• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. PERMUKIMAN KUMUH : KARAKTERISTIK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. PERMUKIMAN KUMUH : KARAKTERISTIK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

6.1. Karakteristik Komunitas Permukiman Kumuh

Berdasarkan hasil kajian di lapangan, dengan menggunakan tehnik wawancara dan observasi dari 15 RW yang ada di Kelurahan Cicadas, 10 RW termasuk dalam permukiman kumuh. Karakteristik komunitas permukiman kumuh yang berada di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul seperti yang tergambar dalam tabel berikut :

Tabel 8 Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah Kepala Keluarga, Jumlah Jiwa , Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan

NO RW

JUMLAH KK PERMUKIMAN

KUMUH

JUMLAH JIWA PENDIDIKAN

TERAKHIR KK

Pekerjaan KK

LK PR JML SD SMP SMA Formal Informal

1 RW 01 21 74 73 147 12 8 1 0 21 2 RW 02 15 37 41 78 7 8 0 15 3 RW 03 11 33 34 67 5 6 0 11 4 RW 04 25 85 81 166 9 14 2 0 25 5 RW 09 19 48 54 102 8 11 0 19 6 RW 10 21 83 79 162 9 12 0 21 7 RW 11 6 18 20 38 2 4 0 6 8 RW 12 88 276 265 541 49 36 3 0 88 9 RW 14 42 130 134 264 20 22 0 42 10 RW 15 29 93 95 188 18 11 0 29 JUMLAH 277 877 876 1753 139 132 6 0 277

Jika dilihat dari tabel di atas terdapat 277 Kepala Keluarga yang tinggal dipermukiman kumuh Kelurahan Cicadas. Jumlah jiwa keseluruhan para penghuni permukiman kumuh adalah sebanyak 1753 jiwa, terdiri dari 877 laki-laki dan 876 perempuan. Dalam satu rumah rata-rata dihuni oleh lima sampai sembilan orang (jiwa), terkadang satu rumah ditempati oleh 12 orang dengan ukuran rumah kurang lebih hanya 25 meter persegi.

(2)

Sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga masyarakat permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas hanya lulusan SD dan SMP, kepala keluarga yang tamat SD sebanyak 139 KK atau 50%, tamat SMP sebanyak 131 KK atau 48%, sedangkan yang tamat SMA hanya enam KK atau 2%.

Berdasarkan mata pencaharian, keseluruhan masyarakat permukiman kumuh bekerja di sektor informal seperti tukang beca (pendapatan Rp 25.000/hari), tukang sumur bor (pendapatan Rp. 3.000.000/borongan/4-5 orang), pedagang (pendapatan Rp. 50.000/hari), kuli bangunan (Rp. 50.000/hari). Pendapatan tersebut tidak tetap setiap harinya, terkadang bagi kuli bangunan dan tukang sumur bor jika tidak ada pekerjaan mereka menjadi pengangguran. Bagi sebagian keluarga permukiman kumuh, mereka mendapatkan tambahan penghasilan dari anggota keluarga lain seperti istri yang mempunyai usaha warung atau anak-anak mereka yang sudah bekerja dan memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua. Hal ini dikemukakan oleh ketua RW 14 S (76 Thn) yang juga diungkapkan senada oleh Sekretaris RW 12, ketua RW 10, dan ketua RW 01.

“Rata-rata pekerjaan masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh serabutan, tidak menentu kadang kerja kadang tidak, ada yang pedagang, tukang sumur bor, kuli bangunan, tukang beca. Kalau yang kerja sebagai pegawai justru bisa dihitung, sekitar 80 % pekerjaannya rata-rata tidak tentu sehingga penghasilannya juga tidak menentu, paling mereka terbantu oleh istrinya yang punya usaha dagang atau anaknya yang bekerja. Inipun tidak banyak hanya sedikit saja”.

Penghuni permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, terdiri dari balita, anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Pembagian kelompok umur masyarakat permukiman kumuh berdasarkan lokasi RW di Kelurahan Cicadas, dapat di lihat dalam tabel berikut :

(3)

Tabel 9 Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah Kepala Keluarga, Jumlah Jiwa dan Kelompok Umur

NO RW

JUMLAH KK PERMUKIMAN

KUMUH

JUMLAH JIWA Umur ( tahun )

LK PR JML Balita (0-4 thn) Anak-anak (5-9 thn) Remaja (10-19 thn) Dewasa (20-55 thn) Lansia ( 55 thn ke atas) 1 RW 01 21 74 73 147 3 12 41 74 17 2 RW 02 15 37 41 78 5 6 23 36 8 3 RW 03 11 33 34 67 2 11 18 27 9 4 RW 04 25 85 81 166 7 21 38 78 22 5 RW 09 19 48 54 102 6 17 27 36 16 6 RW 10 21 83 79 162 9 12 27 96 18 7 RW 11 6 18 20 38 0 5 9 19 5 8 RW 12 88 276 265 541 28 65 97 302 49 9 RW 14 42 130 134 264 21 37 66 123 17 10 RW 15 29 93 95 188 19 22 37 96 14 JML 277 877 876 1753 100 208 383 887 175

Berdasarkan tabel di atas dari hasil penelusuran pengkaji terhadap Kartu Keluarga yang diperoleh dari Ketua RT yang berada di permukiman kumuh, Usia para penghuni permukiman kumuh berkisar antara 0 – 65 tahun ke atas. Mereka terdiri dari balita sebanyak 100 orang atau 6% , anak-anak sebanyak 208 orang atau 12% , remaja sebanyak 383 orang atau 22%, dewasa sebanyak 887 orang atau 51% dan lansia sebanyak 175 orang atau 10%. Dari data di atas terlihat bahwa mayoritas penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang berumur remaja dan dewasa.

6.2. Kondisi Permukiman Kumuh

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pengkaji, kondisi permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, terdiri dari bangunan yang permanen dan sebagian besar kondisi bangunan di RW 12, RW 14 dan RW 15 merupakan bangunan yang setengah permanen. Kondisi bangunan setengah permanen merupakan bangunan dimana setengah bangunan tembok dan setengah bangunan bagian atas terdiri dari

(4)

dinding yang terbuat dari bilik atau seng. Jika hujan terjadi bocor dan kadang-kadang banjir. Menurut S (56 Thn) salah seorang warga RW 12 mengatakan :

“Kami tidak bisa memperbaiki rumah karena faktor keuangan, kebutuhan sehari-hari sudah sangat sulit, apalagi untuk memperbaiki rumah. Belum lagi dengan status tanah milik PPI (Angkatan Darat) yang sebenarnya melarang mendirikan rumah permanen, jadi ya kondisinya seperti ini”.

Bangunan yang permanen terdapat di RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10 kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi bangunan setengah permanen walaupun seluruh bangunan sudah terbuat dari tembok. Dinding yang kotor dan kusam, kurangnya ventilasi rumah untuk pencahayaan dan sirkulasi udara di dalam rumah, tidak terdapat pembagian ruang untuk kamar tidur, ruang penerima tamu dan ruang memasak. Dinding rumah dan atap rumah terkadang terbuat dari seng yang telah tua dan dipasang seadanya. Tidak ada jarak antara dinding rumah satu dengan dinding rumah yang lain, dinding rumahnya berhimpitan dan sebagian besar bangunan tidak teratur secara rapih.

Untuk masuk ke permukiman kumuh harus melewati gang-gang kecil yang terkadang hanya cukup dilewati oleh satu orang saja. Terdapat beberapa rumah yang terletak dibelakang rumah yang lainnya, dengan kondisi pada siang hari, jalan menuju kerumah gelap karena tertutup oleh bangunan rumah yang lain. Kondisi rumahpun dalam keadaan gelap walaupun disiang hari dan sangat lembab.

Keadaan lingkungan disekitar permukiman kumuh sangat kotor, dibagian depan rumah penduduk terdapat banyak barang-barang rongsokan karena rumah mereka dijadikan juga sebagai tempat usaha. Ada juga rumah yang merangkap menjadi warung. Beberapa rumah penduduk ada yang berhadapan dengan MCK Umum dan tempat mencuci.

Hampir tidak ada ruang terbuka untuk bermain bagi anak-anak, mereka bermain di gang-gang sempit yang juga merupakan akses jalan bagi penduduk. Lingkungan rumah permukiman penduduk hanya beberapa rumah saja yang terdapat tanaman dalam pot. Di RW 01 hampir semua permukiman kumuh tidak terdapat tanaman di halaman rumah. Ketika pengkaji menanyakan kenapa tidak terdapat tanaman hidup disekitar halaman, mereka mengemukakan banyak tikus

(5)

dan anak-anak yang sering merusak tanaman sehingga mereka malas untuk menanamnya.

Kondisi MCK umum di RW 01 berada di atas kali, dengan kondisi dinding bangunan yang sudah berlumut, tidak ada atap untuk penutup dan tidak terdapat sarana air bersih. Pembuangan tinja langsung ke kali. Kondisi MCK di RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 11 dan RW 15 sudah terdapat sarana kloset dan air bersih hanya kondisi bangunan kusam dan kotor. Kondisi MCK di RW 14 yang berjumlah dua buah kondisinya cukup memadai yaitu terdapat sarana kloset dan sarana air bersih, serta dinding terbuat dari keramik yang cukup bersih. MCK ini direhab pada bulan November 2008 atas bantuan dari sebuah yayasan Saung Kadeudeuh yang berada di Kota Bandung sebesar Rp. 15.000.000 (Lima Belas Juta Rupiah), tidak ada swadaya dari masyarakat dalam pembangunan MCK ini.

MCK yang ada di RW 12 seluruhnya berjumlah delapan buah yang tersebar di empat RT, sebagian MCK telah mendapatkan program perbaikan sehingga kondisinya cukup memadai, sudah terdapat sarana kloset dan air bersih hanya dinding masih terlihat kotor. Jumlah MCK ini masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang berjumlah 758 jiwa, seperti yang dikemukakan ketua RT 01 RW 12 G (50 Th) :

“Kondisi MCK sudah cukup bagus setelah ada bantuan dari pemerintah, tapi karena jumlahnya sedikit sedangkan yang pakai banyak, maka kalau pagi-pagi antri juga, ini merepotkan bagi masyarakat yang akan kerja, ada satu MCK yang gorong-gorongnya kecil jadi sering meluap jika hujan, perlu diganti oleh gorong-gorong yang besar, kami mengharapkan bantuan lagi dari pemerintah, untuk swadaya masyarakat nanti kami bisa atur dan mengadakan pertemuan dengan warga. Biasanya warga disini bisa diajak untuk kerjasama, mereka tidak sulit jika ketua RW dan RT yang mengajak”.

Kondisi sarana air bersih di RW 03, RW 04, RW 09, RW 10 dan RW 11 permukiman kumuh merupakan sarana air sumur yang bisa diambil langsung oleh masyarakat dan diangkut kerumah-rumah. Di RW 01 hanya terdapat satu sumur pompa untuk memenuhi kebutuhan air pada permukiman kumuh dengan kondisi air yang tidak jernih dan tidak dapat dipergunakan untuk memasak dan minum. Untuk keperluan memasak dan minum, mereka meminta kepada tetangga terdekat yang mempunyai sumber air bersih.

(6)

Di RW 12, RW 14, dan RW 15 masyarakat menggunakan sarana air bersih dengan menggunakan mesin jet pump yang ditampung kedalam penampungan kemudian dialirkan kerumah-rumah penduduk dengan menggunakan pipa selang dan paralon. Masyarakat ditarik iuran untuk pembayaran listrik sebesar Rp. 10.000 per bulannya. Jika ada kelebihan dari pembayaran tersebut disimpan oleh salah seorang warga yang dipercaya untuk mengelola keuangan, hal ini untuk menanggulangi apabila ada kerusakan pada mesin jet pump sehingga tidak perlu menarik pembayaran kembali kepada masyarakat.

6.3. Status Kepemilikan Lahan dan Rumah

Status kepemilikan lahan dan rumah permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas terbagi menjadi:

1. Permukiman kumuh milik sendiri, yaitu lahan dan bangunan merupakan milik sendiri dan ditempati sendiri oleh pemiliknya.

2. Permukiman kumuh bukan milik, terdiri dari status sewa/kontrak rumah, sewa diatas lahan Pemerintah Kota Bandung (Hak Guna Bangunan), sewa diatas lahan perorangan dan okupasi tanpa kejelasan diatas lahan milik Angkatan Darat (PPI).

Data yang diperoleh tentang status kepemilikan lahan dan bangunan, dapat dilihat dalam tabel berikut :

(7)

Tabel 10 Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah Kepala Keluarga serta Status Kepemilikan lahan dan Bangunan

NO RW

JUMLAH KK PERMUKIMAN

KUMUH

Status Kepemilikan Lahan dan Bangunan

Milik Sendiri Bukan Milik

1 2 3 4 Jml 1 RW 01 21 13 8 0 0 0 8 2 RW 02 15 4 4 7 0 0 11 3 RW 03 11 0 3 8 0 0 11 4 RW 04 25 0 9 16 0 0 25 5 RW 09 19 13 6 0 0 0 6 6 RW 10 21 15 2 0 4 0 6 7 RW 11 6 2 4 0 0 0 4 8 RW 12 88 0 12 0 0 76 88 9 RW 14 42 22 3 0 0 17 20 10 RW 15 29 8 5 0 0 16 21 JUMLAH 277 77 56 31 4 109 200 Persentase 28% 20% 11% 1% 40% 72%

Ket. Bukan Milik : 1 = Sewa/kontrak rumah

2 = Tanah milik perorangan, bangunan milik sendiri 3 = Tanak milik Pemerintah Kota, bangunan milik sendiri 4 = Tanah milik Angkatan Darat (PPI), bangunan milik sendiri

Hanya terdapat 77 bangunan atau 28% permukiman kumuh dengan status milik sendiri dan ditempati sendiri oleh pemiliknya. Sebanyak 200 bangunan atau 72% permukiman kumuh dengan status lahan kepemilikan bukan milik sendiri yang terdiri atas status sewa/kontrak sebesar 20%, status lahan milik perorangan sebesar 11%, status lahan milik Pemerintah Kota Bandung sebesar 1% dan yang terbanyak adalah status lahan milik Angkatan Darat (PPI) yaitu sebesar 40%.

Permukiman kumuh dengan status milik sendiri dan ditempati oleh pemiliknya berada di sebagian RW 01, RW 02, RW 09, RW 10, RW 11, RW 14 dan RW 15, sedangkan permukiman kumuh dengan status sewa/kontrak rumah berada di setiap RW. Pada umumnya mereka menyewa untuk satu atau dua tahun dengan biaya sewa atau kontrak satu rumah sebesar Rp. 200.000 – Rp. 300.000

(8)

sebulan. Terdapat juga penyewa yang telah bertahun-tahun, mereka biasanya mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang.

Permukiman kumuh dengan status lahan sewa milik perorangan tetapi bangunan milik sendiri berada di RW 02 , RW 03 dan RW 04. Mereka telah menempati rumah diatas lahan sewa selama puluhan tahun dengan biaya sewa lahan perbulan bervariasi antara Rp.2000 – Rp. 20.000. Terdapat surat perjanjian antara pemilik lahan dan penyewa lahan.

Di RW 10, permukiman kumuh berada di atas lahan milik Pemerintah Kota Bandung dengan biaya sewa bervariasi antara Rp. 40.000 – Rp. 80.000 dan dibayar setahun sekali. Penduduk permukiman kumuh di RW 10 mempunyai surat ijin untuk mendirikan bangunan (Hak Guna Bangunan) di atas lahan Pemerintah Kota dengan perjanjian kontrak 1 tahun.

Status kepemilikan rumah kumuh diatas lahan milik instansi Angkatan Darat (PPI) terdapat di RW 12, RW 14 dan RW 15. Permukiman ini telah dibangun kurang lebih 20 tahun yang lalu, dimiliki secara turun temurun dari orang tua dan ada juga yang diperjual belikan. Semula permukiman di tiga RW tersebut hanya sedikit, tetapi lama kelamaan bangunan tersebut bertambah. Para penghuni permukiman kumuh yang berada di atas lahan milik Angkatan Darat ini memiliki rasa was-was karena sewaktu-waktu dapat saja mereka di usir dari rumah mereka, jika lahan yang mereka tinggali akan digunakan oleh instansi tersebut. Setiap pergantian pimpinan pada instansi tersebut, selalu ada surat peringatan mengenai status lahan, tapi tidak ada tindak lanjutnya. Ibu T (43 Thn) mengemukakan kondisi yang dirasakannya :

“Sebenarnya kami sering merasa was-was, apabila ada pergantian komandan di PPI pasti akan ada peringatan tentang status tanah disini. Tapi dengan sendirinya akan tenang lagi karena surat tersebut hanya peringatan saja tapi tidak ada tindak lanjutnya. Kami sih meminta bantuan kepada aparat Kelurahan agar bisa menjembatani kami dengan PPI, tapi sampai saat ini tidak pernah ada. Mungkin dengan kondisi seperti ini, banyak rumah-rumah disini tidak terlalu bagus, membangun seadanya karena mereka takut diusir”.

Dari keseluruhan status kepemilikan lahan dan bangunan di Kelurahan Cicadas, baik itu milik sendiri maupun bukan milik sendiri, mereka setiap

(9)

tahunnya dikenakan biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang wajib dibayarkan kepada Pemerintah Kota Bandung.

Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan FGD (format hasil FGD terlampir), dapat diketahui bahwa faktor penyebab permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas adalah :

1. Faktor ekonomi yang disebabkan oleh penghasilan atau pendapatan yang tidak tetap dan tidak menentu, sehingga mereka tidak mampu mengakses rumah layak huni.

2. Masih rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan dari warga masyarakat akan pentingnya segi kesehatan, kebersihan, keindahan rumah dan lingkungan sekitarnya serta sarana MCK dan sarana air bersih.

3. Sarana MCK bagi sebagian masyarakat permukiman kumuh belum menjadikan kebutuhan penting dari segi kesehatan dan kebersihan khususnya bagi warga di RW 01 Kelurahan Cicadas karena mereka sudah terbiasa dengan kondisi MCK tersebut selama bertahun-tahun.

4. Bagi masyarakat permukiman kumuh dengan status lahan bukan milik sendiri, dapat menimbulkan perasaan tidak tenang dan was-was dikarenakan ada rasa takut jika sewaktu-waktu lahan mereka tergusur. Status lahan tersebut juga menyebabkan sebagian masyarakat enggan untuk memperbaiki / memperindah kondisi rumah mereka.

5. Rumah selain sebagai tempat tinggal juga dijadikan tempat usaha seperti warung dan tempat penyimpanan (gudang) barang rongsokan, sehingga menjadikan lingkungan rumah menjadi kotor dan berantakan.

6.4. Relasi Sosial Masyarakat Kumuh

Masyarakat permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas merupakan bagian dari komunitas sebuah RT dan sebuah RW. Mereka hidup berdampingan dengan sesama komunitas permukiman kumuh dan juga komunitas lain yang permukimannya tergolong tidak kumuh. Relasi sosial yang terbentuk antara sesama masyarakat permukiman kumuh dapat dikatakan cukup erat, karena jarak rumah mereka yang cukup berdekatan, tidak terhalang oleh pembatas seperti pagar rumah sehingga komunikasi yang terjadi diantara mereka cukup lancar.

(10)

Bagi masyarakat permukiman kumuh, mereka dapat saling membantu jika tetangga mereka sedang mendapatkan kesulitan. Terdapat juga sisi negatif dari kedekatan jarak rumah di permukiman kumuh yaitu tingkat persaingan diantara mereka yang cukup tinggi, hal ini terlihat jika tetangga mereka mendapatkan bantuan, maka yang lainpun ingin mendapatkan hal yang sama. Beberapa program bantuan Pemerintah seperti Rehab rumah kumuh, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program dana hibah Bawaku makmur seringkali ketua RT maupun ketua RW dijadikan sasaran pertanyaan atau protes dari penduduk yang tidak mendapatkan bantuan.

Relasi sosial antara masyarakat permukiman kumuh dengan masyarakat permukiman yang tidak kumuh terdapat jarak sosial dikarenakan adanya status sosial ekonomi yang berbeda di antara mereka. Bagi masyarakat permukiman kumuh, mereka mempunyai perasaan rendah diri, sungkan dan malu kepada mereka yang tergolong ekonomi kaya. Hal ini dikemukakan oleh Ibu W (51 Thn) warga RW 01 :

“Kami hanya kenal saja dengan tetangga didepan sana, tidak terlalu dekat hubungannya karena malu, kami mah orang ga punya. Tapi kalau diantara kami ada yang kena musibah, mereka suka membantu juga seperti nyumbang uang atau beras. Pernah beras Raskin juga gratis, tidak usah beli tapi disumbang oleh mereka.Tapi sekarang beli lagi engga tau kenapa. Kalau untuk rehab tumah kumuh ke Pa Maman dan Pa Komar, kami tidak ikut nyumbang karena kami juga tidak punya uang. Setau saya juga tidak ada sumbangan dari warga lain”.

Ibu E (45 Thn) warga RW 01 yang tinggal dipermukiman tidak kumuh mengatakan sebagai berikut :

“Sebagai warga masyarakat, kita wajib untuk saling kenal dan saling menolong apalagi kepada mereka yang tidak mampu. Hanya mungkin kita tidak terlalu dekat hubungannya dengan mereka, karena walaupun kita ada arisan RT, mereka tidak ikut serta, ga tau kenapa. Mungkin mereka terbatas ya keuangannya sehingga tidak ikutan, padahal kita juga suka ajakin mereka, sewaktu rehab rumah kumuh Pa Maman dan Pa Komar di RT 02, kami tidak diminta sumbangannya oleh Pa RT maupun Pa RW”.

Ibu I (40 Thn) Ketua RT di RW 11 mengemukakan :

“Sewaktu Rehab rumah kumuh di RW kami diadakan, kami sebagai tim meminta bantuan kepada warga yang tergolong mampu untuk menyumbang. Ternyata mereka mau memberikan sumbangannya seperti bahan bangunan

(11)

yaitu semen, batu bekas bongkaran rumah, keramik, konsumsi dan tenaga yang tidak dibayar. Kalau hubungan sosial antara masyarakat kumuh dengan yang tidak kumuh mungkin biasa-biasa saja, tidak terlalu dekat karena jarak rumah mereka cukup jauh. Tapi kalau diantara masyarakat permukiman kumuh ya cukup dekat karena jarak rumah mereka berdekatan”.

Relasi antara masyarakat permukiman kumuh dengan masyarakat di luar permukiman kumuh, dapat terjalin dalam hubungan yang saling menguntungkan. Masyarakat di luar permukiman kumuh dengan kondisi ekonomi tinggi terkadang membutuhkan tenaga kerja untuk menjadi pembantu rumah tangga atau tenaga kuli bangunan. Hal ini dapat membantu menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan ekonomi bagi masyarakat permukiman kumu

6.5. Tingkat Partisipasi Masyarakat Permukiman Kumuh

Seseorang dalam berpartisipasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor lingkungan. Faktor internal yaitu adanya kemauan dan kemampuan dari individu untuk berpartisipasi seperti kesediaan untuk berpartisipasi yang didasari oleh harapan dan kebutuhannya serta didukung oleh tingkat kemampuan individu seperti kemampuan memberikan materi, tenaga atau ide-ide (usulan). Faktor lingkungan yaitu kesempatan atau dukungan dari pimpinan dan kelembagaan dalam meningkatkan kemauan dan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan. Berdasarkan hasil pengamatan, wawancara dan FGD (format hasil FGD terlampir), tingkat partisipasi aktif masyarakat terhadap program penataan permukiman kumuh terjadi pada masyarakat RW 11 dan RW 12, sedangkan masyarakat RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14 dan RW 15 belum menunjukkan tingkat partisipasi aktif terhadap program penataan permukiman kumuh.

Partisipasi masyarakat terlihat aktif di RW 11 pada saat pelaksanaan program rehab rumah kumuh. Ketua RT dan RW melibatkan masyarakat dengan membentuk tim khusus dan mengajak seluruh masyarakat untuk turut serta menyumbang sesuai dengan kemampuan masing-masing masyarakat dalam pelaksanaan rehab rumah kumuh salah seorang warga masyarakat RW 11 yang tergolong tidak mampu. Adanya keterbukaan dari ketua RW dan RT serta tim

(12)

tentang anggaran yang diperoleh dari bantuan Pemerintah Kota Bandung yaitu sebanyak Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) dapat memancing swadaya masyarakat dalam bentuk uang sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah), usulan tentang rencana pembangunan dan materi lain berbentuk batu bata bekas, semen serta bantuan tenaga sukarela.

Partisipasi masyarakat terlihat aktif di RW 12 pada saat Pemerintah Kota memberikan bantuan dana untuk pembangunan sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah). Alokasi anggaran tersebut dipergunakan untuk merehab mesjid, perbaikan sarana air bersih serta merenovasi MCK. Masyarakat terlibat aktif dalam pelaksanaan program-program tersebut dengan memberikan bantuan uang, materi (konsumsi, bahan bangunan) dan tenaga sukarela.

Jika di lihat dari hasil pelaksanaan program pembangunan yang berkaitan dengan permukiman kumuh, maka faktor-faktor penyebab tingkat partisipasi aktif dari masyarakat adalah :

1. Ketua RT dan RW mempunyai inisiatif dan interaksi yang tinggi sehingga mampu berperan aktif menggerakkan masyarakat untuk bekerja sama. 2. Ketua RT dan RW memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada

masyarakat untuk terlibat dalam pelaksanaan program dimana masyarakat dilibatkan penuh dimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dari kegiatan pembangunan.

3. Komunikasi yang terbuka antara ketua RT dan RW dengan masyarakat dalam pelaksanaan program sehingga muncul rasa saling percaya antara masyarakat dan pimpinannya.

Faktor-faktor diatas mendorong masyarakat RW 11 dan RW 12 mau dan mampu untuk terlibat dalam pelaksanaan program. Bentuk partisipasi yang diberikan masyarakat adalah dalam bentuk materi (uang), partisipasi tenaga, dan partisipasi buah pikiran (ide, usulan). Bentuk-bentuk partisipasi yang diberikan masyarakat berbeda-beda tergantung kepada kemampuan mereka. Ada masyarakat yang mampu memberikan sumbangan materi dalam bentuk uang atau bahan bangunan serta ide atau usulan tentang rencana kegiatan pembangunan dan ada juga yang hanya memberikan bantuan tenaga yang tidak dibayar. Hal ini dikemukakan oleh salah seorang warga RW 12, T (42 Thn) :

(13)

“Sebagai warga masyarakat kita harus gotong royong dalam pembangunan apa saja, karena hasilnya untuk masyarakat juga. Masyarakat disini mah harus digerakkan oleh RT dan RWnya jadi mereka akan malu kalau tidak ikutan. Kalau tidak bisa nyumbang uang ya mereka bisa nyumbang tenaga aja, yang penting ikut kerjasama”.

Ibu Dian, tokoh masyarakat di RW 11 yang terlibat dalam tim program rehab rumah kumuh, mengemukakan tentang partisipasi masyarakat :

“Ada partisipasi masyarakat sewaktu program rumah kumuh dilaksanakan, partisipasinya berbentuk uang, sumbangan bahan bangunan, konsumsi dan tenaga kerja. Di RW saya tidak sulit mengerahkan masyarakat untuk berpartisipasi”.

Dalam mekanisme pemberian bantuan rehab rumah kumuh yang diberikan kepada RW 11, pihak Kecamatan maupun Kelurahan memberikan secara langsung bantuan tersebut kepada Ketua RW dan RT sehingga Ketua RW membentuk tim khusus yang akhirnya dapat merealisasikan peran serta masyarakat. Sedangkan mekanisme pemberian bantuan untuk program rehabilitasi rumah kumuh di RW 12, pihak Kecamatan dan Kelurahan tidak memberikan bantuan tersebut kepada Ketua RW dan RT melainkan langsung kepada warga calon penerima bantuan. Ketua RW maupun RT akhirnya tidak dapat melibatkan masyarakat lain untuk berpartisipasi membantu rehabilitasi rumah kumuh seperti yang telah dipaparkan pada Bab V hal 66, tentang prosedur pelaksanaan program rumah kumuh.

Berdasarkan hasil wawancara pengkaji dengan Tokoh formal (Ketua RT, Ketua RW), Tokoh informal (Sesepuh, Tokoh Agama) dan masyarakat menunjukkan bahwa dalam setiap pelaksanaan program yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh seperti perbaikan sarana jalan, sarana MCK, sarana air bersih serta rehabilitasi rumah kumuh di RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 08, RW 09, RW 10, RW 14 dan RW 15 belum terlihat partisipasi aktif dari masyarakat.

Pelaksanaan program perbaikan MCK di RW 14, Ketua RT dan RW hanya melibatkan orang-orang tertentu saja, tenaga kerja yang dipakai dari masyarakat lokal diberi upah sesuai dengan upah standar kuli bangunan. Tidak ada bantuan berupa sumbangan uang atau bahan materi lain dari masyarakat.

(14)

Program pembuatan sarana air bersih sumur jet pump yang pernah dilaksanakan di RW 04 atas bantuan Pemerintah Kota, kondisinya saat ini tidak dapat dipakai oleh masyarakat. Mesin dalam kondisi rusak dan tidak ada upaya untuk perbaikan. Sedangkan pembuatan sarana air bersih sumur jet pump di RW 15 dilaksanakan sepenuhnya oleh sebuah yayasan dan tidak melibatkan masyarakat.

Program rehab rumah kumuh di RW 01 dan RW 08, tidak melibatkan masyarakat. Ketua RW 08 melaksanakan program tersebut seorang diri sedangkan pelaksanaan di RW 01 dilaksanakan oleh aparat Kelurahan dan Kecamatan sehingga tidak ada keterlibatan masyarakat.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan program yang berkaitan dengan permukiman kumuh, maka faktor yang menjadi penyebab tingkat partisipasi masyarakat belum aktif adalah :

1. Ketua RT dan ketua RW tidak melibatkan masyarakat dalam program, mereka hanya melibatkan orang-orang tertentu saja.

2. Tidak ada keterbukaan dari Ketua RT dan RW tentang rencana dan anggaran program.

3. Interaksi antara ketua RT dan RW dengan masyarakat belum sinergis, belum ada rasa saling percaya dalam pelaksanaan program pembangunan. 4. Masih ada sebagian masyarakat yang tidak mau berpartisipasi dengan

alasan sibuk bekerja.

5. Masih ada sebagian masyarakat yang tidak mau berpartisipasi dengan alasan faktor ekonomi.

Faktor-faktor di atas menyebabkan masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan usulan-usulan atau ide-ide tentang rencana pembangunan, mereka enggan untuk memberikan bantuan tenaga secara sukarela dan memberikan sumbangan dalam bentuk materi terutama dalam pelaksanaan program yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh. Di bawah ini beberapa pendapat dari Ketua RW maupun masyarakat :

Pendapat Ketua RW :

Ketua RW 08 D (57 Thn) mengemukakan tentang program rehab rumah kumuh : “Saya tidak membentuk tim untuk rehab rumah kumuh karena takut jika melibatkan banyak orang akan jadi rumit, program ini harus cepat

(15)

diselesaikan dan dilaporkan ke Kelurahan, jadi saya sendiri yang mengatur rehab rumah kumuh tersebut. Masyarakat disini sulit untuk diminta bantuan berupa uang atau tenaga, apalagi untuk rehab rumah seorang warga, karena kebanyakan mereka juga ekonominya kurang, kalau tenaga sukarela sulit, biasanya mereka minta dibayar juga. Tapi kalau untuk kepentingan umum seperti mesjid atau jalan, biasanya sih mereka mau menyumbang semampunya mereka”.

Ketua RW 14, S (76 Thn) mengemukakan pendapatnya tentang pembangunan MCK:

“Kami tidak menarik sumbangan dari masyarakat untuk pembangunan MCK ini karena kondisi ekonomi masyarakat yang sulit, terus saya juga tidak mengharapkan bantuan tenaga kerja dari masyarakat karena takut akan jadi berantakan jika dikerjakan oleh banyak orang. Pembangunan MCK ini dikerjakan oleh 3 orang tenaga kerja yang tinggal disekitar MCK dan mereka di bayar sesuai dengan upah pada umumnya”.

Pendapat masyarakat :

Pendapat salah seorang warga yang tidak dilibatkan dalam pembangunan MCK di RW 14, Ny T (44 Thn) mengemukakan sebagai berikut :

“Pak RW tidak mengajak masyarakat lain untuk pembangunan MCK, ga tau kenapa, jadi kami juga tidak ikut gotong royong. Hanya beberapa orang aja yg ikut terlibat. Seandainya warga diajak saya yakin mereka mau membantu sesuai kemampuan mereka, misalnya tenaga yang tidak usah dibayar atau mungkin bisa menyumbang konsumsi”.

Berdasarkan hasil kajian di atas, perbandingan tingkat partisipasi masyarakat aktif dan tidak aktif dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu faktor internal dan faktor lingkungan, disajikan dalam tabel berikut :

(16)

Tabel 11 Perbandingan Tingkat Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Faktor yang Mempengaruhinya Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat Faktor Lingkungan Kelembagaan aktif Kepemimpinan aktif Kelembagaan tidak aktif Kepemimpinan tidak aktif Lembaga RT dan RW mampu memfasilitasi hubungan kerja antara Pemerintah dan Masyarakat Ada inisiatif, interaksi, keterbukaan dan kepercayaan dari Ketua RT dan RW dalam pelaksanaan program kepada masyarakat Lembaga RT dan RW belum mampu memfasilitasi hubungan kerja antara Pemerintah dan Masyarakat Tidak ada inisiatif, interaksi, keterbukaan dan kepercayaan dari Ketua RT dan RW dalam pelaksanaan program kepada masyarakat Faktor Internal Status kepemilikan

lahan milik sendiri RW 11 RW 01, RW 02, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15

Status kepemilikan

lahan bukan milik RW 12

RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15

Faktor Internal

Kemauan (motif, harapan,kebutuhan) -Ada dorongan dan kebutuhan untuk melaksanakan program dan menjalin kerjasama dengan sesama masyarakat dan Ketua RT dan RW. -Mempunyai harapan bahwa hasil pembangunan ditujukan untuk masyarakat RW 11 RW 12 RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15

(17)

Tabel 11 Lanjutan Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat Faktor Lingkungan Kelembagaan aktif Kepemimpinan aktif Kelembagaan tidak aktif Kepemimpinan tidak aktif Lembaga RT dan RW mampu memfasilitasi hubungan kerja antara Pemerintah dan Masyarakat Ada inisiatif, interaksi, keterbukaan dan kepercayaan dari Ketua RT dan RW dalam pelaksanaan program kepada masyarakat Lembaga RT dan RW belum mampu memfasilitasi hubungan kerja antara Pemerintah dan Masyarakat Tidak ada inisiatif, interaksi, keterbukaan dan kepercayaan dari Ketua RT dan RW dalam pelaksanaan program kepada masyarakat Faktor Internal Kemampuan (memberikan usulan, ide, tenaga, uang dan materi dan waktu) -Ada bantuan tenaga secara sukarela, bantuan materi dan waktu. -Ada usulan dan ide-ide saat merencanakan program

RW 11

RW 12 _

-Tidak ada bantuan tenaga sukarela, uang dan materi. -Masyarakat enggan untuk bekerjasama, tidak ada usulan atau ide dalam perencanaan program

_ RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15

Kesimpulan dari hasil perbandingan tabel diatas adalah :

1. Status kepemilikan lahan menjadi faktor penentu bagi tingkat partisipasi masyarakat. Berkat kelembagaan dan kepemimpinan yang aktif, untuk kasus di Kelurahan Cicadas yaitu masyarakat RW 12 yang status kepemilikan lahan bukan milik justru menunjukkan tingkat partisipasi aktif terhadap pelaksanaan program. Pada masyarakat RW 11 yang status kepemilikan lahan milik sendiri juga dapat menunjukkan tingkat

(18)

partisipasi aktif terhadap program karena adanya kesempatan dan dorongan dari kelembagaan dan kepemimpinan yang aktif.

2. Faktor internal : Pada masyarakat yang tingkat partisipasinya aktif maupun tidak aktif memiliki dorongan, harapan dan kebutuhan yang sama untuk berpartisipasi, akan tetapi pada RW 11 dan RW 12 mereka dapat merealisasikan kemampuannya dalam bentuk partisipasi materi, tenaga dan usulan. Pada masyarakat dimana tingkat partisipasinya tidak aktif (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 12 dan RW 15), mereka enggan untuk merealisasikan kemampuan mereka dalam berpartisipasi baik itu berupa usulan, materi maupun tenaga sukarela.

3. Faktor lingkungan : Lembaga dan kepemimpinan pada RW 11 dan RW 12 memiliki hubungan kerja yang sinergis dengan Pemerintah dan masyarakat. Mereka mempunyai inisiatif dan interaksi yang tinggi serta mampu berperan aktif menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan program penataan permukiman kumuh. Mereka memiliki keterbukaan dan kepercayaan kepada kemampuan masyarakatnya. Komunikasi yang terbuka antar RT dan RW kepada masyarakat dapat menciptakan saling percaya antara masyarakat dan pimpinannya. Peran tersebut dapat mendorong warga masyarakat untuk mau dan mampu berpartisipasi dalam program penataan permukiman kumuh. Kelembagaan dan kepemimpinan yang tidak aktif, akhirnya tidak dapat mendorong masyarakat untuk merealisasikan kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi seperti tidak adanya usulan ataupun ide-ide, tidak ada bantuan materi dan tenaga secara sukarela.

Hasil kajian yang telah dilaksanakan berdasarkan wawancara mendalam, pengamatan berperan serta dan FGD, menjadi dasar dalam perumusan program upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung.

Gambar

Tabel 10 Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah  Kepala Keluarga serta Status Kepemilikan lahan dan Bangunan
Tabel 11  Perbandingan Tingkat Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Faktor yang  Mempengaruhinya  Faktor Yang  Mempengaruhi  Tingkat  Partisipasi  Masyarakat  Faktor Lingkungan Kelembagaan aktif Kepemimpinan aktif  Kelembagaan tidak aktif  Kepemimpinan tidak
Tabel 11 Lanjutan  Faktor Yang  Mempengaruhi  Tingkat  Partisipasi  Masyarakat  Faktor Lingkungan Kelembagaan aktif Kepemimpinan aktif  Kelembagaan tidak aktif  Kepemimpinan tidak aktif Lembaga RT dan RW mampu memfasilitasi  hubungan kerja  antara  Pemerin

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan program Desa Vokasi adalah tingkat

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi, tingkat partisipasi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan partisipasi masyarakat

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat (internal) seperti usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,

Jl. Bendungan Sigura-Gura No. Partisipasi masyarakat yang ada di Kelurahan Kotalama, Kota Malang dikategorikan rendah dikarenakan kurangnya keikutsertaan masyarakat

Model yang paling baik dalam terbentuknya mitigasi banjir adalah partisipasi masyarakat, koordinasi kelembagaan dan penggunaan lahan (PK-CUE) dengan sangat

Faktor-faktor yang mempengaruhi parti- sipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan permukiman terdiri dari pendapatan; ketersediaan sarana prasarana;

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan diKecamatan Mapanget yaitu: faktor intern, tingkat pendidikan masyarakat, penghasilan/pendapatan,

Kajian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu pemetaan sosial (PL I), evaluasi program (PL II) dan kajian lapangan dengan fokus mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat