• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 749): Arti kata mitra adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 749): Arti kata mitra adalah"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Kemitraan

2.1.1. Pengertian Kemitraan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 749): Arti kata mitra adalah teman; sahabat, kawan kerja, pasangan kerja, rekan. Kemitraan artinya: perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra.

Berdasarkan pendapat Hafsah (1999: 43) :

”Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis”.

Lebih lanjut, Anoraga (2002: 232), Kemitraan merupakan suatu bentuk jalinan kerjasama dari dua atau lebih pelaku usaha yang saling menguntungkan. Terjadinya kemitraan adalah bila ada keinginan yang sama untuk saling mendukung dan saling melengkapi dalam upaya mencapai tujuan bersama. Kemitraan usaha ini dilakukan antara usaha kecil dengan sektor usaha besar. Dengan adanya kemitraan ini, usaha kecil diharapkan dapat hidup berdampingan dan sejajar dengan usaha besar.

Sesuai UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Pasal 1 Ayat 8, “Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha

(2)

besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan”.

Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 terutama dalam Pasal 1 menyatakan bahwa : “Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau dengan usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”.

Dalam UU No.9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil , konsep kemitraan dirumuskan dalam pasal 26 sebagai berikut :

1) Usaha Menengah dan Usaha Besar melaksanakan hubungan kemitraan dengan usaha kecil, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki keterkaitan usaha.

2) Pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diupayakan ke arah terwujudnya keterkaitan usaha.

3) Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.

4) Dalam melaksanakan hubungan ke dua belah pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara.

2.1.2. Unsur-Unsur Kemitraan

Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan berbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu sama lainnya.

Kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan (Bobo, 2003 : 182), yaitu :

(3)

2.1.2.1. Kerjasama Usaha

Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengeksploitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya.

2.1.2.2. Antara Pengusaha Besar atau Menengah Dengan pengusaha Kecil

Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh di dalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan.

2.1.2.3. Pembinaan dan Pengembangan

Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan di dalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), pembinaan

(4)

manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta menyangkut pula pembinaan didalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi. 2.1.2.4. Prinsip Saling Memerlukan, Saling Memperkuat dan Saling

Menguntungkan

2.1.2.4.1. Prinsip Saling Memerlukan

Dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan di antara kedua belah pihak yang bermitra.

2.1.2.4.2. Prinsip Saling Memperkuat

Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing-masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non ekonomi seperti peningkatan kemampuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekuensi logis dan alamiah dari adanya kemitraan .

Keinginan tersebut harus didasari sampai sejauh mana kemampuan untuk memanfaatkan keinginan tersebut dan untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku

(5)

yang bermitra sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan demikian terjadi saling isi mengisi atau saling memperkuat dari kekurangan masing-masing pihak yang bermitra. Dengan motivasi ekonomi tersebut maka prinsip kemitraan dapat didasarkan pada saling memperkuat.

2.1.2.4.3. Prinsip Saling Menguntungkan

Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah “win-win solution partnership” kesadaran dan saling menguntungkan. Pada kemitraan usaha terutama sekali terhadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional, disinilah letak kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut. Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara bagi masing-masing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya.

2.1.3. Tujuan kemitraan

Tujuan kemitraan meliputi beberapa aspek (Hafsah, 1999 : 54), antara lain yaitu :

2.1.3.1. Tujuan dari Aspek Ekonomi

Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih kongkrit yaitu :

(6)

b) Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan

c) Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil d) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional e) Memperluas kesempatan kerja

f) Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional 2.1.3.2. Tujuan dari Aspek Sosial dan Budaya

Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya pemberdayaan usaha kecil. Pengusaha besar berperan sebagai faktor percepatan pemberdayaan usaha kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya dalam mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha, atau dengan perkataan lain kemitraan usaha yang dilakukan oleh pengusaha besar yang telah mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung jawab sosial pengusaha besar untuk ikut memberdayakan usaha kecil agar tumbuh menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri.

Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa pemberian pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha kecil, dengan pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha kecil dapat tumbuh dan berkembang sebagai komponen ekonomi yang tangguh dan mandiri.

2.1.3.3. Tujuan dari Aspek Teknologi

Sehubungan dengan keterbatasan khususnya teknologi pada usaha kecil, maka pengusaha besar dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan terhadap pengusaha kecil meliputi juga memberikan bimbingan teknologi. Teknologi dilihat dari arti kata bahasannya adalah ilmu yang berkenaan dengan teknik. Oleh karena itu,

(7)

bimbingan teknologi yang dimaksud adalah berkenaan dengan teknik berproduksi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.

2.1.3.4. Tujuan dari Aspek Manajemen

Manajemen merupakan proses yang dilakukan oleh satu atau lebih individu untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai hasil-hasil yang tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri. Ada 2 (dua) hal yang menjadi pusat perhatian yaitu :

a). Peningkatan produktivitas individu yang melaksanakan kerja.

b). Peningkatan produktivitas organisasi di dalam kerja yang dilaksanakan.

Pengusaha kecil yang umumnya tingkat manajemen usaha rendah, dengan kemitraan usaha diharapkan ada pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pemantapan organisasi.

2.1.4. Bentuk-Bentuk Pola Kemitraan

Pola kemitraan adalah salah satu konsep yang sudah banyak dikenal. Dalam pola kemitraan ini diharapkan suatu lembaga mampu berfungsi sebagai penampung aspirasi para anggota kemitraan tersebut. Perlu diingat bahwa salah satu fungsi dari lembaga kemitraan adalah harus mampu mencerminkan keikutsertaan para anggotanya dan mengikutsertakan masyarakat agar dapat berpatisipasi aktif dalam pembangunan di daerah mereka masing-masing.

Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan

(8)

usaha yang dimitrakan menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah adalah sebagai berikut :

2.1.4.1. Pola Inti Plasma

Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha Menengah bertindak sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil sebagai plasma. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, yang dimaksud dengan pola inti plasma adalah:

“Hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha”.

Kerjasama inti plasma akan diatur melalui suatu perjanjian kerjasama antara inti dan plasma. Dalam program inti plasma ini diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pada pihak usaha kecil selaku pihak plasma yang mendapat bantuan dalam upaya mengembangkan usahanya, maupun pada pihak usaha besar atau usaha menengah yang mempunyai tanggung jawab sosial untuk membina dan mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha untuk jangka panjang.

Selain itu juga sebagai suatu upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha pola inti plasma yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masing- masing pihak yang terlibat. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain : (1) Pengusaha Besar (Pemrakarsa), (2) Pengusaha Kecil (Mitra Usaha) dan (3) Pemerintah. Peran pengusaha besar selaku (inti) sebagaimana tersebut di atas tentunya juga harus diimbangi dengan peran usaha kecil (plasma) yaitu meningkatkan

(9)

kemampuan manajemen dan kinerja usahanya yang berkelanjutan serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan atau usaha menengah.

2.1.4.2. Pola Sub Kontrak

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 bahwa: “Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya”. Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar.

Oleh karena itu, maka melalui kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada usaha kecil untuk membeli bahan baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga yang wajar. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam kemitraan dengan pola subkontrak, bagi perusahaan kecil antara lain adalah dapat menstabilkan dan menambah penjualan, kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen, bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen, perolehan, pengusaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan.

Sedangkan bagi perusahaan besar adalah dapat memfokuskan perhatian pada bagian lain, memenuhi kekurangan kapasitas, memperoleh sumber pasokan barang dengan harga yang lebih murah daripada impor, selain itu juga dapat meningkatkan

(10)

produktivitas dan kesempatan kerja baik pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar.

2.1.4.3. Pola Dagang Umum

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, Pola Dagang Umum adalah: Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya.

Dengan demikian maka dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.

2.1.4.4. Pola Waralaba

Menurut Penjelasan Pasal 27 huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, Pola Waralaba adalah “ Hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen”. Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas, dalam pola waralaba pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima waralaba. Dengan demikian, maka dengan pola waralaba ini usaha menengah dan atau usaha besar yang bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan dan atau menjadi

(11)

penjamin kredit yang diajukan oleh usaha kecil sebagai penerima waralaba kepada pihak ketiga.

2.1.4.5. Pola Keagenan

Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, pola keagenan adalah “hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya”. Dalam pola keagenan, usaha menengah dan atau usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini usaha menengah atau usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa lainnya kepada usaha kecil yang mampu melaksanakannya.

2.1.4.6. Bentuk- Bentuk Lain

Selain daripada pola-pola seperti yang telah disebutkan di atas, seiring dengan semakin berkembangnya lalu lintas usaha (bisnis) dimungkinkan pula dalam perjalanannya nanti adanya timbul bentuk pola-pola lain yang mungkin saat ini atau pada saat yang mendatang akan atau sudah berkembang tetapi belum dibakukan.

2.1.5. Pengembangan UKM (Usaha Kecil Menengah) 2.1.5.1. Pengertian UKM (Usaha Kecil Menengah)

Defenisi yang berkaitan dengan UKM (Usaha Kecil Menengah) tersebut adalah :

Ketentuan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan kemudian dilaksanakan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun

(12)

1997 tentang Kemitraan, di mana pengertian UKM adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 sebagai berikut :

1) Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

2) Usaha Menengah dan usaha besar adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan-penjualan tahunan lebih besar dari kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil.

Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia Tahun 2003, menggambarkan bahwa perusahaan dengan:

a) Jumlah tenaga kerja 1 – 4 orang digolongkan sebagai industri kerajinan dan rumah tangga

b) Perusahaan dengan tenaga kerja 5 – 19 orang sebagai industri kecil

c) Perusahaan dengan tenaga kerja 20 – 99 orang sebagai industri sedang atau menengah

d) Perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang sebagai industri besar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2003, yang mendefenisikan UKM menurut dua kategori, yaitu :

a) Menurut omset. Usaha kecil adalah usaha yang memiliki aset tetap kurang dari Rp 200 juta dan omset per tahun kurang dari Rp 1 milyar

b) Menurut jumlah tenaga kerja. Usaha kecil adalah usaha yang memiliki tenaga kerja sebayak 5 sampai 9 orang. Industri rumah tangga adalah industri yang memperkerjakan kurang dari lima orang.

Usaha kecil menengah (UKM) adalah usaha yang mempunyai modal awal yang kecil, atau nilai kekayaan (asset) yang kecil dan jumlah pekerja yang kecil (terbatas), nilai modal (asset) atau jumlah pekerjanya sesuai dengan defenisi yang diberikan oleh pemerintah atau institusi lain dengan tujuan tertentu (Sukirno, 2004: 365).

(13)

Longenecker dkk, (2001: 15), mengatakan UKM (Usaha Kecil Menengah) adalah usaha yang berpendapatan pertahun 100 juta sampai dengan 200 juta dengan tenaga kerja kurang dari 100 orang.

Sedangkan Ball dkk, (2001: 494), berpendapat bahwa UKM (Usaha Kecil Menengah) adalah yang memiliki omset lebih dari 300 juta dengan karyawan lebih dari 100, dengan kekayaan bersih 100 juta (di luar tanah dan bangunan).

Sebagai bahan perbandingan menurut Susana Suprapti (2005: 48), UKM (Usaha Kecil Menengah) adalah badan usaha baik perorangan atau badan hukum yang memiliki kekayaan bersih (tidak termasuk tanah dan bangunan) sebanyak 200 juta dan mempunyai omset/nilai output atau hasil penjualan rata-rata pertahun sebanyak Rp 1 Milyar dan berdiri sendiri.

Pengertian UKM (Usaha Kecil Menengah) menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/1/UKK Tanggal 29 Mei 1993 adalah :

-. Usaha Kecil adalah yang memiliki total aset maksimum Rp 600 Juta, tidak termasuk tanah dan rumah yang ditempati.

-. Usaha menengah adalah usaha ekonomi yang dikembangkan dengan perhitungan aset (di luar tanah dan bangunan) mulai dari 200 juta sampai kurang dari 600 juta dengan jumlah tenaga kerja mulai 20 orang sampai dengan 99 orang.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan defenisi UKM adalah kegiatan usaha berskala kecil yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok dengan tenaga kerja kurang dari 100 orang, memiliki kekayaan bersih 200 juta (di luar tanah dan bangunan), dengan pendapatan 100 juta-200 juta.

(14)

2.1.5.2. Karakteristik UKM

Dalam ketentuan UU No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil, yang menjadi kriteria usaha kecil adalah :

1) Memiliki kekayaan paling banyak Rp 200.000.000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)

2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- 3) Milik warga negara Indonesia.

4) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasi atau berafiliasi baik langsung mauapaun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.

5) Berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.

Ciri-ciri umum usaha kecil menurut Mintzerg dkk, (dalam Situmorang dkk., 2003: 5) adalah :

1) Kegiatan cenderung tidak normal dan jarang yang memiliki rencana bisnis 2) Stuktur organisasinya bersifat sederhana

3) Jumlah tenaga kerja terbatas dengan pembagian kerja yang longgar

4) Kebanyakan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan pribadi dan perusahaan 5) Sistem akuntansi yang kurang baik, bahakan kadang-kadang tidak memiliki 6) Skala ekonomi terlalu kecil sehingga sukar menekan biaya

7) Kemampuan pasar serta diversifikasi pasar cenderung terbatas 8) Marjin keuntungan sangat tipis

9) Keterbatasan modal sehingga tidak mampu memperkerjakan manajer-manajer profesional. Hal itu menyebabkan kelemahan manajerial, yang meliputi kelemahan pengorganisasian, perencanaan, pemasaran dan akuntansi.

(15)

Tabel 2.1. Batasan/ Karakteristik UKM menurut beberapa organisasi.

Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria

Badan Pusat Statistik

(BPS)

Usaha Mikro

Pekerja <5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar

Usaha Kecil Pekerja 5-19 orang Usaha Menengah Pekerja 20-99 orang

Menneg Koperasi & UKM

Usaha Kecil (UU No. 9/1995)

Aset < Rp. 200 Juta di luar tanah dan bangunan. Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar Usaha Menengah (Inpres 10/1999) Aset Rp. 200- Rp. 10

Milyar

Bank Indonesia

Usaha Mikro (SK Dir BI No. 31/24/KEP/DIR Tgl 5 Mei 1998)

Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin. • Dimiliki oleh keluarga sumberdaya lokal dan teknologi sederhana • Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry

Usaha Kecil (UU No. 9/1995)

Aset < Rp. 200 Juta di luar tanah dan bangunan : Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar

Menengah (SK Dir BI No. 30/45/Dir/UK Tgl 5 Januari 1997)

Aset < Rp. 5 Milyar untuk sektor industri

• Aset < Rp. 600 Juta di luar tanah dan bangunan. Untuk

manufacturing

• Omzet tahunan <Rp. 3 Milyar

Bank Dunia Usaha Mikro Kecil- Menengah

Pekerja < 20 orang

• Pekerja 20-150 orang

• Aset < US$.500 ribu di luar tanah dan bangunan Sumber: http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/top/kriteria.htm

(16)

Selain itu, Sutojo (dalam Bararuallo, 2001:7), mengemukakan bahwa ciri-ciri usaha kecil di Indonesia adalah :

1) Lebih dari setengah usaha didirikan sebagai pengembangan dari usaha kecil-kecilan

2) Selain masalah permodalan, masalah lain yang dihadapi usaha kecil bervariasi tergantung dengan tingkat perkembangan usaha

3) Sebagian besar usaha kecil tidak mampu memenuhi persyaratan-persyaratan administrasi guna memperoleh bantuan bank

4) Hampir 60% usaha kecil masih menggunakan teknologi tradisional

5) Hampir setengah perusahaan kecil hanya menggunakan kapasitas terpasang kurang dari 60%

6) Pangsa pasar usaha kecil cenderung menurun baik karena faktor kekurangan modal, kelemahan teknologi dan kelemahan manajerial

7) Hampir 70% usaha kecil melakukan pemasaran langsung kepada konsumen 8) Tingkat ketergantungan terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah sangat besar.

Menurut Heryadi dan Isono (2001: 14), ada beberapa karakteristik yang menjadi ciri usaha kecil, antara lain adalah :

1) Mempunyai skala usaha kecil, baik modal, penggunaan tenaga kerja maupun orientasi pasar.

2) Banyak berlokasi di wilayah pedesaan dan kota-kota atau daerah pinggiran kota besar.

3) Status usaha milik pribadi atau keluarga.

4) Sumber tenaga kerja berasal dari lingkungan sosial budaya (etnis geografis) 5) Pola bekerja sering kali part time atau sebagai usaha sampingan dari kegiatan

ekonomi lainnya.

6) Memiliki kemampuan terbatas dalam mengadopsi teknologi, pengelolaan usaha dan administrasinya sendiri masih sederhana

7) Struktur permodalan sangat tergantung pada fiskal aset, berarti kekurangan modal kerja dan sangat tergantung terhadap sumber modal sendiri serta lingkungan pribadinya.

8) Izin usaha sering kali tidak dimiliki dan persyaratan resensi berubah-ubah secara cepat.

Sesuai dengan Perda No. 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/ Ruangan dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Dinas

(17)

perindustrian dan Perdagangan kota medan, jenis usaha digolongkan berdasarkan modal menjadi empat golongan. (Lihat Tabel)

Tabel 2.2. Penggolongan Jenis Usaha*

Modal Golongan

≤ 5 juta Usaha Mikro 5 – 200 juta Usaha Kecil 201 – 500 juta Usaha Menengah ≥ 501 juta Usaha Besar

Sumber Disperindag Kota Medan

Keterangan: * Tidak termasuk tanah dan bangunan 2.1.5.3. Jenis-Jenis UKM

Secara umum UKM bergerak dalam 2 (dua) bidang, yaitu bidang perindustrian dan bidang perdagangan barang dan jasa. Menurut Keppres No. 127 Tahun 2001, adapun bidang/ jenis usaha yang terbuka bagi usaha kecil dan menengah di bidang industri dan perdagangan adalah:

a. Industri makanan dan minuman olahan yang melakukan pengawetan dengan proses pengasinan, penggaraman, pemanisan, pengasapan, pengeringan, perebusan, penggorengan dan fermentasi dengan cara-cara tradisional.

b. Industri penyempurnaan benang dari serat alam maupun serat buatan menjadi benang bermotif/ celup, ikat dengan menggunakan alat yang digunakan oleh tangan.

c. Industri tekstil meliputi pertenunan, perajutan, pembatikan, dan pembordiran yang memiliki ciri dikerjakan dengan ATBM, atau alat yang digerakkan tangan termasuk batik, peci, kopiah, dsb.

d. Pengolahan hasil hutan dan kebun golongan non pangan:

1. Bahan bangunan atau rumah tangga, bambu, nipah, sirap, arang, sabut. 2. Bahan industri: getah-getahan, kulit kayu, sutra alam, gambir.

e. Industri perkakas tangan yang diperoses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan.

(18)

f. Industri perkakas tangan untuk pertanian yang diperlukan untuk persiapan lahan, proses produksi, pemanenan, pasca panen dan pengolahan, kecuali cangkul dan sekop.

g. Industri barang dari tanah liat baik yang diglasir maupun yang tidak diglasir untuk keperluan rumah tangga.

h. Industri jasa pemeliharaan dan perbaikan yang meliputi otomotif, kapal dibawah 30 GT, elektronik dan peralatan rumah tangga yang dikerjakan secara manual atau semi otomatis.

i. Industri kerajinan yang memiliki kekayaan khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamiah maupun imitasi.

j. Perdagangan dengan skala kecil dan informasi.

2.1.5.4. Permasalahan Dan Penyebab Kegagalan UKM

Beberapa penyebab kegagalan sebuah usaha kecil menurut Scarborough dan Zimmerer ( dalam Suseno, 2005 : 238 ) :

1. Manajemen yang tidak kompeten

Kurangnya pengalaman dan kemampuan pengambilan keputusan yang rendah dari pemilik adalah masalah utama dari kebanyakan usaha kecil. Para manajer usaha kecil biasanya tidak mempunyai kapasitas untuk mengoperasikan usaha dan mereka memiliki kemampuan kepemimpinan dan pengetahuan tentang bisnis yang rendah.

2. Kurang Pengalaman

Para manajer usaha kecil mempunyai pengetahuan tentang bidang usaha yang akan dimasuki. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari pengalaman sebelumnya di bidang yang sama. Pengalaman akan memberikan ketrampilan teknis maupun keadaan bisnis.

(19)

3. Pengendalian keuangan yang rendah

Manajemen yang sehat adalah kunci kesuksesan sebuah usaha kecil dan manajer yang efektif diperlukan untuk mengendalikan keuangan perusahaan yang tepat. Dua masalah keuangan yang utama usaha kecil adalah modal yang terlalu kecil dan kebijakan kredit bagi konsumen yang longgar.

4. Lemahnya manajemen strategik

Usaha kecil biasanya tidak mempunyai perencanaan bisnis yang sebenarnya dapat digunakan untuk merencanakan pengembangan strategi usahanya. Pembuatan perencanaan bisnis mendorong pengusaha untuk melihat potensi usahanya secara realistik.

5. Pertumbuhan yang tidak terkendali

Pertumbuhan merupakan hal yang diinginkan oleh setiap usaha, tetapi pertumbuhan dapat menjadi kerugian ketika perusahaan tidak dapat mengendalikannya. Banyak usaha kecil tidak bisa mengantisipasi kebutuhan karena pertumbuhan usaha mereka. Pertumbuhan seharusnya diimbangi dengan perubahan dalam struktur organisasi dan operasi usaha.

6. Pemilihan lokasi usaha yang tidak tepat

Banyak usaha kecil memilih lokasi berbisnis tanpa melalui seleksi dengan studi dan perencanaan yang tepat. Beberapa hal dapat dilakukan untuk menentukan lokasi, antara lain kedekatan dengan konsumen dan tarif sewa. 7. Lemahnya kendali persediaan

Jumlah persediaan yang tidak tepat, baik kelebihan maupun kekurangan, akan membingungkan konsumen. Keadaan yang biasanya terjadi adalah usaha

(20)

tidak hanya kelebihan persediaan, tetapi kelebihan itu terdapat pada jenis barang yang salah.

8. Ketidakmampuan untuk melakukan entrepreneurial transition

Sebuah skala akan membutuhkan gaya manajemen yang berbeda dibandingkan ketika usaha tersebut dimulai. Perkembangan suatu bisnis memerlukan keefektifan manajerial dalam menjalankan usaha, seperti pendelegasian kewenangan. Usaha kecil sering kali tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal tersebut.

Sementara itu, BPS (Biro Pusat Statistik) Tahun 2003, mengidentifikasikan delapan permasalahan umum yang dihadapai oleh UKM (Usaha Kecil Menengah). Masalah-masalah tersebut adalah :

1) Kurang permodalan 2) Kesulitan pemasaran 3) Persaingan usaha 4) Kesulitan bahan baku

5) Kurangnya kemampuan teknis produksi dan keahlian 6) Kurangnya ketrampilan manajerial

7) Kurangnya pengetahuan manajemen keuangan

8) Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/ perundangan)

Menurut Abdullah (2005:99) UKM merupakan salah satu usaha yang berada di sektor privat tetapi keberadaannya dilindungi oleh pemerintah. Untuk lebih jelasnya hubungan tersebut dapat kita lihat pada bagan berikut ini:

(21)

Gambar 2. Pola hubungan UKM dengan Pemerintah

Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa yang menjadi permasalahan UKM selama ini adalah; (1) secara eksternal: permasalahan premanisme, pungutan liar, perizinan, retribusi yang tidak kondusif selalu menekan para pelaku UKM sehingga menghambat perkembangan UKM; (2) secara internal: permasalahan permodalan, manajemen usaha, akses pasar menjadi persoalan klasik. Kedua permasalahan ini tentu dapat diatasi jika pemerintah mau memiliki komitmen untuk melakukan perubahan kebijakan terhadap UKM di masa yang akan datang dengan menciptakan regulasi/ peraturan yang mendukung UKM itu sendiri, serta melakukan tindakan yang tegas terhadap aksi premanisme yang selama ini mengganggu pelaku UKM. Dengan adanya hubungan yang harmonis antara pemerintah dan UKM akan menjadi inspirasi bagi perkembangan UKM yang kuat sehingga UKM dapat menjadi pilar ekonomi yang kuat. Kebutuhan UKM • Akses Modal • Pemasaran • Pelatihan • Teknologi Beban UKM • Premanisme • Pungutan • Perizinan UKM PEMERINTAH • Pemberantasan premanisme dan pungutan liar. • Penyederhanaan perizinan usaha.

(22)

2.1.5.5. Pengertian Pengembangan

Menurut PP No.32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha kecil, maka Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah.

2.1.5.6. Komponen-komponen Pengembangan

Dalam PP No.32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Bab II Pasal 5 menyatakan pembinaan dan pengembangan usaha kecil dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :

a) Identifikasi potensi dan masalah yang dihadapi oleh usaha kecil

b) Penyiapan program pembinaan dan pengembangan sesuai potensi dan masalah yang dihadapi oleh usaha kecil

c) Pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan

d) Pemantauan dan pengendalian pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan bagi usaha kecil

2.1.5.7. Faktor Pendukung Pengembangan UKM (Usaha Kecil Menengah) Menurut Sartika dan Rachman (dalam Suseno, 2005: 45), Upaya untuk mengembangkan UKM (Usaha Kecil Menengah) akan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu faktor dari dalam perusahaan (faktor internal) dan faktor luar perusahaan (faktor eksternal), sebagai berikut :

2.1.5.7.1. Faktor Internal

(23)

2) Melakukan perencanaan usaha dan investasi dalam jangka panjang 3) Mengembangkan Research and Development

2.1.5.7.2. Faktor Eksternal

1) Menciptakan iklim yang kondusif untuk pengembangan usaha (penyederhanaan perizinan dan birokrasi)

2) Mengupayakan adanya program pendampingan 3) Mengupayakan tersedianya faktor-faktor produksi

4) Mengupayakan tersedianya produk-produk pendukung dalam proses produksi 5) Mengupayakan tersedianya infrastruktur sosial

6) Mengupayakan tersedianya biaya dari kredit

7) Perlu memberikan fleksibilitas dalam penerapan prinsip penyaluran kredit, diantaranya faktor kapasitas dan kemampuan debitor dalam menghasilkan keuntungan juga masalah agunan atau collateral kredit.

8) Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah yang mendukung pengembangan UKM (Usaha Kecil Menengah)

Gambar

Tabel 2.1. Batasan/ Karakteristik UKM menurut beberapa organisasi.
Tabel 2.2. Penggolongan Jenis Usaha*
Gambar 2. Pola hubungan UKM dengan Pemerintah

Referensi

Dokumen terkait

Alat itu digunakan pada proses terakhir yaitu pada proses pengaduk telur omlet, dimana alat tersebut bekerja menggunakan sumber daya dari motor listrik yang menggerakkan

53 NO Urusan Pemerintahan Organisasi Perangkat Daerah Pelaksana Kebijakan Uraian Program / Kegiatan Indikator Program/kegia tan Rumus Target Indikator

Secara keseluruhan terdapat lima faktor yang menyebabkan erosi yaitu : iklim, tanah, topografi atau bentuk wilayah, vegetasi penutup tanah dan kegiatan manusia.. Faktor iklim

Atas kewenangan yang dimiliki sebagai penyidik perkara korupsi, Jaksa memiliki wewenang khusus yang tertuang dalam Pasal 26 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

[r]

Pustakawan dan Guru Pustakawan Perpustakaan Sekolah harus dapat memahami secara baik apa yang menjadi tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan pada Sekolah Dasar, Sekolah

“ seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa makna asli sekaligus yang paling umum blended learning mengacu pada belajar yang mengkombinasi atau mencampur

Sistem E-Learning merupakan sistem yang dibutuhkan saat ini oleh sebuah lembaga pendidikan terutama dalam tingkat perguruan tinggi, karena dapat menigkatkan efisiensi dan