• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan - SKRIPSI MARLIANA RAHAYU BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan - SKRIPSI MARLIANA RAHAYU BAB II"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Pendidikan Kewarganegaraan

2.1.1. Landasan tentang Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

Secara bahasa., istilah "CivicEducation" oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah "Pendidikan Kewargaan" diwakili oleh Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, sebagai pengembang Civic Education pertama di perguruan tinggi. Penggunaan istilah "Pendidikan Kewarganegaraan" diwakili oleh Winataputra dkk dari Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Tim ICCE (2005: 6)

Menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), mengemukakan bahwa Citizenship education or civics education didefinisikan sebagai berikut:

Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.

(2)

penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their aduh lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.

Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) mengemukakan bahwa pengertian Pendidikan Kewarganegaraan adalah:

Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.

(3)

pada semangat kebangsaan atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. (Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI).

Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa :

PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara agar dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

Menurut Branson (1999:4) civic education dalam demokrasi adalah pendidikan - untuk mengembangkan dan memperkuat - dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri, mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain.

Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain (Somantri, 2001:158):

a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.

b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional. c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.

(4)

e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa.

f. Kegiatan dasar manusia. g. Pengertian pendidikan IPS

Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan pendidikan kewarganegaraan akan mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS.

Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001:159):

Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS.

Beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai pendidikan kewarganegaraan antara lain (Somantri, 2001:161):

a. PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (intergrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.

(5)

c. PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusa PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi. d. Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus

berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agamaf, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD 1945, GBHN, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan, (iv) evaluasi.

e. PKn menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good citizen) dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs).

f. Dalam kepustakaan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasannya ialah seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi.

Pendapat di atas menjelaskan bahwa betapa pentingnya PKn untuk siswa sebagai generasi penerus, karena PKn menggiring untuk menjadikan siswa sadar akan politik, sikap demokratis dan sebagai mata pelajaran yang wajib di belajarkan di sekolah.

PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa membantu siswa memilih sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan ditampilkan dalam perilakunya. Seperti yang diungkapkan Suwarma Al-Muchtar dalam Hand Out Strategi Belajar Mengajar (2001:33), mengemukakan bahwa:

(6)

(afektif) oleh karena itu berbeda dengan belajar mengajar dengan pendidikan kognitif atau psikomotor. Pendidikan nilai secara formal di Indonesia diberikan pada mata pelajaran PPKn yang merupakan pendidikan nilai Pancasila agar dapat menjadi kepribadian yang fungsional.

2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, dan nasional.

Tujuan pembelajaran PKn secara umum mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam lingkungan lokal, regional maupun global Sedangkan Tujuan PKn menurut oleh Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut:

a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu : "Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".

(7)

Berdasarkan tujuan PKn yang telah dikemukakan di atas, dapat diasumsikan pada hakekatnya dalam setiap tujuan membekali kemampuan-kemampuan kepada peserta didik dalam hal tanggung jawabnya sebagai warga negara, yaitu warga negara yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berpikir kritis, rasional dan kreatif, berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, berbangsa dan bernegara membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.

Sedangkan menurut Sapriya (2001), tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah:

Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi:

a. Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori.

b. Keterampilan intelektual:

1) Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;

2) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahui masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan menganalisis data, (e) keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan merumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.

(8)

d. Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari, Dufty (Numan Somantri, 1975:30). Mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.

Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan :

a. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup negara RI.

b. Melek konstitusi (UUD 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.

c. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas.

d. Mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.

3. Konteks Kelahiran dan Landasan Pendidikan

Kewarganegaraan di Indonesia

Istilah Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama Civic Education di USA menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke waktu.

Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagai berikut (Sumantri, 1975:31):

(9)

b. Community Civics(1970, A.W.Dunn) c Civic Education (1901, Harold Wiison)

c. Civic-Citizenship Education(1945, John Mahoney) d. Civic-Citizenship Education(1971, NCSS)

Pelajaran Civics mulai diperkenalkan pada tahun 1790 di Amerika Serikat dalam rangka meng-Amerikakan bangsa Amerika atau terkenal dengantheory of Americanization. Penerbitan majalah "The Citizen" dan "Civics", pada tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civics dengan "the science of citizenship - the relation of man, the individual, to man in organized collections -the individual in his relation to -the state, Creshore, Education" (Somantri, 1975:31).

Penjelasan mengenai Civics mempunyai kesamaan yang sama yaitu membahas mengenai government, hak dan kewajiban sebagi warga negara. Akan tetapi, arti Civics dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi goverment saja, kemudian dikenal istilahCommunity Civics, Economic Civics,danVocational Civics.

(10)

Selain gerakan community civics, timbul pula gerakan civic educationatau banyak disebut sebagaiCitizenship Education. Ruang lingkup Civics Education (Somantri, 1975:33), antara lain:

a. Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah.

b. Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis.

c. Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat obyektif hidup bernegara.

NCSS (Somantri, 1975:33) merumuskan mengenai Citizenship Education sebagai berikut:

(11)

Kuhn (Winataputra dan Budimansyah, 2007:71) mengemukakan bahwa, perkembangan istilah Civics dan Civic Education di Indonesia terjadi pada tahun :

1. Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara.

2. Civics (1962), tampil dalam bentuk indoktrinasi politik.

3. Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial

4. Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS.

5. Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikkan dengan pengajaran IPS.

6. Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4.

7. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.

4. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

(12)

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan nonpemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatoty skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

(13)

pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif.

Berdasarkan rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan antara lain menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, pada jenjang pendidikan menengah, terdiri atas lima kelompok mata pelajaran. PKn termasuk dalam kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dalam penjelasan pasal 37 Ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

5. Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan

Persekolahan

(14)

keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Dengan demikian, sekolah atau daerah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar, dan penilaian hasil pembelajaran.

Untuk itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh daerah karena sebagian besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan dilaksanakan oleh sekolah atau daerah. Sekolah harus menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau silabusnya dengan cara melakukan penjabaran dan penyesuaian Standar Isi dan Standar Kompentensi Lulusan.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan:

 Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A,atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi (Pasal 6 Ayat 6)

 Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertangungjawab terhadap pendidikan untuk TK, SMP, SMA, da SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan d bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK (Pasal 17 Ayat 2)  Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana

(15)

Bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk dalam pembelajaran PKn. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Winataputra, 2007:103):

a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan Jaminan keadilan

b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional

c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, Penghormatan dan perlindungan H AM

d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan

konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi

f. Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi

g. Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka

(16)

2.1.2. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

1. Prinsip Dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Prinsip dasar pembelajaran PKn mengacu pada sejumlah prisip dasar pembelajaran. Menurut pendapat Budimansyah (2002:8) prinsip-prinsip pembelajaran tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperaitive learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (reaktive learning). Selanjutnya keempat prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah, 2002 : 8-13).

a. Prinsip Belajar Siswa Aktif

Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktifitas siswa hampir di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlihat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain storming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, disamping tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.

(17)

pengamatan, kuesioner, dan lain-lain) mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, membuat kliping, bahkan adakalanya mengabadikan peristiwa penting dalam video.

b. Kelompok Belajar Kooperatif

Proses pembelajaran PKn juga menerapkan prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerjasama antar siswa jelas terlihat pada saat kelas sudah memilih satu masalah untuk bahan kajian bersama.

(18)

sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlunya kerjasama antara sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.

Kerjasama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa merencanakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi dinas perparkiran. Mengunjungi kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima. Mengamati dampak pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya.

Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggungjawab kegiatan sekolah.

c. Pembelajaran Partisipatorik

(19)

Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih makna bahwa siswa dapat menghargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin. Proses ini mendukung adagium yang menyatakan bahwa democracy is not in heredity but learning (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami). Oleh karena itu, mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatorik.

d. Reactive Teaching

(20)

menanggulanginya. Inilah tipe guru yang reaktif itu. Ciri guru yang reaktif itu diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.

b) Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.

c) Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa.

d) Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.

Samana (1994:30) menjelaskan menjelaskan bahwa guru profesional dituntut memiliki 10 hal, yaitu:

1. Menguasai bahan ajar.

2. Mampu mengelola program belajar mengajar. 3. Mampu mengelola kelas.

4. Mampu menggunakan media dan sumber pengajaran. 5. Menguasai landasan-landasan kependidikan.

6. Mampu mengelola interaksi belajar mengajar.

7. Mampu menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran.

8. Mengenal fungsi dan dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.

9. Mengenal dan mampu ikut menyelenggarakan administrasi sekolah.

(21)

2. Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran merupakan substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran (Djamarah dan Zain, 2002:50).

Guru mempunyai tugas yang penting dalam mengembangkan dan memperkaya materi pembelajaran, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran, yaitu:

1) Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.

2) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa pada umumnya.

3) Materi pembelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan.

4) Meteri pembelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat tekstual maupun kontekstual (Djamarah dan Zain, 2002:51).

Berdasarkan hal tersebut, maka materi pembelajaran PKn harus mengacu pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang dibelajarkan harus bermakna bagi siswa dan merupakan bahan-bahan yang benar-benar penting, baik dilihat dari kompetensi yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk menentukan materi pada proses pembelajaran berikutnya.

3. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

(22)

kelompok citizenship education Asia-Afrika yang masih berada pada titik Minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya menggunakan strategi progresif menuju titik Maksimal, yakni education for citizenship melalui titik median education through citizenship.

Menurut Paino (2007:35) mengemukakan bahwa:

Sebagian besar guru dalam proses pembelajarannya hanya menggunakan buku teks. belajar hanya di dalam kelas, guru bertindak sebagai pemberi informasi tunggal, dan peserta didik sebagai objek atau pendengar yang baik. Akibatnya mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dianggap sebagai mata pelajaran hafalan, yang penting peserta didik dapat dalil politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan setia tanpa logika terhadap penguasa, tanpa mengkaitkan materi/konsep dengan kehidupan masyarakat secara nyata. Kondisi semacam ini bukanlah menjadi kesalahan guru semata, karena mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang pada prinsipnya dipengaruhi atau tidak terlepas dari pengaruh rezim yang berkuasa. Target pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan selama ini dititikberatkan pada pembekalan/pembinaan yang bersifat hafalan, materinya terdiri atas doktrin negara, sistem politik, norma yuridis formal, tugas-kewajiban, dan tanggung jawab warganegara yang akhirnya menjadi suatu tatanan dari sejumlah kewajiban/ keharusan.

(23)

bukan kearah memberi kemudahan, kelancaran, berhasilan (fasiliting) proses internalisasi, personalisasi substansi serta pembinaan dan pengembangan potensi diri atau kemampuan belajar(condituining learning skills) CICED (1999: 56).

Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma dari guru-guru dalam menyikapi hal tersebut, seperti guru lebih bersifat terbuka, merubah pandangan terhadap strategi pembelajaran bahwa peserta didik bukan hanya belajar tentang konsep pendidikan kewarganegaraan melainkan juga belajar ber-PKn atau praktik seperti yang telah dikemukakan di atas. Guru hendaknya memusatkan kegiatan belajar pada peserta didik (student center), untuk itu guru berperan sebagai fasilitator, yaitu pemberian kemudahan bukan sebagai sosok yang tahu segalanya (manusia serba bisa/tahu). Pembelajaran bukan hanya berdasarkan pada buku teks dan terkekang dalam kelas saja, namun memanfaatkan berbagai sumber belajar seperti yang telah dipaparkan di bagian depan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya guru hendaknya kembali memahami/mengkaji ulang tentang makna dan hakekat mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.

Djahiri (CICED, 1999:6) mengemukakan strategi pembelajaran yang hendak dilakukan guru adalah sebagai berikut. a. Membina dan menciptakan keteladanan, baik fisik dan material

(24)

KBM) maupun personal (guru, pimpinan sekolah dan tokoh unggulan)

b. Membiasakan/membakukan atau mempraktekkan apa yang diajarkan mulai di kelas-sekolah-rumah- dan lingkungan belajar. c. Memotivasi minat, gairah untuk melibatkan dalam proses belajar, untuk kaji lanjutannya dan mencobakan serta membiasakannya.

Strategi seperti itu dioperasionalkan melalui berbagai metode seperti ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemecahan masalah (problem solving), bermain peran, simulasi, inkuiri, VCT, portofolio, dan sebagainya.

4. Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Djahiri (1995/1996:28) dalam bukunya "Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT", bahwa metoda merupakan kumpulan sejumlah teknik. Terdapat dua moto dalam pembelajaran PKn yang dikemukakan Djahiri (1985:36), antara lain sebagai berikut:

a. Ceramah(lecturing)

(25)

menerus dengan memakai pola ceramah murni yang naratif, monoton dan bersifat normatif imperatif.

Beberapa keunggulan dari metode ceramah, antara lain:

1) Setiap orang memiliki potensi dan kemahiran untuk ceramah (lepas dari benar - salah)

2) Merupakan kiprah umum bahkan "membudaya" di kalangan perguruan/sekolah

3) Bersifat praktis, mudah, murah, dan cepat menyampaikan substansi sehingga target waktu bisa dikejar

4) Mampu menyelaraskan ketimpangan waktu dengan banyaknya bahan

5) Tidak dapat membutuhkan persiapan pengembangan media 6) Mampu mengungkap dan mengklarifikasikan isi atau pesan

dalam bahasa yang komunikatif dan cepat. Hampir semua hal mampu diungkap secara verbal

7) Mampu menguasai kelas dalam ukuran bagaimanapun juga 8) Bila ada kekeliruan bisa segera diperbaiki

9) Sejumlah hasil pengiring yang dapat dihasilkan dari metoda ini adalah:

a) Melatih daya tangkap dan analitis ucapan orang lain

b) Latihan sosial untuk tatap muka dan etika dengan dan bicara 10) Mampu mengangkat hal yang tidak ada dalam buku atau

(26)

Kelebihan metode ceramah menurut Taniredja dkk (2011:45) adalah:

1. Cepat untuk menyampaikan informasi.

2. Dapat menyampaikan informasi dalam jumlah banyak dengan waktu singkat kepada sejumlah besar pendengar (Taniredja dkk, 2011:45)

Kelemahan metode ceramah, antara lain:

1. Bisa menimbulkan pembelajaran yang tidak sistematis

2. Karena adanya keterbatasan daya dengar manusia, maka dapat menyebabkan pembelajaran yang melelahkan, membosankan dan mengantuk.

3. "melanggar" kemampuan daya belajar manusia, karena tidak semua siswa mampu menyimak dan menangkap 'pesan lisan' serta menulisnya dengan cepat

4. Kecepatan dan intonasi suara guru yang tidak teratur menyebabkan hilangnya kesempatan siswa untuk berpikir, bereaksi dan berekspresi.

5. Ceramah murni yang menyamaratakan semua siswa adalah salah satu penyebab lahirnya ketimpangan daya serap siswa.

b. Ekspositorik

(27)

sesuatu untuk menciptakan KBM dan khususnya KBS yang terarah dan terkendali menuju target sasaran guru atau pengajar.

c. Metoda Pengajaran Konsep(Teaching Konsep)

Sebelum menggunakan metoda pengajaran konsep, seorang pengajar terlebih dahulu harus memahami pengertian data dan fakta. Djahiri (1995/1996:44), bahwa:

1) Data adalah realita yang ada, kejadian, atau hal baik fisik - non fisik, materiil - immateril, dan personal - kondisional.

2) Fakta adalah sejumlah data yang memiliki keterkaitan menunjuk kepada suatu konsep.

3) Konsep adalah label/nama/istilah yang merupakan rangkaian sejumlah fakta menuju suatu pengertian/makna isi - pesan dan atau fungsi peran atau harga/nilai. Jadi, konsep merupakan sesuatu yang memiliki ciri esensil tertentu.

d. Metoda Tanya Jawab

Metode tanya jawab ini dianggap memiliki kadar CBSA yang tinggi, karena pertanyaan akan menggugah dan mengundang potensi diri siswa.

e. Partisipatori

(28)

instansi kedinasan atau kemasyarakatan, laboratorium, atau pusat Modeling. Jenis partisipatorik antara lain, studi lapangan, kegiatan bakti sosial, magang, modeling atau simulasi, dan studi proyek.

f. Diskusi dan Kelompok Belajar

Ciri khas dari diskusi sebagai pola kegiatan belajar mengajar, yakni demokratis. Metoda diskusi mengundang dan melibatkan banyak orang serta tidak ada dominasi seseorang, memiliki indikator CBSA yang tinggi karena meminta daya analisis dan evaluatif terhadap masalah yang dilontarkan atau tanggapan dan sanggahan terhadap orang lain, Djahiri (1995/1996:53) mengungkapkan bahwa diskusi adalah kegiatan belajar siswa dialogistik secara intra potensi diri antar potensi orang lain serta potensi dunia keilmuan dan kehidupan.

Ciri esensial dari diskusi, antara lain:

1) Adanya proses dialogistik, yakni interaksi antara struktur kognitif dengan afektif dan psikomotor, antara potensi diri kita dengan orang lain atau dengan dunia nyata serta keilmuan.

2) Adanya sharing ideas (pertukaran pikiran/pendapat, berargumentasi yang benar dan memiliki landasan), ada proses berproduksi dan berekspresi.

(29)

Bentuk-bentuk diskusi menurut Djahiri (1995/1996:58), antara lain:

1) Diskusi kelas 2) Diskusi kelompok 3) Diskusi panel 4) Seminar 5) Lokakarya 6) Diskusi penjaring

Kelompok belajar adalah kelompok sejumlah siswa untuk melakukan kegiatan belajar bersama secara terarah dan teratur. Djahiri (1995/1996:20) mengemukakan bahwa "kelompok belajar yang sesuai dengan pembelajaran PKn adalah kelompok belajar kooperatif”.

Kelompok belajar kooperatif merupakan perpaduan antara kelompok belajar dan pola kegiatan kooperatif. Hakekat ini kooperatif ialah kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. Kelompok belajar kooperatif merupakan kegiatan belajar yang dapat menciptakan persaingan yang sehat, dalam arti persaingan yang ada, tidak mendidik siswa untuk bersifat individualis.

g. Metoda Inkuiri dan pemecahan Masalah

Kedua metoda ini pada hakekatnya sama, perbedaannya bahwa dalam metoda pemecahan masalah hanya sampai pada proses penentuan alternatif pemecahan/keputusan, sedangkan dalam inkuiri sampai pada tahapan penetapan keputusan yang terbaik.

(30)

1) Meningkatkan keterampilan dan kualitas hasil belajar 2) Menuntun siswa akrab dengan kehidupan nyata

3) Membakukan kemahiran analisis dan argumentasi rasional/berlandas

4) Mensosialisasikan siswa

5) Mendayagunakan aneka sumber dan lingkungan belajar

Jenis inkuiri adalah inkuiri sederhana. lengkap dan nilai. Inkuiri sederhana tidak memerlukan keseluruhan proses dilaksanakan, hanya hakekat dasarnya saja, yakni mengkaji, mencari, dan menentukan pilihan. Inkuiri yang lengkap merupakan metoda khusus yang langkah dan prosesnya telah baku. Sedangkan, inkuiri nilai adalah pola inkuiri sederhana yang fokus substansinya pada nilai moral.

e. Media Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Media pengajaran harus dibedakan dengan sumber pengajaran. Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan bahwa sumber pembelajaran merupakan tempat di mana butir mata pelajaran dan media bisa dilihat, diperoleh dan dikaji seperti buku, perpustakaan, media cetak, kehidupan nyata dll. Sedangkan, media pembelajaran lebih diutamakan pada fungsi dan perannya.

Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan, bahwa dengan adanya media pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk:

a. Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real

b. Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru interaktif - reaktif

c. Meningkatkan motivasi belajar atau suasana belajar yang baik d. Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran

(31)

e. Meningkatkan proses Kegiatan Belajar Mengajar secara efektif, efisien dan optimal

f. Menyegarkan Kegiatan Belajar Mengajar Jenis dan bentuk media, antara lain:

a. Materiil, berupa alat peraga, media cetak (Koran, majalah dll) b. Immaterial, seperti iklim, status sosial masyarakat dll

c. Personal, yaitu tokoh, pahlawan, narasumber dll d. Audiovisual

e. Gerak atau penampilan seperti simulasi, permainan (games) Penggunaan media dalam Kegiatan Belajar Mengajar hendaknya memperhatikan kualifikasi standar kompetensi, kompetensi dasar dan metoda pembelajaran yang akan digunakan.

2.6. Hakikat Nilai Moral

2.2.1. Konsep Nilai

1. Pengertian Nilai

Banyak kita dapati rumusan atau definisi tentang pengertian nilai. Fraenkel, (Djahiri, 1985:20) mendefinisikan nilai sebagai ide atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang yang mengacu pada estetika, etika pola laku, dan logika.

(32)

hubungannya dengan manusia lain, alam dan dengan Tuhan YME (Daroeso, 1989:21).

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian nilai tersebut di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa nilai dapat diartikan sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap atau keadaan sesuatu (objek) bahwa sesuatu (objek) tersebut adalah baik atau buruk, benar atau salah, berguna atau tidak, menarik atau tidak, indah atau tidak, menyenangkan atau tidak, dan sebagainya, serta menjadi pedoman dalam melakukan hubungan dengan manusia lain, alam, dan Tuhan YME.

2. Sifat Nilai

K. Bertens (2001:141) menyimpulkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri yaitu :

a) Nilai dikaitkan dengan subjek. Tanpa ada subjek penilaian, nilai tidak akan ada. Manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Untuk dapat dinilai indah atau tidak, merugikan atau tidak, diperlukan kehadiran subjek penilai.

b) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis. Subjek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan teoritis, tidak akan ada nilai.

(33)

Pendapat yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Ducasse yang menyatakan bahwa nilai itu ditentukan oleh subjek penilai dan objek yang dinilai. Sebagai contoh, emas dan permata adalah barang-barang bernilai, tetapi nilainya baru menjadi nyata jika ada subjek penilainya. Dengan demikian, nilai merupakan hasil interaksi antara subjek penilai dengan objek yang dinilai (Soenarjati, 1999:84).

3. Macam-macam Nilai

K. Bertens (2001:142) menyebutkan tentang macam-macam nilai adalah nilai ekonomis, nilai estetis, nilai moral, nilai dasar, dan sebagainya. Nilai dasar merupakan syarat untuk mewujudkan nilai-nilai yang lain. Nilai dasar antara lain nilai-nilai buruk, layak tidak layak, nyaman tidak nyaman, dan sebagainya.

4. Fungsi Nilai

Nilai memiliki banyak fungsi. Berdasarkan penjelasan Abdul Syani tentang nilai dalam bukunya yang berjudul Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan (2002: 49-54) nilai mempunyai beberapa fungsi nilai antara lain :

a. Sebagai faktor pendorong bagi manusia untuk bertingkah laku dan mencapai kepuasan tertentu dalam kehidupan.

b. Sebagai ukuran sikap dan perasaan seseorang terhadap suatu objek.

c. Mempengaruhi pengembangan pribadi dalam masyarakat secara positif dan negatif .

(34)

e. Sebagai langkah persiapan bagi petunjuk-petunjuk penting dalam memprediksi perilaku.

f. Mempengaruhi segala aktivitas seseorang atau kelompok terutama dalam menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

g. Menentukan ukuran besar kecil atau tinggi rendahnya status dan peranan seseorang dalam masyarakat.

2.2.2. Konsep Moral

Secara etimologis kata “moral” berasal dari kata Latin “mos”

yang berarti tata cara, adat istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah “mores”.

Dalam adat istiadat atau kebijaksanaan, kata “moral”

mempunyai arti yang sama dengan kata Yunani “ethos”, yang menurunkan kata “etika”. Dalam bahasa Arab kata “moral” berarti

budi pekerti yang mempunyai arti sama dengan “akhlak”, sedangkan

dalam bahasa Indonesia, kata “moral” dikenal dengan arti

“kesusilaan” (Daroeso, 1989:22).

Menurut Wila Huky, (Daroeso,1989:22) kita dapat memahami moral dengan tiga cara, yaitu :

1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.

2. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.

(35)

Pengertian lain tentang moral berasal dari P.J. Bouman, (Daroeso,1989:22) yang mengatakan bahwa “moral” adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu-individu di dalam pergaulan.

Dari pengertian moral, dapat dilihat bahwa moral memegang peranan penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik atau buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasari pada diri pada norma-norma yang terdapat dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat, baik apakah itu norma agama, hukum, dan sebagainya.

Norma atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar. Baik dan benar bagi seseorang menurut seseorang, tidak pasti baik dan benar bagi orang lain. Karena itulah diperlukan adanya prinsip–prinsip kesusilaan atau moral yang dapat berlaku secara umum, yang telah diakui kebaikan dan kebenarannya oleh semua orang. Moral dipakai untuk memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah laku seseorang.

(36)

1. Ketentuan agama yang berdasarkan wahyu.

2. Ketentuan kodrat yang terutama dalam diri manusia, termasuk di dalamnya ketentuan moral universal yaitu moral yang sebenarnya. 3. Ketentuan adat istiadat bukan manusia

4. Moral yang sedang berlaku pada suatu waktu.

5. Ketentuan hukum buatan manusia, baik berbentuk adat kebiasaan atau hukum negara (Daroeso 1989:24).

Ketentuan-ketentuan itu merupakan sumber moral dan kalau ada pelanggaran terhadap ketentuan itu, pelanggar ketentuan itu akan mendapatkan sanksi. Sanksi itu dapat berupa hukuman oleh negara, oleh diri sendiri maupun masyarakat atau Tuhan.

Sebelum manusia melakukan perbuatan, manusia menentukan sendiri apa yang akan dikerjakan. Ia telah menentukan sikap, mana yang harus dilaksanakan, mana yang merupakan sikap, mana yang harus dilaksanakan, mana yang merupakan sikap batin manusia, yang mengamati perbuatan apa yang dilakukan. Perbuatan yang akan dilakukan merupakan obyek moral yang ada dalam suatu hati manusia.

Dalam diri manusia ada dua suara : 1. Suara hati yang mengarah ke kebaikan 2. Suara was-was yang mengajak ke keburukan.

(37)

Suara itu berupa seruan dan himbauan yang memaksa untuk didengarkan. (Doroeso, 1989:25).

Martin Heidegger, (Doroeso, 1989:25) mengatakan : “Suara itu datangnya tidak terduga sebelumnya dan tanpa dikehendaki, dan datang dari diriku, dan menguasai diriku”. Suara batin menjadi alat

untuk menahan agar manusia tidak melakukan perbuatan yang tidak baik. Memang manusia dapat juga mencoba untuk mendengarkan suara itu bahkan akan menindas agar dia, tetapi suara batin itu tetap berseru agar manusia tidak menyimpang dari kesusilaan. Suara itu didengar terus menerus tanpa henti-hentinya, sebelum manusia itu bertindak, sedang bertindak dan sesudah selesai bertindak.

Suara itu didengar sendiri oleh seseorang, tetapi suara itu merupakan suara menuduh-nuduh, bilamana tindakan-tindakan manusia itu adalah tindakan yang salah. Karena itulah manusia kadang-kadang tidak dapat melupakan tindakannya yang salah lebih-lebih kesalahan yang besar karena suara bayi terus mengingatkannya, dengan maksud agar orang tersebut tidak melakukan lagi.

2.2.3. Pengertian Nilai-nilai Moral

Seperti telah dikatakan di atas nilai merupakan pedoman atau ukuran perbuatan manusia, karena itulah nilai itu diungkapkan dalam bentuk norma dan norma itu mengatur tingkah laku manusia.

(38)

bersumber pada keyakinan atau kepercayaan dan religi. Nilai etik atau nilai yang bersifat susila, memberi kualitas perbuatan manusia yang bersifat susila, sifatnya universal tidak tergantung waktu, ruang dan keadaan. Nilai etik tersebut diwujudkan dalam norma moral. Norma moral merupakan landasan perbuatan manusia yang sifatnya tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan. Sehingga norma moral itu dapat diubah-ubah sesuai dengan waktu, tempat, dan keadaannya.

2.7. Anak Berkebutuhan Khusus

2.3.1. Pengertian dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

Pada mulanya, pengertian anak berkebutuhan khusus adalah anak cacat, baik cacat fisik maupun mental. Anak-anak yang cacat fisik sejak lahir, seperti tidak memiliki kaki atau tangan yang sempurna, buta warna, atau tuli termasuk anak berkebutuhan khusus. Pengertian anak berkebutuhan khusus kemudian berkembang menjadi anak yang memiliki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak yang normal. Pengertian anak berkebutuhan khusus tersebut akhirnya mencakup anak yang berbakat, anak cacat, dan anak yang mengalami kesulitan (Rustantiningsih, 2008)

Anak berkebutuhan khusus menurut Cut Rafiqa Fadhilah, (2011) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.

(39)

fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial, baik dalam tingkat keterbatasan maupun kelebihan (Yanto, 2011).

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian Anak Berkebutuhan Khusus tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan anak pada umumnya, mereka memiliki kelainan pada fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial sehingga dibutuhkan penanganan yang khusus atau lebih dari anak pada umumnya.

Menurut Soemantri (2006:22) mengemukakan bahwa emosi mempengaruhi aktifitas mental secara umum. Emosi yang tidak menyenangkan, menyebabkan penurunan prestasi dari aktivitas mental. emosi anak akan mempengaruhi mental, sehingga anak menjadi malu dan mempengaruhi penyesuaian anak (Soemantri, 2006:26).

Menurut Kauffan & Hallahan (Delphie, 2006), jenis-jenis anak berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut:

1. Tunagrahita (Mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hen-dayaperkembangan (Child with development impairment)

Anak tunagrahita menurut Somantri (2006:103) adalah anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial.

Smith (Delphie, 2006:17) menyebutkan karakteristik anak tunagrahita meliputi hal-hal sebaga[ berikut:

(40)

b. Selalu bersifateksternal locus of controlsehingga mudah sekali melakukan kesalahan(expectancy for filure).

c. Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness).

d. Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri. e. Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial(social

behavioral).Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.

f. Mempunyai masalah berkaitan dalam bahasa dan pengucapan. g. Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik.

h. Kurang mampu untuk berkomunikasi. i. Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak.

j. Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif.

Somantri (2006:106-108) mengklasifikasikan anak tunagrahita menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Tunagrahita Ringan(moron).

Anak tunagragita ringan masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana tetapi mereka tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. Ia akan membelanjakan uangnya dengan lugu, tidak dapat merencanakan masa depan, bahkan suka berbuat kesalahan.

1) Tunagrahita Sedang(imbesil).

(41)

2) Tunagrahita Berat(idiot).

Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.

Anak tunagrahita yang masih muda tingkah laku sosialnya memiliki keterikatan kepada orang tua dan orang dewasa lainnya. Dengan bertambahnya umur, keterikatan ini dialihkan kepada teman sebayanya. Akan tetapi, mereka jarang diterima, sering diterima, sering diolok oleh kelompok, serta jarang menyadari posisi diri dalam kelompok. (Somantri, 2006:117)

2. Kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah (Specific Learning Disability)

Kesulitan belajar merupakan istilah generik yang merujuk pada keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar. (Somantri, 2006:196)

Menurut Delphie (2006:24-25), anak yang tergolong dalam specific learning disabilitymempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Kelainan yang terjadi berkaitan dengan faktor psikologis sehinnga

mengganggu kelancaran berbahasa, saat berbicara, dan menulis. b. Pada umumnya mereka tidak mampu untuk menjadi pendengar yang

(42)

c. Kemampuan mereka yang rendah dapat dirincikan melalui hasil test IQ atau tes prestasi belajar khusunya kemampuan-kemampuanberkaitan dengan kegiatan-kegiatan di sekolah.

d. Kondisi kelainan disebabkan oleh perceptual hadicapes, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, dan developmental apasia.

e. Mereka tidak tergolong ke dalam penyandang tunagrahita, tunalaras, atau mereka yang mendapatkan hambatan dari faktor lingkungan, budaya atau faktor ekonomi.

f. Mempunyai karakteristik khusus berupa kesulitan di bidang akademik, kognitif, dan emosi sosial.

Secara umum perilaku bermasalah yang muncul dari kesulitan belajar terutama akan terkait dengan masalah penyesuaian diri maupun akademik anak, hubungan sosial, dan stabilitas emosi. Bagi anak sendiri kondisi seperti ini dapat menimbulkan frustasi atau cemas yang berlebihan karena dia selalu mengalami kegagalan dalam memenuhu tuntutan dantugas belajar. Dengan kata lain, dalam banyak hal anak tidak mampu menguasai tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya.(Somantri, 2006:208)

3. Hyperactive (Attention Defict Disorder with Hyperactive)

Menurut Rapport & Ismond (Delphie, 2006:73) mengemukakan bahwa pengertian anakhyperactiveadalah :

Anak yang selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain dan sangat jarang untuk berdiam selam kurang lebih 5 hingga 10 menit guna melakukan suatu tugas kegitan yang diberikan gurunya. Ia selalu mudah bingung dan kacau pikirannya, tidak suka memperhatikan perintah atau penjelasan dari gurunya, dan selalu tidak berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan sekolah, sangat sedikit kemampuan mengeja huruf, tidak mampu untuk meniru huruf-huruf.

(43)

olahraga, sedangkan di rumah mereka juga mendapatkan dorongan untuk menghilangkan kesulitannya.

4. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)

Menurut Somantri (2006:140), mengemukakan bahwa anak tunalaras didefinisikan sebagai berikut:

Anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya.

Menurut Delphie (2006:78), anak disebut dengan hendaya perilaku menyimpang, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini.

a. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensoryatau kesehatan.

b. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru.

c. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.

d. Secara umum, mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau depresi.

e. Bertendensi ke arah symptoms fisik seperti: merasa sakit, atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.

Delphie (2006:101) menyebutkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadi hendaya kelainan perilaku adalah:

a. Faktor biologis, perilaku yang menyimpang dipengaruhi oleh faktor genetika, neurologis atau faktor biokemikal atau dapat juga dari kombinasi antara genetik/neurologis/biokemikal.

(44)

c. Faktor budaya, kondisi-kondisi budaya dan sosial yang berubah menyebabkan adanya hendaya kelainan perilaku terhadap anak-anak. d. Faktor sekolah, misal adanya pengalaman-pengalaman yang buruk

sewaktu berada di ruang kelas.

Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Ketidakmampuan anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam belajar dapat menjadikan anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sehingga anak mencari kompensasi yang sifatnya negatif, misalnya: membolos, lari dari rumah, berkelahi, mengacau dalm kelas, dan sebagainya. Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini terhadap timbulnya gangguan tingkah laku adalah ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari suatu perbuatan, mudah dipengaruhi sehingga mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku yang negatif (Somantri, 2006:149).

(45)

dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu timbullah kesulitan apabila akan menjalin hubungan dengan mereka, ingin mencoba mendekati dan menyayangi mereka, dan apabila berhasil sekalipun mereka akan menjadi sangat tergantung kepada seseorang yang pada akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya.

5. Tunarungu wicara (Communication disorder and deafness)

Somantri (2006:94) mengemukakan pengertian tunarungu wicara yaitu:

Mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki fungsional di dalam kehidupan sehari-hari.

Ciri umum hambatan perkembangan bahasa dan komunikasi antara lain sebagai berikut.

a. Kurang memperhatikan saat guru memberikan pelajaran di kelas. b. Selalu memiringkan kepalanya, sebagai upaya untuk berganti posisi

telinga sumber bunyi, seringkali ia meminta pengulangan penjelasan guru saat di kelas.

c. Mempunyai kesulitan untuk mengikuti petunjuk secara lisan.

d. Keengganan untuk berpartisipasi secara oral, mereka mendapatkan kesulitan untuk berpartisipasi secara oral dan dimungkinkan karena hambatan pendengarannya.

e. Adanya ketergantungan terhadap petunjuk atau instruksi saat di kelas.

f. Mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara. g. Perkembangan intelektual peserta didik tunarungu wicara terganggu. h. Mempunyai kemampuan akademik yang rendah, khususnya dalam

membaca (Hallahan & Delphie, 2006:103).

(46)

karena pengaruh dari luar yang diterimanya. Anak tunarungu bila ditegur orang yang tidak dikenalnya akan tampak resah dan gelisah.

Anak tunarungu banyak dihinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka ragam komunikasinya, hal seperti ini akan membingungkan anak tunarungu. Anak tunarungu sering mengalami berbagai konflik, kebingungan, dan ketakutan karena ia sebenarnya hidup dalam lingkungan yang bermacam-macam. Sudah menjadi kejelasan bagi kita bahwa hubungan sosial banyak ditentkan oleh komunikasi antara seseorang dengan orang lain. Kesulitan komunikasi tidak bisa dihindari. Namun bagi anak tunarungu tidaklah demikian karena anak ini mengalami hambatan dalam berbicara. Kemiskinan bahasa membuat dia tidak mampu terlibat secara baik dalam situasi sosialnya. Sebaliknya, orang lain akan sulit memahami perasaan dan pikirannya.

6. Tunanetra (Partially seing and legally blind) atau disebut dengan anak yang mengalami hambatan dan penglihatan

Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalm kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas (Somantri,2006:65).

Menurut Somantri (2006:66), anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu:

(47)

Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)

b. Low Vision

Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headlinepada surat kabar.

(48)

7. Anak Autistik(Autistic Children)

Autism syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak (Somantri, 2006:121).

Gejala-gejala penyandang autism menurut Delay & Deinaker (Somantri, 2006:121) antara lain sebagai berikut.

a. Senang tidur dan malas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.

b. Selalu diam sepanjang waktu.

c. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian dengan suara yang anaeh ia akan mengucapk an atau menceritakan dirinya dengan beberapa kata, kemudian diam menyendiri lagi.

d. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya keinginan yang bermacam-macam, serta tidak menyenangi sekelilingnya.

e. Tidak tampak ceria.

f. Tidak peduli terhadap lingkungannya, kecuali pada benda yang disukainya, misalnya boneka.

8. Tunadaksa (Physical disability)

Menurut Somantri (2006:121) mengemukakan bahwa pengertian tunadaksa adalah:

Suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.

(49)

mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai orang normal sehingga keadaan tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima oleh anak yang bersangkutan. Dukungan orang tua dan orang-orang di sekelilingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa.

Sikap terlalu melindungi (over protection) dari orang tua menyebabkan anak-anak tunadaksa merasakan ketergantungan sehingga mereka takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak dikenalinya. Anak-anak tunadaksa seringkali tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan anak-anak seusianya, terutama dalam kelompok sosial yang sifatnya lebih resmi. Anak-anak seperti ini khususnya mereka yang karerna kondisinya harus sering tinggal dirumah, menunjukkan kebutuhan untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya yang tidak tuna. Apabila mereka terlalu lama harus beristirahat di dalam rumah, maka anak ini akan mengalami deprivasi dan isolasi dari teman-teman sekolahnya. Ketika mereka kembali ke sekolah, mereka merasakan kecemasan terhadap cara teman-teman dalm memperlakukan mereka, menerima dan berintegrasi dengan mereka (Somantri, 2006:131-133).

9. Tunaganda (Multiple Handicapped)

(50)

mereka yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan perkembangan neorologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti inteligensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat.

Walker, (Delphie, 2006:138) berpendapat mengenai “tunaganda ataumultihandicapped” sebagai berikut:

a. Seseorang dengan dua hambatan yang masing-masing memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus.

b. Seseorang dengan hambatan-hambatan ganda yang memerlukan layanan teknologi.

c. Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi-metode secara khusus

10. Anak berbakat (Giftedness and Special Talents)

Kitano (Somantri, 2006:170) mengemukakan bahwa pengertian anak berbakat sebagai berikut:

Anak berbakat secara intelektual menunjukkan kemampuan berpikir analitis, integratif, dan evaluatif, berorientasi pemecahan masalah, kemampuan non verbal yang tinggi, serba ingin sempurna (perfectionis), memiliki cara lain dalam memahami dan mengolah informasi, memiliki fleksibilitas berpikir, berkemampuan melahirkan gagasan dan pemecahan orisinal, berorientasi evaluatif baik terhadap dirinya maupun orang lain, dan secara persisten berperilaku terarah kepada tujuan, menunjukkan motivasi dan kompetisi tinggi untuk berprestasi yang baik.

Treffinger, (Somantri, 2006:170) mengemukakan sejumlah karekteristik unik anak berbakat ialah bahwa anak berbakat memiliki karakteristik berikut:

a. Rasa ingin tahu yang tinggi(Curiosity). b. Berimajinasi(Imagination).

c. Produktif(Productivity).

(51)

e. Mau mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan informasi dan mewujudkan ide-ide(Extensive fund of information and ideas). f. Memiliki ketekunan(Persistence).

g. Bersikukuh dalam menyelesaikan masalah (Commitment to solving problems).

h. Berkonsentrasi ke masa depan dan hal-hal yang belum diketahui (Concern with the future and the unknown), tidak hanyut pada masa lalu, terpaku hari ini, atau cepat puas pada hal-hal yang sudah diketahui(not merely with the past, the present, or the known).

Anak berbakat seingkali menunjukkan harapan yang tinggi terhadap dirinya maupun orang lain, dan karena harapan ini tidak disertai dengan kesadaran diri, maka tidak jarang membawa dirinya menjadi frustasi teradap dirinya, terhadap orang lain, dan terhadap situasi. Dalam kondisi seperti ini maka tampak perkembangan emosi yang tidak stabil dan sulit menyesuaikan diri. Motivasi dan daya saing yang kuat, hasrat ingin tahu yang besar, dan minat eksplorasi yang tiada berujung pada anak berbakat, mungkin menimbulkan keirian mereka terhadap gurunya karena gurunya dirasakan tidak memahami kebutuhannya. Akibatnya mereka memiliki gambaran diri terlalu tinggi, lalu menganggap benar pendapat sendiri yang dapat menumbuhkan kesan bersikap angkuh dan sombong. Kecenderungan ini akan menimbulkan masalah sosial dan penyesuaian diri bagi anak berbakat (Somantri, 2006:175).

2.3.2. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus

(52)

hendaknya guru sudah memiliki data pribadi setiap peserta didiknya. Data pribadi yakni berkaitan dengan karakteristik spesifik, kemampuan dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki, dan tingkat perkembangannya.

Adanya perbedaan karakteristik setiap peserta didik berkebutuhan khusus, akan memerlukan kemampuan khusus guru. Guru dituntut memiliki kemampuan berkaitan dengan cara mengkombinasikan kemampuan dan bakat setiap anak dalam beberapa aspek. Aspek tersebut meliputi kemampuan berpikir, melihat, mendengar, berbicara, dan cara bersosialisasi. Kemampuan guru semacam itu, merupakan kemahiran seorang guru dalam menyelaraskan keberadaan siswanya dengan kurikulum yang ada, kemudian diramu menjadi sebuah program pembelajaran individual (Delphie, 2006:2-3).

Delphie (2006:5) mendefinisikan pembelajaran individual merupakan layanan yang memfokuskan pada kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik.

Program pembelajaran individual sangat erat kaitannya dengan tiga komponen utama, yaitu sebagai berikut:

1. Tingkat kemampuan atau prestasi, yang diketahui setelah dilakukan asesmenmelalui pengamatan dan tes-tes tertentu.

(53)

selama kegiatan sekolah, dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran antara yang dituangkan ke dalam program semester.

3. Sasaran jangka pendek. Sasaran ini bersifat sasaran antara yang diterapkan tiap semester dalam tahun yang berjalan.

Selama proses kegiatan pembelajaran individual berlangsung, guru ditantang untuk dapat memberikan intervensi khuus guna mengatasi bentu-bentuk kelainan perilaku yang muncul, agar pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. Pogram pembelajaran yang disusun guru berisikan cara atau bentuk intervensi yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam bentuk motivasi yang menggunakan cara reinforcement.

Delphie (2006:2) menyebutkan tiga motivasi belajar, yaitu sebagai berikut:

1. Social reinforcementmisalnya pemberian hadiah, menyentuh tangan anak, atau memluk penuh perasaan.

2. Tangible misalnya pemberian makanan kesukaannya, uang atau ganjaran berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan yang merupakan bentuk penghargaan seperti diberikannya suatu kegiatan bermain, pemberian waktu bebas, atau mendengarkan musik kesukaannya.

3. Negative consequences, diberikan jika muncul perilaku-perilaku yang tidak diharapkan, misalnya pemberian “time out” atau istirahat dari kegiatan yang sedang berlangsung terhadap anak yang menunjukkan perilaku suka mengamuk, atau mengganggu.

(54)

peserta didik yang paling dominan dan didasarkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kurikulum yang dirancang berdasarkan kebutuhan nyata oleh guru kelas dan agar dapat mengembangkan ranah pendidikan sebagai sasaran akhir pembelajaran. Selain itu, KBK juga mengembangkan lingkungan belajar terpadu dari peserta didik bersangkutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum dan khusus. Tujuannya berupa pencapaian pengetahuan, ketrampilan, sikap, psikomotor, tertentu dari setiap peserta didik (Delphie, 2006:149).

Menurut Delphie (2006:148) bahwa pola bermain peran ataurole playingdapat diterapkan guru dalam pembelajaran individual disebabkan bermain dapat:

1. Digunakan sebagai diagnostik untuk memahami pesrta didik. 2. Digunakan untuk mengembangkan kegiatan hubungan antara

indivudu dan orang lain agar dapat berjalan baik.

3. Dipakai sebagai mengubah pola kegiatan kehidupan sehari-hari dan dapat mengatasi rasa gelisah.

4. Bermain dapat membantu peserta didik saat melakukan veberlisasi perasaan-perasaan melalui alat main tertentu dengan keberadaan peserta didik bersangkutan.

5. Membantu peserta didik dalam memerankan perasaan bawah sadar dapat menurunkan ketegangan yang menyertai perasaan bawah sadarnya.

6. Dipergunakan untuk mengembangkan minat bermain peserta didik usia rendah bagi penyaluran kehidupan sehari-hari yang kemudian memperkuat masa depannya.

Mansyur (Tukiran, 2011:42) menjelaskan kelebihan-kelebihan bermain peran adalah sebagai berikut:

1. Siswa melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat bahan yang akan didramakan.

(55)

3. Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya.

Menurut Delphie (2006:150-151), pembelajaran individual meliputi enam elemen, yaitu:

1. Elicitors (E), yakni peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkanatau menyebabkan perilaku. Elicitors dapat terjadi melalui:

a) Peralatan pembelajaran, seperti alat permaian, bentuk permaian edukatif, buku instrumen tes, gambar-gambar, alat tuliscrayon. b) Dapat juga berupa bentuk-bentuk arahan, suruhan, permintaan,

demonstrasi atau seperangkat arahan-arahan atau petunjuk-petunjuk tertentu.

c) Dapat melalui orang dengan perilaku seperti: senyuman sebagai tanda persetujuan, atau kerutan di dahi sebagai tanda tidak setuju. 2. Behaviors atau perilaku (B), merupakan kegiatan peserta didik

terhadap sesuatu yang dia lakukan, antara lain berlari, berjalan, berbicara, menulis, menyusun atau memasang papan permaian, membaca, menjawab pertanyaan, atau duduk di kursinya.

3. A Reinforcers atau penguatan (R), berupa peningkatan kepuasandari perilaku untuk masa depan.

(56)

5. Terminal Objective. Menghubungkan antara tujuan yang satu dengan tujuan lainnya.

6. Enroute Objective.Menggambarkan pencapaian “sasaran antara” yang harus dicapai oleh setiap peserta didik sebelum pindah ke enroute objectiveberikutnya.

Menurut Delphie (2006:152) model dari proses pembelajarannya memungkinkan guru kelas mampu:

1. Melakukan pengindentifikasian secara tepat pada setiap titik sasaran.

2. Kapan peserta didik mulai sesuai denganentering behavior atau kesiapan menerima pelajaran.

3. Enroute objectiveyaitu suatu keadaan sesuai dengan urutan pembelajaran.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang berjudul “ Pengaruh Waktu Penyimpanan Beku dan Thawing Terhadap Sifat Fisikokimiawi Daging Halus Ikan Lele (Clarias

Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2018 di kawasan air terjun Jumog Ngargoyoso Karanganyar. Data yang diambil meliputi: 1) Data Pteridophyta terestrial yaitu

Heinonen (2008: 9) kirjoittaa, että ammatillinen sekä akateeminen kiinnostus yleisön sanansijoihin, siihen miten yleisöstä hankitaan tietoa toimitusten käyttöön ja

‐ disebabkan karena kegagalan dalam rekanalisasi duktus

Kegiatan umroh juga merupakan agenda rutinan didalam Yayasan Jam‟iyah Sholawat Ibrohimiyah. Kegiatan ini dibuka secara umum untuk diikuti semua masyarakat, tidak hanya jamaah

Read the short notices meaningfully, loudly, correctly, and clearly.. First, repeat

Berdasarkan arahan dan revisi dari validator, program yang dibuat dalam penelitian ini yaitu implementasi diagnosis penyakit tropis dengan metode FMCDM yang