• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Hasil SSP 2002 Riau. iii. iii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Hasil SSP 2002 Riau. iii. iii"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Kata Pengantar

Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) – Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International dan the United State AID (FHI & USAID) untuk melaksanakan “Behavioral Surveilans Survey (BSS) di Indonesia. BSS yang selanjutnya di Indonesiakan dengan nama Survei Surveilans Perilaku (SSP) dilaksanakan di 12 lokasi terpilih dan terletak di 10 propinsi yang menjadi target wilayah kerja ASA/FHI.

SSP merupakan suatu kegiatan baru bagi BPS, untuk itu pelaksanaannya dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama yang merupakan tahap pengembangan dan sekaligus pembelajaran dilaksanakan antara bulan Juni-Agustus 2002, mencakup 3 lokasi di 3 propinsi, yaitu Kota Medan/Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Kepulauan Riau (Riau), dan Jakarta Utara/Jakarta Pusat (DKI Jakarta).

Tahap kedua yang merupakan tahap implementasi mencakup 9 lokasi (di 7 propinsi), dilaksanakan dalam 2 periode pelaksanaan, yaitu pada bulan Oktober 2002 di Kabupaten Karawang/Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi (Jawa Barat), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Manado/Kota Bitung (Sulawesi Utara), Kabupaten Merauke (Papua), dan pada bulan Februari-April 2003 di Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kota Jayapura (Papua), Kota Sorong (Papua), dan Kota Ambon (Maluku).

Secara teknis penyelenggaraan SSP dibantu oleh ASA/FHI, Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan (Dit. P2ML) – Ditjen PPM & PL, Departemen Kesehatan, dan Population Council. Tim teknis dari ASA/FHI, Dit. P2ML, dan BPS secara bersama-sama menyusun metodologi, manual, dan kuesioner, termasuk menjadi tim instruktur dan supervisi, sedangkan Population Council membantu antara lain dalam penyiapan materi/manual pelatihan untuk instruktur, memberikan pelatihan instruktur, dan sebagai narasumber ahli mulai dari penyusunan instrumen sampai dengan pelaksanaan lapangan SSP tahap pertama.

Pelaksanaan SSP juga dibantu oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta dari Dinas terkait di daerah, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat kabupaten/kota.

Pimpinan BPS menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pimpinan ASA/FHI dan USAID Jakarta, pimpinan Ditjen PPM & PL, dan pimpinan Population Council yang telah mendukung terselenggaranya survei ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim teknis SSP, khususnya Elizabeth Pisani dan Pandu Riono dari ASA/FHI, Saiful Jazan, Naning Nugrahini, dan Indrawati dari Dit. P2ML, serta seluruh anggota tim teknis dari BPS.

Semoga buku ini memberi kontribusi yang berarti bagi upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, khususnya di Indonesia.

Jakarta, Juni 2003

Kepala Badan Pusat Statistik

(4)

Kata Pengantar

Pada saat ini, Indonesia tengah menghadapi berbagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Salah satu diantaranya adalah memburuknya situasi epidemik HIV/AIDS dimana Indonesia sudah digolongkan sebagai Negara dengan “concentrated level epidemic”. Artinya prevalensi HIV/AIDS sudah mencapai 5 % atau lebih pada tempat-tempat dan kelompok sub populasi tertentu.

Banyak upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia namun upaya-upaya tersebut tampaknya kurang memadai dan menjangkau sasaran. Menyadari hal tersebut Departemen Kesehatan menyambut dengan gembira hasil Keputusan Lokakarya Surveilans Nasional HIV di Jakarta pada bulan April 2001, yang antara lain merekomendasikan perlunya pengembangan Survei Surveilans Perilaku pada kelompok-kelompok tertentu untuk keperluan perencanaan, deteksi dini dan untuk mendapatkan informasi untuk melaksanakan kegiatan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Pada tahap uji coba pengembangan alat untuk melakukan Survei Surveilans Perilaku ini, Departemen Kesehatan mengucapkan terima kasih atas dukungan teknis dari ASA/FHI Indonesia, IHPCP (AusAID), Prof. Budi Utomo dari Population Council dan Badan Pusat Statistik sebagai pelaksana survei.

Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak baik secara perorangan maupun secara kelembagaan, yang telah berpartisipasi pada pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini.

Pada akhirnya saya berharap semoga laporan hasil Pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini dapat bermanfaat dan ditindak lanjuti dengan Upaya Penanggulangan HIV/AIDS yang lebih nyata baik oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Jakarta, Mei 2003

Direktur Jenderal PPM & PL, Depkes RI

(5)

Daftar Isi

Kata Pengantar

i

Daftar Isi

iii

Daftar Gambar

v

Tabel Indikator Kunci

vii

1. Pendahuluan

1

Latar Belakang 1

Survei Surveilans Perilaku 1

Sasaran Survei 2

Metode Survei 3

Sketsa Lokasi 5

2. Karakteristik Sosial dan Demografi

7

Struktur Umur 7

Status Perkawinan 7

Tingkat Pendidikan 8

Daerah Asal 9

Mobilitas 9

Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 10

Lama Bekerja 10

Tarif 11

Rata-rata Pendapatan 12

3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS

13

Pernah Mendengar HIV/AIDS 13

Pengetahuan mengenai HIV/AIDS 13

Cara tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 14 Pemahaman Tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 14 Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS 17

(6)

4. Persepsi Berisiko

19

Merasa Berisiko 19

Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko 19 Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan 20

5. Pola Perilaku Berisiko

23

Penggunaan Kondom 23

Antara Pengetahuan dan Perilaku 24

Seks Anal dan Narkoba 26

6. IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan

29

Infeksi Menular Seksual (IMS) 29

Jenis Keluhan IMS 30

Tempat Berobat 31

7. Kesimpulan dan Saran

33

Pengetahuan dan Persepsi Berisiko 33

Perilaku Berisiko dan Kondom 34

Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan 34

(7)

Daftar Gambar

Gambar Judul Gambar

2.1 Struktur Umur Responden 2.2 Tingkat Pendidikan Responden 2.3 Propinsi Asal Responden

2.4 Pasangan Seks Pertama Kali pada Responden Pria

2.5 Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir 3.1 Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS

3.2 Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS

3.3 Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS

3.4 Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS

3.5 Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 4.1 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS

4.2 Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya 4.3 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Timgkat Pendidikan 5.1 Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial

5.2 Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir 5.3 Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya

dalam Hubungan Seksual

5.4 Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir

5.5 Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik

6.1 Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS 6.2 Jenis Keluhan IMS

6.3 Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS dan Cara yang Dilakukan saat Mengalami Gejala IMS tersebut

6.4 Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan

(8)
(9)

Tabel Indikator Kunci

Indikator WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS 92,4 90,4 90,8

2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan

menggunakan kondom saat berhubungan seks 77,6 66,4 72,8

3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS

dalam setahun terakhir - - 92,5

4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan

seks dalam setahun terakhir - - 94,9

5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam

seminggu terakhir 5,9 4,1 -

6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks

komersial terakhir 57,4 58,1 39,7

7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk

responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS 17,4 29,3 16,8

8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik 2,0 3,2 0,5 9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular

seksual (IMS) dalam setahun terakhir 29,6 28,0 25,2

10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi

(10)
(11)

1

Pendahuluan

Latar Belakang

Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi saluran pernafasan. Melihat kecenderungannya maka bukan tidak mungkin penyakit ini akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia di masa mendatang.

Secara nasional prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mungkin masih tergolong rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Namun demikian, perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik.

Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, dan upaya pencegahannya terutama diarahkan pada perubahan perilaku, antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba.

Survei Surveilans Perilaku

Survei Surveilans Perilaku (selanjutnya disingkat SSP) adalah suatu proses sistematik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisa, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk memantau perilaku responden dalam masalah kesehatan, dalam hal ini perilaku berisiko terhadap tertular HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari surveilans generasi kedua.

Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik untuk HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan respon masyarakat terhadap upaya pencegahan HIV, menentukan kelompok populasi sasaran pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program.

Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang disebut

Meskipun prevalensi HIV/AIDS di Indonesia masih tergolong rendah, namun perkembangan-nya sudah mengkhawatirkan Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologi akan memberikan informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengem-bangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS

(12)

surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat di Indonesia masih sangat kecil, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan efektif, sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan perilaku berisiko. Manfaat surveilans perilaku sebagai “sistem peringatan dini” dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko.

Surveilans generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu menyusun perencanaan intervensi penanggulangan, baik upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Lebih luas lagi, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih efektif.

Sasaran Survei

Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti penjaja seks komersial yang bertransaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wanita penjaja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karaoke/ diskotek/café/restoran, hotel/motel/cottage (wanita penjaja seks tak langsung).

Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa laki-laki yang bekerja dan harus meninggalkan rumah atau keluarga dalam jangka waktu cukup lama adalah laki-laki yang cenderung membeli jasa seks, dan mungkin mempunyai pasangan seks lain, selain isteri/pasangan tetapnya.

Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di Indonesia termasuk di Propinsi Riau yang dilaksanakan bulan Juni-Juli 2002 difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks (dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung), dan lelaki yang bekerja sebagai pelaut/nelayan.

Definisi (batasan) mengenai setiap penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP 2002 adalah sebagai berikut:

• Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.

Sasaran survei adalah masyarakat yang diduga berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS

(13)

• WPS Tidak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu.

• Pelaut dan nelayan. Pelaut adalah mereka (laki-laki) yang bekerja sebagai anak buah kapal barang atau muatan; sedangkan nelayan adalah mereka (laki – laki) yang pekerjaan teraturnya mencari ikan di laut. Dalam laporan ini pelaut dan nelayan selanjutnya disebut “responden pria”.

Metode Survei

Besar sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masyarakat yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku pada survei berikutnya. Perhitungan dengan menggunakan metode “cluster survey” menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200 - 400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Di dalam rancangan sampel ditentukan target sampel lokasi sebanyak 13 lokasi WPS langsung, 20 lokasi WPS tidak langsung, dan 20 lokasi responden pria, namun dalam kenyataannya ketersediaan lokasi sebanyak itu tidak selalu dapat dipenuhi, karena jumlah lokasi yang ada tidak mencapai target.

Realisasi sampel lokasi dan responden untuk setiap sasaran survei di Propinsi Riau dicantumkan dalam tabel berikut ini.

Cakupan wilayah SSP di Propinsi Riau adalah Tanjung Pinang (Pulau Bintan) Kabupaten Kepulauan Riau, baik untuk WPS langsung, WPS tidak langsung maupun responden pria.

Lokasi tersebut ditentukan setelah mendapatkan masukan dari KPAD dan Direktorat P2M Departeman Kesehatan, dengan pertimbangan bahwa Pulau Bintan dan sekitarnya merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks di kawasan Kabupaten Kepulauan Riau, sekaligus merupakan daerah sasaran dari Survei Serologik HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan (Depkes). Dengan dipilihnya Pulau Bintan,

Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Riau

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Kabupaten/Kota

Lokasi Responden Lokasi Responden Lokasi Responden Kota Tg Pinang- P. Bintan 3 250 10 200 6 400

(14)

Kabupaten Kepulauan Riau, maka di daerah tersebut khususnya dan di Riau pada umumnya diharapkan dapat dikembangkan Surveilans Generasi Kedua.

Perkiraan populasi WPS langsung, WPS tidak langsung, responden pria diperoleh melalui listing secara independen ke setiap lokasi sasaran dengan menggunakan data dasar dari beberapa lembaga di lingkungan pemerintah daerah. Identifikasi lokasi baru, khususnya lokasi WPS, beserta populasinya dilakukan dengan cara sistem putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari satu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi.

Sampel acak digunakan baik untuk pemilihan sampel lokasi maupun responden. Pengumpulan data dilakukan dengan metode berwawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin.

Cara pemilihan sampel pelanggan (responden pria) untuk lokasi Kabupaten Kepulauan Riau (P. Bintan) sedikit berbeda dengan daerah lainnya. Bila di daerah lain pemilihan sampel pelanggan dilakukan secara random tanpa membedakan apakah responden telah pernah melakukan hubungan seks atau belum, maka khusus P. Bintan pemilihan sampel pelanggan dilakukan terhadap responden yang telah pernah melakukan hubungan seks. Dengan demikian perbedaan hasil survei kelompok pelanggan antara P. Bintan dan lokasi terpilih lainnya, sebagian mungkin karena pengaruh sampel terpilih.

Metode acak dilakukan pada pemilihan sampel

(15)
(16)
(17)

2

Karakteristik Sosial dan Demografi

Struktur Umur

Struktur umur WPS di Pulau Bintan menunjukkan bahwa rata-rata umur WPS langsung sedikit lebih muda dibanding WPS tidak langsung. Sebagian besar atau hampir 68 persen WPS langsung berada pada kelompok usia di bawah 25 tahun, pola yang serupa ditunjukkan oleh WPS tidak langsung, yaitu sekitar 58 persen juga mengelompok pada usia di bawah 25 tahun. Dilihat dari rata-rata usia mereka, WPS langsung mempunyai rata-rata usia 23,4 tahun, sedangkan WPS tidak langsung adalah 24,4 tahun, atau di antara mereka hanya selisih satu tahun. Sementara itu untuk responden pria, sebagian besar (70 persen) berusia di bawah usia 30 tahun, dengan rata-rata umur sekitar 27,8 tahun.

Status Perkawinan

Sekitar 63 persen responden pria berstatus belum kawin, dan 34 persen berstatus kawin. Sebanyak 83,2 persen responden pria yang berstatus kawin pernah membeli seks dalam setahun terakhir, sementara diantara yang belum kawin sebanyak 97,3 persen pernah membeli seks dalam setahun terakhir. Diantara pria pelanggan sebanyak 92 persen menyatakan pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir, bahkan pada umumnya lebih dari satu kali. Besarnya persentase pelanggan seks yang berstatus kawin menunjukkan sangat potensialnya penyebaran penyakit kelamin dan HIV ke dalam lingkungan keluarga mereka.

WPS langsung berusia sedikit lebih muda dibanding WPS tidak langsung

Sebagian besar responden pria yang “jajan” seks,

berstatus belum kawin

Gambar 2.1. Struktur Umur Responden

20 14 7 48 44 33 22 25 30 5 7 14 5 10 16 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

(18)

Baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung, sebagian besar mengaku bercerai. Persentase yang berstatus cerai adalah sekitar 77 persen WPS langsung dan 70 persen WPS tidak langsung. Diantara WPS ini hanya sedikit yang berstatus kawin (sekitar 5 persen WPS langsung dan 9 persen WPS tidak langsung), ini mengindikasikan bahwa mereka umumnya tidak berkeluarga.

Tingkat Pendidikan

Sebagian besar WPS berpendidikan rendah (maksimum tamat SD), baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung. Diantara WPS langsung sekitar 66 persen berpendidikan maksimum tamat SD, sementara dari WPS tidak langsung jumlahnya hampir 60 persen. Dari kedua kategori WPS ini, yang berpendidikan SLTA atau lebih tinggi masing-masing sekitar 7 persen (WPS langsung) dan 9 persen (WPS tidak langsung). Kesempatan untuk bekerja di panti pijat, bar, karaoke, diskotik, hotel dan motel, sekaligus menjadi WPS tidak langsung di Pulau Bintan tampaknya lebih dipengaruhi oleh penampilan dan keterampilan dibandingkan tingkat pendidikan formal.

Secara umum tingkat pendidikan responden pria lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok WPS. Diantara responden pria sekitar 50 persen berpendidikan maksimum tamat SD, 30 persen tamat SLTP, dan sebanyak 20 persen tamat SLTA atau lebih.

Wanita yang terjun sebagai WPS umumnya berpendidikan rendah

Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden

21 18 45 41 35 7 9 20 15 27 30 32 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

(19)

Daerah Asal

Lebih dari 98 persen WPS yang bekerja di Tg. Pinang berasal dari propinsi di luar Riau. WPS langsung yang berasal dari Propinsi Riau kurang dari satu persen, sedangkan diantara WPS tidak langsung sekitar 2 persen. Lebih dari separuh WPS (57,6 persen WPS langsung dan 46,8 persen WPS tidak langsung) berasal dari Propinsi Jawa Barat, sementara propinsi lainnya yang juga cukup tinggi persentasenya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara. Jumlah WPS dari Jawa Barat dan dari ke-4 propinsi yang disebut belakangan mencakup sekitar 90 persen WPS yang bekerja di Tg. Pinang.

Dari kelompok pelanggan, 51,8 persen responden menyatakan berasal dari Riau, diikuti oleh Jambi (11,5 persen), Sumatera Utara (6,8 persen), Jawa Tengah (5,5 persen), dan Jawa Barat (4,5 persen).

Mobilitas

Mobilitas pekerja seks dan responden pria cukup tinggi, yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Sekitar 27 persen WPS langsung dan 27 persen WPS tidak langsung menyatakan pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain. Ini menunjukkan bahwa mobilitas WPS di Riau cukup tinggi.

Hasil SSP menunjukkan bahwa responden pria yang pernah berhubungan seks komersial selama setahun terakhir, semuanya pernah melakukannya di luar Propinsi Riau. Bila para responden pria ini melakukan hubungan seks komersialnya tanpa pengamanan, maka mereka akan dapat menjadi perantara yang potensial bagi penyebaran virus HIV, termasuk para keluarga.

Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden

Seperempat WPS pernah kerja di daerah lain

Mayoritas WPS adalah pendatang dari Propinsi Jawa Barat 58 47 10 10 7 7 13 13 12 23 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Persen

(20)

Umur Pertama Kali Berhubungan Seks

Dari kalangan responden pria, rata-rata usia mereka saat pertama kali berhubungan seks ternyata masih relatif muda yaitu 20,2 tahun. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang yaitu 27,8 tahun maka dapat dikatakan bahwa responden pria di Pulau Bintan telah melakukan hubungan seks selama sekitar 8 tahun.

Jika dilihat dengan siapa mereka pertama kali berhubungan seks, ternyata lebih dari 45 persen responden pria melepas “keperjakaannya” pada WPS. Sebanyak 33,2 persen berhubungan seks pertama kali dengan pacar, dan hanya 17,8 persen yang berhubungan seks pertama kali dengan istri.

Lama Bekerja

Untuk penjaja seks, lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui. Semakin lama bekerja sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV.

Terdapat sedikit perbedaan waktu, dalam menjalani profesi antara WPS langsung dan tidak langsung. Secara rata-rata WPS langsung menjalani profesinya selama 2 tahun 8 bulan, sedangkan WPS tidak langsung menjalaninya 2 tahun 10 bulan.

Faktor lain yang mempengaruhi risiko penularan HIV pada WPS adalah jumlah pelanggan. Jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu (seminggu terakhir) pada WPS langsung dan tak langsung relatif sama yaitu 6 orang. Dari responden pria yang pernah berhubungan seks dengan WPS, rata-rata mereka berhubungan seks dengan 3 sampai 4 orang WPS dalam setahun terakhir.

Usia responden pria ketika pertama kali berhubungan seks, masih relatif muda

18 1 33 2 46 0 10 20 30 40 50

Istri Pasangan tetap Pacar/kekasih Kenalan/teman WPS

Pe rs en Masa kerja WPS langsung dan WPS tidak langsung hampir sama

(21)

Tarif

Hasil SSP menunjukkan bahwa rata-rata uang yang diterima oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima WPS langsung. Hal ini tercermin dari besarnya rata-rata uang yang diterima pada hubungan seks yang terakhir, yaitu sebesar Rp 82,9 ribu oleh WPS langsung dan Rp 187,8 ribu oleh WPS tidak langsung.

Menarik untuk disampaikan bahwa sekitar 45 persen pelanggan terakhir WPS tidak langsung adalah warga negara asing (WNA). Mengingat letaknya yang dekat dengan Singapura, maka sebagian besar pelanggan WNA tersebut diduga warga negara Singapura. Untuk WPS langsung pelanggan yang WNA adalah sekitar 12 persen. Tingginya persentase WPS tidak langsung yang mempunyai pelanggan WNA diperkirakan menjadi salah satu faktor tingginya perbedaan tarif antara WPS tidak langsung dan WPS langsung.

Karena para pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya mereka yang mempunyai cukup uang, diduga bahwa mereka rata-rata berpendidikan dan mempunyai pengetahuan dan kesadaran untuk membeli seks dengan cara yang sehat, termasuk kesehatan keluarganya.

Terlihat bahwa rata-rata uang yang dibayarkan oleh responden pria adalah yang terendah, sekitar Rp 70,7 ribu. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa responden pria umumnya adalah pelanggan dari WPS langsung.

Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir

83 188 71 0 50 100 150 200 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Ribuan Rp

Ada perbedaan tarif yang cukup tinggi antara WPS langsung dan WPS tidak langsung

(22)

Rata-rata Pendapatan

Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dan besarnya uang yang diterima maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan rata-rata WPS langsung dan WPS tidak langsung. Rata-rata-rata pendapatan kotor WPS langsung di Pulau Bintan dalam seminggu adalah sekitar Rp 488 ribu atau Rp 1,5 juta sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung adalah sekitar Rp 1,1 juta seminggu atau lebih dari Rp 3,4 juta sebulan (dengan asumsi rata-rata 3 minggu dalam sebulan).

Besarnya pendapatan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum yang diterima buruh/karyawan yang bekerja di Riau, sebesar Rp. 394 ribu per bulan (BPS, 2003, “Indikator Tingkat Hidup Pekerja, 2000-2002”), dan juga jauh lebih besar dari upah buruh/karyawan yang bekerja di Kepulauan Riau yang sebesar Rp. 867 ribu (BPS, diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002).

Pendapatan sebulan WPS tidak langsung lebih dari dua kali lipat WPS tidak langsung

(23)

3

Pengetahuan tentang HIV/AIDS

Pernah Mendengar HIV/AIDS

Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian mengetahui cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui setiap orang, terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS. Hasil SSP di Pulau Bintan menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen responden dari setiap kelompok berisiko baik WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Di antara ketiga kelompok sasaran ini, yang paling tinggi persentasenya adalah WPS langsung (92,4 persen).

Pengetahuan mengenai HIV/AIDS

Meskipun persentase yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS cukup besar, namun sebagian tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang penyakit tersebut. Pengetahuan antara WPS langsung dan WPS tidak langsung tidak banyak berbeda. Ini terlihat dari proporsi mereka, yang dapat secara cermat memberikan informasi lebih detil tentang HIV/AIDS, yaitu penyakit kelamin atau penyakit yang tak bisa disembuhkan, yaitu sekitar 38 persen responden dari setiap kelompok sasaran. Sekitar 22

Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS

Pernah mendengar tidak berarti mengetahui apa itu HIV/AIDS 92 90 91 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Sebagian besar responden pernah mendengar tentang HIV/AIDS

(24)

persen WPS langsung dan 18 persen WPS tidak langsung menyatakan tidak mengetahui apa itu HIV/AIDS, meskipun pernah mendengarnya. Di kalangan responden pria pengetahuan tentang HIV lebih baik. Kelompok responden pria yang menjawab benar sekitar 40persen. Kebanyakan dari pelanggan ini menganggap bahwa HIV/AIDS tersebut adalah penyakit menular seksual/kelamin (41,2 persen).

Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular

HIV/AIDS

Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan responden, ternyata kurang dari setengah responden dari setiap kelompok sasaran yang menjawab benar, yaitu sekitar 35 persen WPS langsung, 41 persen WPS tidak langsung, dan 39 persen responden pria. Sekitar 50 persen responden dari setiap kelompok sasaran menyatakan tidak tahu cara paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV/AIDS atau tidak (lihat Gambar 3.3).

Pemahaman Tentang Cara Menghindari Tertular

HIV/AIDS

Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS juga dapat menuntun untuk melakukan tindak pencegahan yang benar, agar ia tidak tertular virus mematikan tersebut. Sayangnya perilaku seseorang tidak selalu sesuai dengan tingkat pengetahuannya.

Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan “teoritis” dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku, maka dalam SSP

Hampir separuh kelompok sasaran tidak tahu cara tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS Pemahaman tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas

Gambar 3.2. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS

29 33 41 38 36 38 22 18 13 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Mengatakan AIDS adalah penyakit kelamin

Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS

(25)

menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui “probing” (dengan menyebutkan jenis-jenis cara pencegahan HIV).

Paling tidak ada empat cara untuk menghindar dari terjangkit HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik secara bersama, dan hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi HIV. Keempat cara tersebut ditanyakan melalui 2 tahapan seperti sistem bertanya di atas.

Dari keempat cara menghindari tersebut di atas, yang paling banyak diungkapkan secara spontan oleh kalangan WPS adalah menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini terutama diungkapkan oleh WPS langsung (68,8 persen). Sementara itu, kalangan responden pria juga dominan menjawab hal yang sama, namun dengan proporsi yang lebih kecil (62,0 persen).

Ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung mengatakan cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini tidak berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuknya.

Penelusuran lebih jauh melalui probing telah menjadikan persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase terutama terjadi untuk kategori jawaban “berhubungan seks hanya dengan satu pasangan”, yang secara rata-rata naik dari 12,4 persen dari jawaban spontan menjadi 49,2 persen, ketika dilakukan probing pada seluruh kelompok sasaran. Peningkatan persentase dari jawaban spontan ke jawaban setelah probing relatif tidak berbeda diantara ketiga kelompok sasaran. Ini merupakan hal yang menarik, karena angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun WPS secara teoritis mempunyai pengetahuan, namun kenyataannya tidak seorangpun di antara mereka yang mempertimbangkannya sebagai cara perlindungan yang menarik

Gambar 3.3. Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 35 41 39 51 46 46 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Tes darah Tidak tahu

(26)

bagi mereka. Ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan, karena WPS memberikan pelayanan seks dan sangat bergantung kepada keinginan orang yang mereka layani. Para responden pria mungkin juga dalam situasi yang “sama” dengan WPS karena sulit bagi mereka untuk tidak berganti pasangan, sementara tempat pemberhentiannya berpindah-pindah.

Menarik untuk dicatat bahwa lebih banyak WPS langsung, dibandingkan WPS tidak langsung yang secara spontan menyatakan bahwa menggunakan kondom saat berhubungan seks merupakan salah satu cara mencegah tertular HIV. Gambaran di atas berbeda dengan dua daerah lainnya (Sumatera Utara dan DKI Jakarta) yang di survei pada tahap pertama, yang menunjukkan pemahaman mengenai manfaat menggunakan kondom jauh lebih tinggi pada WPS tidak langsung.

Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata tidak sedikit yang berpemahaman salah tentang penyakit tersebut. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (13,4 persen), WPS tidak langsung (7,5 persen), dan responden pria (4,7 persen)

Pemahaman salah atau miskonsepsi ini juga terlihat dari besarnya proporsi jawaban kelompok berisiko terhadap cara pencegahan yang salah seperti:

Gambar 3.4. Cara yang Diketahui Agar Tidak Tertular HIV/AIDS

Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja 57 53 66 78 66 73 46 40 49 49 46 51 25 26 44 69 57 62 12 16 14 10 14 14 0 20 40 60 80 100 WP S -L WP S -T L AB K WP S -L WP S -T L AB K WP S -L WP S -T L AB K WP S -L WP S -T L AB K Pe rs en

Setelah diprobing Jaw aban Spontan Tidak melakukan hubungan seks Menggunakan kondom saat berhubungan seks Menghindari penggunaan jarum suntik bersama Berhubungan seks hanya dg satu pasangan

(27)

serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi. Miskonsepsi ini terlihat pada semua kelompok sasaran, yang tertinggi persentasenya pada WPS langsung.

Miskonsepsi Tentang Cara Pencegahan IMS atau

HIV/AIDS

Minum obat sebelum berhubungan seks, merupakan cara yang diyakini oleh sebagian besar WPS, terutama WPS langsung (56,8 persen), sementara dari kelompok WPS tidak langsung sebesar 40,8 persen. Sekitar 34 persen kalangan responden pria juga berfikir bahwa minum obat dapat melindungi mereka dari kemungkinan tertular IMS atau HIV/AIDS.

Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya TIDAK dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat dengan mudah membuat obat tersebut menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berfikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena mereka sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Namun pada akhirnya, kondomlah satu satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Angka-angka pada Gambar 3.5 mencerminkan apa-apa yang dipercaya orang tentang cara pencegahan HIV.

Miskonsepsi terhadap beberapa cara

pencegahan IMS atau HIV/AIDS sangatlah berbahaya

Gambar 3.5. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS

57 25 26 34 41 21 21 26 34 21 22 28 0 20 40 60 80 100

Minum obat sebelum berhubungan seks Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain

Tidak menggunakan secara bersama alat

makan Makan makanan yang

bergizi

Persen

Responden Pria WPS Tidak Langsung WPS Langsung

(28)

Dari SSP juga diperoleh informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satu temuan yang mencengangkan adalah tingginya proporsi penjaja seks di Pulau Bintan yang secara reguler memperoleh suntikan untuk “pencegahan” IMS dan HIV (59,6 persen WPS langsung dan 63,6 persen WPS tidak langsung).

Departemen Kesehatan (Depkes) sudah melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila “petugas kesehatan” masih memberikan suntikan, itu adalah di luar program Depkes. Bila penyuntikan-penyuntikan tersebut dilaksanakan di luar kontrol tenaga kesehatan, maka bahaya lain dapat muncul, yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali) tetapi untuk banyak orang atau berkali-kali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media yang efektif untuk penyebaran penyakit lainnya seperti Hepatitis.

Meskipun Depkes sudah tidak lagi melakukan penyuntikan massal, namun masih banyak WPS yang memperoleh suntikan pencegahan IMS dan HIV/AIDS

(29)

4

Persepsi Berisiko

Merasa Berisiko

Informasi, mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS, merupakan informasi yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Cukup banyak orang yang berada pada kelompok berperilaku berisiko tinggi yang merasa bahwa dirinya berisiko. Untuk Pulau Bintan sekitar 77 persen WPS langsung merasa dirinya berisiko, sementara di kalangan WPS tidak langsung proporsinya sedikit lebih rendah (64,9 persen). Dari kalangan pelanggan (responden pria) yang merasa berisiko juga cukup banyak, yaitu sekitar 66 persen.

Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko

Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Lebih dari 50 persen WPS yang merasa tidak berisiko memberikan alasan bahwa mereka selalu menggunakan kondom (pemahaman yang benar), tetapi hanya 21,1 persen dari kalangan pelanggan yang merasakan hal yang sama. Namun ada juga di kalangan WPS, terutama WPS tidak langsung (35,6 persen) yang menyatakan bahwa pasangan seks mereka bersih, membuat ia merasa tidak berisiko (pemahaman yang salah). Demikian juga di kalangan responden pria, yang terdapat sekitar 26 persen yang merasa yakin pasangannya bersih.

Sebagian besar WPS dan pelanggan merasa berisiko tertular HIV/AIDS

Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS

WPS umumnya lebih memahami risiko dan cara menghindarinya 14 20 21 9 15 13 77 65 66 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Merasa Berisiko Tidak Merasa Tidak Tahu

(30)

Menariknya, orang tentang ‘perilaku sehat’ tak selalu sesuai dengan kenyataan. Kelompok mereka yang merasa tidak berisiko sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok WPS langsung.

Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat

Pendidikan

Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan lebih berisiko. Hasil SSP Pulau Bintan menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan sampai dengan tamat SLTP tidak terlihat adanya korelasi antara perasaan berisiko dengan tingkat pendidikan.

Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya

Perasaan berisiko menonjol pada responden yang berpendidikan SLTA ke atas 53 6 34 53 36 16 21 26 5 0 20 40 60 80 100

Karena selalu menggunakan kondom

Karena yakin pasangannya bersih

Karena berobat terlebih dahulu

Pe

rs

en

(31)

Persentase responden yang merasa berisiko tidak jauh berbeda antara mereka yang tidak tamat SD, tamat SD, dan tamat SLTP, untuk ketiga kelompok sasaran. Perbedaan persentase terlihat pada mereka yang tamat SLTA, yang mana persentase responden yang merasa berisiko pada semua kelompok sasaran jauh lebih tinggi dibandingkan dengan berpendidikan di bawahnya. Kondisi ini menuntut metode intervensi yang lebih tepat dan beragam untuk setiap kelompok tersebut.

Gambar 4.3. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan

86 61 69 67 61 63 83 66 65 94 86 73 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

(32)
(33)

5

Pola Perilaku Berisiko

Penggunaan Kondom

Responden yang selalu menggunakan kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (untuk responden pria) atau selama seminggu terakhir (untuk WPS) di Pulau Bintan persentasenya masih rendah, yaitu 17,4 persen pada WPS langsung dan agak lebih baik di kalangan WPS tidak langsung (29,3 persen), sementara di kalangan responden pria 16,8 persen.

Bagaimanapun yang menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir jauh lebih tinggi dibandingkan yang selalu menggunakannya. Di lingkungan WPS langsung dan WPS tidak langsung yang menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir relatif sama persentasenya yaitu sekitar 57 dan 58 persen, sementara di kalangan responden pria persentasenya agak lebih kecil (39,7 persen).

Mengingat letaknya yang dekat dengan Singapura dan Malaysia maka persentase pelanggan WNA di Pulau Bintan cukup tinggi, yaitu mencapai 28,3 persen. Tingkat penggunaan kondom dalam hubungan seks komersial terakhir antara WPS langsung dengan pelanggannya relatif sama antara pelanggan WNI dan WNA, yaitu 58 persen dengan pelanggan

Terdapat perbedaan yang nyata antara mereka yang selalu menggunakan kondom dan yang hanya kadang-kadang, untuk semua kategori responden

Gambar 5.1. Tingkat Penggunaan Kondom Responden pada Seks Komersial

57 58 40 17 29 17 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Pakai kondom dalam seks komersial terakhir

Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (Responden Pria) atau seminggu terakhir (WPS)

(34)

WNI dan 54 persen dengan pelanggan WNA. Namun demikian, di lingkungan WPS tidak langsung terdapat perbedaan yang berarti, yang mana tingkat penggunaan kondom dengan pelanggan WNA (71 persen) jauh lebih tinggi dibandingkan pelanggan WNA (47 persen). Menarik untuk disampaikan bahwa tingkat penggunaan kondom dengan pelanggan WNI justru lebih rendah di kalangan WPS tidak langsung dibandingkan di lingkungan WPS langsung.

Penggunaan kondom untuk mencegah HIV/AIDS sebenarnya telah diketahui dan disadari oleh sebagian kelompok sasaran di Pulau Bintan. Namun demikian banyak di antara mereka yang tidak menggunakannya ketika melakukan hubungan seks komersial.

Tidak digunakannya kondom nyatanya bukan karena ketidak tersediaan kondom di lokasi, karena dari hasil pengamatan petugas SSP diketahui bahwa kondom tersedia dan mudah diperoleh hampir di semua lokasi terjadinya transaksi seks, baik di lingkungan kerja WPS langsung maupun di lingkungan kerja WPS tidak langsung. Kondom juga mudah diperoleh di tempat mangkal para responden pria karena tempat mangkal responden pria letaknya juga tidak jauh dengan lokasi-lokasi terjadinya transaksi seks komersial.

Antara Pengetahuan dan Perilaku

Antara pengetahuan dan perilaku belum tentu berjalan seiring. Di kalangan WPS langsung yang tahu bahwa kondom dapat mencegah penularan HIV ternyata ada sekitar 40 persen yang tidak menggunakannya. Sementara itu, di kalangan WPS tidak langsung persentasenya sedikit lebih kecil (37,4 persen).

Gambar 5.2. Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir

10 13 40 37 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung

Pe

rs

en

Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pernah menaw arkan kondom kpd pelanggan

Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir

(35)

Di kalangan pelanggan (responden pria), mereka yang tahu tentang pencegahan terhadap risiko tertular HIV/AIDS sebagian diantaranya ternyata tidak menerapkan pengetahuannya dalam hubungan seks. Di antara mereka yang tahu cara pencegahan dengan memakai kondom, sebanyak 53,3 persen tidak menggunakannya dalam hubungan seks komersial terakhir.

Tidak konsistennya antara pengetahuan dan perilaku pelanggan (responden pria) memang sangat nyata. Lebih dari 90 persen responden yang mengetahui bahwa ‘hanya berhubungan seks dengan satu pasangan setia’ dapat mencegah tertular HIV, tetap saja berperilaku sebaliknya.

Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) dapat dikaji dari penggunaan kondom. Orang-orang yang tidak menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya. Sangat menarik bahwa, baik responden pria maupun WPS memberikan jawaban yang konsisten, yaitu sebagian besar (66,1 persen pelanggan, dan 87,3 persen WPS) karena pelanggannya tidak menghendaki kondom karena “merasa kurang enak”.

Rendahnya kemungkinan bahwa responden pria hanya akan berhubungan dengan satu pasangan seks yang setia (di satu sisi) dan tingginya persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena keengganan kaum laki-laki untuk menggunakannya (di sisi lain) memberikan indikasi bahwa penyuluhan (promosi) kondom kepada kaum laki-laki adalah sangat perlu, tidak hanya terfokus kepada perempuan sebagaimana selama ini dilakukan. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak pada umumnya ada pada pelanggan

Sebagian besar

responden tidak sesuai antara perilaku dengan pengetahuannya

Gambar 5.3. Responden pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya dalam Hubungan Seksual 94 93 96 53 0 20 40 60 80 100

Tahu pencegahan tidak melakukan hub seks tetapi melakukan hub seks dg WPS selama setahun terakhir

Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia tetapi pernah berhub seks dg WPS setahun terakhir Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia

tetapi mempunyai lebih dari satu pasangan seks Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pakai kondom

dalam seks komersial terakhir

(36)

Seks Anal dan Narkoba

Seks komersial antara WPS dan pelanggan pria tentunya bukan satu-satunya perilaku berisiko terhadap penularan HIV. Seks anal juga mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV. Meskipun relatif kecil, ada juga di kalangan responden pria yang pernah berhubungan seks dengan waria, yaitu sekitar 0,5 persen.

Ancaman lain selain menggunakan kondom dalam berhubungan seks, juga datang dari penggunaan narkoba suntik. Para pengguna narkoba suntik ini umumnya melakukannya dengan sadar, artinya mereka tahu bahwa itu berisiko. Selain itu, yang juga mengkhawatirkan adalah bahwa para pria pengguna narkoba suntik ini juga punya banyak pasangan seks dan sangat jarang menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pasangannya. Ini merupakan potensi penyebar yang sangat menakutkan. Para pengguna narkoba suntik (Injecting drug users/IDU) merupakan orang-orang yang paling rentan terinfeksi HIV. Hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pengguna narkoba suntik telah terinfeksi virus penyebab AIDS (KPAN-Jakarta, 2001)*).

Gambar 5.4. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir

Penggunaan narkoba suntik diantara kelompok berisiko di Pulau Bintan relatif sudah lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya 2 66 9 9 14 3 87 5 1 4 0 20 40 60 80 100 Tidak ada/tidak tersedia Pelanggan tdk mau/terasa kurang enak Pasangan bersih

Tanpa alasan Lainnya

Pe

rs

en

(37)

Hasil SSP untuk Riau (Tg. Pinang) menunjukkan bahwa sekitar 2 persen WPS langsung dan 3 persen WPS tidak langsung pernah menggunakan narkoba suntik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5.5, sebagian responden dari setiap kelompok sasaran juga mengatakan bahwa pasangan seks mereka pernah menggunakan narkoba suntik, bahkan jauh lebih tinggi daripada yang diakui sendiri. Sekitar 9 persen WPS langsung menyatakan bahwa pasangan seks mereka pernah menggunakan narkoba suntik. Penggunaan narkoba suntik dan seks komersial merupakan cara penularan utama HIV di Indonesia.

Gambar 5.5. Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik 2,0 3,2 0,5 9,2 6,0 2,3 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

(38)
(39)

6

IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan

Infeksi Menular Seksual (IMS)

Dari ketiga kelompok responden berisiko, sekitar 27 persen tercatat pernah mengalami gejala IMS. Keluhan/gejala IMS yang tertinggi adalah dari kalangan WPS langsung (29,6 persen), berikutnya adalah kalangan WPS tidak langsung (28,0 persen) dan kalangan responden pria (25,2 persen).

Data ini diperoleh dari “apa yang dilaporkan” oleh responden belaka, baik dengan latar belakang pengetahuan responden yang terbatas akan IMS maupun karena responden ingin menyembunyikan penyakit yang diderita.

Dalam beberapa kasus orang yang terinfeksi IMS bisa saja tidak menunjukkan simptom atau gejala tertentu, sehingga mereka tidak menyadari dan juga tidak melaporkannya. Penyakit tersebut mereka terima terutama akibat perilaku yang tidak sehat dalam melakukan hubungan seks (tidak menggunakan kondom). Ini terbukti dari besarnya proporsi mereka yang terkena IMS karena tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial.

Perilaku seks yang tidak sehat harus dibayar mahal dengan menderita infeksi menular seksual (IMS)

Gambar 6.1. Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS

58 53 68 8 20 10 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir

Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang selalu pakai kondom dalam seks komersial setahun terakhir

(40)

Lebih dari setengah WPS langsung dan WPS tidak langsung yang terkena gejala IMS adalah mereka yang tidak menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir, sementara diantara WPS yang selalu menggunakan kondom dalam setahun terakhir persentasenya jauh lebih kecil, yaitu 8 persen WPS langsung dan 20 persen WPS tidak langsung. Di kalangan responden pria perbedaan persentase yang terkena IMS diantara yang tidak dan yang selalu menggunakan kondom jauh lebih tajam.

Jenis Keluhan IMS

Keluhan IMS pada perempuan dan lelaki tidak selalu sama. Ada keluhan tertentu yang dialami perempuan tetapi tidak dialami lelaki, demikian juga sebaliknya. Misalnya, penyakit kencing nanah dikeluhkan lelaki, sebaliknya penyakit keputihan dikeluhkan perempuan. Secara umum, keputihan disertai bau tak sedap merupakan jenis IMS yang banyak diderita oleh kalangan WPS, terutama WPS tidak langsung (92.9 persen). Sementara itu di kalangan WPS langsung, selain keputihan, banyak juga diantara mereka yang menderita luka/koreng di daerah alat kelamin (35,1persen). Ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat luka pada alat kelamin baik bagi perempuan maupun lelaki, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya, ketika berhubungan seks. Sementara itu, kalangan responden pria yang suka “jajan”, lebih banyak menderita kecing nanah (63,6 persen) dibanding dua jenis IMS yang lain.

Keputihan merupakan jenis IMS yang paling banyak diderita oleh kalangan WPS

Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS

35 17 29 9 1 28 86 93 64 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en Luka/koreng di daerah

alat kelamin

Benjolan di sekitar alat kelamin

Keputihan disertai dengan bau tak sedap Kencing nanah

(41)

Tempat Berobat

Di kalangan kaum berisiko di Pulau Bintan, meski tidak banyak, ada di antara kelompok ini yang berusaha mengobati dirinya sendiri, baik dengan menggunakan antibiotik maupun dengan jamu-jamuan atau obat-obatan lain. Ada 23,0 persen WPS langsung dan 10,0 persen WPS tidak langsung yang mencoba mengobati sendiri, ketika mereka merasakan simptom IMS. Seiring dengan itu, sekitar 17 persen responden pria yang terkena simpton IMS juga melakukannya.

Sekitar 3 persen WPS langsung tidak melakukan tindakan apapun ketika merasakan simpton IMS, begitu juga responden prianya sekitar 2 persen. Cukup menggembirakan perilaku WPS langsung dan WPS tidak langsung sudah mendatangi tenaga medis ketika simpton IMS, masing-masing 74,3 persen dan 88,6 persen.

Preferensi permintaan tolong pada petugas kesehatan untuk mengobati IMS yang diderita oleh kelompok sasaran ternyata berbeda-beda. WPS langsung lebih menyukai puskesmas/puskesmas pembantu dari pada tempat berobat yang lain (36,4 persen) dan 32,7 persen ke mantri kesehatan atau bidan praktek.

Petugas kesehatan masih merupakan pilihan utama pengobatan keluhan IMS yang dialami

Gambar 6.3. Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS dan Cara yang Dilakukan Saat Mengalami Gejala IMS tersebut

Puskesmas/pustu adalah instansi kesehatan yang lebih “akrab” bagi WPS langsung, tapi WPS tidak langsung dan responden pria lebih menyukai dokter praktek 1 18 4 16 5 6 1 74 89 80 1 3 2 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Berobat ke petugas kesehatan Berobat ke dukun/tabib

Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati Melakukan pengobatan sendiri dg antibiotik Melakukan pengobatan sendiri dg jamu/obat lain

(42)

Sementara itu, kalangan WPS tidak langsung lebih percaya pada dokter praktek (61,3 persen) dan 19,4 persen ke pustu atau puskesmas. Responden pria yang berobat ke dokter praktek sebesar 50,6 persen yang berobat ke rumah sakit/sebesar 20,2 persen dan puskesmas/pustu sebesar 20,2 persen. Tidak jelas apa alasan pilihan ini, bisa karena akses yang mudah, karena sudah langganan, karena biaya berobat yang berbeda atau karena secara finansial mereka punya uang lebih banyak.

Gambar 6.4. Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan 36 20 33 8 2 2 2 1 9 20 13 19 18 51 61 5 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

Rumah Sakit Pustu/Puskesmas Dokter Praktek Mantri Kesehatan Klinik Yayasan Klinik Lokalisasi Lainnya

(43)

7

Kesimpulan dan Saran

Epidemi HIV telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Dalam masa itu, kita telah belajar banyak tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan HIV dan mengurangi dampaknya. Berbagai upaya ini biasanya dimulai dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye kepedulian pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV.

Di Pulau Bintan, intervensi pendidikan seperti ini tidak cukup meluas. Ini terlihat dari timpangnya proporsi di antara responden yang menghadiri forum seperti seminar/diskusi/ penyuluhan mengenai HIV/AIDS dan cara-cara pencegahannya.

Di kalangan WPS langsung yang hadir dalam forum seperti itu cukup besar yaitu sekitar 44 persen, namun di kalangan WPS tidak langsung hanya 14,3 persen, bahkan di kalangan responden pria yang mengatakan mereka pernah mengetahui atau memperoleh kampanye pencegahan HIV setahun yang lalu, hanya 4,8 persen.

Angka yang sangat rendah dari cakupan kampanye “pengetahuan dasar” ini diduga menjadi salah satu sebab masih rendahnya tingkat kesadaran kelompok sasaran, terutama diantara kaum lelaki yang berisiko tinggi terhadap HIV.

Bagian ini memberikan ringkasan mengenai beberapa temuan utama dari putaran pertama surveilens perilaku di Pulau Bintan, tantangan yang muncul, dan usulan tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut.

Temuan kunci

Pengetahuan dan Persepsi Berisiko

• Banyak orang pernah mendengar tentang AIDS, namun pengetahuan detil tentang HIV, tentang cara penyebarannya dan bagaimana dapat berlindung dari penyakit ini masih sangat rendah.

• Adalah sangat berbahaya adanya kepercayaan yang begitu meluas di kalangan WPS (lebih dari separuh) bahwa menggunakan obat sebelum atau sesudah berhubungan seks dapat melindungi atau mencegah dari IMS, juga HIV.

• Meski banyak diantara mereka mempunyai pengetahuan cukup, namun belum banyak yang siap mengubah perilakunya ke perilaku yang sehat.

(44)

• Banyak orang yang tahu bagaimana HIV dapat ditularkan, namun mereka tidak merasa berisiko tertular penyakit tersebut meskipun mereka melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom dengan banyak pasangan. Di samping itu ada ketidak sesuaian yang substansial terjadi di antara orang orang yang merasa diri mereka risiko, dan perilaku berisiko yang mereka lakukan.

Perilaku Berisiko dan Kondom

• Secara rata rata kaum lelaki di Pulau Bintan pertama kali berhubungan seks ketika berusia 20 tahun dan kebanyakan mereka melakukan hubungan seks sebelum menikah. Lebih dari 80 persen lelaki berstatus kawin berhubungan seks pertama kali bukan dengan wanita yang menjadi isterinya. Bahkan kurang dari 50 persen kaum laki-laki yang membeli seks dari WPS di Pulau Bintan tidak menggunakan kondom.

• Meskipun tarif WPS tidak langsung secara rata-rata lebih dari “dua kali” WPS langsung namun tingkat penggunaan kondom diantara kedua kelompok responden ini tidak terlalu jauh berbeda.

• Pelanggan WNA yang berhubungan seks komersial dengan WPS tidak langsung cenderung menggunakan kondom. Pelanggan ini yang umumnya mempunyai cukup uang diduga mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap resiko tertular IMS atau HIV.

• Alasan sebagian besar WPS tidak menggunakan kondom adalah karena pelanggannya tidak suka atau tidak mau menggunakannya

• Terlepas dari tidak rutinnya kondom tersebut digunakan, pada kenyataannya kondom tampak tersedia di mana transaksi seks berada.

• Proporsi kaum lelaki yang melaporkan melakukan hubungan seks melalui anal dengan sesama pria atau waria meski yang terlacak proporsinya kecil.

• Proporsi responden yang menyatakan pernah menggunakan narkoba suntik dari hasil SSP di Pulau Bintan relatif lebih tinggi dibandingkan dua daerah lainnya (Sumatera Utara dan DKI Jakarta), namun aktivitas ini merupakan kegiatan yang sangat berisiko tinggi tertular HIV dan prevalensinya di Indonesia cenderung menaik. Bahwa prevalensi penggunaan narkoba suntik sudah mengkhawatirkan adalah tingginya angka pengakuan responden tentang penggunaan narkoba suntik diantara pasangannya.

Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan

• Perilaku berisiko tinggi mempunyai konsekuensi yang dapat diukur dari tingginya persentase orang-orang yang melaporkan tertular IMS. Mayoritas mereka yang pernah tertular IMS adalah mereka yang

(45)

melaporkan tidak menggunakan kondom pada seks komersial terakhir.

• Masih banyak orang dengan simptom awal IMS mengobati diri mereka sendiri. Bila upaya mereka gagal baru mereka pergi ke tempat pelayanan kesehatan.

• Tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak digunakan oleh WPS langsung adalah Puskesmas. Sebaliknya WPS tidak langsung dan kaum lelaki pelanggannya lebih memilih dokter. Tidak jelas benar apakah para dokter ini mendapat pelatihan cara menangani IMS atau tidak.

• Proporsi yang cukup tinggi (50-60 persen) dari WPS melaporkan menerima injeksi secara rutin untuk “melindungi” diri dari HIV dan IMS. Ini merupakan tantangan bagi kebijakan pemerintah, karena telah membiarkan kaum perempuan “merasa aman” dengan injeksi tersebut padahal mereka berada dalam kondisi yang berbahaya.

Usulan Tindakan

• Menjamin tersedianya akses universal terhadap informasi yang relevan, detil dan benar tentang HIV dan perlindungan mereka terhadap orang orang yang berisiko tinggi.

• Menyediakan informasi rinci tentang kondom bagi kaum lelaki, termasuk demonstrasi penggunaannya dan pengorganisasian “kampanye penggunaan kondom” yang menyediakan insentif bagi kaum lelaki yang tidak pernah menggunakan untuk mencobanya.

• Mempertimbangkan pelaksanaan promosi dan distribusi kondom di kalangan pelaut dan nelayan dan di tempat tempat lain di mana kaum lelaki dengan perilaku risiko tinggi dapat secara berkala ditemui.

• Dalam semua aktivitas promosi kondom, perlu ditekankan akan kebutuhan penggunaan kondom pada seks berisiko.

• Bekerja sama dengan pemilik atau pengelola lokalisasi, rumah bordil dan panti pijat/bar/ karaoke atau sejenisnya untuk menganjurkan para penanggungjawab/germo/mucikari/mami, dan berbagai pihak berpengaruh yang mempunyai kontak dengan pelanggan untuk menegosiasikan penggunaan kondom dan menyediakan kondom langsung.

• Melaksanakan penelitian kualitatif untuk memahami secara lebih baik mengapa orang orang yang melaporkan perilaku berisiko tidak merasa terancam oleh HIV dan IMS, dan menggunakan hasil penelitian tersebut untuk kampanye perlindungan di masa datang.

• Melakukan kampanye secara aktif untuk mengakhiri kepercayaan bahwa meminum obat merupakan cara yang benar untuk melindungi diri dari IMS dan HIV.

(46)

• Berupaya secara aktif untuk menghentikan praktek praktek penyuntikan massal bagi pekerja seks. Mempertimbangkan sanksi hukumnya termasuk menutup atau membekukan izin praktek dari orang orang yang menyediakan “jasa” tersebut.

• Menjamin bahwa praktisi medis (termasuk dokter praktek) yang menyediakan pelayanan pengobatan IMS bagi kelompok berisiko tinggi telah mendapat pelatihan yang memadai tentang pengelolaan IMS dan nasehat perlindungannya, serta mempunyai akses pada pelayanan jasa laboratorium yang berkualitas dan pasokan obat obatan yang tepat.

• Bekerja sama dengan para pekerja di bidang industri seks dan yang terkait untuk menjalani skrining dan perawatan IMS kepada tenaga terlatih yang tepat. Mempertimbangkan untuk mengenalkan “kartu sehat” bagi WPS, yang mencatat kunjungan skrining dan sejarah perlakuan pengobatan yang pernah dialami.

• Melakukan penilaian secara lebih seksama mengenai penggunaan narkoba suntik dan kaitannya dengan seks komersial, dan memulai upaya-upaya pengurangan penggunaannya.

Gambar

Gambar  Judul Gambar
Tabel Indikator Kunci  Indikator  WPS  Langsung  WPS  Tidak  Langsung  Responden Pria
Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Riau
Gambar 2.1.  Struktur Umur Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di kalangan WPS tidak langsung sekitar 66,2 persen yang terkena gejala IMS adalah mereka yang tidak memakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara dari kelompok

Isikan jumlah orang penjaja seks/WPS selama setahun terakhir yang pernah melakukan seks dengan responden, isikan kode 00 bila responden tidak pernah melakukan

Selama sebulan terakhir, berapa sering Anda menggunakan pelicin kondom pada saat melakukan seks anal dengan waria yang Anda bayar?. R.45: Hanya untuk Pasangan Seks Wanita

Dalam melakukan seks dengan pacar selama sebulan terakhir, seberapa sering Anda menawarkan kondom?. Selalu/setiap kali melakukan seks

Bahagian Kewangan PTJ/UPP semak had nilai perolehan Bahagian Kewangan PTJ/UPP semak dokumen C Melebihi RM20ribu sehingga RM50ribu Melebihi RM50ribu sehingga RM500ribu

Peserta mampu memahami, menjelaskan, dan menganalisis konsep dan aplikasi balanced score card pada Instansi Pemerintahan. Hasil belajar ini dituangkan ke dalam

EVALUASI Nilai Budaya & Karakter Bangsa Indikator Pencapaian Kompetensi Tehnik Penilaian Bentuk Penilaian Contoh Instrumen Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja

14. Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang, barang dan/ataujasa pada satuan pendidikan yang berasal dari peserta didik atau orang tuaArati