Oleh: Hafidz Abdurrahman
Kegiatan impor dan ekspor merupakan bentuk perdagangan (tijârah). Di dalamnya praktik
jual-beli ( buyû’) dengan
berbagai bentuk dan derivasinya dilakukan. Hukum jual-beli itu sendiri dengan tegas dinyatakan boleh oleh syariah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran, surat al-Baqarah: 275. Karena itu, hukum asal perdagangan, baik domestik maupun luar negeri adalah mubah, sebagaimana hukum umum perdagangan.
Hanya saja, ada perbedaan fakta, antara perdagangan domestik dengan perdagangan luar negeri. Karena Khilafah adalah negara yang menerapkan hukum Islam, baik ke dalam maupun ke luar, maka perdagangan luar negeri ini pun harus diatur dengan hukum Islam. Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan.
Dalam hal ini, mereka bisa diklasifikasikan menurut negara asalnya, menjadi tiga: (1) Kafir Harb
i ,
yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim; (2) Kafir
Mu’âhad
, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam; (3) Warga negara Islam.
Terkait dengan warga negara kafir harbi, mereka diperbolehkan melakukan perdagangan di negara Islam, dengan visa khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali warga negara Israel, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia dan negara-negara kafir
harbi fi’lan
lainnya, sama sekali tidak diperbolehkan melakukan perdagangan apapun di wilayah negara Islam.
Khilafah dengan negara mereka. Sementara warga negara Khilafah, baik Muslim maupun
non-Muslim (a hli dzimmah), mereka bebas melakukan
perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri, sehingga bisa melemahkan kekuatan negara Khilafah, dan menguatkan musuh (Lihat,
Masyrû’ ad-Dustûr , pasal 157).
Perlu dicatat, bahwa kekuatan ekonomi sebuah negara, termasuk negara Khilafah, ditentukan oleh keberlangsungan sumber perekonomiannya. Dalam hal ini, tampak pada empat hal, yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Perdagangan sebagai salah satu sumber
perekonomian negara, juga memainkan peranan strategis dalam proses distribusi barang (komoditas). Perdagangan juga menjadi sarana penting dalam memediasi petani, sebagai penghasil hasil pertanian, dengan konsumen. Demikian juga produsen, sebagai penghasil hasil industri, dengan konsumen. Maka, melalui perdagangan ini, aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi di tengah-tengah masyarakat bisa ditingkatkan.
Karena itu, dalam perdagangan, selain hukum jual-beli, Islam juga mengatur hukum lain yang terkait dengan kegiatan mediasi (wisâthah), yang pelakunya kemudian dikenal dengan makelar (broker) itu. Broker, atau dalam bahasa Arabnya, disebut
Simsâr
, berhak mendapatkan komisi ( ‘amûlah
) dari hasil mediasinya. Hanya saja, Islam menetapkan posisi mereka harus benar-benar menjadi mediator antara pejual dan pembeli (
wisâthah baina al-bâi’ wa al-musytari
). Inilah ketentuan Islam yang mengatur tentang samsarah
.
Dalam kasus impor daging sapi, sebagai komoditas yang diperdagangkan, maka yang harus dipastikan pertama-tama adalah negara asal, suplaier dan halal-haramnya komoditas tersebut. Mengimpor daging dari negara kafir harbi fi’lan, misalnya, jelas-jelas tidak boleh. Negara Khilafah juga menutup rapat-rapat pintunya dengan mereka dalam segala hal. Karena
hubungan di antara keduanya adalah hubungan perang. Jika demikian, tidak mungkin, rakyat
Negara Harbi fi’lan ini menjadi supliyer daging
Selain itu, harus dicatat, bahwa perdagangan luar negeri, meski ini merupakan aktivitas ekonomi, tetapi karena terkait dengan hubungan dengan pedagang di luar wilayah negara Khilafah, maka arus orang, barang dan modal yang keluar masuk tetap di bawah kontrol Departemen Luar Negeri (Dâirah Khârijiyyah). Bagi warga negara kafir harbi hukman, arus orang, barang dan modal yang masuk ke wilayah negara Khilafah bisa terjadi setelah ada visa khusus yang terkait dengan ketiga-tiganya. Namun, ini tidak berlaku bagi kafir
harbi fi’lan
. Sementara bagi warga negara kafir mu’âhad
, dibutuhkan visa atau tidak, kembali kepada klausul perjanjian antara negara Khilafah dengan negara mereka. Jika arus orang, barang dan modal itu tidak termaktub dalam klausul perjanjian tersebut, maka mereka membutuhkan visa khusus tadi. Semuanya ini di bawah kontrol
Departemen Luar Negeri. Ini terkait dengan negara asal dan suplaiernya.
Adapun terkait dengan status halal dan haramnya, karena ini merupakan barang sembelihan (d zabîhah
). Kriteria penyembelihan penting diperhatikan, karena ini menentukan status hukum
kehalalannya. Jika tidak bisa dipastikan, maka daging tersebut tidak boleh diperjualbelikan, termasuk diimpor ke wilayah Negara Khilafah. Karena alasan
syubhat
ini, Khilafah bisa melarang impor daging ini. Jika barang syubhat
ini sudah masuk di wilayah Negara Khilafah, maka qadhi Hisbah
, harus meghentikan distribusi dan konsumsi daging seperti ini. Qadhi Hisbah
juga bisa mengusut dari mana sumber distribusinya.
Tindakan ini harus dilakukan, karena Islam menetapkan standar halal-haram terhadap barang dan jasa yang diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi di tengah-tengah masyarakat. Jika terbukti haram, atau setidaknya syubhat, maka tidak boleh diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi.
Adapun terkait dengan praktik makelar (samsarah), d imana makelar ini bekerja
menghubungkan perusahaan importir dengan pembuat kebijakan, yang dengannya makelar
tersebut mendapatkan fee (komisi),
Pertama, karena dari aspek hukum samsarah itu sendiri, ini jelas-jelas menyalahi fakta samsar
ah .
Karena broker (makelar) ini tidak menghubungkan antara pembeli dan penjual secara langsung, tetapi menghubungkan antara perusahaan importir dengan pembuat kebijakan (pemerintah).
Kedua, komisi (‘amûlah) yang diberikan oleh perusahaan importir kepada makelar, karena hubungan dekat atau politik, sebenarnya tidak bisa disebut komisi ( ‘am ûlah
), karena ini bukan aktivitas samsarah
. Tetapi, apa yang disebut komisi ini lebih tepat disebut risywah
(suap), yang dengannya, maka pembuat kebijakan membuat keputusan, bahwa perusahaan importir tersebut mendapatkan tender impor.
Praktik seperti ini bisa terjadi, dan dilakukan oleh politikus dari partai politik, karena memang aktivitas politik yang dilakukannya membutuhkan biaya besar. Maka, cara-cara seperti inilah yang banyak dilakukan. Bahkan, telah menjadi rahasia umum. Praktik seperti ini jelas
merupakan pelanggaran hukum syara’. Tidak hanya itu, karena pelanggaran ini melibatkan nasib rakyat, di mana partai dan para penguasa itu seharusnya mengurusi urusan rakyat, malah menari di atas penderitaan rakyat, maka tindakan ini juga bisa disebut mengkhianati rakyat. Praktik seperti tidak akan terjadi di dalam negara Khilafah. Jika pun terjadi, maka negara Khilafah akan memberlakukan sanksi tegas untuk menghentikan praktik ini.
Pejebat yang terlibat, begitu terindikasi melakukan pelanggaran dan pengkhianatan seperti ini akan langsung diberhentikan oleh Khalifah. Majelis umat atau partai politik juga bisa
menyampaikan syakwa (pengaduan) kepada Khalifah, jika pelanggaran dan pengkhianatan ini belum diketahui oleh Khalifah. Jika Khalifah telah mengetahuinya, tetapi mendiamkannya, maka dia bisa dianggap sama dengan pelakunya. Dalam hal ini, tugas Mahkamah Madzalim yang akan menghentikannya.
Mengenai pakta integritas yang ditandatangani pejabat, ini tidak akan ada nilainya, jika sistemnya tetap bobrok. Karena itu, pakta integritas yang dibuat dalam sistem seperti ini, tak lebih hanya sebagai upaya pencitraan semata. Terutama, setelah citra politisi dan partainya anjlok. Ini berbeda, jika sistemnya baik, maka pakta integritas tersebut akan bisa diwujudkan.