• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT T. DANIEL IRWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT T. DANIEL IRWAN"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

T. DANIEL IRWAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT

T. DANIEL IRWAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Dibimbing CECEP KUSMANA dan AGUS HIKMAT.

PENDAHULUAN. Hutan sebagai suatu ekosistem keberadaannya sangat penting

bagi sistem penyangga kehidupan makhluk hidup. Hal ini disebabkan karena hutan berfungsi dalam menghasilkan berbagai manfaat, baik berupa jasa maupun barang yang amat berguna bagi kelangsungan hidup. Di Jawa Barat, seperti juga di belahan wilayah Indonesia lainnya hutan yang kondisinya masih relatif baik umumnya hanya ditemukan di kawasan-kawasan konservasi. Salah satu kawasan hutan konservasi yang relatif besar luasannya adalah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). TNGC ini merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki fungsi ekologis penting sebagai sistem penyangga kehidupan bagi ekosistem di sekitarnya. Akan tetapi informasi mengenai keanekaragaman hayati yang ada di TNGC masih kurang, karena itu perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai seberapa besar keanekaragaman hayati dan sejauh mana komposisi dan struktur tegakan hutan yang ada di TNGC tersebut.

METODOLOGI. Penelitian ini dilakukan antara bulan Agustus sampai dengan

September 2008, di zona ketinggian < 1.000 m dpl (zona dataran rendah), 1.000-2.400 m dpl (zona montana), dan >1.000-2.400 m dpl (zona sub alpin) Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan teknik analisis vegetasi yang merupakan kombinasi antara metode jalur untuk risalah vegetasi tingkat pohon dengan metode garis berpetak untuk risalah pemudaan hutan. Untuk memudahkan perisalahan, setiap jalur dibagi kedalam petak-petak 20 m x 20 m untuk risalah tingkat pohon, 10 m x 10 m untuk risalah tingkat tiang, 5 m x 5 m untuk risalah tingkat pancang dan 2 m x 2 m untuk risalah tingkat semai. Unit-unit contoh vegetasi diletakkan pada arah lereng sebelah barat dan selatan pada zona ketinggian <1.000 m dpl, 1.000-2.400 m dpl, dan >2.400 m dpl. Pada masing-masing arah tersebut dibuat dua unit contoh dengan panjang jalur 200 m dan lebarnya 20 m. Unit-unit contoh diletakkan menggunakan desain sampling berupa systematic sampling with random start.

HASIL DAN KESIMPULAN. Berdasarkan hasil pengamatan, zona sub alpin

mempunyai jumlah jenis yang paling sedikit (11 jenis) pada semua tingkat pertumbuhan bila dibandingkan dengan zona montana (62 jenis) dan zona hutan dataran rendah (58 jenis). Adapun, zona montana jumlah jenisnya relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan zona hutan dataran rendah. Pada zona dataran rendah jenis yang dominan adalah huru meuhmal (Litsea tomentosa) pada tingkat semai (INP 33,7%), kileho (Saurauia pendula BI) pada tingkat pancang (INP 29,3%), dan pinus (Pinus merkusii) pada tingkat tiang dan pohon (INP 144,7% dan 112,8%). Zona montana, jenis yang dominan adalah huru meuhmal (L.

tomentosa) pada tingkat semai (INP 22,6%), Litsea sp. pada tingkat pancang (INP

19,4%), walen (Ficus ribes) pada tingkat tiang (INP 32,6%), dan saninten (Castanopsis argantea) pada tingkat pohon (INP 45,4%). Zona sub alpin jenis yang dominan adalah pelending (Leucanea glauca) pada tingkat semai dan pancang (INP 64% dan 76,4%), cantigi (Vaccinium varingi folium) pada tingkat tiang (INP 124,3%), dan jamuju (Dacrycarpus imbricatus) pada tingkat pohon

(4)

jenis. Fenomena yang menarik adalah bahwa kawasan hutan zona dataran rendah mempunyai jumlah dan indeks keanekaragaman jenis yang relatif lebih rendah dibandingkan kawasan hutan di zona montana. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kawasan hutan pada zona dataran rendah tersebut banyak dikonversi menjadi lahan perladangan masyarakat. Komunitas vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian relatif tidak sama komposisi jenisnya karena nilai Indeks Kesamaan Komunitasnya bernilai di bawah 75%. Rata-rata pertumbuhan tegakan di zona dataran rendah memiliki tinggi total 19 m dan diameter 34,97 cm, pada zona montana tinggi total 18 m dan diameter 42,23 cm, dan pada zona sub alpin memiliki tinggi total 15 m dan diameter 46,5 cm. Hasil stratifikasi tajuk terlihat bahwa pola pelapisan tajuk di Taman Nasional Gunung Ciremai di semua zona ketinggian dapat dikelompokkan ke dalam tiga strata, yaitu stratum A (tinggi pohon di atas 30 meter), stratum B (tinggi pohon antara 20 – 30 meter), dan stratum C (tinggi pohon antara 4 – 20 meter). Seperti umum terjadi di alam, jenis-jenis pohon dominan dan kodominan di kawasan hutan TNGC tumbuh menyebar secara berkelompok. Secara horizontal, kelimpahan individu pohon berkurang dengan semakin besarnya ukuran diameter batang. Kecenderungan penurunan kelimpahan individu pohon tersebut membentuk suatu kurva berbentuk huruf J terbalik (kurva eksponensial negatif).

Kata Kunci: Dataran rendah, Komposisi Jenis , Montana, Struktur Tegakan,Sub alpin

(5)

Stand Structure in Gunung Ciremai National Park, West Java. Under academic supervision of CECEP KUSMANA and AGUS HIKMAT.

INTRODUCTION. The existence of forest as an ecosystem is important for life

supporting system. This is because the forest produces various benefits, either in the form of services or goods which are very useful for life. In West Java, as in other parts of Indonesia, forests which are still having relatively good condition, are found only in conservation areas. One of the forest conservation areas which is relatively large is Gunung Ciremai National Park (TNGC). The TNGC constitutes a nature conservation area which possesses important ecological function as life supporting system for the surrounding ecosystem. However, information concerning the existing biodiversity in TNGC is still lacking. Therefore, there is a need for more studies to obtain information on biodiversity level and forest composition and structure in TNGC.

METHODOLOGY. This study was conducted from August through September

2008 in altitude zones of < 1.000 m above sea level (asl) (lowland zone), 1.000 – 2400 m asl (montane zone), and > 2.400 m asl (sub alpine zone) in Gunung Ciremai National Park, West Java. This study was performed by using vegetation analysis technique which constitutes combination between strip method for tree stage vegetation inventory and plotted line method for forest regeneration inventory. To ease the inventory process, each strip was divided into plots of 20 m X 20 m for tree stage vegetation inventory, 10 m X 10 m for pole stage inventory, 5 m X 5 m for sapling stage inventory, and 2 m X 2 m for seedling stage inventory. Units of vegetation sample plot were placed in west and south slope directions at altitude zones of < 1.000 m asl, 1.000 – 2.400 m asl, and > 2400 m asl. In each slope direction, two sample units with strip length of 200 m and width of 20 m were established. Sampling units were placed in the field with sampling design of systematic sampling with random start.

RESULTS AND CONCLUSION. Sub alpine zone exhibited the least number of

species (11 species) at all growth stages, as compared with those of montane zone (62 species) and lowland forest zone (58 species). The number of species in the montane zone was relatively greater as compared with that of lowland forest zone. In lowland zone, the dominant species were huru meuhmal (Litsea tomentosa) at seedling stage (IVI 33,7 %), kileho (Saurauia pendula) at sapling stage (IVI 29,3 %), and pine (Pinus merkusii) at pole and tree stages (IVI 144,7 % and 112.8 %). In the montane zone, the dominant species were huru meuhmal (Litsea tomentosa ) at seedling stage (IVI 22,6 %), Litsea sp. at sapling stage (IVI 19,4 %), walen (Ficus ribes) at pole stage (IVI 32.6 %) and saninten (Castanopsis argentea) at tree stage (IVI 45,4 %). At sub alpine zone, the dominant species was plending (Leucaena glauca) at seedling and sapling stages (IVI 64 % and 76,4 %), cantigi (Vaccinium varingifolium) at pole stage (IVI 124,3 %), and jamuju (Dacrycarpus

imbricatus) at tree stage (IVI 138,3 %). Index of species diversity (H’) for all

(6)

those of forest area in montane zone. This was because most of the forest territories in the lowland were converted to a large extent into cultivated farmlands for the people. Vegetation communities at all growth stages in the study location were relatively not similar in terms of species composition as shown by index of community similarity which was below 75 %. Average stand dimension in lowland zone showed total height of 19 m and diameter of 34,97 cm; whereas those in montane zone, the total height was 18 m and diameter was 42,23 cm; and in sub alpine zone, the total height was 15 m and diameter was 46,5 cm. Crown stratification analysis showed that pattern of crown stratifications in Gunung Ciremai National Park at all altitude zones could be categorized into three strata, namely stratum A (tree height > 30 m), stratum B (tree height between 20 – 30 m), and stratum C (tree height 4 – 20 m). As generally found in nature, dominant and codominant trees in forest territory of TNGC grew and spread in groups. Abundance of tree individuals decrease with increasing diameter of stems. This tendency of decreasing number of tree individuals, with increasing diameter, was shown by inverted J curve (negative exponential curve).

Key words: lowland zone, species composition, montane zone, stand structure,

(7)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Komposisi Jenis dan Stuktur Tegakan Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2009

T. Daniel Irwan E14204038

(8)

Judul : Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat

Nama : T. Daniel Irwan NRP : E14204038

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F NIP : 131 430 799 NIP : 131 865 340

Mengetahui

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 131 578 788

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia yang diberikannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun karya ilmiah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya dan para pengikutnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Karya ilmiah ini merupakan tugas akhir dari penulis yang berjudul

“Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2008. Dalam karya tulis ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana MS, dan Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F selaku dosen pembimbing atas segala bantuan dan bimbingannya. 2. Bapak, Ibu dan Adikku tercinta atas bantuan doa, keikhlasan dan

kesabarannya.

3. Saudara-saudaraku RIMPALA khususnya R-XI sampai R-XII atas segala suka dan duka yang telah dilalui bersama.

4. Sahabat-sahabatku atas segala dukungan dan do’a yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan penelitian lebih lanjut. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang menggunakannya.

Bogor, Mei 2009

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh, pada tanggal 27 September 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan T. Irwan dan Nani Erwani. Pendidikan dasar ditempuh penulis di SD Negeri 1 Banda aceh dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis lulus dari SLTP Negeri 1 Banda Aceh dan melanjutkan di SMU Negeri 7 Banda Aceh. Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Pada tahun 2007 penulis mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) yang terdiri dari Praktek Umum Kehutanan (PUK) di Baturaden – Cilacap, Jawa Tengah dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di Getas – Blora, Jawa Tengah. Pada tahun 2008, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di desa Cihideung Hilir-Bogor, menjadi asisten praktikum mata kuliah Ekologi Hutan dan asisten Praktek Pengenalan Hutan (P2H).

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yakni Rimbawan Pencinta Alam Fakultas Kehutanan IPB (RIMPALA) dan

Himpunan Profesi Tree Grower Community (TGC) pada tahun 2007-2008.

Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Komposisi Jenis dan

Struktur Tegakan Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat”

sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan... 2 1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan Hujan Tropika ... 3

2.2 Klasifikasi Hutan ... 5

2.3 Stratifikasi Tajuk ... 9

2.4 Biodiversitas (Biodiversity) ... 10

2.5 Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan ... 11

2.6 Kerapatan Pohon ... 14

2.7 Pola Penyebaran ... 15

2.6 Analisis Vegetasi ... 16

BAB III KONDISI UMUM PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas ... 18

3.2 Iklim ... 19

3.3 Topografi dan Geologi ... 19

3.4 Vulkanologi ... 19

3.5 Tanah ... 20

3.6 Hidrologi ... 20

3.7 Biotik (Flora dan Fauna) ... 21

3.8 Aksesibilitas... 22

3.9 Keadaan Sosial Ekonomi... 22

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

(12)

4.3 Variabel yang Diamati ... 24

4.4 Prosedur Penelitian ... 24

4.4.1 Analisis Vegetasi ... 24

4.4.2 Stratifikasi Tajuk ... 25

4.5 Teknik Pengumpulan Data ... 26

4.5.1 Analisis Vegetasi ... 26

4.5.1.1 Indeks Nilai Penting (INP) ... 27

4.5.1.2 Indeks Dominansi ... 27

4.5.1.3 Indeks Keanekaragaman Jenis ... 28

4.5.1.4 Koefisien Kesamaan Komunitas ... 28

4.5.1.5 Indeks Kekayaan Jenis ... 29

4.5.1.6 Indeks Kemerataan Jenis ... 29

4.5.1.7 Pola Penyebaran Individu Jenis ... 30

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 31

5.1.1 Komposisi Jenis ... 31

5.1.2 Jenis Dominan ... 31

5.1.3 Indeks Keanekaragaman Jenis ... 33

5.1.4 Indeks Kekayaan Jenis ... 33

5.1.5 Indeks Kemerataan Jenis ... 34

5.1.6 Indeks Dominansi ... 34

5.1.7 Indeks Kesamaan Komunitas (IS)... 35

5.2 Struktur Tegakan ... 35

5.3 Stratifikasi Tajuk ... 37

5.4 Pola Distribusi Individu Jenis ... 41

5.5 Pembahasan ... 42

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 47

6.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Jumlah jenis yang ditemukan pada setiap zona ketinggian di Taman

Nasional Gunung Ciremai...31 2. Jenis-jenis tumbuhan dominan dan kodominan pada setiap tingkat

pertumbuhan di setiap zona ketinggian di Taman Nasional Gunung Ciremai………... 32 3. Indeks keanekaragaman jenis pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap

zona ketinggian di Taman Nasional Gunung Ciremai…………...33 4. Indeks kekayaan jenis pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap zona

ketinggian di Taman Nasional Gunung Ciremai…………...34 5. Indeks kemerataan jenis pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap zona

ketinggian di Taman Nasional Gunung Ciremai…………...34 6. Indeks dominansi pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap zona

ketinggian di Taman Nasional Gunung Ciremai…………...35 7. Indeks kesamaan komunitas (IS) vegetasi pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap zona ketinggian di Taman Nasional Gunung Ciremai………….35 8. Nilai kerapatan pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap zona ketinggian

di Taman Nasional Gunung Ciremai…………...36 9. Nilai Variance to Mean Ratio pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian...18 2. Desain unit contoh vegetasi di lapangan... 25 3. Desain unit contoh stratifikasi tajuk... 26 4. Kerapatan pohon pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap zona

ketinggian di lokasi penelitian... 36 5. Regresi kerapatan pohon dengan diameter pohon di lokasi

penelitian... 37 6. Profil hutan pada ketinggian <1000 m dpl di Taman Nasional

Gunung Ciremai...38 7. Profil hutan pada ketinggian 1000-2400 m dpl di Taman Nasional

Gunung Ciremai...39 8. Profil hutan pada ketinggian >2400 m dpl di Taman Nasional

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1. Nama jenis tumbuhan di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)...

53

2. Hasil analisis vegetasi ketinggian <1000 m dpl di TNGC……… … 57 3. Hasil analisis vegetasi ketinggian 1000-2400 m dpl di TNGC……… … 66 4. Hasil analisis vegetasi ketinggian >2400 m dpl di TNGC …………... 78 5. Foto-foto di lokasi penelitian…………... 83

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan sebagai suatu ekosistem keberadaannya sangat penting bagi sistem penyangga kehidupan makhluk hidup. Hal ini disebabkan karena hutan berfungsi dalam menghasilkan berbagai manfaat, baik berupa jasa maupun barang yang amat berguna bagi kelangsungan hidup. Manfaat tersebut dapat diperoleh secara berlanjut bila ekosistem hutannya berada dalam kondisi baik.

Di Jawa Barat, seperti juga di belahan wilayah Indonesia lainnya hutan yang kondisinya masih relatif baik umumnya hanya ditemukan di kawasan-kawasan konservasi. Salah satu kawasan-kawasan hutan konservasi yang relatif besar luasannya adalah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). TNGC ini merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki fungsi ekologis penting sebagai sistem penyangga kehidupan bagi ekosistem di sekitarnya.

TNGC merupakan perubahan fungsi kawasan hutan lindung yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Ciremai seluas sekitar 15,500 hektar. TNGC merupakan formasi vegetasi pada ekosistem hutan alam yang memiliki kondisi unik dan khas serta nampak jelas zona pertumbuhannya, yang ditentukan berdasarkan tingkat ketinggian yaitu, sebagai berikut : zona puncak, ketinggian 2.400 m dpl sampai 3.000 m dpl, dengan suhu 10º C sampai 11º C ; zona tengah, ketinggian 2.000 m dpl sampai 2.400 m dpl dengan suhu 11º C sampai 14º C ; zona bawah, ketinggian 1.400 m dpl sampai 2.000 m dpl dengan suhu 14º C sampai 24º C, dan zona hutan tanaman (Departemen Kehutanan 2004).

Selain memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, kawasan TNGC juga merupakan daerah resapan air bagi kawasan di sekitarnya dan sumber air bagi beberapa sungai penting di Kabupaten Kuningan, Majalengka dan Cirebon serta sumber beberapa mata air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat, pertanian, perikanan, suplai air rumah tangga dan industri. TNGC

(17)

juga memiliki potensi ekowisata, dan hasil hutan non kayu yang penting seperti berbagai jenis tumbuhan obat, situs budaya, bangunan bersejarah, dan tempat penelitian dan pendidikan. Keanekaragaman hayati yang ada di TNGC tersebut perlu dipelajari dan diketahui, sehingga segala manfaat dan potensi yang ada di dalamnya dapat dirasakan oleh masyarakat tanpa mengganggu keberadaan dan kelestarian kawasan tersebut. Akan tetapi informasi mengenai keanekaragaman hayati yang ada di TNGC masih kurang, karena itu perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai seberapa besar keanekaragaman hayati dan sejauh mana komposisi dan struktur tegakan hutan yang ada di TNGC tersebut.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi jenis dan struktur tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat.

1.3. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu data dasar bagi pihak pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai dalam mengelola kawasan hutannya secara tepat.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Hujan Tropika

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Sedangkan menurut Departemen Kehutanan (1992), hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem.

Hutan hujan tropika tumbuhannya bersifat selalu hijau, kondisinya selalu basah dengan pohon-pohon yang tinggi tajuknya sekurang-kurangnya 30 m serta mengandung spesies-spesies efipit berkayu dan herba yang bersifat efipit (Schimper, 1903 diacu dalam Mabberley, 1992). Richards (1966) juga menjelaskan bahwa salah satu ciri penting dari hutan hujan tropika adalah adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan efipit berkayu dalam berbagai ukuran.

Hutan hujan tropika merupakan zona wilayah yang paling subur. Tipe hutan ini terdapat di wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika di bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2.000-4.000 mm per tahun. Suhunya tinggi sekitar 250-260C, dengan kelembaban rata-rata sekitar 80%. Komponen dasar hutan itu adalah pohon-pohon yang tinggi tajuknya sekurang-kurangnya 30 m. Salah satu corak yang menonjol adalah sebagian besar tumbuhannya mengandung kayu (Ewusie, 1990).

Richards (1966) memberikan beberapa ciri hutan hujan tropika, sebagai berikut:

a. Hutan hujan tropika terdiri dari berjenis-jenis tumbuhan berkayu dan umumnya kaya akan jenis-jenis dengan ukuran tinggi dan diameter yang besar.

b. Mempunyai banyak jenis kodominan, tetapi dapat juga hanya terdiri dari beberapa jenis saja. Jenis-jenis memperlihatkan gambaran umum yang sama, yaitu batangnya berbanir, lurus dan dekat tajuknya tidak bercabang.

(19)

c. Pada umumnya susunan tajuknya terdiri dari dua sampai tiga lapisan, sedangkan tumbuhan bawah terdiri dari perdu dan permudaan atau tunas-tunas dari jenis-jenis pohon lapisan bawah.

d. Selain jenis pokok, pada umumnya mempunyai banyak jenis efipit, tumbuhan pemanjat, palma dan pandan.

e. Merupakan susunan vegetasi klimaks di daerah khatulistiwa, masing-masing jenis tunbuh-tumbuhan di dalamya mempunyai sifat-sifat hidup yang berbeda, tetapi dengan kondisi-kondisi edafis dan klimatologis tertentu mereka membentuk suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang seimbang.

Sedangkan menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), hutan hujan tropika memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Iklim selalu basah

2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah

3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1.000 m dpl) dan pada tinggi (s/d 4.000 m dpl)

4. Dapat dibedakan menjadi 3 zona menurut ketinggiannya: a. Hutan hujan bawah <1.000 m dpl

b. Hutan hujan tengah 1.000 – 3.000 m dpl c. Hutan hujan atas 3.000 – 4.000 m dpl

5. Hutan hujan bawah, jenis kayu yang penting antara lain: dari suku Dipterocarpaceae adalah: Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Genus-genus lain, antara lain: Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompassia, dan Octomeles.

Hutan hujan tengah, jenis kayu yang umum terdiri dari suku-suku Lauraceae, Fagaceae (Quercus), Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain.

Hutan hujan atas, jenis kayu utama: Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Laptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain.

6. Terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian.

(20)

Di pegunungan tropika, hutan hujan bisa membentuk hutan hujan pegunungan yang barangkali karena tanah yang lebih dangkal dan kelerengan yang lebih tajam, tidak begitu lebat dan besar dibandingkan dengan hutan hujan dataran rendah. (Daniel, et al. 1995). Apabila suatu hutan hujan pegunungan ditelusuri, makin keatas maka fisiognomi jenis-jenis dominan dan struktur vegetasinya akan berubah. Perubahan ini akan jelas terlihat pada daerah tropik dibandingkan pada daerah temperate. Selanjutnya dikatakan pula bahwa semakin tinggi suatu tempat, sifat-sifat hutan tropika akan berubah menjadi hutan hujan montana yang vegetasinya mirip dengan hutan pada daerah dingin. Di zona ini terdapat dua tipe formasi hutan, yaitu hutan hujan sub montana dan hutan hujan montana. Di atas hutan hujan montana terdapat suatu batas dimana pepohonan tidak dapat tumbuh, komunitas yang ada hanya berupa vegetasi yang tumbuh kerdil (vegetasi alpin) dengan batuan cadas dan salju (Richards, 1966) diacu dalam Tandju (1988).

Berdasarkan batas ketinggian dalam hubungannya dengan perubahan iklim di pulau Jawa, Steenis (1972) membagi formasi hutan kedalam tiga zona iklim utama yaitu :

a. Zona Tropika : 0 – 1.000 m dpl

b. Zona Montana : 1.000 – 2.400 m dpl (1.000 – 1.500 = Zona sub montana) c. Zona Sub Alpin : diatas 2.400 m dpl.

2.2 Klasifikasi Hutan

Menurut Departemen Kehutanan (1992), hutan dapat digolongkan bagi tujuan pengelolaan hutan menurut hal-hal berikut:

a. Susunan jenis.

Hutan murni adalah hutan yang hampir semua atau seluruhnya dari jenis yang sama. Hutan campuran ialah hutan yang terdiri dari dua atau lebih jenis pohon. Baik hutan murni atau campuran dapat berupa seumur, tidak seumur atau segala umur.

b. Kerapatan tegakan

Pada umumnya, hutan berbeda-beda dalam hal jumlah pohon dan volume per hektar, luas bidang dasar dan kriteria lain. Perbedaaan antara sebuah

(21)

tegakan yang rapat dan jarang, mudah dilihat dari kriteria pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar dan jumlah batang per hektar, dapat diketahui melalui pengukuran. Untuk keperluan praktis, tiga kelas kerapatan telah dibuat, yaitu:

• Rapat, bila terdapat lebih dari 70 % penutupan tajuk.

• Cukup, bila terdapat 40-70 % penutupan tajuk.

• Jarang, bila terdapat kurang dari 40 % penutupan tajuk.

Hutan yang terlalu rapat, pertumbuhannya akan lambat karena persaingan yang keras terhadap sinar matahari, air dan zat mineral. Kemacetan pertumbuhan akan terjadi. Tetapi tidak lama, karena persaingan diantara pohon-pohon akan mematikan yang lemah dan penguasaan oleh yang kuat. Sebaliknya, hutan yang terlalu jarang, terbuka atau rawang menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak dan pendek.

Suatu hutan yang dikelola baik ialah hutan yang kerapatannya dipelihara pada tingkat optimum, sehingga pohon-pohonnya dapat dengan penuh memanfaatkan sinar matahari dan zat hara mineral dalam tanah. Dengan demikian hutan yang tajuknya kurang rapat berfungsi kurang efisien kecuali bila daerah terbuka yang ada, diisi dengan permudaan hutan atau pohon-pohon muda. Tempat-tempat terbuka tersebut biasanya ditumbuhi gulma yang menganggu pertumbuhan jenis pohon utama atau tanaman pokok.

c. Komposisi umur.

Suatu lahan disebut seumur, bila ditanam pada waktu bersamaan. Meskipun demikian, ukurannya dapat berlainan, karena laju pertumbuhan yang berbeda. Hutan segala umur terdiri dari pohon-pohon berukuran besar hingga tingkat semai. Jadi meliputi berbagai umur maupun ukuran. Sedangkan hutan tidak seumur ialah hutan yang mempunyai dua atau lebih kelompok umur atau ukuran. Misalnya hutan yang terdiri atas pohon-pohon yang sudah masak tebang, miskin riap dan ukuran pancang saja. Hutan segala umur biasanya penyebaran ukurannya lebih beragam dan jenisnya umumnya lebih toleran terhadap naungan. Sementara hutan

(22)

seumur umumnya terdiri dari jenis intoleran. Angin topan, penebangan berlebihan, kebakaran dan bencana lain, menciptakan kelompok-kelompok yang tidak seumur.

d. Tipe hutan.

Tipe hutan ialah istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang mempunyai ciri-ciri yang sama dalam susunan jenis pohon yang dominan. Berdasarkan Wikipedia Klasifikasi hutan dibagi sebagai berikut yaitu; a. Berdasarkan biogeografi

Kepulauan Nusantara adalah ketampakan alam yang muncul dari proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekati. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini. Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya.

b. Berdasarkan Iklim

Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu:

1. Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.

2. Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; dan sebagian besar Papua.

3. Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini

(23)

mencakup Jawa Timur, sebagian Pulau Madura, Pulau Bali, Nusa Tenggara, dan bagian paling ujung selatan Papua.

Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson.

1. Hutan gambut; ada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.

2. Hutan hujan tropis; menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.

3. Hutan muson; tumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana (Santalum album), dan kayu putih (Melaleuca

leucadendron).

c. Berdasarkan sifat tanah

Berdasarkan sifat tanah, jenis hutan di Indonesia mencakup hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan rawa.

1. Hutan pantai terdapat sepanjang pantai yang kering, berpasir, dan tidak landai, seperti di pantai selatan Jawa. Spesies pohonnya seperti ketapang (Terminalia catappa), waru (Hibiscus tiliaceus), dan cemara laut (Casuarina equisetifolia).

2. Hutan mangrove Indonesia yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, dan pantai selatan

(24)

Papua. Jenis-jenis pohon utamanya berasal dari genus Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora.

3. Hutan rawa terdapat di hampir semua pulau, terutama Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Spesies pohon rawa, misalnya adalah nyatoh (Palaquium leiocarpum), kempas (Koompassia sp.), dan ramin (Gonystylus sp.).

2.3 Stratifikasi Tajuk

Alam suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi suatu persaingan antara individu-individu dari suatu jenis atau beberapa jenis, jika tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kebutuhan yang sama alam hal hara mineral, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai (dominan) daripada yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tumbuhan di dalam hutan. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988).

Richards (1966), menyatakan bahwa struktur hutan hujan tropika paling jelas dinyatakan dengan penampakan arsitekturnya, stratifikasi tajuk pohon-pohonnya, semak dan tumbuhan bawah.

Soerianegara dan Indrawan (1988), menyatakan stratifikasi dalam hutan tropis adalah sebagai berikut :

a. Stratum A : lapisan teratur, terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi total lebih dari 30 meter, biasanya tajuk diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus dengan batang bebas cabang tinggi

b. Stratum B : terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi antara 20 meter sampai 30 meter, tajuk umumnya kontinyu

c. Stratum C : pohon dengan tinggi 4 – 20 meter, tajuk kontinyu, pohon rendah dan banyak cabangnya.

Disamping itu, masih terdapat pula strata perdu, semak dan tumbuhan penutup tanah, yaitu : stratum D untuk lapisan perdu dan semak dengan tinggi 1 – 4 meter. Sedangkan stratum E untuk tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground

(25)

cover) dengan tinggi 0 -1 meter. Dikatakan pula bahwa tidak semua hutan tropika

memiliki ketiga strata tersebut diatas (Soerianegara dan Indrawan, 1988).

Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa stratifikasi terjadi akibat persaingan dalam waktu yang relatif lama setelah melalui proses adaptasi dan stabilisasi. Jenis-jenis tertentu akan lebih berkuasa (dominan) daripada jenis-jenis yang lain. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas mengalahkan atau menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan.

2.4 Biodiversitas (Biodiversity)

Biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan istilah yang menyatakan terdapatnya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat dari derajat keanekaragaman alam, yang mencakup jumlah maupun frekuensi ekosistem dan spesies maupun gen yang ada di dalam wilayah tertentu. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati, pengertian biodiversitas adalah keanekaragaman di antara daratan, lautan dan ekosistem akuatik lainnya serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem (Soemarwoto 2001). Selain itu keanekaragaman hayati merupakan jumlah jenis yang dapat ditinjau dari tiga tingkat keragaman alamiah, termasuk jumlah dan frekuensi ekosistem, spesies atau gen dalam suatu kumpulan. Adapun tingkatan keanekaragaman hayati adalah sebagai berikut: 1). Keanekaragaman genetik; 2). Keanekaragaman spesies; dan 3). Keanekaragaman ekosistem (Mc Neely 1992).

Kekayaan floristik merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan, seperti iklim, tanah, cahaya, dimana faktor tersebut membentuk tegakan hutan yang klimaks (Mueller-Dombois and Ellenberg 1974).

Keanekaragaman mengarah ke keanekaragaman jenis yang dapat diukur melalui jumlah jenis di dalam suatu komunitas dan melalui kelimpahan relatif jenis tersebut. Aspek yang terdapat di dalam keanekaragaman jenis adalah jumlah

(26)

jenis yang akan menuju ke kekayaan jenis (richness) sedangkan kelimpahan relatif akan menuju ke kesamaan jenis (eveness atau equitability)

Saat ini telah terjadi pengurangan keanekaragaman hayati yang sangat besar. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk kepunahan jenis maupun variasi jenis hewan dan tumbuhan tertentu. Penyebab kepunahan ini bermacam-macam antara lain karena berkurangnya luas habitat, rusaknya habitat, eksploitasi yang berlebihan, dan penggunaan teknologi yang tidak bijaksana. Kepunahan dapat juga terjadi karena kerusakan habitat walaupun luasnya tidak berkurang, seperti berubahnya hutan menjadi alang-alang (Soemarwoto,2001).

2.5 Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan

Richards (1964) menggunakan istilah komposisi jenis untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis pohon di dalam hutan. Selanjutnya dinyatakan juga bahwa ciri hutan hujan tropika yang menyolok adalah mayoritas penutupnya terdiri dari tumbuhan berkayu berbentuk pohon. Sebagian besar tanaman pemanjat dan beberapa jenis epifit yang berkayu, tanaman bawah terdiri dari tanaman berkayu, semai dan pancang, belukar dan liana muda. Tumbuhan herba yang ada adalah beberapa epifit sebagai bagian dari tanaman bawah dalam proporsi yang relatif kecil.

Mueller-Dumbois and Ellenberg (1974), memakai istilah komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar hutan hujan tropika mempunyai komposisi jenis campuran walaupun tidak selalu demikian.

Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Samingan (1976) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi jenis pada tingkat tiang, pancang dan pohon. Soerianegara dan Indrawan (1988) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologis yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan.

(27)

Menurut Sugden (1983) diacu dalam Rio (1996), untuk mengetahui komposisi suatu jenis di suatu daerah, maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk reproduksi, dan selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi suatu jenis komunitas hutan sangat beragam, tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir sama

Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cenderung untuk memuncak pada tingkat permudaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Margalef, 1968 diacu dalam Odum, 1971). Odum (1971) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cenderung lebih tinggi didalam komuitas yang lebih tua dan rendah didalam komunitas yang cenderung baru terbentuk. Kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keanekaragaman jenis.

Istilah struktur menerangkan sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk (Richards, 1964) sedangkan Danserau (1957) dalam Mueller-Dumbois and Ellenberg (1974) mendefenisikan struktur sebagai organisasi dalam ruang dari individu-individu pembentuk tegakan.

Kershaw (1964) diacu dalam Mueller-Dumbois and Ellenberg (1974) membedakan komponen struktur vegetasi menjadi tiga, yaitu:

- Struktur vertikal (misalnya stratifikasi dalam beberapa lapis)

- Struktur horizontal (menggambarkan distribusi ruang dari jenis-jenis dan individu-individu)

- Struktur kuantitatif (menggambarkan kelimpahan masing-masing jenis dalam komunitas)

Sedangkan dalam ekologi dikenal lima struktur vegetasi, yaitu: 1) fisiognami vegetasi; 2) struktur biomassa; 3) struktur bentuk hidup; 4) struktur floristik; dan 5) struktur tegakan (Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974).

Defenisi lain strukur hutan dikemukakan oleh Suhendang (1985) yang menyatakan bahwa struktur tegakan hutan merupakan hubungan fungsionil antara kerapatan pohon dengan diameternya. Oleh karenanya, struktur tegakan akan dapat dipakai untuk menduga kerapatan pohon pada berbagai kelas diameternya

(28)

apabila dugaan parameter struktur tegakan dan jumlah pohon secara total diketahui.

Pengertian struktur vegetasi dapat berlainan tergantung pada tujuan penggunaan istilah tersebut, sehingga beberapa ahli memberi arti yang berbeda-beda (Istomo, 1994). Richards (1966) diacu dalam Armizon (1994) menerangkan istilah struktur digunakan untuk menerangkan sebaran individu tumbuhan dalam suatu lapisan tajuk. Sedangkan menurut Danserreau (1957) diacu dalam Mueller-Dumbois and Ellenberg (1974) struktur vegetasi adalah organisasi dalam ruang dan individu-individu yang membentuk suatu tegakan. Elemen primer struktur vegetasi adalah bentuk tumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk.

Hutan hujan tropika terkenal karena pelapisannya, ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinu. Tampaknya pelapisan vertikal komunitas hutan itu mempunyai sebaran populasi hewan yang hidup dalam hutan itu. Sering terdapat suatu atau beberapa populasi yang dalam kehidupan dan pencarian makanannya tampak terbatas (Whitmore,1986).

Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara,1996).

Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Dominasi suatu merupakan nilai yang menunjukan peguasaan suatu jenis terhadap komunitas.

Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas

(29)

memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antara jenis yang tinggi. Lebih lanjut dikatakan, keanekaragaman merupakan ciri dari suatu komunitas terutama dikaitkan dengan jumlah jenis dan jumlah individu tiap jenis pada komunitas tersebut. Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari setiap jenis.

2.6 Kerapatan Pohon

Kerapatan pohon adalah jumlah pohon yang terdapat pada satuan luas tertentu, biasanya dinyatakan dalam hektar, sehingga dikenal sebagai jumlah pohon per hektar (Suhendang, 1985). Menurut Richards (1964), kerapatan pohon pada hutan alam tidak teratur sehingga sulit untuk mendapatkan kerapatan seperti yang diinginkan. Pada tegakan hutan alam biasanya kerapatan pohon akan tinggi pada kelas diameter kecil dan akan menurun pada kelas diameter yang makin besar. Hal tersebut terjadi karena adanya kompetisi yang tinggi, baik antar individu dalam satu jenis maupun antar berbagai jenis, sehingga tidak semua individu mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara wajar, walaupun tidak mati.

Kecenderungan penurunan kerapatan pohon pada kelas diameter yang lebih tinggi ternyata tidak sama untuk semua jenis terutama sifat toleransinya terhadap naungan. Untuk pohon intoleran (tidak tahan naungan), kecenderungan penurunan kerapatan pada kelas diameter yang besar tidak akan berlangsung secara drastis. Sedangkan untuk toleran, kerapatan pohonnya akan berkurang secara drastis jika kelas diameter bertambah tinggi (UNESCO, 1978).

Meskipun terdapat beberapa tipe sebaran kerapatan pohon, ada dugaan yang kuat bahwa pada umumnya terdapat hubungan yang erat antara kerapatan pohon dengan diameter, baik pada jenis pohon toleran maupun pada jenis intoleran, sehingga akan terdapat hubungan fungsional antara kelas diameter dengan kerapatan pohonnya. Atas dasar tersebut maka struktur tegakan hutan akan dapat dipakai sebagai alat untuk menduga besarnya kerapatan pohon pada setiap kelas diameternya (Suhendang, 1985).

(30)

2.7 Pola Penyebaran

Penyebaran jenis bersifat unik dalam tingkat komunitas dan organisasi ekologi. Penyebaran dalam komposisi jenis berhubungan dengan derajat kestabilan komunitas. Komunitas vegetasi dengan penyebaran jenis yang lebih besar memiliki jaringan kerja yang lebih komplek daripada komunitas dengan penyebaran jenis yang rendah (Cox, 1972) diacu dalam (Istomo, 1994).

Menurut Odum (1971) individu-individu dalam populasi dapat tersebar menurut tiga pola yaitu, 1). acak 2). seragam, dan 3). bergerombol (tidak teratur).

Pola penyebaran acak hanya terjadi bila lingkungan sangat seragam dan tumbuhan tersebut tidak mempunyai kecenderungan untuk mengelompok. Penyebaran seragam terjadi bila komposisi antar individu tersebut terjadi tolak menolak positif, sehingga timbul ruang atau jarak yang teratur antar individu. Penyebaran mengelompok paling umum terjadi di alam. Apabila individu-individu menyebar secara mengelompok, masing-masing kelompok kecil dapat tersebar, baik secara acak maupun seragam.

Ludwig dan Reynold (1988) diacu dalam Istomo (1994) mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab pembentukan pola penyebaran individu sebagai berikut:

a. Faktor vektorial adalah hasil dari pengaruh kekuatan lingkungan luar (seperti angin, air dan intensitas cahaya)

b. Faktor reproduksi merupakan akibat dari cara-cara pembiakan dari organisme tersebut (seperti regenerasi klon dan progeni)

c. Faktor sosial yang merupakan hasil dari perilaku bawaan (seperti perilaku daerah penyebaran/teritorial)

d. Faktor coactive hasil dari interaksi intra spesifik (misalnya kompetisi)

e. Faktor stokastik hasil pengaruh acak beberapa faktor utama. Jadi pola penyebaran dari suatu organisme disebabkan oleh pengaruh dari dalam (seperti pembiakan, sosial dan coactive) atau dari luar (seperti vektorial).

Selain itu Leigh (1982) diacu dalam Rio (1996) memperkenalkan teori penyebaran pohon sebagai berikut;

a. Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang di suatu daerah karena telah melalui persaingan

(31)

b. Suatu jenis dapat tumbuh karena jenis yang berbeda menempati habitat yang berbeda

c. Suatu jenis dapat berkembang karena perbedaan tanggapan setiap jenis terhadap pembukaan tajuk

d. Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang karena terjadi perbedaan tanggapan dari faktor-faktor reproduksi pohon terhadap perubahan lingkungan.

2.8 Analisis Vegetasi

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1991).

Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan suatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya.

Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi serta bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan Indeks Nilai Penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.

Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu :

(1) Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda;

(32)

(3) Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983).

Untuk mempelajari komposisi vegetasi perlu dilakukan pembuatan petak-petak pengamatan yang sifatnya permanen atau sementara. Menurut Soerianegara (1996) petak-petak tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda ataupun berbentuk jalur atau dengan metode tanpa petak.

(33)

BAB III

KONDISI UMUM PENELITIAN

3.1 Letak dan Luas

Secara geografis, Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) berada di kooordinat 108°20’ BT - 108°40’ BT dan 6°40’ LS - 6°58’ LS. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6°53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m dpl membentuk kerucut di sisi sebelah utara sisa Keldera Geger Halang berukuran 4,5 x 5 km. Gunung Ciremai memiliki ketinggian sekeliling kawah yang berbeda yaitu :

a. Bagian utara dengan ketinggian 3.078 m dpl bernama Sunan Cirebon b. Bagian timur dengan ketinggian 3.027 m dpl bernama Pengasinan c. Bagian selatan dengan ketinggian 3.058 m dpl bernama Sunan Mataram d. Bagian barat dengan ketinggian 3.056 m dpl bernama Pangeran Telaga

TNGC memiliki luas total sekitar 15.000 hektar yang secara adminsitratif meliputi dua wilayah Kabupaten yaitu: Kabupaten Majalengka di sebelah barat dan Kabupaten Kuningan di sebelah timur. Untuk lebih jelas, posisi lokasi dapat dilihat pada Gambar 1.

(34)

3.2 Iklim

Iklim kawasan TNGC berdasarkan klasifikasi hujan Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe hujan B dan C dengan rata-rata curah hujan tahunan antara 2000 - 4000 mm. Temperatur bulanan berkisar antara 18°C - 24°C dengan kelembaban udara rata-rata sekitar 80 %.

3.3 Topografi dan Geologi

Topografi TNGC umumnya berombak, berbukit, dan bergunung dengan membentuk kerucut di bagian puncak dengan ketinggian 3.078 mdpl. Kemiringan lahan Gunung Ciremai bervariasi mulai dari landai sampai curam. Secara garis besar, lahan yang landai hanya meliputi 26 % dari total luas kawasan dan sisanya berupa lahan dengan kemiringan yang curam.

3.4 Vulkanologi

Gunung Ceremai termasuk gunung api Kuarter aktif tipe A (yakni, gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunung api soliter, yang dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur (yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu) yang terletak pada Zona Bandung.

Ceremai merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunung api Plistosen yang terletak di sebelah Gunung Ceremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa Gunung Ceremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun yang lalu (Sumarna, 2008)

(35)

3.5 Tanah

Jenis batuan di daerah ini terdiri dari jenis batuan vulkanik, baik berupa vulkanik tua maupun muda yang merupakan produk dari aktivitas vulkanik Gunung Ciremai (Rachmat M 2007). Terlebih pada bagian Utara kawasan yang pada lereng bagian bawah dan bagian kaki gunungnya dipenuhi oleh batuan-batuan vulkanik dengan vegetasi dominan adalah semak belukar.

Menurut Rachmat M (2007), kawasan Gunung Ciremai, berdasarkan peta Kelas Tanah Kelompok Hutan Gunung Ciremai, pola penyebaran jenis tanah penyusunan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai adalah sebagai berikut: a. Regasol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, regosol coklat kelabu dan

latosol, dengan penyebaran mulai dari puncak Gunung Ciremai sampai bagian lahan yang landai di Kecamatan Jalaksana dan sebagian Kecamatan Mandirancan.

b. Kelompok asosiasi andosol coklat dan regosol, dengan penyebaran pada daerah-daerah tinggi, yaitu di sekeliling puncak Gunung Ciremai.

c. Kelompok latosol coklat, latosol coklat kemerahan umumnya menempati daerah yang lebih rendah dengan penyebaran yang cenderung merata di setiap wilayah.

3.6 Hidrologi

Fungsi hidrologi kawasan Gunung Ciremai sebagai pemasok air yang cukup penting bagi DAS Cimanuk, DAS Citanduy, DAS Cisanggarung, DAS Ciberes dan Bangkaberes. Berdasarkan inventarisasi BKSDA JABAR II tahun 2006, di dalam kawasan : - Wilayah Kuningan terdapat 156 mata air, 147 titik mengalir sepanjang tahun - Wilayah Majalengka terdapat 36 mata air produktif dan 7 sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan debit rata-rata sekitar 50 – 2000 liter/detik serta kualitas ainya memenuhi standar kriteria kualitas air minum. Selain itu beberapa sumber air yang dapat digunakan untuk irigasi dan kegiatan pariwisata diantaranya adalah Waduk Darma , Darmaloka, Balong Cibulan, Balong Cigugur, Balong Dalam dan Telaga Remis.

(36)

3.7 Biotik (Flora dan Fauna)

TNGC memiliki ekosistem yang relatif masih utuh dengan tipe hutan dataran rendah (<1.000 m dpl), hutan hujan pegunungan/zona montana (1.000 - 2.400 m dpl), dan hutan pegunungan sub alpin (>2.400 m dpl). Hutan yang masih alami di Gunung Ceremai terdapat di bagian atas. Di sebelah bawah, terutama di wilayah yang pada masa lalu dikelola sebagai kawasan hutan produksi Perum Perhutani, hutan-hutan ini telah diubah menjadi hutan pinus (Pinus merkusii), atau berupa semak belukar, yang terbentuk akibat kebakaran berulang-ulang dan penggembalaan. Kini, sebagian besar hutan-hutan di bawah ketinggian 1.600 m dpl. dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest) oleh masyarakat setempat. Tipe-tipe vegetasi yang ada di Gunung Ciremai ini dijumpai berturut-turut adalah Tipe- tipe-tipe hutan pegunungan bawah (submontane forest), hutan pegunungan atas (montane forest) dan hutan subalpin (subalpine forest), dan kemudian wilayah-wilayah terbuka tidak berpohon di sekitar puncak dan kawah. Kawasan hutan tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, antara lain terdapat berbagai jenis flora seperti : pinus (Pinus merkusii), saninten (Castanopsis

javanica), randu tiang (Fragraera blumii), nangsi (Villubrunes rubescens),

mahang (Macaranga denticulatan), pasang (Lithocarpus sundaicus), medang (Elaeocarpus stipularis), beringin (Ficus sp.), dan lain-lain. Selain itu terdapat juga jenis tumbuhan langka seperti lampeni (Ardisia cymosa) dan kandaca (Platea

latifolia), jambu persik (Prunus javanica), dan jirek (Symplocos theaceli).

Keanekaragaman satwa di Ciremai cukup tinggi. Jenis satwa yang ada di kawasan ini, diantaranya adalah macan kumbang (Phantera pardus), kijang (Muntiacus muntjak), landak (Zaglossus brujini) , babi hutan (Sus sp.) kera abu-abu (Macaca fascicularis), dan surili (Presbytis comat ). Selain itu terdapat juga jenis reptil, diantaranya ular sanca (Phyton sp.), bunglon (Gonocephalus

chamaeleontinus), cecak (Cyrtodactylus sp.), dan kadal (Eutropia multifasciata),

lebih dari 95 spesies burung, diantaranya adalah elang jawa (Spizaetus bartelsii), serta 12 spesies amfibia (kodok dan katak).

(37)

3.8 Aksesibilitas

Kawasan TNGC dapat diakses dari tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka. Jalur yang dapat langsung diakses ke puncak Gunung Ciremai terdapat tujuh jalur, yaitu jalur dari Palutungan, Linggarjati, Setianegara, Cibuntu, dan Padabeunghar di Kabupaten Kuningan dan jalur dari Apuy serta Padaherang dari Kabupaten Majalengka. Namun untuk pendakian resmi ada tiga jalur pendakian, yaitu jalur Linggarjati, jalur Palutungan dari Kabupaten Kuningan dan jalur Apuy dari Kabupaten Majalengka. Jalur perhubungan untuk mencapai tiga jalur tersebut dari masing-masing wilayah adalah sebagai berikut :

a. Jalur Pendakian Linggarjati ; Kuningan - Cilimus - Linggarjati, jarak tempuh 16 Km dengan kondisi jalan baik dan tersedia angkutan umum.

b. Jalur Palutungan ; Kuningan - Cigugur – Palutungan, jarak tempuh 7 Km dengan kondisi jalan baik dan tersedia angkutan umum yang memadai.

c. Jalur Apuy ; Majalengka – Argamukti, jarak tempuh 29 Km dengan kondisi jalan baik dan tersedia angkutan umum yang memadai.

3.9 Keadaan Sosial Ekonomi

Kepadatan penduduk rata-rata dari tujuh Kecamatan di wilayah Kabupaten Kuningan sekitar kawasan TNGC (Kecamatan Darma, Cigugur, Kramatmulya, Jalaksana, Cilimus, Mandirancan dan Pasawahan) dengan total luas wilayah 246.12 km² adalah sekitar 1.167,88 orang per-Km² (BPS Kabupaten Kuningan, 2003b). Adapun kepadatan penduduk rata-rata dari tujuh Kecamatan di wilayah Kabupaten Majalengka (Kecamatan Cikijing, Talaga, Banjaran, Argapura, Sukahaji, Rajagaluh, dan Sindangwangi) dengan total luas wilayah 312 km² adalah sekitar 896,24 orang per-Km² (BPS Kabupaten Majalengka, 2003a). Penduduk Kabupaten Kuningan Tahun 2007 menurut Hasil Suseda sebesar 1.102.354 orang dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,17% pertahun. Penduduk laki-laki sebesar 549.118 orang dan penduduk perempuan sebesar 553.236 orang dengan sex ratio sebesar 99,3 % artinya jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibanding penduduk laki-laki. Jumlah penduduk

(38)

Kabupaten Kuningan terus meningkat baik adanya kelahiran maupun karena migrasi.

Mata pencaharian penduduk di sekitar Gunung Ciremai terdiri dari petani sebanyak 68,75 %, industri 2,46 %, dan sektor jasa sebanyak 28,55 %. Komoditas pertanian yang dihasilkan, diantaranya padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Berdasarkan data Potensi Desa Tahun 2003/2004, mata pencaharian penduduk di sekitar Gunung Ciremai wilayah Kabupaten Kuningan adalah sebagian besar di sektor pertanian dengan komoditi sayuran dan rempah-rempah. Sedangkan di Kabupaten Majalengka komoditi pertaniannya berupa sayur-sayuran dan palawija.

(39)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan antara bulan Agustus sampai dengan September 2008, di zona ketinggian <1.000 m dpl, 1.000-2.400 m dpl, dan >2.400 m dpl Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat.

4.2 Bahan dan Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Kompas sebagai alat untuk menentukan arah rintisan.

2. Tambang atau tali rafia untuk mengukur dan membuat petak contoh di lapangan.

3. Haga meter untuk mengukur tinggi pohon. 4. Phiband untuk mengukur diameter pohon. 5. Altimeter untuk mengukur ketinggian tempat 6. Pita ukur untuk mengukur petak contoh di lapangan.

7. Patok untuk menandai batas-batas plot dan petak pengamatan.

8. Tally sheet, alat tulis, kertas milimeter blok, kamera digital dan buku

catatan.

4.3 Variabel Yang Diamati

Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah individu dari vegetasi tingkat semai dan pancang, serta diameter dan tinggi dari vegetasi berkayu tingkat tiang dan pohon.

4.4 Prosedur Penelitian 4.4.1 Analisis Vegetasi

Pengambilan contoh vegetasi di lapangan dilakukan dengan teknik analisis vegetasi yang merupakan kombinasi antara metode jalur untuk risalah vegetasi tingkat pohon dengan metode garis berpetak untuk risalah pemudaan hutan. Untuk memudahkan perisalahan, setiap jalur dibagi kedalam petak-petak 20 m x 20 m

(40)

untuk risalah tingkat pohon, 10 m x 10 m untuk risalah tingkat tiang, 5 m x 5 m untuk risalah tingkat pancang dan 2m x 2 m untuk risalah tingkat semai.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan:

1. Pohon adalah semua tumbuhan berkayu dengan diameter batang ≥ 20 cm.

2. Tiang adalah permudaan pohon dengan diameter batang antara 10-20 cm.

3. Pancang adalah permudaan pohon dengan diameter batang < 10 cm dan tinggi di atas 1,5 m.

4. Semai adalah permudaan pohon mulai dari kecambah sampai dengan tinggi 1,5 m.

Desain unit contoh vegetasi di lapangan secara detail dapat dilihat pada Gambar 2

Keterangan: Ukuran petak; 2 m x 2 m (semai), 5 m x 5 m (Pancang), 10 m x 10 m (tiang), dan 20 m x 20 m (pohon)

Gambar 2. Desain unit contoh vegetasi di lapangan

Unit-unit contoh vegetasi diletakkan pada arah lereng sebelah barat dan selatan di jalur Linggarjati dan Palutungan pada zona ketinggian <1.000 m dpl, 1.000-2.400 m dpl, dan >2.400 m dpl. Pada masing-masing arah tersebut dibuat dua unit contoh dengan panjang jalur 200 m dan lebarnya 20 m. Unit-unit contoh akan diletakkan menggunakan desain sampling berupa systematic sampling with

random start.

4.4.2 Stratifikasi Tajuk

Stratifikasi tajuk dilakukan dengan menggunakan metode diagram profil tajuk dengan petak ukur 20 m x 60 m yang diambil dari setengah bagian dari sisi

(41)

rintisan, pada petak pengamatan yang sekiranya dapat mewakili (Gambar 3). Lebar jalur dianggap sebagai sumbu x dan panjang jalur sebagai sumbu y.

Data diambil dengan mengukur proyeksi tajuk ke tanah. Data-data yang diperlukan untuk stratifikasi tajuk ialah:

1. Posisi pohon dalam jalur, yang diukur dari arah yang sama secara berurutan dan jarak awal pengukuran ke pohon. Kemudian pohon-pohon dalam jalur pengamatan dipetakan.

2. Tinggi total dan tinggi bebas cabang serta tinggi cabang kedua bila memungkinkan.

3. Proyeksi dari tajuk ke tanah (lebar tajuk tiap pohon).

4. Diameter setinggi dada (130 cm) atau diameter 20 cm di atas banir bila pohon berbanir.

5. Penggambaran di lapangan berupa sketsa dari bentuk percabangan utama, bentuk tajuk, arah condong dari batang dan sketsa dari masing-masing pohon.

60 m

Keterangan: O posisi pohon dalam jalur, 1,2, 3...n : nomor pohon Gambar 3. Desain unit contoh stratifikasi tajuk

4.5 Teknik Pengumpulan Data 4.5.1 Analisis Vegetasi

Untuk mengetahui gambaran tentang komposisi jenis dan struktur tegakan hutan, dilakukan perhitungan terhadap parameter yang meliputi indeks nilai penting, indeks dominansi, indeks keanekaragaman jenis dan indeks kesamaan komunitas serta dibuat grafik yang menunjukkan struktur dari tegakan.

(42)

4.5.1.1. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks nilai penting diperoleh dari:

INP = KR + FR + DR (untuk tingkat pohon dan tiang), dan INP = KR + FR (untuk tingkat pancang dan semai)

Dimana

a. Kerapatan (K)

K = Jumlah individu suatu jenis (N/Ha) Luas plot contoh

b. Kerapatan Relatif (KR)

KR = Kerapatan suatu jenis x 100 % Kerapatan seluruh jenis

c. Frekuensi (F)

F = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

d. Frekuensi Relatif (FR)

FR = Frekuensi suatu jenis x 100 % Frekuensi seluruh jenis

e. Dominasi (D)

D = Jumlah bidang dasar suatu jenis Luas plot contoh

f. Dominasi Relatif (DR)

DR = Dominasi suatu jenis x 100 % Dominasi seluruh jenis

4.5.1.2Indeks Dominansi

Nilai Indeks Dominansi menggambarkan pola dominansi jenis dalam suatu tegakan. Nilai indeks yang tertinggi adalah 1, yang menunjukan bahwa tegakan tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis. Jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka indek dominansi akan mendekati nol atau rendah.

Menurut Sutisna (1981), suatu jenis dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10%, sedangkan untuk tingkat

(43)

tiang dan pohon lebih dari 15%. Jenis–jenis yang mendominasi dilihat dari semakin besar INP-nya, semakin besar pula perannya dalam komunitas vegetasi tersebut.

Untuk mengetahui indeks dominansi jenis digunakan rumus sebagai berikut (Misra, 1980).

C = ∑ (ni/N)2, dimana: ni = INP jenis i; N = total INP; C = indeks dominansi

4.5.1.3 Indeks Keanekaragaman Jenis

Menurut Shannon-Wiener, bila nilai keanekaragaman jenis semakin mendekati nilai 3,5, maka menggambarkan tingkat keanekaragaman jenis yang semakin besar. Samingan diacu dalam Sudarisman (2002) menyebutkan bahwa makin tinggi nilai Indeks Keanekaragaman makin banyak pula jenis yang ditemukan. Terdapat tiga kriteria untuk nilai Indeks Keanekaragaman jenis yaitu ; 1) Buruk, jika nilai H kurang dari satu, 2) Sedang, jika nilai H antara satu dan dua, 3), Baik, jika nilai H lebih besar dari dua. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shanon Index of General Diversity (Misra, 1980; Mc Glade, 1988)

n

H’ = -∑ [ (ni/N) In (ni/N)] , dimana:

i=1

H’ = Shanon Index of General Diversity (indeks keanekaragaman)

ni = INP jenis i

N = Total INP

4.5.1.4 Koefisien Kesamaan Komunitas

Besarnya indeks kesamaan antar dua komunitas berkisar antara 0% (komposisi jenis yang tidak sama) sampai 100% (komposisi jenis yang sama). Menurut Kusmana dan Istomo (2001), IS dikatakan berbeda sama sekali apabila nilainya adalah 0% dan umumnya dua komunitas dianggap sama apabila mempunyai IS ≥ 75%.

(44)

Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Untuk mengetahui Koefisien Kesamaan Komunitas dapat digunakan rumus sebagai berikut (Ludwig and Reynold, 1988) :

IS = 2w x 100% , dimana a+b

IS = Indeks kesamaan komunitas

W= Jumlah nilai penting (INP) yang sama atau nilai yang terendah dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua petak contoh yang dibandingkan

a = Jumlah INP pada komunitas a b = Jumlah INP pada komunitas b

4.5.1.5 Indeks Kekayaan Jenis

Untuk mengetahui Indeks Kekayaan Jenis digunakan rumus Margallef yaitu :

R I = (S-1) / ( ln (N))

dimana, R = Indeks Kekayaan

S = Jumlah jenis yang ditemukan N = Jumlah total individu

Berdasarkan Magurran (1988) besar R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah. R1 = 3.5 – 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang, dan R1 > 5.0 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong tinggi.

4.5.1.6 Indeks Kemerataan Jenis

Rumus indeks kemerataan jenis yang secara umum paling banyak digunakan oleh para ekologis adalah (Ludwig dan Reynold, 1988) :

dimana : E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis

Gambar

Tabel  2.  Jenis-jenis  tumbuhan  dominan  dan  kodominan  pada  setiap  tingkat      pertumbuhan  di    setiap  zona  ketinggian  di  Taman  Nasional  Gunung  Ciremai
Tabel 4.     Indeks  kekayaan jenis    pada  setiap  tingkat  pertumbuhan di    setiap  ketinggian di Taman Nasional Gunung Ciremai
Tabel 6.   Nilai indeks dominansi pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap zona  ketinggian di Taman Nasional Gunung Ciermai
Tabel 8.   Nilai  Kerapatan  pada  setiap  tingkat  pertumbuhan  di  setiap  zona  ketinggian di Taman Nasional Gunung Ciremai
+6

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Jika menggunakan model terpilih, nilai dugaan kerapatan pohon kelompok seluruh jenis menggunakan model famili sebaran terbaik pada kelas diameter 10-20 cm hutan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komposisi Jenis Pohon dan Struktur Tegakan Hutan Mangrove di Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi komposisi jenis dan bentuk persamaan matematika untuk struktur tegakan horizontal pada masing- masing pemilik

Pada tingkat pohon yang memiliki luas bidang dasar 31,9 m 2 /ha dan kerapatannya sedikit lebih tinggi dibandingkan anak pohon, umumnya dijumpai berasal dari jenis

Jika menggunakan model terpilih, nilai dugaan kerapatan pohon kelompok seluruh jenis menggunakan model famili sebaran terbaik pada kelas diameter 10-20 cm hutan

Penelitian mengenai komposisi jenis dan struktur tegakan yang dilakukan di kawasan hutan mangrove Desa Pasarbanggi akan menganalisis jenis vegetasi mangrove yang ada

Bidang dasar tegakan (m 2 /ha) dari semua jenis dan jenis-jenis Dipterocarpaceae menurut kelas diameter dari 6 petak di hutan bekas tebangan (Stand basal area (m 2 /ha) of all

Agathis (Agathis loranthifolia) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh BUDI PRIHANTO. Struktur tegakan hutan merupakan sebaran jumlah pohon pada berbagai