan tubuh relatif kecil, sehingga pola usaha tradisionil sering dikategorikan sebagai usaha ternak yang tidak efisien secara ekonomi.

Mengacu kepada kebijakan pemerintah, agar usaha ternak ruminansia mampu mencapai target swasembada daging di tahun 2005, nampaknya peluang tersebut sulit dicapai jika tidak adanya intervensi langsung dari pemerintah terhadap pengusaha dan petani peternak kambing tradisional serta pemberian subsidi faktor produksi. Sehingga, pengembangan ternak kambing di Indonesia dapat mengalami transformasi usaha dari tradisionil menjadi agibisnis.

Makalah ini bertujuan menganalisis kontribusi usaha peternakan kambing dalam usaha pertanian dan mengkaji peluang pengembangan agribisnis kambing ditinjau dari aspek kelembagaan dan perdagangan dalam prospektif mendukung ketahanan pangan dan agribisnis berkelanjutan.

Untuk menggambarkan kontribusi agribisnis kambing dalam pembangunan pertanian, profil agribisnis kambing dikaji dengan metode analisis produksi paket usaha awal 20 ekor induk (dara siap kawin) dan 1 (satu) pejantan, lama pemeliharaan 1,5 tahun tanpa ada penjualan ternak. Selanjutnya, peluang pengembangan agribisnis kambing dibahas ditinjau dari aspek kelembagaan dan perdagangan dalam prospektif mendukung ketahanan pangan dan agribisnis berkelanjutan

KONTRIBUSI USAHATERNAK KAMBING Untuk menggambarkan kontribusi usaha peternakan kambing dalam usaha pertanian, perlu analisis beberapa komponen yang berkaitan dalam usaha skala komersial dan berwawasan agribisnis seperti dinamika populasi, komposisi umur anak yang dihasilkan, nilai produksi, dan.biaya produksi.

Dalam pengembangan usaha agribisnis ternak kambing, skala usaha paling tidak diprogramkan dengan paket 20 ekor induk (dara siap kawin) dan satu pejantan. Komposisi paket ini sejalan dengan pengembangan usaha agribisnis domba/kambing yang dirancang oleh Departemen Transmigrasi pada tahun 1995 bekerjasama dengan Sub Balitnak Sei Putih, Sumatera Utara. Dengan pola paket 20 induk dan 1 pejantan yang dikembangkan dalam

penerima paket dalam satu kawasan sebanyak 25 kepala keluarga; diharapkan dalam kurun waktu dua tahun proses agribisnis akan berjalan dengan sendirinya. Program transmigrasi dengan paket ternak kambing/domba yang telah dilaksanakan di daerah Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, terbukti bahwa agribisnis usaha ternak domba telah berjalan dengan baik.

Untuk menganalisis kontribusi usaha agribisnis kambing dengan paket 20 induk dan 1 jantan digunakan data teknis produktivitas ternak (Tabel 1) dengan asumsi lama pemeliharaan selama 2 tahun dan tidak ada penjualan, dengan tingkat produksi anak yang diperoleh sebanyak 72 ekor periode beranak pertama dan 12 ekor anak periode beranak ke dua.

Tabel 1. Data produktivitas ternak kambing

Peubah Nilai Lama Pemeliharaan 24 bulan

Lama bunting 5 bulan

Umur sapih 3 bulan

Jarak beranak 8 bulan

Umur bunting pertama 9 bulan

Litter size 1,2

Pendapatan petani dihitung berdasarkan jumlah kambing yang dapat dijual oleh petani. Harga yang dipakai sesuai dengan rata-rata harga jual kambing potong di daerah Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara yang berlaku (2004). Dengan model paket 20 ekor induk maka tingkat pendapatan atau nilai produksi yang diperoleh peternak agribisnis setelah 2 tahun pemeliharaan (Table 2).

Dengan menggunakan data reproduksi pada Tabel 2, tampak bahwa produksi anak pada periode kelahiran ketiga dan generasi kedua sebanyak 36 ekor masih berumur dua bulan. Dalam perhitungan jumlah pendapatan, jika difungsikan untuk tujuan sumber bibit, maka anak tersebut dapat dijual dengan sistim sapih dini per dua bulan. Dengan memperhitungkan biaya produksi dengan asumsi tenaga kerja keluarga tidak dianggap sebagai biaya produksi, maka nilai kontribusi usaha agribisnis ternak domba dalam usaha pertanian sebesar Rp.882.059,00. Nilai ini setara dengan rata-rata perbulan penjualan ternak kambing 2-4 ekor dewasa. Hasil ini hampir sama dengan laporan KAROKARO et al.(1996) sebesar Rp. 649,375,00

(3)

Tabel 2. Jumlah pendapatan selama 2 tahun pemeliharaan

Jenis Produksi Jumlah Induk (ekor)

Jumlah anak (ekor)

Umur keturunan anak (bulan) Harga Jual Rp/ekor Total (Rp) Anak 20 24 24 24 12 16 9 2 2 500.000 300.000 150.000 150.000 12.000.000 7.200.000 3.600.000 1.800.000 Pupuk Kandang 1.500.000 Jumlah keuntungan (Rp./2 thn) 26.100.000

Biaya produksi: penyusutan kandang, listrik dan air, obat-obatan, mineral dan pakan konsentrat. 4.930.580

Total pendapatan/bulan 882.059 0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Produksi daging (MT) 0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000

Total produksi daging (MT)

Domba Kambing Total

Gambar 1. Produksi daging kambing, domba dan total domestik supplai daging Indonesia, 1981-2003

0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 1981198219831984198519861987198819891'9901991199219931994199519961997199819992000200120022003 Tahun Produksi daging (MT) 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

Kontribusi daging kambing (%)

KAMBING TOTAL % SE KONTRIBUSI

(4)

PELUANG PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS TERNAK KAMBING Produksi Daging dan Nilai Ekspor/Impor

Produksi daging kambing dan domba secara nasional dalam kurun waktu 1981-2003 (56.233 dan 32.910 MT) terhadap total produksi daging (1478377 MT), produksi daging kambing Indonesia hanya mensubstitusi 3,80%. Hal ini mencerminkan bahwa masih banyak peluang untuk pengembangan agribisnis usaha peternakan kambing di Indonesia. Pertumbuhan rata-rata per tahun produksi daging kambing adalah 3,64% masih lebih rendah dibanding produksi daging domba (4,26%) rata-rata domestik supplai daging Indonesia (4,54%) Peluang Ekspor

KAROKARO et al. (1996) melaporkan bahwa

ekspor kambing/domba ke Timur Tengah (Saudi Arabia) telah dirintis sejak 1988 oleh PT. Gayung Mas dengan jumlah daging sekitar 2.068 kg (250 ekor). Jumlah ini masih jauh (0,85%) dari kebutuhan daging di Arab Saudi saat itu yakni sebanyak 30.000 ekor per bulan. Dilihat dari kebutuhan ternak kambing/domba pada tahun 1999 dan 2000 (Tabel 3), tampak bahwa Timur Tengah merupakan peluang pasar utama dengan kebutuhan 6-9 juta ekor/th. Lebih lanjut Kartamulia et al. (1993) melaporkan bahwa satu juta ekor pejantan ternak (standar kurban) dibutuhkan per tahun untuk keperluan ibadah haji.

Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia adalah importir terbesar didunia ternak ruminansia kecil dengan volume impor lebih dari 30% total global impor kambing dan domba. Negara tersebut mengimpor sekitar 5; 6,5 dan 9,3 juta ekor kambing/domba per tahun di tahun 1990, 1999 dan 2000. (MALAYSIAN AND

MIDDLE EAST EXTERNAL STATISTICS, 2002).

Untuk memenuhi permintaan pasar di Timur tengah, sebagian besar (70%) disuplai Australia dan diikuti oleh Selandia Baru (23%), serta negara-negara Turki, Somalia dan Sudan (Tabel 3). Data nilai rata-rata ekspor dan impor ternak kambing Indonesia selama periode 1981-2003 tertera pada Gambar 3. Dari gambar tersebut nampak bahwa laju pertumbuhan ekspor dan impor cenderung negatif (–28,17% untuk pertumbuhan ekspor dan –24,79% untuk impor). Nilai impor tertinggi ternak kambing terdapat pada tahun 1996 (43.000 US$) dan nilai expor terbesar Indonesia diperoleh pada tahun 1998 (61.000 US$). Hal ini menunjukkan bahwa hingga saat ini Indonesia masih relatif belum mampu memproduksi daging kambing dengan

tujuan ekspor. KAROKARO et al. (1995)

menyatakan bahwa produksi kambing Indonesia hanya mampu memenuhi 45% kebutuhan lokal.

LEVINE et al. (1991) menyatakan bahwa

Indonesia kekurangan daging kambing. Pertumbuhan populasi tidak sejalan dengan pertumbuhan permintaan, dan secara makro penyebab utamanya antara lain pertumbuhan populasi kambing/domba/tahun masih dibawah 9%, sedangkan peningkatan permintaan berkisar antara 3-6%.

Tabel 3. Potensi pasar ternak ruminansia kecil di beberapa negara potensial

Jumlah (ekor) Negara tujuan Negara Asal

1999 2000 Australia 17.642 11.296 Jerman 150 75 Thailand 18.979 12.876 Malaysia Total 36.771 24.247 Australia 39.165 41.815 Malaysia 16.972 6.112 Thailand 1.235 4.808 Singapora Total 57.372 62.735 Australia 4.501.265 5.612.235 Selandia Baru 1.525.128 2.456.118 Turki,Somalia, Sudan 500.138 1.235.245 Timur Tengah Total 6.526.531 9.303.598

(5)

6,41 -28,17 5,23 -24,79 -30 -20 -10 0 10 Rata-rata Pertumbuhan Impor Expor Impor Expor Sumber: FAO, 2002

Gambar 3. Rata-rata nilai ekspor/impor kambing di Indonesia 1981-2002

0 10 20 30 40 50 60 70 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun 000 $ Impor Expor

Gambar 4.. Nilai ekspor dan impor kambing (000 US$) Indonesia, 1981-2002 SISTEM KELEMBAGAAN

Secara konsepsional sistem agribisnis peternakan dapat diartikan sebagai semua aktivitas, mulai dari pengadaan atau penyaluran sarana produksi, budidaya ternak, sampai kepada pengolahan hasil serta pemasaran produk usaha ternak. Suatu industri dapat berjalan dengan baik apabila ada dukungan dari berbagai kelembagaan yang difungsikan sesuai dengan peranannya. Dengan demikian, sistem agribisnis peternakan merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai sub sistem, yaitu subsistem sarana

produksi, produksi dan budidaya, pengolahan dan pasca panen produk, pemasaran, serta kelembagaan pendukung.

Subsistem sarana produksi difokuskan kepada kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi terutama bibit, pakan, obat-obatan (volume, harga, kualitas, kontinuitas). Subsistem budidaya mencakup kondisi fisik agroklimat produksi, struktur peternak produsen dan skala usaha, performan dan kendala berproduksi. Demikian juga subsistem

(6)

Gambar 5. Sistem kelembagaan dalam pengembangan agribisnis usaha ternak kambing pengolahan hasil yang berperan dalam prakarsa

bentuk dan jenis produk olahan, kendala dalam pengolahan hasil, kapasitas pengolahan, volume olahan dan harga produk. Subsistem pemasaran mencakup rantai pemasaran domestik dan ekspor (produk primer atau olahan), komposisi pelaku pemasaran dan kendala pemasaran hasil. Subsistem kelembagaan pendukung meliputi sarana tataniaga (infrasruktur), jasa perbankan atau kredit dan kelembagaan pendukung lainnya.

Dengan konsepsi pengembangan agribisnis yang berwawasan agroekosistem tersebut maka beberapa simpul penting dalam pengembangan peternakan perlu diperhatikan seperti pengembngan dan standarisasi mutu hasil produk sesuai dengan tuntutan konsumen, peluang-peluang pemasaran produk baik pasar domestik maupun ekspor melalui sistem informasi pasar yang akurat, hubungan kelembagaan antara petani, pengusaha dan pemerintah, dan peraturan perjanjian penanaman modal pada sub sector peternakan. Selain itu, teknologi dan informasi yang diperlukan untuk menunjang system agribisnis ini perlu diusahakan dan dipaket secara utuh

KESIMPULAN

Dengan skala 20 ekor induk dan 1 pejantan maka setelah dua tahun pemeliharaan peternak akan mampu menjual rata-rata 2- 4 ekor ekor per bulan. Dengan memperhitungkan biaya produksi dengan asumsi tenaga kerja keluarga tidak dianggap sebagai biaya produksi, nilai kontribusi usaha agribisnis ternak domba dalam usaha pertanian sebesar Rp.882.059,00. Sistim pemeliharaan ternak kambing dengan skala 20 ekor induk dapat memenuhi pendapatan keluarga.

Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia merupakan negara importir terbesar didunia ternak ruminansia kecil dengan volume impor lebih dari 30% total global impor kambing dan domba. Negara tersebut mengimpor sekitar 5 - 9,3 juta ekor kambing/domba per tahun. Data nilai rata-rata ekspor dan impor ternak kambing Indonesia selama periode 1981-2003 menunjukkan bahwa hanya 6,41 dan 5.23% berturut-turut dengan pertumbuhan ekspor dan impor yang masih negatif yaitu (–28,17%, – 24,79%). Nilai impor kambing tertinggi terdapat PETERNAK

SEKTOR PUBLIK SEKTOR PRIVAT

Pemerintah dan Universitas Perusahaan Agribisnis dan Asosiasi SUBSISTEM SARANA SUBSISTEM BUDIDAYA SUBSISTEM PENGOLAHAN SUBSISTEM PEMASARAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INPUT PRODUKSI TRANSFER TEKNOLOGI SUBSISTEM KELEMBAGAAN PENDUKUNG

(7)

pada tahun 1996 (43.000 US$) dan nilai ekspor terbesar Indonesia pada tahun 1998 (61.000 US$). Hal ini menunjukkan bahwa hingga saat ini Indonesia baru mampu memenuhi sebagian kebutuhan dalam negeri dan relatif belum mampu untuk memproduksi daging kambing dengan tujuan ekspor.

DAFTAR PUSTAKA

BATUBARA,L.P.,S.KAROKARO and S.ELIESER. 1996.

Integration of sheep in oil palm plantations in North Sumatra, Indonesia. Proceedings of the first international symposium on the integration of livestock to oil palm production. Malaysian society of animal production (MSAP), September 1996.

JUNJUNGAN. S., L.P. BATUBARA, S. P. GINTING, E.

SIHITE, K. SIMANIHURUK, A.TARIGAN dan D.

SIHOMBING. 2002. Analisis Potensi Ekonomi

Limbah dan Hasil Ikutan Perebunan Kelapa Sawit Sebagai Pakan Kambing Potong. Hasil penelitian (belum dipublikasi). Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih, Galang , Sumatera Utara.

KAROKARO,S.,H.W.SHWU-ENG and M.AGUS. 1995.

The export potential for North Sumatera’s small ruminants. Prosiding seminar sehari

strategi dan komunikasi hasil penelitian peternakan. Sub Balitnak Sei Putih dan SR-CRSP, Medan 31 Januari 1995.

KARTAMULIA,I.,S.KAROKARO and J.DE BOER. 1993. Economic analysis of sheep grazing in rubber plantations: a case study of OPMM. Proceedings to small ruminant workshop, 7-9 September 1993, San Juan, Puerto Rico. LEVINE,J and T.SOEDJANA. 1991. Methodology for

establishing selection criteria, marketing and production aspects for sheep and goats in Indonesia and the Asean region. Proceedings of a workshop on research methodologies. Medan, North Sumatera, September 9-14. RANGKUTI H.M. dan TJEPPY. S. 1995. Strategi

penelitian dan pengembangan peternakan melalui pendekatan agribisnis. Prosiding seminar sehari strategi dan komunikasi hasil penelitian peternakan. Sub Balitnak Sei Putih dan SR-CRSP, Medan 31 Januari 1995.

SASTRAPRADJA S.D. 1995. Konvensi mengenai keanekaragaman hayati, plasma nuftah hewani dan pengembangan ternak Indonesia. Prosedings seminar nasional sains dan teknologi peternakan. Pengolahan dan komunukasi hasil penelitian. Balai penelitian ternak, Ciawi-Bogor

Gambar

Tabel 1. Data produktivitas ternak kambing
Gambar 2. Produksi daging kambing dan kontribusinya terhadap total produksi daging Indonesia, 1981-2003
Tabel 3. Potensi pasar ternak ruminansia kecil di beberapa negara potensial
Gambar 3. Rata-rata nilai ekspor/impor kambing di Indonesia 1981-2002
+2

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan investasi PMA dan investasi PMDN secara simultan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pembangunan ekonomi provinsi Sulawesi Utara yang tercermin

Pencacahan di lapangan harus menggunakan daftar HKD-2.1, setelah dikoreksi barulah perdesaan dan juga untuk penyusunan Indeks Harga Yang Dibayar Petani Kelompok N

Menambah titik lain dan dihubungkan juga dengan 2 titik yang berdekatan sampai membentuk graf Piramida Prn 3.1.1 Pewarnaan Titik pada Graf Piramida Dalam pewarnaan titik pada

digunakan untuk menyebut suatu nilai hasil dari penghitungan variable. 5) Konsep merupakan rancangan, ide, atau pengertian tentang sesuatu. 6) Definisi merupakan rumusan

Gunung berapi Sinabung di dataran tinggi Karo pertengahan Agustus 2010 meletus, dan pada September 2013 meletus kembali, dan berlangsung hingga kini., menyebabkan ribuan

terjangkau, dan bila perlu masyarakat juga bisa memanfaatkan lahan yang ada walaupun minim dengan menanam cabe, agar kebutuhan akan cabe juga tidak terlalu bikin pusing, ungkapnya

2.1.12 Dalam hal Penyedia Barang/Jasa yang sudah ditunjuk menjadi pemenang dalam Pelelangan Umum ini dan tidak bersedia menandatangani Surat Perjanjian atau menolak penunjukan PT

Kedua, penerimaan perilaku disfungsional mempunyai perbedaan dalam pengambilan audit judgment, artinya jika auditor menerima perilaku disfungsional maka audit judgment