INTERFERENSI SINTAKSIS BAHASA JAWA DALAM KARANGAN NARASI SISWA KELAS V DAN VI SD NEGERI MERDIKOREJO TEMPEL SLEMAN YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2007 / 2008
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Oleh:
SEKTI HARI PURNAMI
031224060
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
v MOTTO
• Orang bijak mengatakan Jangan kamu tunda sampai besok apa yang bisa kamu kerjakan hari ini.
• Kalau kamu ingin menciptakan sesuatu, kamu harus melakukan sesuatu (J. Wolfgang Von Gocthe).
• Ingatlah lima perkara sebelum lima perkara. (Hadist).
• Kemarin adalah masa lalu, Hari ini adalah kenyataan dan hari esok adalah misteri.( sebuah Perenungan)
vii ABSTRAK
Purnami, Sekti Hari. 2009. Interferensi Sintaksis Bahasa Jawa dalam Karangan Narasi Siswa kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2007/2008. Skripsi Program Sarjana (S-1) Yogyakarta : PBSID, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji interferensi sintaksis bahasa Jawa dalam karangan narasi siswa kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan interferensi sintaksis bahasa Jawa dalam karangan narasi siswa kelas V dan VI, (2) mendeskrisikan jenis-jenis interferensi sintaksis bahasa Jawa dalam karangan narasi siswa kelas V dan VI, dan (3) mendeskripsikan sejauh mana kemunculan interferensi sintaksis bahasa Jawa dalam karangan narasi siswa kelas Vdan VI.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2007 / 2008 yang berjumlah 49 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah perintah untuk menyusun karangan narasi berdasarkan gambar berseri yang telah diberikan.
Data penelitian ini adalah karangan narasi siswa kelas V dan VI yang mengandung interferensi sintaksis bahasa Jawa. Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data adalah: (1) membaca karangan narasi, (2) menganalisis apakah ada interferensi dalam karangan siswa, (3) memberi tanda dan mendata frasa dan kalimat yang mengalami interferensi, (4) menggolongkan interferensi ke dalam jenis-jenis interferensi, dan (5) mendeskripsikan sejauh mana frekuensi kemunculan interferensi pada tataran sintaksis.
viii ABSTRACT
Purnami, Sekti Hari. 2009. The Javanese Syntax Interference in Narrative Writing of Class V and VI Students of SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta Academic Year 2007/2008. Thesis (S-1). Yogyakarta : PBSID, FKIP, Sanata Dharma University.
This research studies the Javanese syntax interference in narrative composition of class V and VI students of SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta. The objectives of this research are: (1) to describe the Javanese syntax interference in narative writing of class V and VI, (2) to describe the kinds of the Javanese syntax interference in narrative writing of class V and VI, and (3) to describe how far the apprearance frequency of the Javanese syntax interference in narrative writing of class V and VI.
This is a descriptive qualitative research. The subjects of this research are all students of class V and VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta that consists of 49 students. The instrument of this research is a command to compose a narrative writing based on the series pictures given.
The data were classified and then were analyzed. The method of analysing data are: (1) to read the narrative writing, (2) to analyze whether there is syntax interference in the students’ writing, (3) to mark in and encode the phrases and sentenses which get the interference, (4) to classify the interference into kinds of interferences, and (5) to describe how far the appearance frequency of the interference in syntax rank.
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi berjudul “Interferensi Sintaktis Bahasa Jawa Dalam Karangan Narasi Siswa kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2007/2008” dengan sebaik-baiknya. Penulis benar-benar mendapat banyak pengalaman dalam proses penulisan skripsi ini.
Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan,
bimbingan dan semangat dari berbagai pihak. Untuk itu peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Y.Karmin, M.Pd selaku pembimbing tunggal yang telah dengan
sabar memberikan bimbingan kepada penulis.
2. Romo Drs. J. Prapta Diharja S.J., M.Hum. selaku ketue Program Studi PBSID
yang telah memberikan ijin penulisan skripsi ini.
3. Bapak Ag. Hardi Prasetyo, S.Pd., M.A selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mewujudkan penulisan skripsi ini.
4. Dosen-dosen Program Studi PBSID yang telah membagikan ilmu
pengetahuannya
5. F.X. Sudadi karyawan sekretariat PBSID yang telah membantu administrasi
selama penulis menuntut ilmu di PBSID
x
7. Drs. Sugeng Mulyata selaku Kepala Sekolah SDN Merdikorejo yang telah
memberikan ijin untuk melakukan penelitian di sekolah yang dipimpinnya.
8. Bapak Pariman dan Bapak Sokijan, wali kelas V dan kelas VI SDN
Merdikorejo yang telah merelakan jam pelajaran untuk melakukan penelitian.
9. Siswa-siswi kelas V dan kelas VI SD N Merdikorejo yang bersedia membantu
peneliti dalam pengambilan data.
10.Bapak Redja Wiyana dan Ibu Sumarsih yang telah merawat dan membesarkan
penulis dan telah memberikan fasilitas, semangat dan dorongan dalam
penyelesaian skripsi ini. Yang penting dalam terselesaikannya skripsi ini
adalah doa restu kalian berdua.
11.Kakak-kakakku (Rohmat Setyono dan Setyasih Widodo) serta adik-adikku
(Ribut Catur W dan Rizky Agus H) yang selalu memberi semangat walaupun
tidak langsung tetapi melalui kata-kata kalian aku jadi semangat mengerjakan
skripsi.
12.Keponakanku Aulia Putri Nurfadhilla yang selalu memberikan semangat baru
melalui celotehan polosnya.
13.Ana Maria Heni, S.Pd. dan Caecilia Nurtiyastuti yang selalu menemani dalam
suka dan duka, terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.
14.Aggata Eka P.,S.Pd., Maria Thomastini, Dewi Sri, terima kasih atas semangat
yang kalian berikan.
15.Teman-teman PBSID angkatan 2003 kelas A dan B yang bersama-sama
xi
16.Teman-teman PPL di SMA Bina Harapan Sinduharjo (Aggata, Nur, Tami,
Boni, Lusi, Dwi Priyo “Ambon”, Eka, Jeng Sri, Kiki, Mbak Bintang, Anton, Windhi, Mbak Yose, Inus, Nana, Chandra, Dhatu, Rere, Irawan, dan Lely) Terima kasih atas kebersamaan selama tiga bulan berlatih menjadi seorang
guru.
17.Teman-teman KKN di Dusun Banyurip Ngandong Gantiwarno Klaten (Vitri
“Ikom”, Dian” P.Fis”, Andri “P.Mat”, Vera “Farmasi”, Nina “PBI”, Christ “Ikom”, Chatta “S. Ind”, Susilo, “S.Ind”) kebersamaan selama tiga minggu adalah pengalaman tak terlupakan.
18.Teman-teman PPL BIPA di lembaga bahasa Realia Mr. Dion dan Miss Emma yang telah mau bekerja sama dalam berlatih menjadi pengajar bagi orang
asing.
19.Retnaningtyas Susanti, Nanik Setiani, Sulastri terima kasih atas pertanyaan
yang sering kalian lontarkan, akhirnya sekarang aku bisa menjawab “Aku Sudah Lulus”.
20.Bios comp. yang telah rela membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
21.Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.
Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini banyak memberikan
manfaat bagi para pembaca.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
xiii
a. Jenis Interferensi ... 26
b. Interferensi Bahasa Jawa dalam Pemakaian Bahasa Indonesia ... 31
c. Frekuensi kemunculan interferensi ... 50
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kutipan KTSP Pelajaran Bahasa Indonesia ... 38
Tabel 2 Persebaran frsa Posesif yang Terinterferensi pada Frasa Posesif
Bahasa Jawa ... 50
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Interferensi Frasa Verbal
Lampiran 2 Data Interferensi Frasa Posesif
Lampiran 3 Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran 4 Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 5 Instrumen Penelitian
Lampiran 6 Data kelas V SD N Merdikorejo TA. 2007/2008
Lampiran 7 Data kelas VI SD N Merdikorejo TA. 2007/2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah alat yang digunakan untuk berkomunikasi di dalam masyarakat
dan juga dunia pendidikan. Oleh masyarakat, bahasa digunakan sebagai alat untuk
berkomunikasi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Di Indonesia,
dunia pendidikan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini
dijelaskan oleh Amran Halim, bahwa salah satu fungsi bahasa Indonesia di dalam
kedudukannya sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa pengantar di dalam dunia
pendidikan (Halim, 1983 : 219).
Dari pernyataan Amran Halim di atas, seharusnya bahasa Indonesia
digunakan sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan. Namun, pada kenyataannya
tidak semua lembaga pendidikan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar. Hal ini terjadi karena wilayah negara Indonesia yang begitu luas yang
menyebabkan banyaknya bahasa daerah di Indonesia. Seperti dijelaskan oleh
Soewandi (1995:1) Indonesia terdiri lebih dari 13.000 pulau yang masing-masing
memiliki identitas kebudayaannya sendiri. Hal itu juga menyebabkan tia-tiap daerah
memiliki bahasa daerah sendiri. Dari kenyataan bahwa tiap daerah di Indonesia itu
memiliki bahasa daerah sendiri, maka sangat dimungkinkan setiap orang indonesia
menguasai dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Hal tersebut akan menyebabkan munculnya kesulitan-kesulitan yang dihadapi
oleh seseorang yang belajar bahasa Indonesia, khususnya pada anak-anak. Hal ini
terjadi karena bahasa pertama mereka adalah bahasa daerah, sedangkan di sekolah
bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mereka
memerlukan waktu yang lama untuk mempelajari bahasa Indonesia sebelum mereka
dapat menggunakannya sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar.
Nababan ( 1992:6 ) menerangkan bahwa di beberapa daerah bahasa yang
digunakan sebagai bahasa pendidikan adalah bahasa Indonesia dengan ketentuan
bahwa di beberapa tempat, bahasa daerah dipakai di kelas satu sampai tiga sekolah
dasar jika perlu. Artinya, jika siswa sudah mampu menggunakan bahasa Indonesia,
bahasa daerah tidak lagi digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar
mengajar.
Sekolah Dasar Negeri Merdikorejo adalah sekolah dasar yang terletak di
pedesaan, tepatnya sekolah ini beralamat di Dusun Kantongan, Kelurahan
Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY. Di wilayah itu
mayoritas warga masyarakatnya masih menggunakan bahasa daerah sebagai alat
untuk berkomunikasi. Hal tersebut juga terlihat pada anak-anak yang masih duduk di
bangku sekolah dasar, yakni anak-anak juga menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar mereka di sekolah.
Penelitian ini adalah tentang interferensi sintaksis bahasa Jawa dalam
karangan narasi. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Merdikorejo, di
sekolah itu belum pernah dilakukan penelitian sejenis, sehingga penelitian ini
diharapkan mampu memberi sumbangan bagi sekolah tentang interferensi bahasa
Jawa para siswanya.
Dalam penelitian ini peneliti memilih karangan narasi untuk mencari data
interferensi. Bentuk narasi dipilih karena secara umum siswa SD gemar bercerita dan
mendengarkan cerita. Potensi itu dapat dimanfaatkan untuk menulis sebuah karangan
narasi bahasa Indonesia. Siswa dapat mengembangkan imajinasinya dengan melihat
gambar berseri dan menceritakan gambar tersebut dalam sebuah karangan narasi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti membuat
beberapa rumusan masalah untuk memudahkan melakukan penelitian. Rumusan
masalah itu adalah
1. Bagaimana interferensi sintaksis bahasa Jawa ke dalam sintaksis bahasa Indonesia
dalam karangan narasi siswa kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel
Tahun Ajaran 2007/2008?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mendeskripsikan interferensi sintaksis bahasa Jawa dalam karangan narasi siswa
kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta Tahun ajaran
2007/2008.
.2. Mendeskripsikan sejauh mana kemunculan interferensi bahasa Jawa tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi sekolah, dan bagi guru
bahasa Indonesia di sekolah tersebut.
1. Manfaat bagi sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada sekolah untuk memberi
gambaran tentang interferensi bahasa Jawa yang dilakukan oleh siswa-siswinya.
2. Manfaat bagi guru bahasa Indonesia
Penelitian ini diharapkan mampu memberi motivasi bagi guru bahasa Indonesia
supaya menggunakan bahasa indonesia sebagai bahasa pengantar secara lebih
intensif, dan juga supaya guru lebih memperhatikan bahasa yang digunakan oleh
E. Batasan Istilah 1. Mengarang
Mengarang adalah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang
mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada
pembaca (Gie, 1992: 17)
2. Interferensi
Interferensi adalah kesulitan yang timbul dalam proses menguasai bunyi, kata,
atau konstruksi bahasa kedua sebagai akibat dari adanya perbedaan-perbedaan
antara bahasa kedua itu dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada pada bahasa ibu
(Lado via Soepomo, 1978 : 24)
3. Sintaksis
Sintaksis adalah bagian atau cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk
beluk wacana, kalimat klausa, dan frase (Ramlan, 1986 : 21).
4. Karangan Narasi
Narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan satu
kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau
mengalami sendiri peristiwa itu (Keraf, 1982 : 135).
F. Sistematika Penyajian
Skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah Pendahuluan yang terdiri dari
Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
dari Penelitian Terdahulu yang Relevan dan Kerangka Teori. Bab III adalah
Metodologi Penelitian yang terdiri dari Jenis Penelitian, Subjek Penelitian, Instrumen
Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data. Bab IV berisi hasil
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian yang berkaitan dengan Interferensi pernah dilakukan oleh
Soepomo, Yulius Suparmo, Yustina Sugeng Handayani, Apri Wijayanto, dan
Margaretha Indah Karnasih. Soepomo melakukan penelitian yang berjudul
Interferensi Gramatikal Bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia Murid SD di
Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada tahun 1978. Dari penelitian ini ditemukan
bahwa rata-rata murid SD di Yogyakarta melakukan kesalahan dalam bidang
gramatikal. Kesalahan-kesalahan itu dilakukan karena para siswa menerapkan
unsur-unsur gramatikal bahasa Jawa.
Yulius Suparmo melakukan penelitian yang berjudul Interferensi Gramatikal
Bahasa Jawa dalam Pemakaian Bahasa Indonesia (Studi Kasus pada murid kelas V
SD Impres Banyurojo II Mertoyudan Magelang). Penelitian ini dilakukan pada tahun
1987. Dari penelitian ini ditemukan berbagai jenis kesalahan dalam bahasa Indonesia.
Peneliti mengambil data karangan dan rekaman percakapan sehari-hari para siswa
kelas VI SD Inpres Banyurojo 4 Metoyudan Magelang tahun ajaran 1985/1986.
Yustina Sugeng Handayani melakukan penelitian yang berjudul Interferensi
Morfologis Bahasa Jawa dalam Bahasa Indonesia Tuturan Lisan Guru (studi kasus :
Guru-guru SD Negeri II Gatak Delanggu). Penelitian ini dilakukan pada tahun 2003.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yakni teknik observasi, teknik
wawancara, dan teknik catat dengan bantuan kartu data. Hasil dari penelitian ini
adalah bahwa terdapat interferensi morfologis bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia
tuturan lisan guru dengan jenis interferensi aktif yang meliputi bidang afiksasi dan
reduplikasi.
Apri Wijayanto melakukan penelitian yang berjudul Interferensi Sintaksis
Bahasa Jawa dalam Pemakaian Bahasa Indonesia pada Karangan Deskripsi Siswa
Kelas VI SD Negeri 04 Kawunganten Cilacap Jawa Tengah Tahun Ajaran
2003/2004. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2004. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Populasi dan sampel penelitian ini
adalah siswa-siswi kelas VI SD Negeri Kawunganten Cilacap Jawa Tengah Tahun
Ajaran 2003/2004 yang berjumlah 32 orang. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
interferensi frasa lebih mendominasi interferensi bahasa Jawa dalam karangan
deskripsi siswa
Margaretha Indah Karnasih melakukan penelitian yang berjudul Interferensi
Morfologis Bahasa Jawa dalam Pemakaian Bahasa Indonesia pada Karangan
Narasi siswa SD (Studi kasus karangan siswa SD Bendungan I Bendungan
Karangmojo Gunung Kidul Yogyakarta). Penelitian ini dilakukan pada tahun 2006.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas III, IV, V, VI SD Bendungan I Bendungan
Karangmojo, Gunung Kidul yang berjumlah 83 siswa. Dari penelitian ani ditemukan
adanya interferensi morfologis bahasa jawa pada karangan narasi siswa dalam
Dari hasil penelusuran terhadap penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa
penelitian tentang interferensi sudah pernah dilakukan. Namun, penelitian tentang
interferensi sintaksis masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian tentang
interferensi sintaksis harus lebih banyak dilakukan, sehingga pengetahuan tentang
interferensi sintaksis juga terus bertambah tidak hanya di satu daerah saja tetapi di
berbagai daerah agar nantinya dapat diperbandingkan satu sama lain. Dengan melihat
kenyataan itu dapat dikatakan penelitian ini masih relevan untuk dilakukan.
B. Kerangka Teori
1. Sintaksis Bahasa Indonesia
Menurut Ramlan (1983 : 17) istilah sintaksis itu berasal dari Bahasa Belanda
Syntaksis. Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan
seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase. Jos Daniel Parera tidak secara tegas
menyebutkan definisi sintaksis, tetapi Parera menyebutkan yang dimasukkan dalam
bidang sintaksis adalah pembicaraan mengenai unit bahasa kalimat, klausa dan frasa
(Parera, 1988 : xi). Bloch and Trager (via Tarigan, 1984: 5) mengatakan bahwa
analisis mengenai konstruksi-konstruksi yang hanya mengikutsertakan bentuk-bentuk
bebas disebut sintaksis. Tarigan juga mengutip pendapat Stryker tentang batasan
sintaksis, yaitu telaah mengenai pola-pola yang dipergunakan sebagai sarana untuk
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah
salah satu cabang ilmu bahasa yang membicarakan struktur kalimat, klausa, dan frasa
(Parera,1988).
a. Kalimat
Kalimat adalah satuan gramatikal yang terdiri satu kata atau lebih yang
dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun naik (Ramlan, 1983 :
20). Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, kalimat didefinisikan sebagai
bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh
secara ketatabahasaan (Moeliono, 1997: 254). Kalimat terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian inti dan bagian bukan inti. Bagian kalimat yang tidak dapat dihilangkan adalah
bagian inti dan bagian kalimat yang dapat dihilangkan adalah bagian bukan inti
(Moeliono, 1988). Contoh:
“Kami kemarin sore mendatangi tempat itu.”
Kalimat di atas terdiri dari empat bagian yaitu (i) kami, (ii) kemarin sore, (iii)
mendatangi, dan (iv) tempat itu. Dari keempat bagian itu, hanya bagian (ii) kemarin
sore, yang dapat dihilangkan. Jadi kita dapat mempunyai kalimat :
“ Kami mendatangi tempat itu.”
bukan
“Kami (kemarin sore) mendatangi.”
“Kami (kemarin sore) tempat itu.”
Dengan demikian, kemarin sore merupakan bagian bukan inti, sedangkan tiga bagian
yang lain adalah bagian inti.
Bloomfield (via Parera, 1988 : 2) mendefinisikan kalimat adalah sebuah bentuk
ketatabahasaan yang lebih besar dan lebih luas dari klausa.
Contoh :
(1) Ibu pergi ke pasar.
(2) Pergi !
Pergi dalam (2) adalah kalimat karena ia adalah bentuk ketatabahasaan yang
maksimal dalam tutur tersebut. Sedangkan pergi dalam (1) bukan kalimat karena ia
merupakan bagian dari konstruksi yang lebih besar dan luas.
H.G. Tarigan (1954 : 5) mengutip pendapat Cook serta Elson dan Pickett tentang
kalimat yakni satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, yang
mempunyai pola intonasi akhir dan yang terdiri dari klausa. Dwijatmoko dalam
bukunya yang berjudul Sintaksis Verba Indonesia mendefinisikan kalimat sebagai
satuan gramatikal terbesar. Kalimat menyatakan satu kesatuan ide yang lengkap, yang
dapat berupa peristiwa atau keadaan (Dwijatmoko, 2002 : 1).
Dari beberapa pengertian itu dapat kita simpulkan bahwa ada beberapa ciri
kalimat, yaitu :
a. satuan bahasa
b. dapat berdiri sendiri
1) Macam-macam Kalimat
a. Kalimat Berita, Kalimat Tanya, dan Kalimat Perintah
a) Kalimat berita
Bredasarkan fungsinya dalam hubungan dengan situasi kalimat berita
berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain sehingga
tanggapan yang diharapkan berupa perhatian (Ramlan, 1983 : 23).
Contoh :
(1) Jalan itu sangat gelap.
(2) Menurut ilmu sosial konflik dapat terjadi karena
penemuan-penemuan baru.
b) Kalimat Tanya
Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu (Ramlan, 1983 : 28).
Kalimat tanya ini biasanya ditandai dengan kata Apa, Siapa, Mengapa,
Kenapa, Bagaimana, Mana, Bilamana, bila, kapan, Berapa.
c) Kalimat Suruh
Berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat suruh
mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak
bicara (Ramelan, 1983 : 37).
Contoh :
(1) Pergi !
(2) Pergilah !
b. Kalimat Tunggal, Kalimat Bersusun, dan Kalimat Majemuk
Klasifikasi kalimat ini dipandang dari jumlah dan jenis klausa pada dasar.
a). Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri dari satu klausa bebas tanpa
klausa terikat (Cook via Tarigan, 1984 : 10)
Contoh :
(1) Saya makan.
(2) Dia minum.
(3) Adik tidur.
(4) Kakak belajar.
(5) Ayah membaca.
b). Kalimat Bersusun
Kalimat bersusun adalah kalimat yang terdiri dari satu klausa bebas dan
sekurang-kurangnya satu klausa terikat (Cook via Tarigan, 1984 : 12)
Contoh :
(1) Saya bangun sebelum ayam berkokok.
(2) Ayah marah kalau kami terlambat pulang.
c). Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari beberapa klausa bebas
(Tarigan, 1984 : 14)
(1) Paman membeli sebidang tanah, lantas dia menyuruh adiknya
menyangkul.
(2) Ani menyukai fiksi, sedangkan Ina menyukai Puisi.
b. Frasa
1) Pengertian Frasa
Dalam bukunya, Ramlan masih menggunakan istilah frase. Akan tetapi
sekarang istilah frase sudah diganti dengan frasa.
Frasa ialah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas fungsi (Ramlan, 1983 : 137).
Sifat-sifat frasa :
a. Frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.
b. Frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi. Artinya, frasa itu selalu
terdapat dalam satu fungsi apakah itu sebagai S P O Pel atau Pun Ket.
Tarigan mengutip pendapat Cook serta Elson dan Pickett tentang definisi
frasa. Frasa adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua
kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa (Tarigan, 1984 : 93). Jos Daniel
Parera menyebutkan Frasa adalah suatu konstruksi yangd apat dibentuk oleh dua kata
atau lebih baik dalam bentuk sebuah pola dasar kalimat maupun tidak (parera, 1988 :
32).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia frasa diartikan gabungan dua kata atau
frasa adalah bagian kalimat yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas fungsi (Wiyanto, 2005 : 36).
Lebih lanjut Wiyanto menjelaskan frasa selalu terdiri dari dua kata atau lebih.
Proses pembentukan frasa itu sendiri adalah melalui perluasan ke kiri-ke kanan, atau
ke kanan dan ke kiri.
Contoh :
mobil diperluas menjadi mobil merah
pergi diperluas menjadi sudah pergi
lama diperluas menjadi agak lama
datang diperluas menjadi tidak datang lagi
2) Macam-macam frasa
Frasa dapat digolongkan menajdi bermacam-macam golongan, tergantung
dasar yang digunakan. Berikut ini adalah penggolongan frasa berdasarkan distribusi
kategori kata. Menurut Ramlan (1982: 128) berdasar kategori distribusi katanya frasa
dapat dibedakan mnjjadi frasa nominal, frasa verbal, frasa bilangan, frasa keterangan,
dan frasa depan. Berikut ini adalah uraian masing-masing frasa tersebut.
a. Frasa Nominal
Frsa nominal adalah frasa yang memiliki distribusi sama dengan kata nominal.
Contoh:
(1) gedung sekolah
b) Frasa Verbal
Frasa verbal adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan
verba.Contoh:
(1) sedang membaca
(2) akan pergi
(3) dapat menyanyi
c) Frasa Bilangan
Frasa bilangan adalah frasa yang mempunyai distribusi sama dengan kata
bilangan. Contoh:
(1) dua buah rumah
(2) tiga ekor ayam
(3) tiga pluh kilogram beras
d) Frasa Keterangan
Frasa yang mempunyai distribusi sama dengan kata keterangan adalah kata
yang cenderung menduduki fungsi KET dalam klausa.
Contoh:
(1) kemarin pagi/siang/sore/malam
(2) sekarang ini
b. Frasa Depan
Frasa depan adalah frasa yang diawali oleh kata depan sebagai penanda,
diikuti oleh kata/frasa golongan N, V, Bil, atau KET sebagai penanda.
Contoh:
(1) di sebuah rumah
(2) dengan sangat senang
(3) dari lima
2. Sintaksis Bahasa Jawa
Didalam subbab ini akan diuraikan tentang kalimat, klausa, dan frasa Bahasa
Jawa
1. Kalimat
a. Pengertian kalimat
Kalimat adalah satuan lingual yang mengungkapkan pikiran yang utuh.
Kalimat dapat berwujud tulisan. Kalimat berhuruf latin dimulai dengan huruf kapital
dan diakhiri tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!) (Wedhawati, 2001 :
426).
Contoh :
(1) Dani tuku sepatu.
(1a) ‘Dani membeli sepatu.’
(2) Kapan Darmanto merene ?
Man adusa !
‘Man, mandilah!’
b. Macam-macam kalimat
Kalimat Bahasa Jawa dapat digolongkan menjadi bermacam sesuai dengan
dasar pengelompokannya. Berdasarkan jumlah klausanya kalimat dapat dibagi
menjadi tiga macam kalimat, yaitu kalimat tunggal, kalimat majemuk, dan kalimat
beruas (Wedhawati, 2001 : 427).
1). Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa bebas tanpa klausa
terikat. Karena hanya terdiri atas satu klausa, kalimat tunggal hanya memiliki satu
proposisi, dan, karena itu, predikatnya pun hanya satu (Wedhawati, 2001:427).
Contoh :
(1) Dheweke lunga.
(1a) ‘Dia pergi.’
(2) Simbahku tani.
(2a) ‘Kakekku petani.’
(3) Adhiku maca buku.
(3a) ‘Adikku membaca buku.’
2). Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih.
Kalimat majemuk dapat dibagi menjadi dua, yakni kalimat majemuk setara dan
Kalimat manjemuk setara adalah kalimat yang di dalamnya terkandung ciri
hubungan sintaksis struktural dan ciri sintaksis semantis. Ada empat ciri hubungan
sintaksis - struktural di dalam kalimat majemuk setara yaitu :
(1) Klausa-klausa yang ada dalam kalimat majemuk setara kedudukannya setara.
Contoh:
Sadewa mipili jagung lan Pranandari ngumpulake pipilane.
‘Sadewa mengupili jagung dan Pranandari mengumpulkan pipilannya.’
(2) Klausa yang diawali oleh konjungsi koordinatif tidak dapat dipindahkan.
Apabila pemindahan klausa itu dilakaksanakan maka kalimat majemuk setara
itu akan menjadi kalimat majemuk setara yang tidak berterima.
Contoh :
Hananto nyawang Widodo, banjur mandeng anake.
‘Hananto memandang Widodo, kemudian memandnag anaknya.’
(3) Urutan yang tetap di dalam hubungan koordinasi berkaitan erat dengan
prenominalisasi. Acuan kataforis (pronominal yang mendahului nomina
acuannya) tidak ditemukan di dalam hubungan koordinasi.
Contoh :
Dheweke seneng mangan duren, nanging Bu Parmi ora tuku duren.
‘Dia senang makan durian, tetapi Bu Parmi tidak membeli durian.’
Sebuah konjungsi koordinatif dapat didahului konjungsi yang lain untuk
Contoh :
Rina ngampiri Ari lan banjur mangkat kuliah.
‘Rina menjemput Ari dan lalu berangkat kuliah’
Adapun ciri hubungan sintaksis-semantis dalam sebuah kalimat majemuk
bertingkat adalah adanya ciri hubungan makna perturutan, hubungan makna
perlebihan, hubungan makna penjumlahan, hubungan makna perlawanan, hubungan
makna pemilihan, dan hubungan makna kombinasi.
Kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih yang salah satu di antaranya
merupakan bagian dari klausa yang lain disebut kalimat majemuk bertingkat.(
Wedhawati, 2001 : 500). Seperti halnya kalimat majemuk setara, kalimat majemuk
bertingkat pun memiliki ciri hubungan snitaksis-struktural dan ciri hubungan
sintaksis-simantis.
Ada sejumlah ciri hubungan sintaksis-struktural di dalam kalimat majemuk
bertingkat.
(1) Satu atau dua klausa di dalam kalimat majemuk bertingkat merupakan bagian
dari klausa yang lain.
Contoh :
Ngatini meruhi menawa Sadewa lagi lara.
‘Ngatini mengetahui bahwa Sadewa sedang sakit.’
(2) Di dalam kalimat majemuk bertingkat posisi klausa sub ordinatif ada yang dapat
Contoh :
- Mripate ngandhakake yen dheweke durung rampung.
‘Matanya mengisyaratkan bahwa dia belum selesai.’
(Klausa sub ordinatif tidak dapat dipindahkan)
- Aku ikhlas waton kowe ora ngapusi.
‘Aku ikhlas asal kamu tidak membohongi.’
(Klausa sub ordinatif dapat dipindahkan)
(3) Di dalam kalimat majemuk bertingkat, dimungkinkan ada acuan kataforis.
Contoh :
Angger dheweke dipepetake bab katresnan, Nendar mesthi banjur nggiwar.
‘Asal dia dipepetkan bab cinta, Nendar pasti lalu menghindar.’
(Dheweke ‘ dia’ secara kata foris mengacu pada Nendar).
Selain ciri hubungan sintaksis-struktural, kalimat majemuk bertingkat juga
memiliki ciri hubungan sintaksis-semantis. Ada dua ciri hubungan sintaksis-simantis
di dalam kalimat majemuk bertingkat yaitu sebagai berikut :
(1) Di dalam kalimat majemuk bertingkat, klausa yang mengandung konjungsi
memuat informasi sekunder, sedangkan klausa yang lain memuat informasi
utama.
Contoh:
Bene manganmu akeh, kowe tak tokokake gudheg.
(2) Di dalam kalimat majemuk bertingkat, klausa yang mengandung konjungsi
(klausa sub ordinatif) dapat disubstitusi dengan kata atau frasa yang sesuai
dengan makna kalimat itu.
Contoh :
- Layang kuwi nerangake yen Lintang atindak sedheng.
‘Surat itu menerangkan bahwa Lintang berbuat serong.’
- Layang kuwi nerangake bab iku.
‘Surat itu menerangkan bab itu.’
Bab iku bisa menggantikan yen Lintang atindak sedheng
3) Kalimat Beruas
Kalimat beruas adalah kalimat yang tersusun dari setidaknya dua ruas
(satuan gramatikal) dengan jeda wajib yang bersifat finansial sebagai pemisah
antarruas. (Wedhawati, 2001 : 502). Di samping istilah ruas digunakan istilah “gatra”.
Istilah ruas digunakan untuk lebih mengacu ke ruas sebagai sebuah wadah, istilah
gatra lebih mengacu ke satuan lingual pengisi ruas.
Contoh :
(1) Adhiku // dhuwite ilang.
(1a) ‘Adikku // uangnya hilang’
(2) Maling mau // playune cepet banget.
(2a) ‘Pencuri tadi // larinya cepat sekali.’
(3) Uwong mau // tangane // drijine gegodres getih.
Dalam ketiga contoh di atas, satuan Adhiku “Adikku”, maling mau “pencuri
tadi,” dan uwong mau “orang tadi”, disebut ruas depan, sedangkan satuan tangane
‘tangannya’ pada contoh ketiga disebut ruas depan kedua. Sebaliknya satuan dhuwite
ilang ‘uangnya hilang’, playune cepet banget ‘larinya cepat sekali’, dan drijine
gegodres getih ‘jarinya berlumuran darah’ disebut ruas kedua atau ruas belakang.
Berdasarkan contoh di atas, kalimat beruas dapat dicirikan sebagai berikut :
(1) Kalimat beruas memiliki jeda fungsional yang bersifat wajib diantara
ruas-ruasnya.
(2) Satuan gramatikal pengisi ruas depan dan ruas belakang tidak selalu identik.
Ruas depan dapat diisi oleh kata, frasa maupun klausa. Ruas belakang selalu
diisi oleh klausa.
(3) Klausa pengisi ruas depan dan belakang dapat berupa klausa lengkap atau
klausa tak lengkap.
(4) Jika ruas depan diisi oleh klausa guntung (frasa), ruas belakang berunsur
enklitik –e/-ne ‘nya’ atau yang sejenis sebagai penanda keanaforisannya.
(5) Pertalian antarruas tidak ditandai oleh konjungsi.
2. Frasa Bahasa Jawa
Dalam bahasa Jawa terdapat berbagai macam frasa, frasa-frasa itu adalah frasa verbal,
frasa adjektival, frasa nominal, frasa prominal, dan frasa numeralia. (Wedhawati,
a. Frasa Verbal
Frasa verbal adalah satuan gramatikal yang terbentuk dari dua kata atau lebih
dengan verbal sebagai konstituen inti. Dengan demikian frasa verbal mempunyai
konstituen inti berupa verbal dan kata lain sebagai modifikator.
Contoh : (1) mlaku terus
(1a) ‘Berjalan terus’
b. Frasa Adjektival
Frasa adjektival adalah satuan gramatikal yang terbentuk dari dua kata atau
lebih dengan adjektiva sebagai konstituen inti.
Contoh :
(1) ijo pupus Adj
(1a)‘hijau pupus’
(2) gagah gedhe dhuwur Adj
(2a)‘gagah besar tinggi’
c. Frasa Nominal
Frasa nominal adalah satuan gramatikal yang terbentuk dari dua kata atau
lebih dengan nomina sebagai konstituen inti :
Contoh : (1) bal karet nomina
(1a) ‘bola karet’
(2a) ‘air hangat’
d. Frasa Pronominal
Frasa pronominal adalah satuan gramatikal yang keseluruhan distribusinya
dapat diganti oleh konstituen yang berupa pronomina.
Contoh :
(1) Aku dhewe ora isa teka wektu iku.
(1a)‘Saya sendiri tidak dapat hadir waktu itu.’
(2) Kowe kabeh kudu budhal bengi iki.
(2a)‘Kamu semua harus pergi malam ini.’
Satuan gramatikal aku dhewe saya ’sendiri’ dan kowe kabeh ’kalian semua’ sejajar
dengan konsisten aku ’aku’ dan kowe ’kamu’ terbukti dengan berterimanya kalimat
berikut.
Aku ora bisa teka wektu iki.
’Saya tidak dapat datang waktu itu.’
Kowe kudu budhal bengi iki.
‘Kamu harus berangkat malam ini’.
e. Frasa Numeralia
Frasa numeralia adalah frasa satuan gramatikal yang keseluruhan
distribusinya dapat diganti oleh konstituen yang berupa numeria.
Contoh :
(1) Regane satus ewu rupiah.
(2) Dhuwit iki di paro loro wae
(2a) ‘Uang ini dibagi dua saja’
3. Interferensi
Istilah Interferensi pertama kali dikemukakan oleh Weinreich pada tahun 1953
dalam bukunya yang berjudul Language in Contact ( Soepomo,1978) Seiring
perkembangan zaman, kemudian banyak ahli yang mendefinisikan istilah interferensi.
Lado (via Soepomo,1977 : 24), menyebutkan bahwa Interferensi merupakan kesulitan
yang timbul dalam proses menguasai bunyi, kata atau konstruksi bahasa kedua itu
dnegan kebiasaan-kebiasaan yang ada pada bahasa ibu. Hartman dan Stock ( via
Alwasilah, 1989:131) mennyebutkan bahwa interferensi, yakni kekeliruan karena
terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran atau dialek bahasa pertama ke dalam ujaran
atau dialek bahasa kedua. Ahli lain adalah Nababan (1991 : 35) berpendapat bahwa
interferensi merupakan pengacauan bahasa pada orang yang berdwibahasa baik itu
secara produktif maupun reseptif. Jadi, dapat disimpulkan bahwa interferensi adalah
terbawanya pola-pola bahasa pertama terhadap bahasa sehingga menimbulkan
kesulitan dalam proses penguasaan bahasa kedua.
a. Jenis Interferensi
Menurut Soepomo (1977 : 25) Interferensi bisa dibagi menjadi dua macam,
yaitu interferensi aktif dan interferensi pasif .
1) Interferensi Aktif
Soepomo (1977) menyebutkan bahwa dari sudut kebahasaan yang mengalami
a). Interferensi bentuk
Interferensi bentuk adalah pemakaian bentuk dan pola-pola bahasa Jawa pada
Bahasa Indonesia (Soepomo, 1977 : 27).
Kesalahan yang bersifat interferensi bentuk terdapat pada dua segi kebahasaan, yaitu :
(a) Interferensi pada tingkat unsur bahasa yang meliputi interferensi fonologi,
interferensi morfologi, interferensi sintaksis, interferensi leksikon, dan
interferensi ejaan.
Contoh :
- Interferensi Fonologi
biyasa seharusnya biasa.
siyaga seharusnya siaga.
- Interferensi Morfologi
nyangkul seharusnya menyangkul.
nyapu seharusnya menyapu.
kemakan seharusnya termakan.
- Interferensi Sintaksis
Hasan berjumpa dengan Amir dijalan sekarang tetanyaan.
seharusnya
Hasan berjumpa dengan Amir di jalan. Sekarang mereka bercakap-cakap.
Ia kesini naik andong.
seharusnya
- Interferensi Leksikon
Kata-kata anomatopea seperti dog, byuk, plek, sek, pet
Orang-orang pada sibuk untuk hari lebaran
Pada sibuk seharusnya banyak yang sibuk.
- Interferensi Ejaan
Dalam bahasa Jawa terdapat fonem /d/ dan /dh/ yang berbeda satu sama lain,
seperti :
dudu ‘bukan’ dara ‘merpati’
dhadu ‘dadu’ dhara ‘gadis bagi binatang’
Bunyi yang serupa dengan bunyi-bunyi di atas, dalam bahasa Indonesia adalah
/d/, yaitu dara, dada, dan dadu.
(b) Interferensi pada tingkat variasi bahasa yang meliputi interferensi unda-usuk dan
interferensi ragam.
- Interferensi unda-usuk
Di masyarakat jawa ada kebiasaan berbicara dengan memakai tingkat-tingkat
bahasa yang berbeda-beda bergantung pada tingkat hormat yang tertuju pada
lawan bicara. Di samping itu ada kebiasaan menghormati orang ketiga yang
sedang dibicarakan.
Contoh :
- Ayah sudah dhahar
Dhahar ‘makan’ adalah bentuk hormat atau krama inggil dari mangan
‘makan’.
- Pak guru tidak rawuh karena sedang sakit
Rawuh ‘datang’ adalah bentuk hormat atau krama inggil dari teka ‘datang’
- Interferensi Ragam
Soepomo (1978) mengatakan bahwa sering terdapat berbagai ragam tutur,
yaitu ragam resmi, ragam indah, dan ragam santai. Selain itu ada pula ragam
tutur lengkap dan tutur ringkas. Pada karangan anak-anak sering kali terdapat
kesalahan-kesalahan yang sifatnya pengaruh kebiasaan lisan sehari-hari.
Ragam tutur ringkas di dalam bahasa Jawa antara lain ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut : (1) banyak penanggalan-penanggalan, (2) banyak
memperoleh manfaat penggunaan.
Contoh :
- Lekas tua lho kalau marah
Lho seharusnya nanti kamu
- Mbok Rp. 1000,00 saja Bu
Mbok seharusnya bagaimana kalau.
(c) Ada interferensi yang lain yaitu interferensi kebiasaan basaha lisan.
Contoh :
Bahasa tulis bahasa lisan
Telur / telor /
Suka / suka ? /
Lihat / liat /
Dimarahi / dimarai /
b). Interferensi arti
Interferensi arti adalah pemakaian arti bahasa jawa pada bentuk-bentuk bahasa
Indonesia (Soepomo, 1977 : 27). Interferensi arti ini sering terjadi pada tingkat
leksikal dan sebagian kecil pada tingkat morfologi (Soepomo, 1977 : 41)
Contoh :
Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Aku belanja karo Tono Saya berbelanja dengan Tono
Bapak ngendiko karo aku Bapak berkata dengan saya
Contoh :
Didik sama endang kan liburan
Kata sama seharusnya dan
2) Interferensi Pasif
Interferensi pasif adalah bentuk, pola atau arti yang ada pada B2 (bahasa
kedua) terlalu aneh yang tidak memiliki parallel didalam B1 (bahasa pertama).
Apabila si siswa harus menyampaikan hal yang serupa, sebagai ganti bentuk, pola
atau arti yang aneh itu maka dipakailah strategi penyampaian yang sama sekali lain
(Soepomo, 1977 : 44). Contoh :
Simulfiks bahasa Indonesia ke-an berfungsi untuk membentuk kata benda
sifat, contoh : kebersihan, keberanian, dan kebodohan. Bahasa Jawa juga
mempunyai simulfiks ke-an atau ka-an yang memiliki arti sama dengan
simulfiks ke-an dalam bahasa Indonesia, yakni membentuk kata benda
abstrak. Di dalam karangan atau percakapan siswa, kata yang menggunakan
simulfiks ke-an jarang terjadi. Para siswa memilih cara lain untuk
menyampaikan arti-arti yang dapat disampaikan dengan simulfiks ke-an
(Soepomo, 1977:86), Contoh :
- Kelas harus dijaga supaya tetap bersih.
(seharusnya ‘kebersihan kelas harus dijaga’)
- Guru memuji Sardi, karena ia berani
(seharusnya “Guru memuji Sardi karena keberaniannya“).
b. Interferensi Sintaksis Bahasa Jawa dalam Pemakaian Bahasa Indonesia
Soepomo (1978 : 101) menyebutkan bahwa interferensi sintaksis terjadi
karena adanya pengaruh kebiasaan yang ada pada gramatika bahasa Jawa. Berikut
adalah akibat dari interferensi tersebut :
- Adanya bentuk kalimat baru dengan pola kalimat bahasa Jawa
- Adanya bentuk gatra kalimat baru dengan pola gatra kalimat bahasa Jawa
- Adanya bentuk frasa baru yang sejalan dengan pola frasa bahasa Jawa
1) Bentuk Kalimat Baru
Dalam buku pengantar bahasa Indonesia maupun buku tata bahasa, umumnya
perintah, dan kalimat seruan. Akan tetapi, dalam penelitian yang dilakukan oleh
Soepmo (1978) ditemukan adanya bentuk-bentuk kalimat lain (kalimat baru).
Bentuk kalimat baru biasanya ditandai dengan adanya partikel-partikel
kalimat penanda maksud (intent) seperti kok, mbok, wong, ndak, atau mundak.
Bentuk-bentuk kalimat baru itu adalah
a. Kalimat permintaan yang didahului oleh partikel kalimat mbok
b. Kalimat keheranan yang didahului oleh partikel kok
c. Kalimat kekesalan yang gatra antisipatorinya didahului oleh partikel kalimat
wong dan gatra vokalnya didahului oleh partikel kok.
d. Kalimat kekhawatiran yang biasanya didahului oleh ndak, mundak atau frasa
nanti ndak.
(Soepomo, 1978 : 101-102)
2. Frasa Baru
Selain tipe kalimat baru dan gatra baru, didalam karangan bahasa Indonesia
anak-anak juga terdapat frasa-frasa baru sebagai akibat dari pengaruh bahasa Jawa.
a) Frasa verbal
Karena pengaruh kebiasaan berbahasa Jawa, terdapat pula bentukan-bentukan
frasa verbal yang menyerupai bentukan frasa verbal bahasa Jawa. Bentukan-bentukan
itu adalah :
(a) ndadak + verba
(c) selak + verba
(d) pada + verba
sama + verba
e) tidak + verba yang direduplikasikan
belum + verba yang direduplikasikan
( Soepomo, 1978 : 111 )
b) Frasa Nominal
Pola-pola nominalisasi dalam bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut .
(a) olehe + kata kerja
contoh : olehe mlaku adoh banget ‘Mereka berjalan terlalu jauh’
(b) Kata kerja + akhiran posesif
contoh : Aku mulihe wis bengi ‘Saya pulangnya sudah malam’
(c) Frasa ukuran + e
contoh : Sekilone sewu limangatus ‘Harga per kilo Rp 1500,00’
(d) Sing + kata kerja
contoh : Sing nyolong Paijo ‘Pencurinya Paijo’
(e) yen + subjek + kata kerja
Contoh : yen kowe ngaku luwih becik ‘Seandainya kamu mengaku akan lebih
baik’
Kebiasaan-kebiasaan nominalisasi tersebut ternyata banyak terbawa pada
pemakaian bahasa Indonesia. Bentuk nominalisasi yang terpengaruh oleh kebiasaan
bahasa Jawa adalah sebagai berikut .
(a). olehnya + kata kerja
contoh : Olehnya gotong royong orangnya lebih dari seratus orang.
‘Jumlah orang yang ikut bergotong royong lebih dari seratus orang’
(b). Kata kerja + akhiran posesif
contoh : Saya pulangnya naik becak.
‘Saya pulang naik becak’
c). Frasa ukuran + -nya
contoh : Sekilonya Rp 1.500,00
‘Harga per kilo Rp 1.500,00’
d). yang + kata kerja
contoh : Uang itu yang memberi saudaraku.
‘Uang itu pemberian saudaraku’
( Soepomo, 1978 : 119 )
Perlu dicatat bahwa konstruksi yang + kata kerja memiliki dua rti sesuai dengan
pemakaiannya dalam dialek tertentu dalam bahasa Jawa (Soepomo, 1978 : 120).
Pertama, yang + kata kerja yang berarti yang + mem-. Contoh :
- Uang itu yang memberi saudaraku
Kedua, yang + kata kerja berarti serupa dengan olehe + kata kerja dalam bahasa
Jawa. Contoh :
- Yang membeli di mana ?
- Yang menukarkan di sekolahan.
c). Frasa Adjektival
Frasa adjektival juga terbentuk akibat dari interferensi pola sintaksis bahasa
Jawa.
Pola frasa adverbial yang juga terbawa oleh anak pada waktu berbahasa
Indonesia adalah dengan pola sebagai berikut :
(a). yang + kata sifat
Contoh :
Yang hemat, jangan boros
Seharusnya
Belajarlah rajin-rajin
Hiduplah dengan hemat,
jangan boros.
e. Frasa Numeral
Frasa numeral yang mendapat gangguan dari bahasa Jawa, biasanya berpola
kata benda + kata bilangan yang seharusnya frasa itu berbentuk kata bilangan + kata
penghitung + ( kata benda ).
Contoh :
B. Jawa
Sing nyapu wong loro
Aku duwe pitik lima
B. Indonesia
Yang menyapu orang dua
Saya mempunyai ayam lima
Seharusnya
Yang menyapu dua orang
Saya mempunyai lima ekor ayam
f) Frasa Posesif
Ada frasa posesif model bahasa Jawa dalam karangan anak-anak. Dalam hal
itu digunakan akhiran -nya pada kata benda yang menjadi objeknya. Susunan frasa
4. Karangan Narasi
Karangan adalah hasil perwujudan gagasan seseorang dalam bahasa tulis yang
dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca (Gie, 1992 : 7). Berdasarkan tujuannya
karangan yang utuh dapat dibedakan menjadi (1) karangan eksposisi, (2) karangan
argumentasi, (3) karangan narasi, (4) karangan persuasi, dan (5) karangan deskripsi
(Keraf, 1995 : 6).
Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan
sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi (Keraf, 1995 :
136).
a. Jenis-jenis karangan Narasi
1) Karangan Narasi Ekspositoris
Narasi Ekspositoris bertujuan untuk menggugah pikiran pembaca untuk
mengetahui apa yang akan dikisahkan. Menurut Keraf (1985 : 236) sasaran
utama dari narasi ini adalah rasio. Maksudnya adalah berupa perluasan
pengetahuan para pembaca setelah membaca kisah tersebut.
2) Karangan Narasi Sugestif
Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan
berbagai macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca (Keraf,
1985 : 138).
Perebedaan antara karangan narasi Ekspositoris dengan karangan narasi
Narasi Ekspositoris
- Memperluas pengetahuan
- Menyampaikan informasi tentang
suatu kejadian
- Berdasar pada penalaran untuk
mencapai kesepakatan rasional
- Menggunakan bahasa informative
dengan titik berat penggunaan
kata-kata denotative.
(Keraf, 1985 : 138 : 139)
Narasi Sugestif
- Menyampaikan suatu makna
atau suatu amanat yang tersirat
- Menumbuhkan daya khayal
- Penalaran hanya berfungsi
sebagai alat untuk
menyampaikan makna
sehingga kalau perlu penalaran
dapat dilanggar.
- Menggunakan bahasa Figuratif
dengan titik berat penggunaan
kata-kata konotatif.
b. Narasi di kelas V dan VI
Narasi adalah bagian kecil dari pelajaran bahasa Indonesia yang termasuk
dalam keterampilan menulis. Pada kelas V dan VI narasi tidak diajarkan secara
langsung, akan tetapi dimasukkan dalam kegiatan menulis para siswa. Merekapun
masih mempergunakan gambar berseri untuk memudahkan siswa dalam menyusun
karangan narasi.
Berikut ini adalah kutipan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam
Tabel 1:
Kelas/Semester Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
V / I Mengungkapkan pikiran,
perasaan, informasi dan
pengalaman secara tertulis
dalam bentuk karangan,
surat undangan, dan dialog
tertulis.
1. Menulis karangan berdasarkan
pengalaman dan
memperhatikan pilihan kata
dan penggunaan ejaan.
2. Menulis Surat Undangan
(ulang tahun, acara agama,
kegiatan sekolah, kenaikan
kelas, dll) dengan kalimat
efektif dan penggunaan ejaan.
3. Menulis dialog sederhana
antara dua atau tiga tokoh
dengan mempertahankan isi
perannya.
V / 2 Mengungkapkan pikiran,
perasaan, informasi dan
fakta secara tertulis dalam
bentuk ringkasan, laporan
dan puisi bebas.
1. Meringkas isi buku yang
dipilih sendiri dengan
mempergunakan penggunaan
ejaan.
2. Menulis laporan pengamatan
atau kunjungan berdasarkan
VI / I Mengungkapkan pikiran,
3. Menulis puisi bebas dengan
pilihan kata yang tepat
1. Mengisi formulir (Pendaftaran
kartu anggota, wesel pos,
kartu pos, daftar riwayat
hidup, dll) dengan benar
2. Membuat ringkasan dari teks
yang dibaca atau yang di
dengar.
VI / 2 Mengungkapkan pikiran,
3. Menyusun percakapan dari
berbagai topik dengan
memperhatikan penggunaan
ejaan.
4. Mengubah puisi ke dalam
prosa dengan tetap
memperhatikan makna puisi.
dan informasi secara
tertulis dalam bentuk
naskah pidato dan surat
resmi.
sambutan ( perpisahan, ulang
tahun, perayaan sekolah, dll)
dengan bahasa yang baik dan
benar serta memperhatikan
penggunaan ejaan.
2. Menulis surat resmi dengan
memperhatikan pilihan kata
sesuai dengan orang yang
dituju.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang berjudul Interferensi Sintaksis Bahasa Jawa Dalam Karangan
Narasi Siswa Kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta
Tahun Ajaran 2007 / 2008 ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Issac (via
Soewandi 1996 : 6) mengatakan bahwa tujuan penelitian deskriptif adalah
mendeskripsikan secara sistematis kenyataan-kenyataan (facts) dan sifat-sifat
(characteristic) populasi tertentu secara factual dan teliti, tidak ada maksud untuk
mencari atau menjelaskan hubungan-hubungan, membuat ramalan atau menemukan
makna dan implikasi. Penelitian kualitatif lebih mengutamakan proses dari pada hasil
(Moleong, 1989 : 7). Data yang berupa karangan narasi dikumpulkan melalui suatu
proses selama penelitian berlangsung. Siswa diberi tugas membuat karangan narasi,
hasil karangan tersebut akan dianalisis untuk dicari data interferensi.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian terdiri atas sekumpulan objek yang menjadi pusat penelitian
dan dari padanya terkandung informasi yang ingin diketahui (Gulo, 2002 : 76).
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel
Sleman. Siswa kelas V berjumlah 27 orang dan siswa kelas VI berjumlah 22 orang.
Jadi, jumlah subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 49 orang..
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini berupa perintah membuat karangan narasi yang
disertai dengan gambar. Instrumen yang berupa gambar diharapkan dapat membantu
siswa dalam membuat sebuah karangan narasi. Instrumen yang berupa soal berisi
perintah untuk membuat karangan narasi. Soal itu adalah
1. Amati dengan cermat dan teliti gambar yang telah kalian dapatkan !
2. Setelah kalian mengamati gambar itu, buatlah sebuah karangan Narasi
berdasarkan gambar !
3. Waktu mengerjakan adalah 35 menit !
D. Teknik Pengumpulan Data
Langkah-langkah yang dilakukan untuk memperoleh data adalah sebagai
berikut :
1. Pada hari yang sudah ditentukan untuk melakukan penelitian, peneliti
mengambil data dengan memberikan instrumen berupa perintah untuk
menulis narasi.
2. Siswa diminta menulis karangan narasi dengan durasi waktu maksimal 35
menit.
3. Setelah pelaksanaan tes berakhir peneliti mengumpulkan hasil pekerjaan
D. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang digunakan dalam menganalisis data adalah sebagai
berikut :
1. Menginventarisasi data penelitian.
2. Menganalisis apakah ada intereferensi pada karangan para siswa.
3. Jika ada, peneliti memberi tanda pada frasa, klausa, dan kalimat yang mendapat
intereferensi.
4. Mendata frasa, klausa, dan kalimat yang mendapat intereferensi.
5. Menggolongkan interferensi ke dalam jenis-jenis interferensi sintaksis ( frasa,
klausa, dan kalimat).
6. Mendeskripsikan sejauh mana kemunculan (frekuensi) interferensi sintaksis
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini adalah interferensi sintaksis bahasa Jawa dalam karangan
narasi siswa kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta
tahun ajaran 2007/2008. Interferensi yang dimaksud adalah interferensi yang terjadi
pada tataran frasa dan kalimat.
Dari kelas V diperoleh 27 karangan narasi dan di dalamnya terdapat dua jenis
interferensi sintaksis,yaitu interferensi pada frasa verbal berpola pada + kata kerja 2
buah, dan frasa posesif berpola kata benda + -nya +kata benda 7 buah. Jadi
keseluruhan interferensi yang terjadi pada karangan narasi kelas V adalah 9 buah.
Sementara itu, dari kelas VI diperoleh 22 karangan narasi dan di dalamnya
juga terdapat dua jenis interferensi sintaksis. Keseluruhan interferensi itu berjumlah 5
buah yang terdiri dari, frasa verbal berpola pada + kata kerja 2 buah, dan frasa
posesif berpola kata benda + -nya + kata benda 3 buah. Jenis-jenis interferensi
sintaksis yang ditemukan pada karangan narasi siswa kelas V dan VI adalah sebagai
berikut.
1. Frasa Verbal yang berpola, pada + kata kerja.
Di dalam karangan narasi siswa kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo
ditemukan adanya 4 kesalahan siswa dalam menggunakan frasa verbal,
masing-masing 2 buah di kelas V dan 2 buah di kelas VI.
Contoh :
Lalu pencopet lari-lari, setelah itu semua pada teriak copet-copet (VI. 11).
2. Frasa Posesif yang berpola kata benda + -nya + kata benda
Di dalam karangan narasi siswa kelas V dan VI SD N Merdikorejo terdapat 10
buah kesalahan siswa dalam menggunakan frasa posesif berpola kata benda +
-nya + kata benda, masing-masing 7 buah di kelas V dan 3 buah di kelas VI.
Contoh :
… bahwa seorang laki-laki itu mencopet tasnya Ibu Nanik (VI. 10)
B. Analisis Data Penelitian
Untuk menguraikan analisis data penelitian, pada subbab ini setiap bentuk
frasa dijelaskan terlebih dahulu, kemudian diberikan contoh kalimat yang diambil
dari data penelitian. Setiap contoh kalimat akan diikuti oleh nomor urut kode data
(kode karangan I, II, III, dst.) dan nomor urut kode kalimat (1, 2, 3, dst.). Kedua
nomor urut ini akan ditulis setelah kalimat dalam data selesai, dan akan ditandai
dengan tanda kurung (…) dan diantara nomor urut data dan nomor urut kalimat data
akan diberikan tanda titik (.).
Contoh : (1) Pada saat turun dari bus tasnya Viana kejambretan dan Viana dan
teman-temannya mengejarnya tapi tidak tertangkap dan warga
mengerjarnya sampai yang mengejarnya lelah semua. (XV.6)
Pada subab berikut akan diuraikan satu persatu bentuk-bentuk frasa baru yang
membuat karangan narasi siswa telah menggunakan pola-pola frasa bahasa Jawa
dalam membuat frasa bahasa Indonesia. Macam-macam frasa itu adalah Frasa Verbal,
dan Frasa Posesif.
a. Frasa Verbal yang Berpola Pada + Kata Kerja
Kata pada dalam pola pada + kata kerja menunjukkan bahwa subjek dalam
kalimat itu jamak dan merupakan kata bantu verba.
Contoh : (2) Lalu pencopet itu lari-lari, setelah itu semua pada teriak
copet-copet, kayak ada maling. (VI.11).
(3) Ina berkata, “Tolong-tolong ada copet,” dan akhirnya orang-orang
pada keluar dari bus itu dan mengejar pencopet itu. (XLIX.9).
Bentukan pola pada + kata kerja seperti dalam dua contoh di atas tidak kita jumpai
dalam bahasa Indonesia. Bentuk pola itu dapat kita jumpai dalam bahasa Jawa. Kedua
contoh kalimat di atas, sebenarnya merupakan terjemahan siswa dari bahasa Jawa.
Frasa pada teriak dalam contoh (2) di atas merupakan terjemahan dari frasa
padha bengok dalam bahasa Jawa. Begitu pula dengan frasa pada keluar dalam
contoh (3) di atas sebenarnya merupakan terjemahan dari frasa padha metu dalam
bahasa Jawa.
Bentuk-bentuk interferensi frasa verbal bahasa Jawa dalam karangan narasi
siswa kelas V dan VI juga terjadi dalam karangan siswa dengan kode data VI kalimat
ke- 12, dan kode data XXXIII kalimat ke- 5, masing-masing adalah sebagai berikut.
- Tiba-tiba penumpang di dalam bus ketiduran, jalan yang berkelok-kelok
menjadi penumpang didalam bus semua pada bangun (XXXIII.5)
Pola frasa di atas merupakan terjemahan dari frasa padha ngoyak (VI.12) dan padha
tangi (XXXIII.5). Bentuk yang seharusnya digunakan siswa adalah berteriak (VI.12)
dan terbangun (XXXIII.5).
Jadi, kalimat yang seharusnya digunakan oleh siswa dalam karangan mereka
adalah sebagai berikut.
- Lalu pancopet itu berlari, setelah itu semua berteriak “copet-copet” seperti ada
maling.
- Ina berkata,”Tolong-tolong ada pencopet”, dan akhirnya semua orang keluar
dan mengejar pencopet itu.
- Setelah itu, semua mengejar si copet.
- Jalan yang berkelok-kelok membuat semua orang terbangun.
Data yang lebih lengkap tentang Frasa Verbal berpola pada + kata kerja terdapat
dalam lampiran.
b. Frasa Posesif
Dalam data penelitian ditemukan susunan frasa posesif model bahasa Jawa.
Dalam bahasa itu digunakan akhiran –nya pada benda yang menjadi objek. Susunan
frasa itu adalah kata benda + -nya kata benda.
Contoh : (4) Ibu Nanik sadar bahwa ada seorang laki-laki itu mencopet tasnya
(5) Pada suatu hari Evi, Rina, dan Ina mau berlibur ke rumah
neneknya Rina. (XXVIII.1)
Susunan posesif bahasa Jawa yang mempengaruhi para siswa adalah kata
benda + -ne + kata benda. Akhiran –ne dalam bahasa Jawa diterjemahkan menjadi –
nya, dalam bahasa Indonesia. Jadi, contoh di atas adalah semacam terjemahan dari
bahasa Jawa berikut :
- Bu Nanik ngerti nek ana wong lanang nyopet tase Bu nanik
- Sawijining dina Evi, Rina, lan Ina arep preinan ning omahe mbahne Rina.
Dalam bahasa Indonesia seharusnya susunan dari frasa posesif itu adalah :
- Ibu Nanik sadar bahwa ada seorang laki-laki mencopet tas Ibu Nanik tasnya)
- Pada suatu hari Evi, Rina dan Ina mau berlibur ke rumah nenek Rina.
Data lengkap mengenai frasa posesif yang terinterfensi dari pola frasa posesif
bahasa Jawa dapat dilihat dalam lampirna, sedangkan persebaran frasa posesif yang
terinterferensi pola frasa posesif bahasa Jawa dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 : Persebaran Pemakaian Frasa Posesif yang Terintereferensi Pola Frasa Posesif Bahasa Jawa dalam Karangan Narasi Siswa.
Dari uraian data di atas diketahui bahwa karangan siswa mengalami
interefensi dalam penggunaan frasa posesif. Untuk menghindari interferensi para
siswa harus dibiasakan menggunakan susunan frasa posesif yang benar di dalam
bahasa Indonesia, yaitu frasa posesif itu tersusun tanpa akhiran –nya. Interferensi ini
terjadi akibat penggunaan bahsa Jawa dalam komunikasi mereka sehari-hari.
d. Frekuensi Kemunculan Interferensi Sintaksis Bahasa Jawa dalam Karangan Narasi Siswa Kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2007 / 2008
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan ditemukan adanya interferensi
sintaksis pada tatanan frasa. Sementara interferensi sintaksis pada tatanan kalimat
tidak ditemukan dalam penelitian ini. Frekuensi kemunculan interferensi sintaksis
tatanan frasa berjumlah atau sebanyak 14 buah, di kelas V terdapat interferensi
sebanyak 9 buah dan di kelas VI terdapat interferensi sebanyak 5 buah. Persebaran
frekuensi interferensi tersebut tersaji dalam tabel 3 berikut ini.
Tabel 3 : Frekuensi Kemunculan Interferensi Sintaksis Bahasa Jawa dalam Karangan Narasi Siswa.
No Jenis Interferensi Frasa Frekuensi Kemunculan
1. Frasa Verbal
• Pada + kata kerja 4
2. Frasa Posesif
• Kata benda + -nya + kata benda 10
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa interferensi frasa posesif mendominasi
jumlah intereferensi, yaitu sebanyak 10 buah, sementara penggunaan frasa verbal
bahasa Jawa hanya terjadi sebanyak 4 buah dari seluruh jumlah penggunaan frasa
yang mengalami interferensi.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas diketahui bahwa
salah satu penyebab interferensi adalah kesulitan tambahan dalam proses penguasaan
bunyi, kata atau konstruksi bahasa kedua sebagai akibat adanya perbedaan-perbedaan
antara bahasa kedua dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada pada bahasa ibu (Lado via
Soepomo, 1977 : 24). Selain itu, interferensi juga terjadi akibat dari terbawanya
kebiasaan-kebiasaan ujaran atau dialek bahasa pertama kedalam ujaran atau dialek
bahasa kedua (Hartman dan Stock via Alwasilah, 1989 : 131). Weinreich juga
berpendapat bahwa jika seseorang menggunakan dua bahasa atau lebih, maka
diperkirakan dalam praktek penggunaan itu akan terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang disebut interferensi. (Weinreich via Hastuti, 1989 : 33).
Apa yang dikemukakan oleh Lado, Hartman dan Stock, serta Weinreich
berlaku pula dalam interferensi sintaksis bahasa Jawa dalam karangan narasi siswa
kelas V dan VI SD Negeri Merdikorejo Tempel Sleman karena, setelah peneliti
mengadakan penelitian ternyata bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi
adalah bahasa ibu mereka, yaitu bahasa jawa. Jadi, interferensi sintaksis bahasa Jawa
dalam karangan narasi siswa disebabkan oleh adanya kesulitan pada siswa dalam
proses menguasai konstruksi bahasa kedua, karena mau tidak mau kebiasaan pada
Dalam karangan narasi siswa ditemukan adanya pola-pola frasa baru, yakni
pola-pola frasa bahasa Indonesia yang sejalan dengan pola frasa bahasa Jawa.
Pola-pola frasa baru itu sudah pernah ditemukan oleh Soepomo (1977 / 1978) dan
Wijayanto (2004). Maka, penelitian ini menguatkan atau mendukung penelitian
terdahulu.
Ada persamaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Wijayanto (2004) yakni tidak ditemukannya interferensi pada tataran kalimat.
Hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu, pertama instrumen yang digunakan sama
yaitu perintah untuk menulis sebuah karangan, faktor kedua adalah adanya persamaan
dalam pemilihan populasi data. Wijayanto (2004) hanya menggunakan populasi dari
satu sekolah saja begitu pula dengan penelitian ini. Akan tetapi, ada beberapa
perbedaan antara penelitian terdahulu oleh Soepomo (1977 / 1978) dan Wijayanto
(2004) dengan penelitian yang sekarang ini. Perbedaan pertama adalah temuan pola
frasa baru dalam penelitian terdahulu lebih bervariasi terutama dalam penelitian oleh
Soepomo (1977 / 1978) dengan penelitian ini. Perbedaan kedua, dalam penelitian
Soepomo ditemukan adanya interferensi pada tataran kalimat sementara dalam
penelitian ini tidak ditemukan adanya interferensi pada tataran kalimat.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
penelitian ini tetap mendukung penelitian terdahulu yang relevan. Intereferensi frasa
yang ditemukan dalam penelitian ini juga pernah dihasilkan dalam penelitian
terdahulu. Meskipun interferensi pada tataran kalimat tidak ditemukan dalam