HUBUNGAN ANTARA KONFLIK ANTAR
ORANGTUA DENGAN AGRESIVITAS PADA
REMAJA PUTERI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Zipora Stephanie NIM: 089114049
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HUBUNGAN ANTARA KONFLIK ANTAR
ORANGTUA DENGAN AGRESIVITAS PADA
REMAJA PUTERI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Zipora Stephanie NIM: 089114049
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Masa depan itu dibeli dari masa sekarang
-Samuel Johnson-
Orang-orang yang berhenti belajar akan
menjadi pemilik masa lalu.
Orang-orang yang masih terus belajar, akan
menjadi pemilik masa depan.
-Mario Teguh-
Ku tak akan menyerah, pada apapun juga. Sebelum kucoba semua
yang ku bisa
Tetapi ku berserah, kepada kehendakNya, hatiku percaya Tuhan
punya rencana..
_song : Jonathan Prawira_
Jika anda terlahir dalam kemiskinan itu bukanlah kesalahan anda, tapi jika anda mati dalam kemiskinan itu adalah kesalahan anda. _Bill Gates_
Menang, bukan berarti menjadi “paling”.
Tetapi menang adalah karena Anda yang berusaha
lebih baik dari sebelumnya.
SKRIPSI ini kupersembahkan untuk: Tuhan Yesus Kristus
Yang selalu memegang, menopang serta menuntun hidupku dalam kebahagiaan dan kesedihan,
Serta
Untuk keluargaku terkasih dan harta terindahku dalam hidup Papa, Mama, Ci Ita, Ko Nuh Adi, Ko Adiel
HUBUNGAN ANTARA KONFLIK ANTAR ORANGTUA
DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA PUTERI
Zipora Stephanie
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan positif antara konflik antar orangtua dengan perilaku agresif pada remaja puteri. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara konflik antar orangtua dengan perilaku agresif pada remaja puteri. Subjek penelitian ini adalah 112 remaja puteri dengan batasan usia 12 tahun sampai 19 tahun. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran skala konflik antar orangtuadan skala perilaku agresif. Koefisien reliabilitas dari skala konflik antar orangtua adalah 0.923 dan koefisien reliabilitas dari skala perilaku agresif adalah 0.916. Hasil uji linearitas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kedua variabel yaitu variabel konflik antar orangtua dan perilaku agresif linier karena memiliki probabilitas sebesar 0.001 (p< 0.05). Penelitian ini menggunakan teknik korelasi Product Moment
untuk mengetahui hubungan antara konflik antar orangtua dengan perilaku agresif pada remaja puteri. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 0.297 dengan probabilitas 0,001(p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara konflik antar orangtuadengan perilaku agresif pada remaja puteri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konflik antar orangtua, maka semakin tinggi perilaku agresif pada remaja puteri.
viii
CORRELATION BETWEEN CONFLICTBETWEENPARENTS
WITH AGGRESSIVENESS IN GIRLS ADOLESCENT
Zipora Stephanie
ABSTRACT
x
KATA PENGANTAR
Syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Skripsi dengan judul “Hubungan Antara Konflik Antar Orangtua dengan Agresivitas Pada Remaja Puteri” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Selama menulis Skripsi ini, penulis menyadari bahwa ada begitu banyak pihak yang telah memberikan bantuan dengan caranya masing-masing, sehingga Skripsi ini bisa diselesaikan. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Christina Siwi. H., M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Akademik.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, S. Psi., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Sylvia Carolina MYM., M.Si. selaku Dosen PembimbingSkripsi. Terima kasih atas ilmu yang telah dibagikan dan membimbing saya dalam mengerjakan skripsi hingga selesai.
4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi, terima kasih untuk ilmu-ilmunya.
5. Seluruh karyawan Fakultas psikologi, Ibu Nanik, Mas Gandung, Mas Doni, Mas Muji, dan Pak Gie terima kasih untuk keramahan dan pelayanan selama menjalani perkuliahan.
7. Bapak Anton Bagjiantoro selaku Kepala Sekolah SMA Bruderan Purwokerto, Serta Bapak Cahyana selaku Guru di SMA tersebut yang telah memberikan ijin untuk dilakukannya penelitian. Terimakasih untuk bantuan dan pendampingan selama penelitian berlangsung.
8. Papa Akong Riyanto dan Mama Gianti Rutwati yang telah menjadi malaikat dalam hidupku. Trimakasih atas dukungan, doa, bantuan baik dalam biaya sekolah sejak kecil hingga sekarang. Trimakasih atas cinta yang papa dan mama berikan untukku. Selama Fani di Yogyakarta, hanya hasil ini yang dapat fani berikan pada papa dan mama. Tetapi, usaha dan keinginan untuk membahagiakan papa dan mama akan terus fani perjuangkan selama-lamanya. Thanks for your love unconditioning daddy and mom... i love you..
9. Saudara kandung Ci drh. Mei Ita Riyanti M.Sc, dan Ooh Adiel Rahmanto, S.Si, serta kakak ipar Ko drh. Nuh Adi Irawan M.Sc, Terimakasih atas doa, suport, dan semangat yang kalian berikan. Terimakasih juga atas bantuan dan pendampingan selama mengikuti kuliah dan menulis skripsi. Kalian selalu menjagaku dan selalu menghiburku disaat aku merasa bosan dan saat aku merasa sangat lemah dan putus asa.I Love You so Much. 10.Seseorang yang selalu ada di hatiku, Yose Yordan. Trimakasih untuk
xii
untuk keluarga ko Yordan, trimakasih untuk dukungan dan semangatnya selama ini. I Love You so much.
11.Untuk keponakanku, Mochan dan Mopy, juga untuk Alm Molexa. Terimakasih karena kalian terlah menghiburku, menemaniku, dan menjadikanku semangat dan terhibur.
12.Untuk keluarga di Solo, Om drh. Bambang Irawan, Tante Debora Iis, Ci dr. Erika Irawan, dan Hana Amelia Irawan. Juga untuk Ci Vika Yolanda di Semarang, terimakasih untuk doa dan dukungan selama ini.
13.Untuk sahabatku yang akan selalu ada di hatiku, Nia, Ivana, Nony, Maria, Titin, Ivone, Melisa, Lisa. Walaupun kalian jauh, tapi kalian tetap yang terbaik untukku. Terimakasih untuk sukacita kita selama ini. Terimakasih untuk semangat dan dukungan kalian.
14.Untuk teman-teman di gereja, ka Tien Tamba, Danank, Daniel, mas Agiel, Mas Andri, Aris, Mba ari, dll. Terimakasih atas dukungan dan doa kalian selama ini. Terimakasih karena terus menyemangatiku ketika aku sedang putus asa.
15.Sahabatku di kampus selama, Desy, Nindy, Dian, Mitha, Ci Lita, Irin, Aldo, Siska, Rina, Henry, Nopai, Agnes, Ricky, Skolastika, Ines, dan teman-teman yang lain. Terimakasih atas kebersamaan kalian dan perjuangan kita bersama dari Semester I.
ilmu-ilmu yang saling diberikan. Terimakasih untuk kebersamaan dan suka duka dalam menulis skripsi.
Dengan rendah hati penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu berbagai kritik dan saran untuk perbaikan Skripsi ini sangat diharapkan. Akhir kata, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.
Yogyakarta, September 2012 Penulis
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
...
i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
...
ii
HALAMAN PENGESAHAN
...
iii
HALAMAN MOTTO
...
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
...
v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
...
vi
ABSTRAK
...
vii
ABSTRACT
...
viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
...
ix
KATA PENGANTAR
...
x
DAFTAR ISI
...
xiv
DAFTAR TABEL
...
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
...
xix
BAB I. PENDAHULUAN
...
1
A.
Latar Belakang Masalah
...
1
B.
Rumusan Masalah
...
9
C.
Tujuan Penelitian
...
9
D.
Manfaat Penelitian
...
9
BAB II. LANDASAN TEORI
...
11
A.
Remaja
...
11
2.
Tahap Perkembangan Remaja
...
11
3.
Aspek-aspek Perkembangan Remaja
...
12
4.
Tugas Perkembangan Pada Remaja Puteri
...
16
B.
Perilaku Agresif
...
18
1.
Pengertian Perilaku Agresif
...
18
2.
Aspek-aspek Perilaku Agresif
...
19
3.
Bentuk-bentuk Perilaku Agresif
...
20
4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif
...
24
5.
Perilaku Agresif Pada Remaja Puteri
...
28
C.
Konflik
...
29
1.
Pengertian Konflik
...
29
2.
Pengertian Konflik Antar Orangtua
...
30
3.
Aspek-aspek Konflik Antar Orangtua
...
32
4.
Sumber Konflik Antar Orangtua
...
33
D.
Dinamika Hubungan Antara Konflik Antar Orangtua dan
Perilaku Agresif
...
36
E.
Hipotesis Penelitian
...
41
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
...
42
A.
Jenis Penelitian
...
42
B.
Identifikasi Variabel Penelitian
...
42
C.
Definisi Operasional
...
42
1.
Konflik Antar Orangtua
...
42
xvi
D.
Subjek Penelitian
...
49
E.
Metode Pengumpulan Data
...
49
F.
Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
...
52
1.
Estimasi Validitas
...
52
2.
Seleksi Item
...
53
3.
Estimasi Reliabilitas
...
58
G.
Teknik Analisis Data
...
59
1.
Uji Asumsi
...
59
a.
Uji Normalitas
...
59
b.
Uji Linearitas
...
59
2.
Uji Hipotesis
...
60
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
...
61
A.
Pra Penelitian, Pelaksanaan Penelitian dan Data
Demografi
...
61
1.
Pra Penelitian
...
61
2.
Pelaksanaan Penelitian
...
62
3.
Data Demografi
...
64
B.
Analisis Data
...
64
1.
Uji Normalitas
...
64
2.
Uji Linearitas
...
65
3.
Uji Hipotesis
...
66
4.
Uji Tambahan
...
67
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
...
75
A.
Kesimpulan
...
75
B.
Keterbatasan Penelitian
...
76
C.
Saran
...
76
DAFTAR PUSTAKA
...
78
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Blueprint
Skala Perilaku Agresif
...
50
Tabel 2
Blueprint
Skala Konflik Antar Orangtua
...
52
Tabel 3
Blueprint
Skala Perilaku Agresif Sebelum Uji Coba
...
54
Tabel 4
Blueprint
Skala Perilaku Agresif Setelah Uji Coba
...
55
Tabel 5
Blueprint
SkalaPerilaku Agresif Setelah Dilakukan
Penyusunan Ulang
...
56
Tabel 6
Blueprint
SkalaKonflik Antar Orangtua Sebelum Uji Coba
56
Tabel 7
Blueprint
Skala Konflik Antar Orangtua Setelah Uji Coba
57
Tabel 8
Blueprint
Skala Konflik Antar Orangtua Setelah Dilakukan
Penyusunan Ulang
...
58
Tabel 9 Deskripsi Usia Subjek Penelitian
...
64
Tabel 10 Ringkasan Uji Normalitas
...
65
Tabel 11 Ringkasan Uji Linearitas
...
66
Tabel 12 Hasil Skor Korelasi Antara Konflik Antar Orangtua
Dan Perilaku Agresif
...
67
Tabel 13 Ringkasan Uji T
...
68
Tabel 14 Ringkasan Mean Perilaku Agresif
...
69
Tabel 15 Perbandingan Mean Teoritik Dan Mean Empirik Perilaku
Agresif
...
69
DAFTAR LAMPIRAN
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perilaku agresif merupakan fenomena yang umum terjadi di masyarakat. Fenomena ini tidak pernah surut bahkan cenderung meningkat. Hal tersebut terbukti dari banyaknya berita di media massa terkait dengan Perilaku agresif yang dilakukan remaja. Sebagai contoh di daerah UKI (Universitas Kristen Indonesia) Jakarta pada tanggal 18 Febuari 2007 terjadi tawuran antara pelajar SMK Bakti-Cawang dan STM Penerbangan-blok M, yang mengakibatkan salah seorang siswa terkena luka bacok di kepala (“Tawuran antar pelajar SMK Bkati Cawang”, 2007). Di Blok-M Jakarta Selatan pada tanggal 4 Oktober 2007 terjadi tawuran antara 2 SMA yaitu SMA 6 Mahakam dan SMA 70 Bulungan yang melibatkan ratusan siswa dari masing-masing sekolah (“Tawuran antar 2 SMA”, 2007). Kemudian di Jakarta Selatan pada tanggal 20 Februari 2009 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari 50 siswa yang berasal dari SMU Cendrawasih dan STM Bakti Data (“Tawuran antar pelajar”, 2009). Selain tawuran-tawuran yang terjadi, ada banyak tindakan perilaku agresif lain yang dilakukan remaja seperti yang di laporkan oleh Kepala Bapas Surakarta antara lain selama tahun 2001 sebanyak 98 kasus. Dari kasus tersebut, remaja yang melakukan pencurian sebanyak 50 kasus, melanggar lalu lintas 3 kasus, melakukan pengrusakan 2 kasus, melakukan penganiayaan 14 kasus,
melakukan tindakan asusila 9 kasus, perkelahian menggunakan senjata tajam
1 kasus, pengeroyokan 1 kasus, pemerkosaan 7 kasus, dan melakukan
tindakan kekerasan 2 kasus. (“Laporan Kepala Bapas Surakarta”, 2001).
Perilaku agresif yang sering terjadi memang didominasi oleh remaja
putera, namun perilaku agresif juga dapat dilakukan oleh para remaja puteri.
Sebagai contoh pada akhir tahun 2011 di Bali, terjadi pengroyokan yang
dilakukan oleh geng motor puteri dengan korbannya yang juga salah satu
anggota motor tersebut. Pengroyokan tersebut disebabkan oleh hal sepele
namun para pelakunya sudah merencanakan pengroyokan tersebut dengan
menyiapkan botol bir dan gunting untuk menganiaya korbannya. Kejadian
tersebut sangat meresahkan warga Bali karena takut terjadi kerusuhan yang
semakin meluas. (“Pengroyokan remaja puteri di Bali”, 2011). Selain itu
pada 22 Oktober 2008 di Tulungagung, Jawa Timur, terjadi perilaku
agresifyang dilakukan oleh geng siswi SMU favorit di Tulungagung. Anggota
geng siswi yang menamakan dirinya sebagai “Geng Nyik-nyik” ini
melakukan penganiayaan pada seorang siswi lainnya di depan kantin sekolah.
Pelaku terlihat menampar muka dan menjambak rambut korbannya. Korban
berusaha melawan, namun tidak berdaya karena dikeroyok oleh beberapa
siswi. Hal ini dikarenakan korban tidak mau membelikan makanan untuk
geng tersebut. (“Geng cewek nyik-nyik”, 2008). Tentu contoh-contoh tersebut
tidaklah mewakili semua bentuk perilaku agresif yang terjadi. Di luar itu
masih banyak perilaku agresif yang dilakukan oleh remaja yang telah terjadi.
agresifremaja sangat marak terjadi dan begitu mudah dijumpai dalam
kehidupan masyarakat kita. Bukan hanya para remaja putera saja yang
menjadi pelaku, namun remaja puteri juga sudah menunjukan perilaku
agresif.
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab timbulnya perilaku agresif di
kalangan remaja. Salah satu tokoh psikologi sosial mengelompokan penyebab
perilaku agresif. Tokoh tersebut adalah Baron dan Byrne (1984) yang
mengelompokan tiga penyebab dasar perilaku agresif, yaitu perilaku agresif
sebagai perilaku bawaan, dorongan yang berasal dari luar, dan pembelajaran
sosial. Dari tiga penyebab dasar agresivitas tersebut, oleh beberapa ahli
kemudian dikelompokkan sebagai faktor internal dan faktor eksternal.
Kondisi internal bisa terdiri dari : kepribadian, hubungan interpersonal, dan
kemampuan. Sedangkan kondisi eksternal bisa terdiri dari : frustrasi,
provokasi, dan model yang kurang baik yang dipengaruhi dari : media massa,
pengaruh lingkungan keluarga, dan pengaruh lingkungan sebaya.
Setelah dikelompokan menjadi faktor internal dan faktor eksternal,
Monks (2002) menambahkan penjabaran lebih detail dengan menyatakan
bahwa faktor yang berasal dari kondisi internal dapat berupa remaja yang
masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya.
Hal ini dikarenakan, remaja sedang mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan baik secara fisik maupun psikologis. Hal tersebut membawa
dampak psikologis terutama berkaitan dengan adanya gejolak emosi dan
norma-norma sosial yang berlaku. Ketegangan-ketegangan yang dialami remaja
kadang-kadang tidak terselesaikan dengan baik yang kemudian menjadi
konflik berkepanjangan. Ketidakmampuan remaja dalam mengantisipasi
konflik akan menyebabkan perasaan gagal yang mengarah pada frustrasi.
Bentuk reaksi yang terjadi akibat frustrasi diantaranya perilaku kekerasan
yang dilakukan untuk menyakiti diri atau orang lain, yang sering disebut
agresi. Frustrasi tersebut sering mengganggu inteligensi dan kepribadian anak
sehingga kalut batinnya lalu melakukan perkelahian, kekerasan, kekejaman,
teror terhadap lingkungan dan perilaku agresif lainnya. Dari penjelasan di
atas, dapat diketahui remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi
untuk bertindak agresif.
Salah satu faktor ekternal yang dapat memicu remaja melakukan
tindakan agresif adalah dari tayangan televisi yang berisi kekerasan. Menurut
penelitian yang telah dilakukanoleh Apollo dan Ancok (2003), diperoleh hasil
adanya hubungan yang signifikan antara intensitas menonton tayangan
televisi yang berisi kekerasan dengan kecenderungan agresivitas remaja. Hal
ini dikarenakan televisi dapat menjadi sebuah pendorong sekaligus guru bagi
norma-norma perilaku anti-sosial ketika menyadarkan betapa banyak karakter
di televisi yang melakukan perilaku anti-sosial. Beberapa penelitian juga
membuktikan bahwa perkembangan dan perilaku manusia banyak
dipengaruhi oleh televisi. Salah satu diantaranya penelitian yang dilakukan
oleh Tucher (1897) yang melaporkan bahwa remaja yang menonton televisi
imajinatif, santai, aktif secara fisik, dapat mengontrol diri, cerdas, bermoral,
berpendidikan, religius, dan lebih percaya diri daripada remaja yang sering
menonton televisi, dan mereka juga tidak banyak mempunyai masalah
psikologis.
Faktor eksternal lain yang dapat memicu remaja menjadi berperilaku
agresif adalah teman sebaya. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan
Puspitawati (2008) menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan
antara teman sebaya dengan perilaku agresif. Pergaulan dengan teman sebaya
sangat berguna bagi remaja karena merupakan fundamental bagi kehidupan
bermasyarakat. Namun, perlu diwaspadai karena pengaruh teman sebaya
dapat memberikan peluang penyimpangan perilaku yang mengarah pada
kemerosotan moral.
Terdapat banyak faktor yang dapat memberikan kemungkinan remaja
berperilaku agresif. Salah satu faktor tersebut adalah hubungan antara kedua
orangtua. Hurlock (1987) menyatakan bahwa anak-anak yang berada pada
hubungan perkawinan orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah
mereka sebagai suatu tempat yang menyenangkan untuk hidup, dan keluarga
mereka adalah kelompok individu yang menyenangkan. Namun, apabila
hubungan keluarga buruk, maka akan mempengaruhi anggota keluarga lain,
dan tercipta suasana yang tidak menyenangkan. Pernyataan tersebut juga
serupa dengan pernyataan Hawari (1997) yang menyatakan bahwa
keharmonisan keluarga sebenarnya terletak pada erat tidaknya hubungan
kuantitas konflik antara suami istri dalam keluarga merupakan indikasi dari
keluarga yang harmonis.
Hawari (1997) juga menambahkan bahwa suatu keluarga yang baik
merupakan model bagi setiap individu yang terlibat didalamnya. Anak
biasanya mengamati dan memodeling perilaku orangtua. Karena pada awalnya mereka belajar dari mengamati dan memodeling perilaku orangtuanya. Dengan mengamati keadaan keluarga dan sikap yang dimiliki
oleh orangtuanya, anak memperoleh gagasan tersendiri mengenai kehidupan
berkeluarga dan perkawinan. Sayangnya hubungan dalam keluarga tidak
senantiasa sempurna. Tidak dapat dipungkiri, dalam setiap keluarga akan
timbul konflik dan persoalan yang tidak terelakan.
Apollo dan Ancok (2003) menambahkan bahwa apabila konflik antara
orang tua terjadi secara terus menerus, maka akan membuat anak menjadi
tumbuh dalam situasi berkonflik, walaupun konflik tersebut bisa jadi tidak
melibatkan anak mereka ataupun anak ikut menjadi pelampiasan konflik.
Situasi tersebut menimbulkan frustrasi bagi anak mereka. Frustrasi tersebut
muncul dari anak yang seringkali merasa tertekan melihat pertengkaran yang
terjadi diantara kedua orangtuanya. Walaupun remaja sudah memiliki
pemikiran secara kritis mengenai apa yang baik dan yang buruk, namun
permasalahan yang terjadi pada orangtua yang membuat anak menjadi
frustrasi karena tekanan-tekanan dan perasaan kebimbangan akan situasi yang
ada ditengah-tengahnya memiliki pengaruh pada anak untuk berperilaku
Peran orangtua merupakan titik sentral dalam usaha menciptakan
suasana rumah yang aman bagi anak mereka. Suasana yang aman bagi anak
dapat berupa hubungan keharmonisan antar anggota keluarga. Hal ini serupa
dengan pernyataan Apollo dan Ancok (2003)bahwa cara orangtua
mengembangkan pola hubungan yang harmonis diantara pasangan, akan
menjadi teladan bagi anak mereka dalam mengembangkan hubungan yang
harmonis pula dengan kedua orangtuanya. Pada akhirnya juga akan
mempengaruhi pola hubungan yang dikembangkan anak dengan
saudara-saudaranya dan dengan orang lain. Sedangkan apabila konflik-konflik yang
berkembang antara orangtua menjadi berlarut-larut, dapat menimbulkan
berbagai hal yang negatif, baik bagi remaja itu sendiri maupun dalam
hubungannya antara remaja dan orangtuanya. Kondisi demikian merupakan
suatu keadaan yang tidak baik bagi remaja yang dapat menimbulkan berbagai
permasalahan yang kompleks, baik fisik maupun sosial termasuk pendidikan,
antara lain dapat menimbulkan keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya
maupun berbagai permasalahan agresivitas.
Penelitian yang mengarah pada hubungan antara konflik antara
orangtua dengan perilaku agresif remaja sudah pernah ada yang meneliti.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Lewis (2010) yang
dilakukan pada subjek 365 mahasiswa dengan rata-rata umur putera 19,49
dan rata-rata umur puteri 19,62. Hasil dari penelitian tersebut hanya
menunjukkan perilaku agresif dalam khas remaja putera. Selain itu, penelitian
dengansubjeknya berjenis kelamin remaja putera. Oleh karena itu,
kebanyakan dari penelitian yang sudah ada melakukan penelitian pada subjek
remaja putera dan memberikan hasil perilaku agresif dalam khas remaja
putera. Hal ini melatar belakangi peneliti ingin meneliti mengenai “hubungan
antara konflik orangtua dengan perilaku agresif remaja”. Namunpeneliti
ingin menggunakan subjek penelitian pada remaja puteri. Oleh karena itu,
peneliti ingin menfokuskan pada “hubungan antara konflik antar orangtua
dengan perilaku agresif pada remaja puteri”.
Menurut Kartono dan Kartini (2006), remaja puteri memiliki peran
penting pada masa depannya. Hal ini dikarenakan remaja puteri akan menjadi
seorang ibu. Seorang ibu akan memiliki tanggung jawab yang besar dalam
membesarkan dan mendidik anak-anak mereka. Hal ini dikarenakan relasi
seorang ibu pada anak sangat penting. Apabila seorang ibu memiliki riwayat
masa remaja yang berperilaku agresif, anak tersebut memiliki kemungkinan
untuk berperilaku agresifpada masa dewasanya. Oleh karena itu,perilaku
agresif tersebut dapat ditiru atau dimodeling oleh anak mereka nantinya. Perilaku agresif tersebut juga dapat terjadi karena adanya proses
pembelajaran. Pembelajaran yang secara terus menerus akan membuat anak
menjadi lebih dapat mengeluarkan ekspresi negatif mereka. Jika hal tersebut
terjadi maka akan berdampak negatif pada diri anak sendiri dan relasi dengan
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan
masalah penelitian: Apakah ada hubungan positif yang signifikan antara
konflik antar orangtua denganperilaku agresif pada remaja puteri?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, tujuan penelitian adalah
sebagai berikut: Untuk melihat hubungan positif yang signifikan antara
konflik antar orangtuadengan perilaku agresif pada remaja puteri.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka manfaat penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Secara Teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan teori, khususnya ilmu psikologi sosial dan psikologi
perkembangan yang dapat memasukan gambaran mengenai hubungan
antara konflik antar orangtua dengan perilaku agresif pada remaja puteri.
2. Secara Praktis
a. Manfaat bagi remaja puteriadalah agar dapat menambah
pengetahuan mengenai hubungan antara konflik antar orangtua
dengan perilaku agresif pada remaja puteri. Melalui pengetahuan
dengan situasi dan kondisi lingkungan serta dengan cara yang dapat
diterima masyarakat sehingga dapat mengurangi angka agresivitas
yang terjadi.
b. Manfaat bagi orangtua adalah untuk dapat memberikan gambaran
mengenai hubungan konflik antar orangtua dengan perilaku
agresivitas yang terjadi pada remaja puteri, sehingga dapat
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Remaja1. Pengertian Remaja
MenurutMonks(2002), istilah adolesensiatau remaja berasal dari kata latin yaitu ‘adolescere’ yang berarti perkembangan menjadi dewasa. Piaget (dalam Hurlock,1999) menambahkan pernyataan tersebut bahwa
istilah adolescence mempunyai arti lebih luas yaitu mencakup emosional, mental, sosial dan fisik. Dari dua definisi adolescene yang diberikan oleh Monks dan Piaget tersebut, dapat disimpulkan bahwa masa remaja
merupakan perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa
yang mencakup perubahan biologis, kognitif, emosi dan sosial, sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Santrock (2003).
2. Tahap Perkembangan Remaja
Batasan usia yang ditetapkan para ahli untuk masa remaja
berbeda-beda. Rentan usia remaja menurut Santrock (2003) adalah antara 12
sampai 19 tahun. Santrock membagi 2 masa remaja menjadi 2 fase, yaitu
remaja awal (early adolescence) yaitu antara 12 sampai 15 tahun yang diperkirakan sama dengan masa sekolah menengah pertama dan sedang
mengalami masa pubertas dan masa perubahan dan perkembangan, dan
Pendapat yang hampir sama dengan Santrock adalah Hurlock
(1999) yang menyatakan rentang usia remaja berkisar pada usia 13-18
tahun. Hurlock (1999) membagi usia remaja menjadi dua bagian, yaitu
awal masa awal remaja yang berlangsung dari usia 13 tahun sampai 17
tahun, dan masa akhir remaja yang bermula dari usia 17 tahun sampai 18
tahun.
Berbeda dengan pendapat Hurlock dan Santrock yang membagi
usia remaja menjadi dua bagian, Monks (2002) menyatakan bahwa
batasan usia remaja antara 12 sampai 21 tahun, yang terbagi dalam tiga
fase yaitu remaja awal yakni antara usia 12 hingga 15 tahun, remaja
tengah/madya antara usia 15 hingga 18 tahun dan remaja akhir yang
berusia antara 18 hingga 21 tahun.
Senada dengan pendapat Monks, Suryabrata (1981) membagi masa
remaja menjadi tiga, masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja
pertengahan 15-18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun. Pada masa
remaja mengalami perkembangan kematangan alat kelamin fisik, dimana
remaja puteri mengalami menstruasi yang berkisar pada usia 11 hingga
15 tahun. Berdasarkan data diatas, peneliti menggunakan rentang usia 12
hingga 19 tahun sesuai dengan pandangan Santrock (2003).
3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja
Menurut Santrock (2003), masa remaja adalah suatu masa dimana
perubahan dan perkembangan yang cepat baik secara aspek fisik,
kognitif, emosi maupun sosial. Aspek-aspek tersebut antara lain:
a. Perkembangan Fisik
Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan
aspek fisiologis, di masa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormone, seperti hormone gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat kemasakan sel telur. Dampak
dari produksi hormone tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Atwater (1992) adalah dengan menstruasi, membesarnya pinggul,
buah dada dan puting susu semakin tampak menonjol. Tumbuh
rambut dikemaluan, ketiak, lengan kaki serta kulit wajah. Terjadi
perubahan suara dari kanak-kanak menjadi lebih merdu (melodious).
Kelenjar keringat lebih aktif sehingga kulit menjadi lebih kasar dan
pori-pori bertambah besar.
Perubahan perkembangan remaja puteri berlangsung dengan
cepat. Friedman (1998) menyatakan bahwa remaja puteri
membutuhkan dukungan dari orangtua dan keluarga. Apabila
keluarga mengalami berbagai macam konflik, maka dukungan pada
remaja menjadi terabaikan. Hal ini memungkinkan remaja menjadi
tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri dan
b. Perkembangan Kognitif
Seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena
perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget,
remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka. Dimana
informasi yang didapat tidak langsung begitu saja diterima ke dalam
skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan hal-hal
atau ide-ide yang lebih penting dibanding lainnya, lalu remaja juga
sudah mampu menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja
tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi
remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga
memunculkan suatu ide baru. Remaja puteri mengalami
perkembangan kognitif dengan melibatkan juga perkembangan
emosional. Friedman (1998) menyatakan bahwa apabila yang
dialami dan diamati oleh remaja puteri adalah suatu bentuk
pertikaian diantara orangtua, remaja puteri menggunakan pengolahan
pemikiran dan juga perasaan untuk juga dapat merasakan apa yang
terjadi dalam kehidupan keluarga dan juga orangtua. Hal ini
membuat remaja puteri diharapkan sudah dapat mengolah sendiri
apa yang terjadi. Hal ini dikarenakan remaja sudah dapat memberi
penilaian tersendiri dan mengolah pemikiran tersendiri.
c. Perkembangan Sosial-Emosional
Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa
Peningkatan emosional remaja didukung dari segi kondisi sosial,
dimana pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditunjukan
pada remaja. Remaja puteri memiliki emosional yang lebih halus.
Hal ini dikarenakan tuntutan remaja puteri yang diharapkan mampu
menjaga emosi secara tidak berlebih dan mengeluarkan emosi secara
tepat. Namun pada perkembangannya, remaja juga mengalami
tuntutan dan tekanan yang berasal dari lingkungan keluarga dan
lingkungan dari masyarakat. Misalnya,tuntunan yang remaja puteri
peroleh adalah mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti
anak-anak, mereka harus mandiri dan bertanggung jawab serta harus
menjaga peran sebagai remaja puteri. Selain itu, menurut Friedman
(1998), tekanan yang diperoleh dari remaja adalah
permasalahan-permasalahan yang terjadi pada keluarga membuat remaja menjadi
kurang nyaman dengan situasi tersebut. Dengan demikian, seiring
dengan perkembangannya remaja akan mampu menahan diri untuk
tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrim dan mampu
mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan
kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat.
Oleh karena itu, Hurlock(1999), memberikan istilah bahwa
remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi
emosi yang stabil. Nuryoto (1992) menambahkan pandangan
tersebut dengan memaparkan ciri-ciri kematangan emosi pada masa
bersikap kekanak-kanakan. (2) bersikap rasional. (3) bersikap
objektif (4) dapat menerima kritikan orang lain sebagai pedoman
untuk bertindak lebih lanjut. (5) bertanggung jawab terhadap
tindakan yang dilakukan. (6) mampu menghadapi masalah dan
tantangan yang dihadapi.
4. Tugas Perkembangan Pada Remaja Puteri
Secara khusus, remaja puteri juga memiliki tugas perkembangan,
menurut Havighurs (dalam Yusuf, 2008) tugas-tugas perkembangan
masa remaja sebagai berikut:
a. Menerima keadaan fisik. Remaja puteri mengalami pertumbuhan
lebih cepat dalam hal pertumbuhan fisik bila dibandingkan dengan
remaja putera. Friedman (1998) menyatakan bahwa remaja puteri
memerlukan dukungan dari keluarga dan orangtua. Apabila remaja
puteri mengalami pengabaian dukungan dari orangtua dikarenakan
orangtua mengalami konflik pribadi, maka remaja puteri mengalami
ketidak percayadiri. Hal ini membuat dukungan dari orangtua cukup
penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada remaja puteri
sehingga remaja tersebut dapat menerima diri mereka.
b. Menerima peran sebagai wanita. Remaja puteri diharapkan mampu
menjaga peran sebagai wanita yang pada budaya Indonesia masih
menjunjung tinggi peran wanita yang baik. Friedman (1998)
remaja puteri dalam membangun perannya sebagai seorang wanita.
Oleh karena itu, remaja puteri harus dapat menentukan peran wanita
yang seperti apa yang akan menjadi langkah remaja selanjutnya.
Peran remaja puteri sekarang lebih diberikan kebebasan daripada
remaja puteri pada generasi sebelumnya, sebagai contoh remaja
puteri dapat memilih secara mandiri untuk bekerja dalam bidang
bisnis atau profesi lainnya.
c. Menjalin hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya. Pada
usia remaja, apabila remaja mengalami ketidaknyamanan dalam
lingkungan keluarga, maka remaja tersebut akan mencari lingkungan
yang dapat menjadi tempat perkembangan remaja. Pada remaja
puteri akan cenderung membentuk “kelompok”. Hubungan dengan
teman sebaya diharapkan dapat membuat remaja puteri menjadi
lebih nyaman dan dapat mengganti ketidaknyamanan dari konflik
antar orangtua.
d. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang
dewasa lain, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan tentang
tingkah laku pribadinya sendiri.
e. Memperoleh kebebasan untuk mengatur ekonomi/keuangan. Hal ini
dikarenakan remaja puteri lebih memiliki perhitungan dan
pengaturan ekonomi yang lebih baik dari remaja putera.
g. Mengembangkan ketrampilan dan konsep intelektual yang
diperlukan dalam hidup sebagai warga negara.
h. Menginginkan dan berperilaku yang diperbolehkan oleh masyarakat.
Remaja puteri diharapkan dapat berperilaku patuh, mengikuti
arturan, tidak bersikap arogan dan bersikap tertib.
i. Mempersiapkan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga.
B. Perilaku Agresif
1. Pengertian Perilaku Agresif
Banyak ahli atau tokoh yang mengartikan agresi dengan makna
yang hampir serupa. Secara umum perilaku agresif dapat diartikan
sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh organisme terhadap
organisme lain atau objek lain atau bahkan pada dirinya sendiri
(Dayakisni dan Hudaniah, 2003). Dari pengertian secara umum tersebut,
Krahe (2005) menjelaskan dengan membagi perilaku agresif dalam tiga
faktor perilaku agresif yaitu, akibat yang merugikan/menyakiti, niat dan
harapan untuk merugikan, dan keinginan orang yang menjadi sasaran
agresi untuk menghindari stimulus yang merugikan itu.
Hal ini didukung oleh Robert Baron (dalam Koeswara, 1998)
yang menyatakan bahwa perilaku agresif adalah tingkah laku individu
yang ditujukan untuk melukai atau mencelakai individu lain yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Definisi dari Baron ini
mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi
korban, dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku.
Medinnus dan Johnson (1974), menjelaskan bahwa perilaku agresif bisa
berupa tingkah laku fisik maupun secara verbal.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
agresif adalah perilaku yang dilakukan dengan niat untuk
mencelakai/melukai organisme lain atau objek lain atau bahkan pada
dirinya sendiri dan menimbulkan harapan bahwa tindakan tersebut akan
menghasilkan suatu akibat yang dirasakan oleh individu atau pun
kelompok dengan adanya keinginan korban untuk menghindarinya.
2. Aspek-Aspek Perilaku Agresif
Krahe (2005) merangkum sembilan aspek perilaku agresif untuk
mengkarakteristikan berbagai macam bentuk agresi, yaitu:
a. Modalitas respon (Response modality), meliputi perilaku agresif secara fisik atau secara verbal.
b. Kualitas respon (Response quality), meliputi perilaku agresif yang berhasil mengenai sasaran atau perilaku agresif yang gagal mengenai
sasaran.
c. Kesegeraan (Immediacy), meliputi perilaku agresif yang dilakukan individu langsung kepada sasaran atau yang dilakukan melalui
d. Visibilitas (Visibility), meliputi perilaku agresif yang tampak dari perilaku individu atau yang tak tampak dari luar namun dirasakan oleh
individu.
e. Hasutan (Instigation), meliputi perilaku agresif yang terjadi karena diprovokasi atau yang merupakan tindakan balasan.
f. Arah sasaran (Goal direction), meliputi perilaku agresif yang terjadi karena adanya rasa permusuhan kapada sasaran (hostility) atau yang dilakukan karena adanya tujuan lain yang diinginkan (instrumental). g. Tipe kerusakan (Type of damage), meliputi perilaku agresif yang
menyebabkan kerusakan fisik atau yang menyebabkan kerusakan
psikologis pada sasaran agresi.
h. Durasi akibat (Duration of consquences), meliputi perilaku agresif yang menyebabkan kerusakan sementara atau yang menyebabkan
kerusakan jangka panjang.
i. Unit-unit sosial yang terlibat (Social unit involved), meliputi perilaku agresif yang dilakukan individu atau yang dilakukan secara
berkelompok.
3. Bentuk-bentuk Perilaku Agresif
Menurut Buss, (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003 ) perilaku
agresif dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Dapat di ekpresikan secara
verbal, seperti memaki atau penyerangan meliputi serangan langsung
terhadap orang lain. Perilaku agresif dapat diekspresikan secara pasif,
seperti ketika seseorang menghalangi pekerjaan orang lain dengan
mengalihkan perhatian orang tersebut atau sikap tidak mau bekerja sama.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Buss (dalam Dayakisni dan
Hudaniah, 2003) membagi perilaku agresif kedalam beberapa bentuk
yaitu:
a. Perilaku agresif fisik aktif langsung
Perilaku agresiffisik aktif langsung adalah perilaku agresiffisik
yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan
secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi
target dan terjadi kontak fisik secara langsung. Contohnya memukul,
menikam atau menembak seseorang.
b. Perilaku agresif fisik pasif langsung
Perilaku agresif fisik pasif langsung adalah perilaku
agresiffisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara
tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain
yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung.
Contohnya memasang ranjau atau jebakan untuk melukai orang lain,
menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh orang lain.
c. Perilaku agresif fisik aktif tidak langsung
Perilaku agresif fisik aktif tidak langsung adalah perilaku
menjadi targetnya namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung.
Contohnya demonstrasi, aksi mogok dan aksi diam.
d. Perilaku agresif fisik pasif tidak langsung
Perilaku agresif fisik pasif tidak langsung adalah perilaku
agresif fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara
tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi
targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung. Contohnya
tidak peduli, apatis, masa bodoh, menolak melakukan tugas penting,
tidak mau melakukan perintah.
e. Perilaku agresif verbal aktif langsung.
Perilaku agresif verbal aktif langsung adalah perilaku agresif
verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara
berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain.
Contoh menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan,
mengomel.
f. Perilaku agresif verbal aktif tidak langsung.
Perilaku agresif verbal aktif tidak langsung adalah perilaku
agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak
berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang
menjadi targetnya. Contoh menyebarkan berita tidak benar atau gosip
g. Perilaku agresif verbal pasif langsung.
Perilaku agresif verbal pasif langsung, yaitu perilaku agresif
verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak
berhadapan dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi
kontak verbal secara langsung, seperti menolak bicara, bungkam.
h. Perilaku agresif verbal pasif tidak langsung.
Perilaku agresif verbal pasif tidak langsung, yaitu perilaku
agresif verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok lain yang
menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung,
seperti tidak memberi dukungan, tidak menggunakan hak suara.
Sementara itu Medinus dan Johnson (dalam Dayakisni, 2003)
mengelompokkan agresi menjadi empat kategori yang hampir sama
dengan pengelompokan yang dipaparkan oleh Buss, pengelompokan
tersebut yaitu :
a. Menyerang fisik, yang termasuk didalamnya adalah memukul,
mendorong, meludahi, menendang, menggigit, meninju, memarahi
dan merampas.
b. Menyerang suatu objek, yang dimaksudkan disini adalah menyerang
benda mati atau binatang
c. Secara verbal atau simbolis, yang termasuk didalamnya adalah
mengancam secara verbal, memburuk-burukkan orang lain, sikap
mengancam dan sikap menuntut.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif
Menurut Martono dan Joewana (2006), ada faktor-faktor
penyebab timbulnya perilaku agresif, antara lain:
a. Faktor Pribadi
Remaja dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di
lain pihak, ia harus mengembangkan identitas diri secara positif. Ia
harus beralih dari reaksi kekanak-kanakan ke pertimbangan yang lebih
rasional dan dewasa. Oleh karena itu, remaja perlu memiliki pedoman
tata nilai yang jelas. Jika remaja tidakmemiliki pedoman tata nilai
yang jelas maka kemungkinan akan terjadi kekaburan nilai. Apalagi
jika tidak ada tokoh yang dapat dijadikan panutan atau norma-norma
masyarakat juga dapat memungkin memiliki kekaburan dan
ketidakjelasan nilai. Hal ini akan mengakibatkan terjadi krisis
identitas pada diri remaja.
Tidak tercapainya identitas diri yang positif, menimbulkan
ketegangan (stress) dan kecemasan pada remaja. Kekerasan merupakan sikap agresi sebagai pelampiasan rasa frustrasi. Mereka
mengambil identitas negatif dan terjerumus pada kenakalan remaja.
Bagi mereka, lebih baik daripada terombang-ambing dalam
ketidaktahuan diri.
b. Faktor Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang utama dan
terjadi gangguan perkembangan kejiwaan anak. Sumbernya, antara
lain rumah tangga kacau, orang tua yang berkonflik, orang tua sibuk
dan kurang memperhatikan kebutuhan kasih sayang bagi anak, orang
tua terlalu memanjakan anak, kurangnya perhatian terhadap
pendidikan anak, perilaku orang tua yang tidak dewasa dan
menyimpang.
c. Faktor Lingkungan Kelompok Sebaya
Jika kondisi di rumah kurang menunjang, anak mencari
perhatian dan identitas diri diluar. Kelompok teman sebaya memiliki
kemungkinan dapat mempengaruhi remaja menjadi agresif. Remaja
ingin diterima kelompok sebayanya sehingga mau mengikuti
peraturan dan norma yang ditetapkan kelompok. Ada rasa bangga
karena banyak kawan dan merasa diri popular. Ukuran popularitas
adalah kemewahan, kekuatan fisik, kelihaian, dan sebagainya.
d. Faktor Lingkungan Sekolah
Kondisi sekolah yang tidak menguntungkan proses pendidikan
pada anak, keadaan guru dan sistem pengajaran yang tidak menarik,
menyebabkan anak cepat bosan. Untuk menyalurkan rasa tidak
puasnya, mereka meninggalkan sekolah atau membolos dan
bergabung dengan kelompok anak-anak yang tidak sekolah, yang
pekerjaannya hanya berkeliaran tanpa tujuan yang jelas.
Selain faktor-faktor tersebut, jumlah siswa yang terlalu besar,
pelajar dan guru, disiplin dan tata-tertib sekolah yang rendah,
kurangnya sarana dan prasarana sekolah, memahami didaktik atau
metodik mengajar, kurangnya kegiatan ekstrakurikuler, merupakan
faktor-faktor penyebab perilaku agresif remaja.
e. Faktor Lingkungan Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi, besarnya jurang antara kelompok
yang ‘punya’ dan yang ‘tidak punya’, kurangnya sarana transportasi,
lingkungan fisik perkotaan yang tidak mendukung perkembangan diri
anak dan remaja, situasi politik yang tidak menentu, lemahnya
penegakan hukum, rendahnya disiplin masyarakat, dan pengaruh
media massa merupakan penyebab meningkatnya budaya kekerasan.
Berbeda dengan Martono dan Joewana, menurut Deaux, Dane,
&Wrightsman (1993) faktor atau kondisi yang mempengaruhi munculnya
perilaku agresif yaitu :
a. General arousal
Model general arousal menunjuk pada keadaan arousal yang umum yang akan meningkatkan kecenderungan perilaku agresif.
Ekspresi kemarahan maupun emosi yang lainnya tergantung pada
tiga faktor yaitu kebiasaan / watak seseorang yang dipelajari,
b. Serangan secara fisik dan verbal
Perkataan langsung dan serangan fisik adalah pengaruh yang
paling nyata dalam perilaku agresif. Dalam segala kemungkinan
seseorang akan terpancing (dan akan bereaksi) untuk membalas
agresi fisik dan verbal tersebut.
c. Dorongan pihak ketiga
Agresi tidak selalu muncul dalam keadaan terisolasi.
Seringkali orang-orang lain yang berada disekitar kita ikut terlibat
dalam interaksi. Contohnya dalam suatu pertarungan, penonton dapat
secara antusias memaksa petarung favorit mereka untuk
menghancurkan lawan.
d. De-individusiasi
Saat orang-orang tidak bisa terindentifikasi, mereka
cenderung untuk membentuk sikap anti sosial. Jelasnya, agresi lebih
mungkin dan lebih dapat ditoleransi saat kita tidak bisa melihat
konsekuensi dari tindakan kita.
e. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan sering kali mempengaruhi mood seseorang. Donnersitein dan Wilson (1976) berdasarkan hasil
penelitiannya menemukan bahwa tingkat keributan dapat menambah
tingkat perilaku agresif. Kondisi udara yang tidak menyenangkan
seperti asap, kabut, juga mempengaruhi perilaku agresif. Banyak
dan kekerasan. Robert Baron dan mahasiswanya menemukan bahwa
dalam beberapa kondisi, cuaca panas menambah kecenderungan
perilaku agresif, bahkan pada subjek yang tidak sedang marah.
f. Media massa
Di beberapa media televisi sering menampilkan program
yang acaranya sebagian besar berupa penayangan film yang
bertemakan kekerasan, perkelahian, pemukulan, pembunuhan,
kekerasan media massa semacam ini dianggap dapat merangsang
untuk berperilaku agresif.
g. Frustrasi
Tahun 1939, Dollard, Doob, Miller, Mowrer dan Sears
membuat hipotesa bahwa frustrasi adalah sebagai penyebab dari
perilaku agresif. Hipotesa frustrasi – perilaku agresif mengangatakan
bahwa terjadinya perilaku agresif selalu diikuti oleh frustrasi. Disisi
lain Wagiman (1997) menyatakan bahwa hukuman merupakan salah
satu alat yang digunakan untuk mendisiplinkan anak. Namun
hukuman juga dapat mengakibatkan anak menjadi frustrasi.
Sehingga frustasi dapat menyebabkan perilaku agresif.
5. Perilaku Agresif Pada Remaja Puteri
Menurut Condry dan Ross (dalam Hogg dan Vaughan, 2002) sejak
awal masa anak-anak, laki-laki cenderung lebih berperilaku agresif
2000)yang menyebutkan bahwa anak perempuan melakukan permainan
yang menuntut kehalusan motorik dan non agresif, seperti
masak-masakan, bermain boneka.
Hasil penelitian Sears (dalam Koeswara, 1988) menemukan
bahwa anak perempuan cenderung melakukan penyerangan secara
psikologis seperti perilaku agresif secara verbal. Idrus (2001) juga
memiliki pendapat dan pandangan anak perempuan lebih menahan dan
menekan perasaan emosi tersebut. Hal ini dikarenakan kultur yang ada
pada budaya Indonesia menanamkan bahwa anak perempuan diharapkan
untuk dapat mengeluarkan emosi secara tidak berlebihan. Oleh sebab itu,
anak perempuan lebih menahan dan menekan emosi tersebut. Emosi
yang ditekan dan ditahan tersebut akan menimbulkan frustrasi pada diri
anak. Apabila anak tidak mampu mengelola emosi tersebut, maka emosi
tersebut akan keluar menjadi perilaku agresif. Namun perilaku agresif
yang keluar pada remaja putri merupakan pertahanan diri akan emosi
yang dipendam dengan kultur dalam budaya yang ditanamkan.
C. Konflik
1. Pengertian Konflik
Pruitt dan Rubin (2003) memiliki dua pandangan mengenai istilah
konflik. Istilah “conflict” yang pertama diartikan dalam bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan yaitu berupa
berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi
atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. Secara singkat, istilah
“conflict” menjadi begitu meluas sehingga berisiko kehilangan statusnya
sebagai sebuah konsep tunggal. Definisi yang kedua mengenai konflik
berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence
of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang
berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
Hal ini secara sederhana diartikan oleh Johnson (dalam
Supratiknya, 1995) yang dimaksud konflik yaitu situasi dimana tindakan
salah satu pihak bersifat menghalangi, menghambat maupun mengganggu
pihak lain. Pada umumnya masyarakat memandang konflik sebagai
keadaan yang buruk dan harus diselesaikan. Selain itu konflik dapat
diterjemahkan dari beberapa istilah, yaitu perbedaan pendapat, persaingan
maupun permusuhan. Orang sering menganggap konflik terjadi karena
sebuah persoalan, namun konflik sebenarnya terjadi kemungkinan karena
komunikasi yang kurang baik/buruk. Komunikasi yang buruk merupakan
permasalahan terbesar terjadinya konflik. Banyak sekali konflik yang
terselesaikan jika komunikasi berjalan dengan lancar dalam suatu
hubungan.
2. Pengertian Konflik Antar Orangtua
Konflik antar orangtua bisa terjadi karena dalam hubungan itu
Claire (1997) yang mengacu pada konflik perkawinan menyatakan bahwa
konflik orangtua adalah pergumulan mental antara suami dan istri yang
disebabkan oleh keberadaan dua pribadi yang memiliki pandangan,
tempramen, kepribadian dan tata nilai yang berbeda dalam memandang
sesuatu dan menyebabkan pertentangan sebagai akibat dari adanya
kebutuhan, usaha, keinginan, atau tuntutan dari luar maupun dalam yang
tidak sesuai atau bertentangan. Hal ini didukung juga dengan pendapat
yang sama oleh Gamble dan Gamble (2005) yang menjelaskan bahwa
konflik seringkali terjadi ketika sejumlah perbedaan bertemu. Seperti
yang telah kita lihat bahwa konflik adalah sebuah benturan antara
perbedaan keyakinan, opini, nilai, keinginan, pendapat dan perbedaan
tujuan. Benturan-benturan tersebut muncul akibat kejujuran, perbedaan,
adanya kesalahpahaman, kemarahan, atau bahkan adanya
harapan-harapan yang tidak terpenuhi dari seseorang/ pasangan atau situasi yang
ada.
Namun pengertian yang secara sangat singkat dikemukakan oleh
Beebe (1996, pp. 296) yang menyatakan bahwa konflik antara orangtua
adalah “conflict is a struggle that occure when two people cannot agree
upon a way to meet their needs.” Hal ini dapat diartikan bahwa sebuah
konflik itu akan terjadi ketika dua orang yang terlibat tidak menyetujui
cara-cara yang dipakai untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa konflik
ibu dalam hubungan pernikahan yang dapat disebabkan karena beberapa
sumber pertikaian sehingga tidak terpenuhinya suatu kebutuhan
kehidupan.
3. Aspek-aspek Konflik Antar Orangtua
Konflik antar orangtua mengacu pada aspek-aspek konflik
pernikahan yang dikemukakan oleh Gottman dan Declaire (1997), yaitu :
a. Terjadinya kekerasan fisik pada pasangan
Terjadinya kekerasan fisik ditandai dengan adanya perilaku
yang menunjukan kekerasan fisik dari salah satu pasangan kepada
pasangannya atau kedua pasangan tersebut menunjukkan kekerasan
fisik. Contohnya menampar pasangan atau saling memukul.
b. Pelontaran kekerasan secara verbal
Pelontaran kekerasan verbal ditandai dengan adanya perilaku
yang menunjukan penghinaan, kecaman, atau ancaman yang
dilontarkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya, atau
kedua pasangan tersebut saling menyerang secara verbal yang
berakibat menyakiti atau melukai perasaan pasangannya saat konflik
terjadi.
c. Sikap bertahan
Sikap bertahan sebagai upaya membela diri saat konflik
terjadi atau upaya mempertahankan diri atas serangan umpatan dari
Contohnya sikap secara verbal yaitu dengan sikap keras kepala dan
menggunakan logika, individu berusaha mempertahankan
pendapatnya dan merasa pendapatnya yang paling benar.
d. Menarik diri dari interaksi pasangan.
Menarik diri dari interaksi pasangannya yaitu perilaku yang
menunjukan penghindaran dengan pasangan dan biasanya pasangan
menunjukan perilaku diam daripada melontarkan kekecewaan
terhadap pasangan.
4. Sumber Konflik Antar Orangtua
Setiap orangtua dalam menjalankan kehidupan rumah tangganya
tidak bisa selalu berjalan dengan baik, pasti akan menemui berbagai
hambatan ataupun konflik. Konflik-konflik yang terjadi pada orangtua
disebabkan oleh berbagai sumber konflik. Menurut Liliweri (2005)
sumber konflik secara umum sebagai berikut:
a. Konflik Perbedaan Nilai.
Kebanyakan konflik terjadi karena perbedaan nilai. Nilai
merupakan sesuatu yang menjadi dasar, pedoman, tempat setiap
manusia menggantungkan pikiran, perasaan dan tindakan seseorang.
Orangtua sering kali memiliki perbedaan akan nilai-nilai yang yang
ditanam. Apabila orangtua tidak bisa menghargai nilai yang
b. Kurangnya komunikasi.
Dalam hal ini, faktor kesibukan yang sering menjadi pemicu
kurangnya komunikasi yang terjadi. Peran sebagai suami dan istri
yang sama-sama sibuk, apabila tidak diimbangi dengan komunikasi
yang baik, maka akan membuat hubungan menjadi kurang baik.
komunikasi yang baik bisa terdiri dari adanya kejujuran dari setiap
pasangan, saling terbuka dan saling memberikan waktu untuk
mengungkapkan perhatian.
c. Kepemimpinan yang kurang efektif / pengambilan keputusan tidak
adil.
Jenis konflik ini sering terjadi dalam organisasi atau kehidupan
bersama dalam sebuah komunitas dan masyarakat. Dalam hubungan
suami istri, suami diharapkan dapat menjadi seorang pemimpin bagi
keluarganya. Namun walaupun seorang suami menjadi pemimpin
keluarga, hendaknya ia dapat mengambil keputusan sesuai dengan
keputusan bersama dan bersifat adil. Dalam hal ini dibutuhkan rasa
saling menghargai dan terbuka, sehingga dapat menentukan keputusan
yang adil.
d. Ketidakcocokan peran.
Hal ini terjadi karena dua pihak mempersepsikan sangat
berbeda peran mereka masing-masing. Peran seorang ibu yang
di dalam dapur, mengurus keperluan rumah tangga. Sedangkan peran
seorang ayah yang dianggap oleh masyarakat umum sebagai seorang
yang bekerja mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya.
Ketidakcocokan peran tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang
dapat menyebabkan orangtua tidak tergantung pada peran orangtua
yang secara umum dipandang oleh masyarakat.
e. Produktivitas rendah.
Konflik sering terjadi karena pemasukan dan pengeluaran yang
tidak seimbang. Rumah tangga akan berjalan stabil dan harmonis bila
didukung oleh kecukupan dan kebutuhan hidup, segala keperluan dan
kebutuhan rumah tangga dapat stabil bila telah terpenuhi keperluan
hidup (ekonomi). Membina dan mengayuh bahtera rumah tangga tidak
sebatas memodalkan cinta dan kasih sayang namun faktor ekonomi
mempunyai pengaruh. Sehingga terjadi problema rumah tangga,
faktor dominan adalah masalah ekonomi, dimana pihak suami tidak
mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, padahal pemenuhan
biaya hidup merupakan hal yang prinsip.
Kestabilan ekonomi atau biaya hidup keluarga tidak bisa
diremehkan, atau hanya bersikap pasrah dan menerima apa adanya.
Tidak sedikit basis gagalnya menciptakan rumah tangga harmonis dan
bahkan menjadi retak serta berantakan dikarenakan kondisi ekonomi
f. Konflik belum terpecahkan.
Banyak konflik antara dua pihak yang sebelumnya tidak dapat
diselesaikan. Hal ini membuat adanya perasaan yang secara otomatis
menjati tekanan dan perselisihan yang tak henti-hentinya.
D. Dinamika Hubungan Antara Konflik Antar Orangtua dan Perilaku Agresif
Masa remaja merupakan perkembangan transisi antara masa anak dan
masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, emosi, dan sosial
(Santrock, 2003). Perubahan biologis yang terjadi pada masa remaja adalah
perubahan baik dari internal maupun eksternal. Perubahan biologis secara
internal antara lain sistem sirkulasi, pencernaan, dan lain sebagainya,
sedangkan perubahan secara eksternal adalah berubahnya tinggi badan, berat
badan, bentuk badan, dan lain sebagainya. Perubahan kognitif yang dialami
pada masa remaja adalah pemikiran remaja yang sudah mulai berpikir kritis.
Remaja mengolah informasi yang didapat dengan tidak langsung begitu saja
diterima ke dalam skema kognitif mereka. Perubahan emosi juga sangat cepat
terjadi pada masa remaja. Peningkatan emosional ini merupakan hasil
perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Selain itu
adanya tekanan dan tuntutan dari luar yang dapat mempengaruhi perubahan
emosi remaja. Perubahan sosial yang dialami oleh remaja adalah pengaruhnya
lingkungan teman sebaya dan orangtua yang mempengaruhi sikap remaja.
memadai untuk menentukan tindakan sendiri, namun penentuan diri remaja
dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dan pengaruh dari teman
sebaya dan orangtua.
Faktor dari keluarga memberi pengaruh pada perkembangan dan
perubahan remaja. Menurut Martono dan Joewana (2006), keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang utama dan pertama bagi anak. Jika
suasana keluarga kurang mendukung, dapat memungkinkan terjadi gangguan
perkembangan kejiwaan anak. Sumbernya, antara lain rumah tangga kacau,
orang tua yang berkonflik, orang tua sibuk dan kurang memperhatikan
kebutuhan kasih sayang bagi anak, orang tua terlalu memanjakan anak,
kurangnya perhatian terhadap pendidikan anak, perilaku orang tua yang tidak
dewasa dan menyimpang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan setiap keluarga tidaklah
senantiasa sempurna, akan timbul konflik dari persoalan yang tidak dapat
dielakkan. Namun apabila konflik dapat diselesaikan dengan cara yang baik
dan dengan sikap yang lunak maka akan tercipta hubungan yang harmonis
dalam keluarga. Pengertian konflik menurut Gamble dan Gamble (2005)
adalah konflik seringkali terjadi ketika sejumlah perbedaan bertemu. Seperti
yang telah kita lihat bahwa konflik adalah sebuah benturan antara perbedaan
keyakinan, opini, nilai, keinginan, pendapat dan perbedaan tujuan.
Benturan-benturan tersebut muncul akibat kejujuran, perbedaan, adanya
kesalahpahaman, kemarahan, atau bahkan adanya harapan-harapan yang tidak
Konflik antara orangtua yang terjadi secara terus menerus akan
berakibat negatif pada anak mereka. Perilaku orangtua adalah suatu panutan
dalam perilaku anak. Hal ini dikarenakan anak biasanya mengamati dan
memodeling perilaku orangtuanya. Kepribadian seorang anak terbentuksalah
satunya dari apa yang dipelajari dari sikap orangtuanya. Pembentukan dari
apa yang dipelajari tersebut bukan hanya melalui apa yang dikatakan, tetapi
apa yang nampak dari perilaku orangtua di dalam rumah tangga. Apollo dan
Ancok (2003) menambahkan bahwa apabila konflik antara orang tua terjadi
secara terus menerus, maka akan membuat anak menjadi tumbuh dalam
situasi berkonflik, walaupun konflik tersebut bisa jadi tidak melibatkan anak
mereka ataupun anak ikut menjadi pelampiasan konflik. Situasi tersebut
menimbulkan frustrasi bagi anak mereka. Frustrasi tersebut muncul dari anak
yang seringkali merasa tertekan melihat pertengkaran yang terjadi diantara
kedua orangtuanya, misalnya baik itu karena kasihan melihat ibunya dimarahi
dan dipukuli oleh ayahnya maupun ia sendiri menjadi pelampiasan emosi
oleh salah satu orang tuanya. Selain itu orang tua juga seringkali menjadikan
anak sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua, menyuruh anak
berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada
satu orangtua saja, jika si anak menyayangi kedua orangtuanya maka secara
tidak langsung menempatkan dirinya di tengah konflik dan akan membuatnya
bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan. Walaupun remaja sudah
memiliki pemikiran secara kritis mengenai apa yang baik dan yang buruk,
frustrasi karena tekanan-tekanan dan perasaan kebimbangan akan situasi yang
ada ditengah-tengahnya memiliki pengaruh pada anak untuk berperilaku
agresif.
Dariberbagai pendapat para tokoh yang memaparkan pengertian
perilaku agresif, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku agresif adalah
perilaku yang dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap
targetnya dan sebaliknya menimbulkan harapan bahwa tindakan itu akan
menghasilkan sesuatu oleh individu atau pun kelompok dengan menggunakan
kekerasan fisik atau verbal. Agresivitas yang dilakukan oleh remaja puteri
lebih ditunjukan pada bentuk agresivitas verbal. Hal ini dikarenakan remaja
puteri pada masa kecil lebih memilih pada permainan yang mengutamakan
motorik halus. Selain itu, pada budaya Indonesia, remaja puteri diharapkan
dapat mengeluarkan emosi secara tepat dan tidak ngeekspresikan secara
berlebihan.
Menurut Kartono dan Kartini (2006), remaja puteri memiliki peran
penting pada masa depannya. Hal ini dikarenakan remaja puteri akan menjadi
seorang ibu. Seorang ibu akan memiliki tanggung jawab yang besar dalam
mendidik dan membesarkan anak-anak. Hal ini dikarenakan relasi seorang
ibu dengan anak sangatlah penting. Seorang ibu yang memiliki riwayat yang
agresivitasnya tinggi memungkinkan anak mereka juga akan bertumbuh
menjadi anak yang memiliki agresivitas yang tinggi. Maka sikap dan emosi
remaja puteri menjadi hal yang penting untuk menciptakan generasi masa
Bagan Kerangka Berpikir
Remaja puteri bertumbuh dalam situasi berkonflik Remaja puteri
mencapai perkembangan yang positif
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori yang telah penulis
paparkan di atas maka penulis menjadikan hipotesis penelitian ini sebagai
berikut:Ada hubungan positif yang signifikan antara konflik antar orangtua