BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi Bawang Merah
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan sayuran umbi yang
multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap
masakan, di samping sebagai obat tradisional karena efek antiseptik senyawa
anilin dan alisin yang dikandungnya (Rukmana, 1994).
Menurut Rukmana (1994), dalam sistematika (taksonomi) tanaman
bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (tumbuh–tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Subdivisio : Angiospermae (Berbiji tertutup)
Class : Monocotyledonae (Biji berkeping satu)
Ordo : Liliales
Familia : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium ascalonicum L.
1. Daun
Menurut Rukmana (1994), bentuk daun bawang merah seperti pipa,
yaitu bulat kecil memanjang, berlubang, bagian ujungnya meruncing
berwarna hijau muda sampai hijau tua, dan letak daun melekat pada
tangkai yang ukurannya relatif pendek.
Warna hijau muda kelopak daun sebelah luar selalu melingkar dan
menutup daun yang ada didalamnya. Beberapa helai kelopak daun terluar
(2-3 helai) tipis dan mengering tetapi cukup liat, kelopak yang memiliki
daun yang mengering ini membungkus lapisan kelopak daun yang ada
maka bagian ini akan terlihat mengembung membentuk umbi yang
merupakan umbi lapis (Wibowo, 1991).
2. Batang
Tanaman Bawang merah merupakan tanaman yang tumbuh tegak
dengan tinggi antar 15-50 cm dan membentuk rumpun (Wibowo, 1991).
Menurut Rukmana (1994), bawang merah memiliki batang semu yang
bentuknya seperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya
perakaran dan mata tunas (titik tumbuh). Batang semu yang berada di
dalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis
(bulbus), diantara lapisan kelopak bulbus terdapat mata tunas yang dapat
membentuk tanaman baru atau anakan, terutama pada spesies bawang
merah biasa.
Pada bagian tengah discus yang berbentuk cakram terdapat mata
tunas utama yang nantinya dari bagian ini dapat muncul bunga. Tunas
yang menjadi tempat tumbuhnya bunga ini disebut tunas apikal, sedangkan
tunas yang lainya yang dapat tumbuh menjadi tanaman baru disebut tunas
lateral (Wibowo, 1991).
3. Akar
Tanaman bawang merah memiliki perakaran jenis akar serabut
dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang, terpencar pada
kedalaman antara 15-30 cm didalam tanah. Jumlah perakaran tanaman
bawang merah dapat mencapai 20-200 akar. Diameter bervariasi antara 2-5
mm. Akar cabang tumbuh dan terbentuk antara 3-5 akar (Rukmana, 1994).
4. Bunga
Bunga bawang merah terdiri atas tangkai bunga dan tandan bunga.
Tangkai bunga berbentuk ramping, bulat dan memiliki panjang lebih dari
50 cm. Pangkal tangkai bunga di bagian bawah agak menggelembung dan
tangkai bagian atas berbentuk lebih kecil. Pada bagian ujung tangkai
tandan bunga yang masih terbungkus seludang. Setelah seludang terbuka
terdapat secara bertahap tandan akan tampak dan muncul kuncup-kuncup
bunga dengan ukuran tangkai kurang dari 2 cm (Sumadi, 2003).
Seludang tetap melekat erat pada pangkal tandan dan mengering
seperti kertas, tidak luruh hingga bunga-bunga mekar. Jumlah bunga dapat
lebih dari 100 kuntum. Kuncup bunga mekar secara tidak bersamaan. Dari
mekar pertamakali hingga bunga dalam satu tandan mekar seluruhnya
memerlukan waktu sekitar seminggu. Bunga yang telah mekar penuh
berbentuk seperti payung (Pitojo, 2005).
Bunga bawang merah merupakan bunga sempurna, memiliki
benangsari dan putik. Tiap kuntum bunga terdiri atas enam daun bunga
yang berwarna putih, enam benang sari yang berwarna hijau
kekuning-kuningan, dan sebuah putik, kadang-kadang diantara kuntum bawang
merah ditemukan bunga yang memiliki putik sangat kecil dan pendek atau
rudimeter, yang diduga sebagai bunga steril. Meskipun jumlah kuntum
bunga banyak, namun bunga yang berhasil mengadakan persarian relatif
sedikit (Wibowo, 1991).
Bakal biji bawang merah tampak seperti kubah, terdiri atas tiga
ruangan yang masing-masing memiliki bakal biji. Bunga yang berhasil
mengadakan persarian akan tumbuh membentuk buah, sedangkan
bunga-bunga yang lain akan mengering dan mati.
5. Buah
Buah bawang merah berbentuk bulat, didalamnya terdapat biji yang
bentuknya agak pipih dan berukuran kecil. Pada waktu masih muda, biji
berwarna putih bening dan setelah tua berwarna hitam (Pitojo, 2003).
B. Syarat Tumbuh Bawang Merah
Produksi yang optimal sesuai yang diharapkan memerlukan beberapa
syarat yang harus dipenuhi diantaranya syarat yang berhubungan dengan
yaitu tanah, air, dan faktor iklim yang terdiri dari angin, curah hujan, cahaya
matahari, suhu dan kelembaban.
1. Tanah
Tanaman bawang merah memerlukan tanah berstruktur remah,
tekstur sedang sampai liat, drainase/aerasi baik, mengandung bahan
organik yang cukup, dan reaksi tanah tidak masam (pH tanah : 5,6 – 6,5).
Tanah yang paling cocok untuk tanaman bawang merah adalah tanah
Aluvial atau kombinasinya dengan tanah Glei-Humus atau Latosol
(Sutarya dan Grubben 1995). Tanah yang cukup lembab dan air tidak
menggenang disukai oleh tanaman bawang merah (Rismunandar 1986).
Di Pulau Jawa, bawang merah banyak ditanam pada jenis tanah
Aluvial, tipe iklim D3/E3 yaitu antara (0-5) bulan basah dan (4-6) bulan
kering, dan pada ketinggian kurang dari 200 m di atas permukaan laut.
Selain itu, bawang merah juga cukup luas diusahakan pada jenis tanah
Andosol, tipe iklim B2/C2 yaitu (5-9) bulan basah dan (2-4) bulan kering
dan ketinggian lebih dari 500 m di atas permukaan laut (Nurmalinda dan
Suwandi 1995).
Waktu tanam bawang merah yang baik adalah pada musim kemarau
dengan ketersediaan air pengairan yang cukup, yaitu pada bulan April/Mei
setelah panen padi dan pada bulan Juli/Agustus. Penanaman bawang
merah di musim kemarau biasanya dilaksanakan pada lahan bekas padi
sawah atau tebu, sedangkan penanaman di musim hujan dilakukan pada
lahan tegalan. Bawang merah dapat ditanam secara tumpangsari, seperti
dengan tanaman cabai merah (Sutarya dan Grubben 1995).
Tanah dengan kandungan garam Alumunium (Al) yang terlarut
dalam tanah akan bersifat racun, sehingga tumbuhnya bawang tersebut
akan kerdil, sedangkan tanah basa (>6,5) garam Mangan (Mn) tidak dapat
digunakan oleh tanaman bawang sehingga umbinya kecil dan hasilnya
rendah. Pada tanah gambut (pH<4) memerlukan pengapuran terlebih
terhadap curah hujan yang lebat. Tanaman ini tidak senang pada daerah
yang berkabut dan yang berangin kencang (taifun) tetapi lebih senang
terhadap tiupan angin sepoi-sepoi (Sunardjono dan Soedomo, 1983).
2. Iklim
Selain tanah faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya
bawang merah yang tidak kalah pentingnya adalah faktor iklim. Dalam
pertumbuhannya bawang merah menginginkan iklim kering, suhu yang
agak panas dan cuaca cerah, terutama yang mendapat sinar matahari lebih
dari 12 jam. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang
maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32°C, dan
kelembaban nisbi 50-70%. Tanaman bawang merah peka terhadap curah
hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta cuaca berkabut (Sutarya dan
Grubben 1995).
Tanaman bawang merah dapat membentuk umbi di daerah yang suhu
udaranya rata-rata 22°C, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang
suhu udara lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi lebih besar
bilamana ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di
bawah suhu udara 22°C tanaman bawang merah tidak akan berumbi. Oleh
karena itu, tanaman bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran
rendah dengan iklim yang cerah (Rismunandar 1986).
Di Indonesia bawang merah dapat ditanam di dataran rendah sampai
ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Ketinggian tempat yang
optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah
0-450 m di atas permukaan laut (Sutarya dan Grubben 1995). Tanaman
bawang merah masih dapat tumbuh dan berumbi di dataran tinggi, tetapi
umur tanamnya menjadi lebih panjang 0,5-1 bulan dan hasil umbinya lebih
rendah.
Bawang merah tidak tahan kekeringan karena akarnya yang pendek,
selama pertumbuhannya dan perkembangan umbi dibutuhkan air yang
cukup banyak. Tetapi tanaman bawang merah tidak tahan terhadap tempat
C. Hubungan Logam Berat dengan Fungi
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa peran berbagai
mikroorganisme mampu menyerap logam berat seperti fungi, yeast, bakteria,
alga, dan cyanobakteria. Mobilitas logam oleh mikroorganisme tanah dapat
dicapai dengan protonasi, khelasi, dan transformasi kimia. Eksudat-eksudat di
tanah hasil ekskresi mikroorganisme dan akar tanaman sangat efektif
melarutkan fosfat dan logam dari komponen tanah. Beberapa jamur di dalam
tanah diketahui mampu menyerap dan mengakumulasi logam dalam biomassa
dan akar tanaman inang. Miselium intra dan ekstraseluler fungi mampu
berpotensi dalam penyerapan logam. Melalui luas permukaan penyerapan dan
jangkauannya (Jones et al, 2000). Sebagian besar logam nampak terikat pada
komponen dinding sel seperti kitin, selulose, turunan selulose, dan melanin
fungi (Gali et al, 1993).
Pada mekanisme lain penyerapan logam dikontrol oleh beberapa
macam faktor yang berbeda diantaranya jenis fungi, komposisi metabolit,
kapasitas tukar kation (KTK) biomasa fungi, kondisi edafik dan lingkungan.
Kantung-kantung (pool logam), properti kimia logam, kompetensi antar logam
pada permukaan jamur, tumbuhan inang alami dan pola eksudasi akar (Jones
et al, 2000).
D. Fungi Non-simbiosis sebagai Mikroorganisme Tanah
Jamur merupakan makhluk hidup yang sudah mempunyai membran inti
atau yang biasa disebut dengan eukariot. Karena jamur tidak memiliki klorofil
jamur biasanya mendapatkan makanan dari lingkungan disekitarnya ia tumbuh
atau yang biasa disebut dengan heterotrof. Hidup jamur tergantung pada
seresah daun maupun batang yang sudah mati (Anonim, 2007)
Ada beberapa fungi yang biasa hidup di daerah perakaran bawang
merah:
1. Fusarium oxysporum
Menurut Sunarjono, et al (1983), jamur Fusarium oxysporum dapat
Kingdom : Fungi
Divisio : Ascomycota
Sub Divisio : Pezizomycotina
Kelas : Sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Family : Hypocreaceae
Genus : Fusarium
Spesies : Fusarium oxysporum
Koloni pada media PotatoDextrose Agar (25oC) mencapai diameter
3,5 – 5,0 cm. Miselia aerial tampak jarang atau banyak seperti kapas,
kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan
biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat dekat permukaan
medium. Sporodokhia terbentuk hanya pada beberapa strain. Koloni
berwarna kekuningan hingga keunguan. Konidiofor dapat bercabang dapat
tidak, dan membawa monofialid. Mikrokonidia bersepta 0 hingga 2,
terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk pada fialid
yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek, umumnya terdapat
dalam jumlah banyak sekali, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran,
berbentuk avoid-elips sampai silindris, lurus atau sedikit membengkok,
dan berukuran (5,0 – 12,0) x (2,2 - 3,5) ìm (Gandjar, et al 2006).
2. Trichoderma harzianum
Menurut Deptan (2007), jamur ini dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Fungi
Division : Ascomycota
Sub Division : Pezizomycotina
Class : Sordariomycetes
Order : Hypocreales
Family : Hypocreaceae
Genus : Trichoderma
Trichoderma merupakan jamur saprofitik yang hidup dalam tanah,
serasah, dan kayu mati. Jamur ini hidup di berbagai tempat, mudah
ditemukan, berkembang dengan cepat dan diantaranya mampu membunuh
jamur lain, seperti : Rhizoctonia solani, Fusarium oxysporum, Rigidoporus
lignosus, Pythium sp., Gloeosporum sp., Sclerotinia sp., Sclerotium sp.,
Phytophthora sp., dan jamur patogen tular tanah lainnya. Jamur ini
menyukai tanah masam untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan optimum
terjadi pada pH 3,5 – 6,5. Dalam keadaan lingkungan yang kurang baik,
miskin hara atau kekeringan, Trichoderma akan membentuk klamidospora
sebagai propagul untuk bertahan. Propagul ini akan tumbuh dan
berkembang biak kembali apabila lingkungan kembali normal. Hal ini
berarti dengan sekali aplikasi saja Trichoderma akan tinggal di dalam
tanah untuk selamanya (Sinulingga, 1989).
3. Alternaria porri
Menurut Wescott (2001), sistematika jamur Alternaria porri adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Divisio : Ascomycota
Class : Hyphomycetes
Ordo : Hypales
Family : Dematiaceae
Genus : Alternaria
Species : Alternariaporri
Bercak ungu yang disebabkan oleh jamur Alternaria porri adalah
misellium jamur berwarna cokelat, konidiofor tegak, bersekat, dengan
ukuran 20 – 180 X 4-18 µm. konidium berbentuk gada terbalik berwarna
cokelat berukuran 105 – 200 X 12 – 24 µm, dengan sekat melintang
sebanyak 6 – 12 buah dan 3 buah sekat membujur. Konidium mempunyai
paruh pada ujungnya, paruh bersekat, panjang paruh lebih kurang setengah
E. Logam Berat Pb
Logam berat adalah unsur logam dengan berat molekul tinggi, berat
jenisnya lebih dari 5 g/cm3 (Connel dan Miller, 2006). Dalam kadar rendah,
logam berat umumnya sudah beracun bagi tumbuhan, hewan, dan manusia.
Beberapa logam berat yang sering mencemari habitat adalah Hg, Cr, As, Cd,
dan Pb (Notohadiprawiro,1993). Logam berat adalah unsur logam dengan
massa atom tinggi. Dalam kajian lingkungan logam dikategorikan menjadi
logam berat jika memilki berat jenis lebih besar dari 5 g/ml. Secara umum
logam berat sudah bersifat racun pada konsentrasi yang rendah bagi
tumbuhan, hewan dan manusia (Notohadiprawiro, 1993). Logam berat dapat
bersumber pada aktivitas alam (geogenic) dan aktivitas manusia
(anthropogenic). Secara alami magma gunung api mengandung logam berat,
demikian juga berbagai batuan juga mengandung logam berat. Sumber logam
berat yang berasal dari aktivitas manusia antara lain gas buangan kenderaan
bermotor, pertambangan, industri elektronika dan kimia, pestisida, pupuk dan
lain-lain (Notohadiprawiro, 1993).
Logam berat dapat masuk ke dalam lingkungan khususnya tanah
dikarenakan oleh tersingkapnya longgokan logam berat dalam bumi baik
karena erosi maupun penambangan, pelapukan batuan yang mengandung
logam berat dan menjadi residu dalam tanah, penggunaan bahan alami
menjadi pupuk atau pembenah tanah, dan pembuangan limbah industri dan
sampah (Notohadiprawiro, 1993).
Plumbum adalah logam lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat,
memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif,
sehingga bisa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan
(Widowati, 2008).
Logam berat nonesensial Pb secara alami terdapat di tanah pertanian
namun konsentrasinya dapat meningkat karena polusi udara serta penggunaan
kotoran hewan, pupuk anorganik dan pestisida yang mengandung timbale
arsenat. Untuk mencegah peningkatan kandungan Pb di lahan pertanian
metode bioremediasi tanah tercemar logam berat adalah fitoremediasi yang
menggunakan tanaman untuk mengekstrak, mensekuestrasi dan
mendetoksifikasi polutan (Lasat, 2002).
Pb sebagian besar diakumulasi oleh organ tanaman seperti daun, batang,
dan akar. Perpindahan Pb dari tanah ke tanaman tergantung komposisi dan pH
tanah, serta KTK. Konsentrasi Pb yang tinggi akan mengakibatkan pengaruh