• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Delta Mahakam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Delta Mahakam"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Tinjauan Umum Delta Mahakam

Delta Mahakam memiliki nilai yang amat penting, bagi pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam hayati (perikanan) dan nir-hayati (minyak dan gas bumi), di Provinsi Kalimantan Timur umumnya dan Kabupaten Kutai Kartanegara khususnya. Kedua sumberdaya alam dimaksud memiliki ciri pemanfaatan yang berbeda, dan berkaitan satu sama lain (Bengen et al. 2003).

Secara ekologis kawasan Delta Mahakam didominasi oleh ekosistem mangrove seluas kurang lebih 150.000 hektar, terbentuk dari proses sedimentasi yang cukup lama dari sungai Mahakam yang memiliki panjang 770 km dengan debit aliran air 1.500 m3/detik dan

konsentrasi muatan padatan tersuspensi mencapai 80 mg/l. Debit sungai yang tinggi sangat mempengaruhi formasi vegetasi mangrove di Delta Mahakam, yang berguna sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi udang.

Kondisi geologis Delta Mahakam mencerminkan propagasi deltaik dalam episode tunggal setelah naiknya permukaan air laut sejak masa Holocene (Allen and Chamber 1998). Luas daratan delta ini mencapai kira-kira 5200 km2 dan memiliki jarak terhadap tepian lempeng Eurasia sekitar 25 km dari daratan delta tersebut. Delta ini juga memiliki pelepasan fluvial yang bervariasi secara musiman, namun tidak ada genangan yang signifikan. Gelombang naik-turun pada mulut muara, yaitu pada pantai gambut detrital tanpa pantai berpasir pada delta tersebut.

Pasokan sedimen berupa lumpur berpasir dengan lumpur dominan, yang dihasilkan oleh campuran erosi dari Anticlinorium Samarinda, Landasan Cretaceous dan vulkanik Pliocene. Morfologinya lobate dengan aliran sungai yang bercabang serta progradasi yang cepat (Voss 1983; Allen and Chambers 1998). Kanal-kanal lurus berpasir dengan thalweg dan dataran pasir lateral yang berkelok serta kanal pasang surut berlumpur yang berkelok-kelok. Delta ini didominasi oleh arus pasang surut terdiri dari lumpur carbonaceous yang merupakan kondisi yang baik untuk mangrove dan asosiasinya (Wolanski et al. 1992; Allen and Chambers 1998).

Keadaan sosial ekonomi sekitar delta, sebagaimana wilayah pesisir yang bersifat terbuka, penduduk Delta Mahakam terdiri atas penduduk lokal dan pendatang, terutama suku Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan (Bourgeois et al. 2002). Jumlah penduduk

(2)

hingga 104.496 jiwa tahun 2002, keragaman etnis yang tinggi yang membentuk dinamika komunitas tertentu, diantaranya golongan etnis Banjar, Bugis, Kutai, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Batak dan keturunan Cina.

Ditinjau dari aspek biofisik, lokasi Delta Mahakam terletak di wilayah ekuator menjadikan suhu konstan yang tinggi (rata-rata suhu tahunan 26 – 28o C) dengan variasi

tahun yang minimum, serta perbedaan suhu diurnal yang terbatas (Voss 1983; Hopley 1999). Arus pasang surut merupakan campuran antara komponen diurnal dan semi-diurnal dengan kisaran pasang surut setinggi 2,5 m dan memiliki energi gelombang yang sangat rendah. Pasang surut ini dikombinasikan dengan aliran yang tinggi dari sungai Mahakam (1.500 m3/detik). Data curah hujan di Kalimantan Timur dari 1988 - 1995, curah hujan

rata-rata di wilayah Delta Mahakam mencapai 2.460 mm/tahun (MREP 1995 dalam Prihatini 2003). Secara umum Delta Mahakam merupakan wilayah yang dinamis, meskipun kanal-kanal utamanya relatif stabil.

2.2 Daur Hidup Udang Penaeid Secara Umum

Udang penaeid adalah termasuk jenis Decapoda yang melepaskan telurnya ke laut secara demersal segera setelah dibuahi, sedangkan jenis-jenis Decapoda lainnya membawa telurnya sampai menetas menjadi larva. Daur hidup dari udang penaeid dibagi menjadi dua fase, yaitu fase lautan dan fase muara sungai (Gambar 1). Udang betina memijah di laut terbuka. Telur-telur dilepaskan secara demersal dan setelah 24 jam menetas menjadi larva tingkat pertama (nauplius). Selanjutnya setelah 3 - 8 kali moulting berubah menjadi protozoea, mysis dan pasca larva. Saat pasca larva merupakan tingkatan yang sudah mencapai daerah asuhan di pantai dan mulai menuju dasar perairan. Larva bergerak dari daerah pemijahan di tengah laut ke teluk-teluk dan muara-muara sungai. Kemudian berubah menjadi yuwana, makan dan tumbuh di daerah asuhan 3 - 4 bulan menjadi udang muda, mulai beruaya ke laut dan menjadi udang dewasa kelamin, kawin dengan udang betina kemudian memijah.Yuwana ditemukan pada lingkungan muara-muara sungai dan gobah-gobah. Biasanya disenangi perairan yang ada hutan mangrovenya (Kirkegaard et al, 1970).

Udang dewasa umumnya terdapat di perairan pantai yang dangkal. Bila paparan benuanya (shelf) cukup landai dapat mencapai jarak 150 km dari pantai sampai kedalaman

(3)

Udang-udang muda (yuwana) dan udang dewasa mempunyai toleransi suhu antara 10 – 400C, tapi jarang ditemukan pada 360 C atau lebih. Toleransi salinitas udang muda sampai 5‰ dan udang dewasa jarang terdapat pada perairan salinitas lebih dari 33 - 36‰ (Munro 1968). Perairan yang disenangi adalah yang airnya agak keruh (turbid water) dengan dasar lumpur cair atau campuran pasir dengan lumpur (Unar 1965; Penn 1975). Udang yang umumnya hidup di daerah tropis dikenal beruaya dari pantai ke tengah laut dan sebaliknya (inshore-offshore migration), sepanjang pantai dan secara vertikal dalam kolom air. Setelah menetas, larva udang bergerak secara pasif dari daerah pemijahan ke arah pantai dan muara sungai. Fase yuwana meninggalkan lingkungan muara sungai dan memasuki perairan pantai yang lebih dalam (Kirkegaard et al. 1970).

Di Teluk Carpentaria (Queensland) udang muda meninggalkan sungai pada musim hujan (monsoon) yang biasanya pada bulan Desember – Maret, besar kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya aliran sungai. Pergerakan yuwana dari pantai ke perairan lebih dalam terjadi pada bulan Nopember – Mei dengan puncaknya pada Desember – Maret. Ruaya berhenti bila ukuran udang mencapai size 44 - 110 ekor per kilogram. Udang dewasa hanya terdapat pada kedalaman lebih dari 12 meter. Pemijahan terjadi hampir sepanjang tahun, tetapi ada dua puncak pemijahan yaitu sekitar bulan September - Oktober dan Pebruari - Maret. Pemijahan terjadi pada kedalaman 18 - 24 meter. Pasca larva yang berasal dari pemijahan bulan September - Oktober memasuki sungai Norman sampai 85 km ke arah hulu dari kuala dan mencapai puncaknya pada bulan Nopember (Kirkegaard et al. 1970).

Menurut Hall (1962) musim pemijahan udang di perairan Singapura terjadi pada bulan Pebruari-April, pada kedalaman 20 - 40 m dengan jarak antara 64 - 96 km dari pantai. Zalinge dan Naamin (1975) menyatakan di perairan selatan Jawa, musim pemijahan terjadi sepanjang tahun dengan dua puncak pada bulan Nopember - Pebruari dan April - Mei. Di daerah Rembang - Lasem (pantai utara Jawa Tengah) puncak musim pemijahan terjadi pada Oktober - Nopember (Naamin dan Purnomo 1972). Sedangkan Qureshi (1956) menyatakan di Pakistan, musim pemijahan udang terjadi pada bulan Juli - Agustus.

(4)

2.3 Sifat Biologis dan Tingkah Laku Udang Jerbung

Udang jerbung adalah heteroseksual. Kelamin bisa dibedakan dari luar setelah tingkat pasca larva terakhir selesai. Petasma alat kelamin jantan terletak antara pasangan pertama kaki renang, sedangkan thelycum alat kelamin betina terletak antara pasangan keempat dan kelima kaki jalan. Udang dewasa memperlihatkan perbedaan ukuran yang jelas untuk umur, karena udang betina lebih besar dari udang jantan pada umur yang sama. Udang jerbung tidak mempunyai pasangan seks tertentu (promiscuos). Pembuahan terjadi di luar, udang betina kulitnya harus dalam keadaan lunak, sedangkan udang jantan kulitnya harus dalam keadaan keras untuk menempelkan (impregnation) kantong sperma (spermatophores) (Tuma, 1967; Kirkegaard et al. 1970). Telur yang dilepaskan oleh seekor induk udang diperkirakan sekitar 100.000 telur pada setiap kali memijah (Tuma 1967). Fekunditas udang jerbung di Ujung Karawang sekitar 30.000 – 180.000 telur (Purwanto 1975).

Sifat bergerombol dari udang jerbung dewasa secara besar, diduga tingkah laku ini ada hubungannya dengan masa perkawinan dan pemijahan (Racek 1959). Kelompok terdapat di dekat dasar perairan pada saat air tenang (saat antara pasang surut dan pasang naik) atau bila arus air lemah. Udang berkelompok baik pada siang maupun malam hari. Tingkah laku udang jerbung termasuk golongan yang jarang membenamkan diri dalam lumpur dan hampir selalu aktif bergerak, terutama pada siang hari (Penn 1981). Udang jerbung mencari makan di atas atau di dalam sedimen di dasar perairan. Makanan terdiri atas detritus, organisme-organisme demersal kecil dan bagian dari tumbuhan air (Munro 1975). Menurut Hall (1962) makanan udang jerbung yang berasal dari Singapura dan Kedah Malaysia, terutama terdiri atas krustasea dan material yang berasal dari tumbuhan dan ternyata ada bukti bahwa udang mempunyai kesukaan makan menurut umur. Makanan udang yang berasal dari Teluk Pattani – Thailand terdiri dari ikan, pelecypods, euphausids dan polychaeta, sedangkan yang berasal dari Teluk Manila dan Teluk San Miguel, makanan utamanya adalah diatoms, algae bentik dan foraminifera (Feliu et al. 1973; SCS 1981). Di laut terbuka udang penaeid dinyatakan sebagai pemakan bangkai dan pemakan segala (omnivora) atau pemakan detritus (Wickins 1976).

(5)

2.4 Faktor-faktor Lingkungan Yang Berpengaruh

Setiap siklus udang mengalami berbagai dinamika perubahan lingkungan secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi antara udang dengan lingkungannya harus ditelaah secara cermat. Beberapa faktor lingkungan yang kemungkinan besar dapat berpengaruh terhadap kehidupan udang penaeid adalah intensitas cahaya, suhu, salinitas, oksigen, sedimen, curah hujan, muara sungai dan aliran sungai, tingkat kekeruhan air, arus, pasang surut air, fase bulan, keadaan hari (siang atau malam), lintang, makanan dan plankton serta luasan hutan mangrove (Staples et al. 1981; Garcia & Le Reste 1981; Enrhardt et al. 1981; Walker 1981).

Letak Delta Mahakam yang berada sekitar equator menjadikan suhu perairan tidak bervariasi hanya pada kisaran 28 - 29o C. Kombinasi suhu tinggi dan tingginya kecepatan arus dapat merangsang ruaya udang ke daerah yang dalam, sehingga koloni udang lebih banyak di daerah dalam. Pertumbuhan udang lebih dominan dipengaruhi oleh suhu, naiknya suhu akan meningkatkan pertumbuhan udang. Kekeruhan yang tinggi akibat sedimentasi sungai Mahakam ke daerah muara yang mencapai 80 mg/l kadang disukai oleh udang, bergantung pada jenis udangnya. Umumnya udang jerbung (Penaeus merguensis) tidak menyukai sifat membenam diri dalam lumpur, tetapi cocok pada kondisi air yang tinggi kekeruhannya, sebaliknya terjadi pada udang windu (Penaeus monodon), putih (Penaeus indicus) dan loreng (Penaeus endeavour) (Pen 1981; Suyatna 2001).

Daerah sekitar khatulistiwa, curah hujan, makanan, kekeruhan dan perubahan yang terjadi adalah lebih penting daripada suhu yang tidak terlalu bervariasi. Kombinasi suhu rendah dan salinitas rendah adalah sangat tidak disukai oleh udang, dan suhu bersama dengan arus dalam kaitannya dengan perubahan musim aliran sungai merupakan faktor yang merangsang ruaya udang (Garcia & Le Reste 1981; Rothschild & Gulland 1982). Rendahnya salinitas di sekitar muara yang berkisar 0 - 10 mg/l kadang tidak disukai oleh udang, salinitas optimum berkisar 15 - 22 mg/l (Bengen et al. 2003).

Hasil tangkapan udang di perairan Delta Mahakam dalam satu bulan dengan selang sekitar 15 hari, terdapat perbedaan hari-hari puncak yaitu setelah hari ke 3-8 bulan purnama (puncak I) dan hari ke 17 - 26 bulan gelap (puncak II). Produktivitas paling tinggi untuk daerah Delta Mahakam dan sekitarnya pada puncak II (fase bulan gelap), kemudian pada puncak II (fase bulan purnama) dan paling minim adalah pada saat konda (transisi antara fase bulan) (Zainuri et al. 2002). Siklus harian dan fase bulan (lunar) juga dapat

(6)

merangsang ruaya udang muda (Chin & Goh 1967; Garcia & La Reste 1981; Rothschild & Gulland 1982; Walker 1981).

Waktu penangkapan di daerah ini dilakukan pada siang dan malam hari (24 jam) sepanjang tahun, namun beberapa basis trawl ada yang melakukan penangkapan hanya pada siang hari. Hasil tangkapan per trip yang dilakukan pada siang hari didominasi spesies udang jerbung dan udang putih, sedangkan penangkapan pada malam hari lebih banyak dari spesies udang windu dan udang loreng. Sekitar 70% upaya penangkapan di Delta Mahakam dan sekitarnya dilakukan pada siang hari, karena itu hasil tangkapan lebih dominan dari spesies udang jerbung. Hal ini berkaitan pada sifat udang jerbung dan udang putih yang aktif mencari makan pada siang hari (diurnal), sebaliknya untuk malam hari terjadi pada udang windu dan loreng (bersifat nocturnal) (Pen 1981; Zainuri et al. 2002). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Azis (1970) bahwa rataan hasil tangkapan udang jerbung per tarikan di Teluk Bintuni pada siang hari lebih besar daripada malam hari. Namun berbeda dengan keadaan perairan Sabah Malaysia dan Teluk Carpentaria, pengaruh keadaan siang dan malam hari dalam upaya penangkapan udang tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap besarnya hasil tangkapan (Chin & Goh 1967; Munro 1975).

Luasan hutan mangrove dengan produksi udang terjadi korelasi yang positif, kesimpulan ini termaktub dalam lokakarya biologi dan sumberdaya udang penaeid di Kinabalu Sabah 1980 (SCS 1981 dalam Naamin 1984). Di perairan Pakistan, pantai barat India, Australia dan Papua Nugini, kehidupan pasca larva dan yuwana udang penaeid ternyata sangat bergantung pada ekosistem mangrove (Doi et al. 1973; Mc Nae 1974; Petr 1977; Staples 1980). Udang penaeid dalam daur hidupnya sangat memerlukan daerah pantai dan muara-muara sungai terutama yang ada hutan mangrove-nya, karena itu besarnya stok udang di delta ini akan erat hubungannya dengan kerapatan hutan mangrove yang terdapat di daratan di sekitar perairan tersebut. Naamin (1984) menyatakan terdapat korelasi yang positif baik linear maupun logaritmik antara luas hutan mangrove dengan tingkat potensi lestari udang dan kerapatan hutan mangrove dengan hasil tangkapan per satuan luas (CPUA) di perairan Laut Arafura.

Kondisi hutan mangrove di Delta Mahakam makin parah, menurut Prihatini (2003) berdasarkan analisis citra multi temporal, tutupan vegetasi mangrove pada tahun 1983 luasnya 114.497,92 hektar menurun drastis luasnya hingga hanya 56.654,19 hektar tahun 2001. Penurunan luas secara drastis seluas 52.462,89 hektar ini dimulai pada tahun 1997

(7)

dengan laju yang sangat cepat (luas tutupan mangrove pada tahun 1997 adalah 109.117,08 hektar).

Pembukaan besar-besaran tambak ini erat kaitannya dengan tingginya harga udang pada saat krisis moneter yang mencapai Rp.200.000/kg untuk size 20 - 30. Hal tersebut seperti dilaporkan oleh Hopley (1999) dalam Listy (2003), menyatakan konversi mangrove secara besar-besaran menjadi lahan tambak dipicu oleh naiknya harga udang di pasar internasional dan krisis ekonomi 1998, bahkan dalam perkembangan tambak ini telah merambah wilayah pemipaan bawah tanah (terkubur) milik perusahaan tambang migas. Degradasi luasan mangrove akibat pemanfaatan kawasan Delta Mahakam yang tidak terencana, konversi lahan mangrove menjadi tambak dalam kurun 20 tahun sekitar 67.000 hektar, dari total 80.000 hektar mangrove yang terkonversi (Dutrieux 2001; Bengen et al. 2003).

Penangkapan udang di Sandakan adalah yang terbesar di Sabah Malaysia, lebih 70% udang berasal dari daerah ini, dengan kondisi banyaknya sungai (besar dan kecil) yang mengalir ke perairan laut Sandakan serta kawasan hutan mangrove yang cukup luas merupakan kondisi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Doi et al. (1973), melaporkan dalam penelitiannya korelasi antara luas akumulasi daerah pasang surut yang telah direklamasi dengan produksi udang di perairan Pulau Seto Jepang, menyatakan produksi udang menurun 6 ton/km2 pada daerah yang direklamasi, simpulannya ternyata daerah reklamasi menyebabkan rusaknya daerah asuhan udang.

2.5 Keragaan Ekonomi dan Teknis Unit Penangkapan

Keragaan ekonomi adalah gambaran secara detail usaha perikanan, yang dilakukan oleh perorangan/badan usaha untuk mencari keuntungan, dengan menganalisis secara ekonomi dan finansial, serta kestabilan usaha tersebut terhadap risiko alam dan kedinamisan perubahan ekonomi dan teknis usaha, seperti turun naiknya produksi, biaya operasional usaha penangkapan, penerimaan, serta harga produksi. Keragaan teknis adalah profil/gambaran spesifikasi ukuran dari kapal dan alat tangkap, metode operasi penangkapan dan teknologi dalam upaya penangkapan udang di suatu perairan.

Keragaan ekonomi menggunakan 3 kriteria utama dan 2 kriteria tambahan, untuk menganalisis kelayakan usaha penangkapan udang yang beroperasi di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya. Ketiga kriteria utama investasi tersebut adalah Net Present

(8)

Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit/Cost Ratio (N B/C R), sedangkan 2 kriteria tambahan adalah Payback Period dan Profitability Ratio. Kriteria investasi adalah suatu indeks untuk mengukur dan menbandingkan tingkat keuntungan, dari berbagai usaha perikanan, sehingga dapat dinilai apakah usaha tersebut menguntungkan (layak) atau tidak layak, serta memberikan suatu urutan (usulan-usulan investasi) menurut tingkat keuntungan masing-masing. Dana yang terbatas, perlu dibuat ranking, dengan berbagai kriteria/indeks agar dapat mengalokasikan dana tersebut untuk memaksimumkan keuntungan.

Teknik pengukuran kriteria investasi dengan discounting (discounted measures), memungkinkan dapat melakukan penilaian terhadap usaha yang umur dan investasinya berbeda, sehingga pola biaya dan benefit selama umur usaha juga berbeda. Untuk men-discount, kita harus menentukan berapa tingkat diskonto (discount rate) yang akan dipakai dalam perhitungan. Biasanya berdasarkan tingkat suku bunga bank yang berlaku. Net Present Value (NPV) merupakan kriteria yang paling sederhana dibandingkan kriteria lainnya, yaitu menghitung selisih antara nilai sekarang arus manfaat, dengan nilai sekarang arus biaya selama umur usaha, dengan tingkat bunga tertentu. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat diskonto untuk mencapai NPV = 0 atau PV Benefit = PV Cost. IRR menggambarkan kemampuan modal untuk menghasilkan (earning power of capital). Benefit – Cost Ratio (B/C R) adalah menggambarkan seberapa besar bagian biaya usaha, yang setiap tahunnya tidak dapat tertutup oleh manfaat usaha. Profitability Ratio (PR) yaitu menbandingkan present value dari net benefit (benefit dikurangi biaya operasional) dengan present value modal atau investasi (capital). Kriteria ini digunakan untuk usaha dengan dana yang terbatas, sehingga harus digunakan seefisien mungkin. Oleh karenanya diperlukan gambaran mengenai present value dari setiap unit pengeluaran modal.

Pada keragaan teknis, pemilihan alat tangkap trawl dalam penelitian ini dengan tujuan penangkapan ikan maupun udang, difokuskan pada ukuran kapal (GT) dengan produktivitas alat tangkap, sesuai dengan spesifikasinya masing-masing di 21 basis armada trawl di Delta Mahakam dan sekitarnya. Trawl adalah penangkap ikan, udang dan biota laut lainnya yang berupa jaring kantong besar, melebar dan mulut jaring yang terbuka, dengan kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya, dan meruncing pada bagian akhir jaring. Bagian akhir jaring, akan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong (cod end), ketika ditarik secara horisontal di perairan.

(9)

Tipe pengoperasian trawl dapat diubah sesuai dengan variasi kedalaman, jenis ikan, cara pengoperasian, kontruksi dan perlengkapan alat (Gunarso 2000 dalam Ermasuri 2000). Otter trawl, merupakan jaring tarik yang paling penting dibandingkan paranzella ataupun beam trawl. Trawl udang, merupakan salah satu jenis dari otter trawl, karena juga menggunakan papan trawl guna membantu dalam pembukaan mulut trawl pada saat dioperasikan (Subani dan Barus 1989). Menurut Sainsbury (1971), trawl terlihat seperti bentuk kantong yang besar dengan bukaan mulut yang lebar, dengan bagian utama adalah badan jaring yang meruncing pada ujung bagian belakang dimana udang, dan ikan akan masuk melalui mulut jaring dan terus menuju ke arah cod end.

Menurut Subani dan Barus (1989), trawl udang pada umumnya terdiri dari bagian kantong (cod end), badan (body), sayap (wing), otter board dan tali tarik (warp). Desain secara umum sama dengan trawl biasanya. Cod end adalah bagian trawl yang merupakan jaring berbentuk corong tertutup pada bagian belakang, dimana cara menutupnya menggunakan tali yang melalui mata jaring, ataupun cincin dengan diikatkan pada pengikat cod end yang khusus, agar mudah dalam membuka atau melepaskan tali tersebut (Sainsbury 1971).

Mulut jaring trawl, jika dilihat dari depan pada saat dioperasikan akan terlihat berbentuk oval, dengan sayap pada kedua bagian sisinya yang dapat meningkatkan area penangkapan, serta menggiring udang dan ikan masuk ke dalam jaring sampai menuju cod end. Pada bagian tepi sebelah atas mulut jaring, terdapat tali ris atas dengan beberapa buah pelampung, sedangkan bagian tepi sebelah bawah mulut jaring terdapat tali ris bawah, yang diharapkan mendekati dasar perairan, sehingga sering digabungkan dengan pemberat. Kombinasi antara pelampung dan pemberat, diusahakan menjaga agar mulut jaring tetap terbuka secara vertikal (Sainsbury 1971).

Jaring trawl sebelah atas akan lebih panjang dari pada bagian bawah, yang berfungsi untuk menahan udang yang melompat ke atas. Material atau bahan yang digunakan untuk trawl biasanya adalah polyethilena, nilon dan kawat. Trawl udang ini dioperasikan dengan cara ditarik oleh kapal untuk menyusuri dasar perairan. Besar jaring yang dipakai berbeda-beda, untuk menyatakan besar jaring tersebut digunakan istilah panjang tali ris atas dengan satuan feet atau meter. Jaring 150 feet berarti bahwa jaring tersebut memiliki tali ris atas sepanjang 150 feet (Ayodhyoa 1981).

Tali ris bawah biasanya menggunakan pemberat dari rantai, jika bottom trawl ini dioperasikan pada dasar perairan yang cukup rata, maka tali ris bawah ini terkadang hanya

(10)

menggunakan kawat saja. Namun jika trawl digunakan pada dasar perairan yang kasar, maka biasanya digunakan besi dan bola yang terbuat dari karet untuk menjaga agar trawl dapat terus bergerak menyusuri dasar parairan. Alat bantu yang digunakan, sehubungan dengan penanganan udang biasanya digunakan rantai dan bobbin, yang dapat berfungsi selain sebagai pemberat, juga sebagai alat yang mengejutkan udang, dengan cara menyentuh dasar perairan, maka udang akan terkejut dan melompat yang kemudian akan masuk ke dalam trawl. Penggunaan otter board dalam operasi penangkapan dengan trawl udang, sangat penting guna mencapai bukaan mulut trawl secara horisontal. Otter board ini dapat langsung diletakkan pada bagian sayap trawl, ataupun berjarak tertentu dengan sayap yang dihubungkan dengan kawat. Otter board yang umum dipakai adalah terbuat dari kayu berbentuk persegi empat, namun terdapat bentuk lainnya seperti berbentuk oval dan huruf “V” (Sainsbury 1971).

Menurut Sainsbury (1971), kecepatan kapal dalam menarik trawl di dasar perairan tergantung pada target dari tangkapan, penarikan yang terlalu lambat akan menyebabkan otter board tertutup bersamaan, sehingga mulut trawl akan tertutup juga, sedangkan penarikan yang terlalu cepat akan menyebabkan jaring kelebihan daya angkat, sehingga tidak menyentuh dasar perairan, dan ini tidak baik dalam pengoperasian alat tangkap. Pengoperasian trawl seperti yang telah dikemukakan sebelumnya adalah dengan ditarik oleh kapal. Kecepatan penarikan idealnya adalah kecepatan yang besar, tapi ini sukar untuk dilakukan, karena beberapa hal seperti keadaan terbukanya mulut jaring di dasar perairan, kekuatan kapal dalam menarik jaring, ketahanan jaring terhadap tekanan, baik dari hasil tangkapan maupun tekanan air di dasar perairan. Karena itu umumnya trawl ditarik dengan kecepatan 3 - 4 knot, dengan lama waktu penarikan disesuaikan dengan jumlah ikan yang ada dan keadaan dasar perairan, juga disesuaikan dengan waktu kerja dari para pekerja kapal perikanan tersebut.

Daerah penangkapan, hendaknya memenuhi beberapa kriteria seperti permukaannya rata, dengan dasar berlumpur atau lumpur pasir. Operasi penarikan, dapat dilakukan baik pada siang ataupun pada malam hari tergantung keadaan suatu areal perairan (Subani dan Barus 1989). Kapal-kapal penarik trawl biasanya terbuat dari kayu, dan digerakkan oleh mesin diesel.

Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam pengoperasian trawl adalah kedalaman perairan, kedalaman minimum untuk memutuskan pengoperasian bottom trawl

(11)

dilakukannya pengoperasian. Panjang warp tersebut tidaklah mutlak, tetapi tergantung dari jenis partikel penyusun dasar perairan. Panjang warp perlu diperhitungkan, dikarenakan warp didalam air setelah mengalami penarikan tidak akan menjadi lurus seperti jika berada di daratan. Warp akan mengalami gaya tekanan baik dari air, dari kapalnya sendiri dan juga dari jaring trawl yang telah berisi hasil tangkapan, sehingga tekanan tersebut akan berubah-ubah (Ayodhyoa 1981).

2.6 Keberlanjutan Upaya Penangkapan Udang

Penggunaan alat tangkap dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan penggunaan alat tersebut. Beberapa hal tersebut adalah selektivitas dari alat tangkap, apakah alat tangkap tersebut termasuk ramah lingkungan, bagaimana mutu dari hasil tangkapan dengan menggunakan trawl dan yang biasanya paling diperhitungkan oleh para nelayan adalah faktor ekonominya, artinya apakah alat tangkap tersebut secara ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan dengan alat tangkap lain sebagai alternatif. Hal lain yang juga perlu dikaji, adalah aspek sosial dari penggunaan trawl udang. Apakah penggunaan trawl udang akan menimbulkan konflik kepentingan antara industri perikanan dengan para nelayan tradisional. Hal ini penting, agar kejadian seperti yang pernah terjadi di Indonesia, di mana masyarakat nelayan tradisional membakar trawl yang digunakan oleh industri perikanan, tidak terjadi di daerah lain yang juga menggunakan trawl sebagai salah satu alat tangkap udang yang sudah umum dikenal.

Pada aspek biologi terkait dengan selektivitas dari alat tangkap trawl terhadap ukuran spesies hasil tangkapan maksudnya adalah seperti yang kita ketahui bahwa dalam penggunaan bottom trawl dengan target penangkapan yaitu udang pada kenyataannya, banyak jenis ikan lain yang tertangkap bahkan banyak juvenil ikan ikut tertangkap. Hal tersebut meningkatkan perhatian kita terhadap pengaruh negatif dari bottom trawl, karena seperti kita ketahui pada saat hauling tidak hanya udang dan ikan dasar yang tertangkap tetapi juga ikan pelagis pada segala jenis ukuran sehingga membahayakan bagi persediaan biomass yang membentuk perairan.

Ramah lingkungan bagi sebuah alat tangkap maksudnya adalah bahwa bagaimana kita mengupayakan suatu modifikasi bagi bottom trawl untuk mengurangi kerusakan pada dasar lautan terutama pada daerah yang berkarang. Hal ini akan berdampak secara nyata

(12)

pada kehidupan biota pada dasar perairan. Harus diperhatikan juga kesinambungan dan kelestarian dari biota laut hubungannya dengan habitat tempat biota tersebut berkembang biak. Dalam pengembangan alat tangkap bottom trawl, biasanya yang menjadi perhatian dan dijadikan dasar bagi pengembangan adalah mutu hasil tangkapan. Tentu saja yang kita harapkan adalah bahwa mutu hasil tangkapan tersebut baik. Kita akan memikirkan modifikasi seperti apa yang bisa dilakukan, sehingga mutu hasil tangkapan sesuai dengan yang diharapkan, baik dalam jumlah udang maupun keadaan udang setelah hauling dilaksanakan. Ini penting karena erat kaitannya dengan harga udang tersebut di pasaran nantinya.

Menurut Gunarso (2000), mengemukakan bahwa alat tangkap trawl udang ini dikenal sebagai jenis alat tangkap yang paling banyak menyerap hasil teknologi, riset dan telaahan, sehingga dijuluki alat tangkap paling scientific. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan bottom trawl sebagai alat tangkap dengan target penangkapan udang, masih saja tetap menimbulkan masalah, dimana yang tertangkap juga ikan-ikan dan juvenil ikan yang bukan merupakan target tangkapan, dan hal ini akan membahayakan bagi kelestarian organisme-organisme yang hidup didasar perairan. Untuk itu selektivitas alat tangkap bottom trawl harus menjadi perhatian, karenanya banyak penelitian yang dilakukan, guna menanggulangi masalah yang ada tersebut. Penelitian yang memodifikasi bottom trawl yang spesifik untuk tujuan penangkapan udang, akan tergantung pada beberapa faktor termasuk spesies yang akan dikeluarkan. Untuk itu perlu diperluas pengertian perilaku spesies tersebut, ukuran jaring, metode penanganannya dan lokasi dari areal penangkapan.

Setelah melihat seluruh segi dari trawl udang, kajian selanjutnya ditujukan untuk melihat apakah penggunaan trawl udang, dengan berbagai macam penelitian yang telah dilakukan dapat dikatakan baik. Baik dalam arti dilihat dari banyaknya hasil tangkapan, kelestarian sumberdaya, pengaruhnya terhadap dasar perairan tempat dilakukannya operasi penarikan, serta maksimalnya keuntungan yang didapat.

Referensi

Dokumen terkait

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Seluruh bahan baku yang digunakan harus dicantumkan dalam daftar terlampir (Deskripsi produk, pemasok, dan jika diperlukan: nomor ser- tifikat OEKO-TEX®, tanggal kadaluwarsa,

Penelitian tentang upaya konservasi tanah yang dilakukan petani; produktivitas lahan, pendapatan dan efisiensi ekonomi usahatani telah banyak dilakukan oleh peneliti

Berikut ini dikaji lebih dalam perilaku usahatani pada petani padi-palawija (jagung) yang berlahan sempit, sedang dan luas di Desa Sepanyul, Kecamatan Gudo,

Selanjutnya pada table 5 merupakan hasil Pengujian Utilisasi Bandwidthaudio streaming menunjukkan bahwa dari 3 jenis audio akan berjalan dengan baik apabila menggunakan

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Ade yang sarat akan makna untuk diolah menjadi kumpulan kutipan lirik yang divisualisasikan secara eksplorasi/ eksperimen dalam pendekatan tipografi disamping untuk

Dalam realisasinya terlebih dahulu dibentuk model LP yang terdiri dari fungsi tujuan yang diperoleh dari hasil perhitungan perkembanngan keuntungan penjulan susu pasteurisasi