• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PERS DALAM MENINGKATKAN KEHIDUPAN MASYARAKAT DEMOKRATIS. Husni *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN PERS DALAM MENINGKATKAN KEHIDUPAN MASYARAKAT DEMOKRATIS. Husni *"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

101 Husni*

Abstrak: Salah satu ciri menonjol negara demokrasi adalah adanya kebebasan untuk berekspresi. Kebebasan berekspresi dapat terwujud melalui berbagai media penyebarluasan gagasan yang sekarang ini populer dikenal masyarakat adalah pers. Pers sebagai media untuk berpendapat, menyebarluaskan berita, dan mendapatkan informasi, baik oleh pemerintah maupun oleh rakyat sebagai anggota masyarakat. Dalam kehidupan modern kebutuhan akan komunikasi dan informasi semakin meningkat sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi dan transparansi yang kemudian bermuara pada terciptanya kehidupan masyarakat yang demokratis.

Kata-kata Kunci: Pers, demokratis Pendahuluan

Pers dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara memegang peranan yang sangat penting. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menyalurkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945. Kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani, serta hak memperoleh informasi merupakan hak asasi yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui pers masyarakat dapat mengembangkan hak-hak untuk mendapatkan informasi, berbicara, dan berpendapat sebagai bentuk partispasi warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk meningkatkan kehidupan masyarakat yang demokratis.

Selain itu, pers telah mampu memberikan kontribusi guna melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan roda pemerintahan. Dengan adanya pers, antar anggota masyarakat dapat saling

(2)

berkomunikasi dan mendapatkan informasi secara cepat, efektif, dan murah. Oleh sebab itu, di era globalisasi sekarang ini seluruh komponen bangsa baik birokrasi maupun masyarakat harus bersikap arif dan bijaksana dalam menanggapi kritik dan saran yang dilontarkan dunia pers. Sebaliknya, pers juga membutuhkan dukungan dari masyarakat, karena tanpa dukungan masyarakat maka peranan pers tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pers dalam peranannya menyuguhkan informasi yang aktual dan faktual. Artinya, masyarakat akan tertinggal informasi tanpa memanfaatkan pers.

Perkembangan Pers di Indonesia

Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia, dunia pers tidaklah asing, jauh sebelum Indonesia merdeka pers sudah dikenal masyarakat. Keberadaan pers saat itu merupakan alat perjuangan bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia dalam menyampaikan aspirasinya untuk mencapai kemerdekaan. Pasca proklamasi kemerdekaan peranan pers sangat besar sebagai alat perjuangan dalam menyebar- luaskan informasi atau berita-berita ke seluruh pelosok tanah air dan bahkan ke seluruh penjuru dunia. Namun, dalam perkembangannya pers juga mengalami pasang surut baik di era liberal, orde lama, orde baru, maupun di era reformasi, sehingga memberikan dampak kurang sehat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perkembangan pers di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia itu sendiri dan yang lebih penting lagi adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang komunikasi dan telekomunikasi. Batas wilayah dan batas negara sudah tidak dapat dikenal lagi. Informasi dari satu negara ke negara lain tidak bisa dan sulit dielakkan. Pers atau media massa (radio, televisi, surat kabar, majalah, dan internet), bukan lagi bahan mahal untuk dimiliki masyarakat. Masyarakat pun sudah mampu menilai dan memilih informasi yang dapat dijadikan pedoman dalam meningkatkan jati diri serta memajukan bangsa. Masyarakat sangat membutuhkan informasi untuk memaknai kehidupannya. Oleh karena itu, masyarakat yang kurang mendapatkan informasi akan menjadi masyarakat yang tertinggal.

Sejarah mencatat bahwa pers dalam perkembangannya mengalami pasang surut, bergantung pada kebijakan pemerintah yang berkuasa, sebagaimana dikemukakan berikut ini.

(3)

1. Pers di Era Demokrasi Liberal

Masa demokrasi liberal adalah masa antara tahun 1945 sampai dengan 1959. Pada waktu itu Indonesia menganut sistem parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional pada saat itu sesuai dengan alam liberal sangat menikmati kebebasan pers. Pers nasional pada umumnya mewakili aliran politik atau aliran primordial. Namun, di sisi lain hubungan antara pers dan pemerintah terjalin hubungan yang sangat harmonis.

Di masa itu, telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara nomor II Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian, diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam wethoek van Strafrecht (UU buatan Belanda), seperti Drukpersreglement tahun 1856, Persbreidel ordonantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong, dan sebagainya, namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali. Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota yang dikuasai Belanda, dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek sosial ekonomi dan aspek politisnya.

Sebagai contoh dalam UU pasal 19 itu, dicantumkan kalimat; setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UU pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yokya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan (Retno Listyarti, 2006:74).

Lebih lanjut, Retno Listyarti (2006:74) mengutip pendapat Ruslan Abdulgani bahwa “Mempertinggi mutu jurnalistik pada umumnya harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa yang ditulis, hal ini dapat dicapai bila wartawan berkesempatan cukup melengkapi dirinya dengan pengetahuan tentang keadaan yang hendak ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sosiologi, ekonomi, psikologi, sejarah dan ketatanegaraan”.

(4)

Penegasan tersebut menunjukkan bahwa upaya pemerintah waktu itu memberi peluang menciptakan iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Terbukti dalam kurung waktu yang cukup singkat jumlah perusahaan koran dari tahun ke tahun semakin meningkat. Akan tetapi upaya peningkatan profesionalisme para jurnalistiknya belum berimbang.

2. Pers di Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

Pada era demokrasi terpimpin, setelah Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, tekanan terhadap pers terus berlangsung, yaitu pembrendelan kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia dan Sin Po, yang dilakukan oleh penguasa.

Upaya untuk membatasi kebebasan pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan, Maladi ketika menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-14 menegaskan bahwa, hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak pikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (Budiyanto, 2006:117).

Hal tersebut menunjukkan bahwa, penekanan-penekanan yang dilakukan oleh penguasa orde lama terhadap kemerdekaan pers bertambah bersamaan dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan penekanan terhadap kebebasan pers menurun ketika ketegangan dalam pemerintahan juga mulai berkurang, terlebih lagi setelah percetakan-percetakan diambil alih oleh pemerintah, dan para wartawan diwajibkan mendukung program pemerintah, sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers. Kemerdekaan pers semata-mata ditujukan untuk kepentingan penguasa dan tidak lagi menjadikan UUD 1945 sebagai pedoman utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3. Pers di Era Orde Baru (1966-1998)

Di awal masa kepemimpinannya, pemerintah orde baru menyatakan bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan menggatikannya dengan demokrasi Pancasila. Pernyataan

(5)

tersebut tentu saja membuat tokoh politik, kaum intelektual, tokoh umum, tokoh pers terkemuka, dan lain-lain menyambutnya dengan antusias sehingga lahirlah istilah Pers Pancasila.

Pemerintahan orde baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang Pers Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakikat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif (Budiyanto, 2006:118). Hubungan antara pers dan pemerintah ketika itu ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) nomor II Tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembreidelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat izin terbit (SIT). Keadaan seperti ini hanya berlangsung singkat, sejak terjadinya “Peristiwa Malari”, kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman orde lama). Lembaran hitam kembali menyelimuti kemerdekaan pers di Indonesia, Peraturan Menteri Penerangan RI No 03/Per/Menpen/1969, mengharuskan adanya Surat Izin Terbit (SIT). Kemudian aturan SIT ini dicabut bersamaan dengan berlakunya UU No.21 Tahun 1982. Undang-Undang ini kembali membuka keberadaan SIUPP/Surat Izin Usaha Penerbitan Pers melalui Permenpen no. 01/1984 (Retno Listyarti, 2006: 75).

Dapat dipahami bahwa Pers pasca Malari merupakan pers yang cenderung mewakili kepentingan penguasa, pemerintah, atau negara. Pada saat itu pers jarang, bahkan tidak pernah melakukan kontrol sosial secara kritis, tegas, dan berani. Berbagai peraturan dibuat karena pada dasarnya pemerintah manapun atau individu siapapun tidak akan membiarkan tindakannya disorot, kebijakannya diteliti secara seksama, apa lagi dikritik oleh media. Pers pasca Malari tidak artikulatif dan mirip dengan pers zaman rezim Demokrasi Terpimpin, pers tidak lebih dari sekedar institusi politik yang harus diatur dan dikontrol seperti halnya dengan organisasi massa dan partai politik. Pers ditekan dari segala penjuru, untuk dikuasi negara, dan sewaktu-waktu akan dihentikan tergantung selera penguasa, sehingga hak untuk mendapatkan, berbicara, dan berpendapat sebagai bentuk partisipasi warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak dapat disalurkan, kran demokratisasi mengalami kebuntuan.

(6)

4. Pers di Era Reformasi (1998 s.d sekarang)

Sistem pers yang otoriter pada rezim orde baru menimbulkan reaksi gerakan reformasi. Gerakan yang ingin menegakkan kembali kebebasan pers, kebebasan kreatif, serta kebebasan politik serentak muncul dan berhasil mengakhiri kekuasaan orde baru. Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasannya. Sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan dan demokrasi yang diperjuangkan oleh rakyat Indonesia sangat mempermudah izin penerbitan pers, dampak positifnya kemudian bermunculan penerbitan pers, koran-koran, majalah, tabloid, ibarat jamur tumbuh dimusim hujan.

Kabinet reformasi pembangunan dibawah pimpinan Presiden B.J.Habibie meninjau dan mencabut Permenpen No.01/1984 tentang SIUPP melalui Permenpen No. 01/1998. Setahun kemudian, pemerintah bersama legeslatif mereformasi Undang-Undang Pers yang lama dan menggatikannya dengan Undang-Undang Pers yang baru yang dikenal dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Beberapa pasal tentang kemerdekaan pers untuk memperoleh informasi diatur di dalamnya, begitu pula kran kebebasan bagi wartawan terbuka memilih organisasi pers (Ibnu Hamad, 2004:76).

Pers sebagai lembaga sosial yang bergerak di bidang pengumpulan dan penyebaran informasi melalui segala jenis saluran yang tersedia sebagai jawaban atas amanah UUD 1945 dan ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 mempunyai misi antara lain; ikut mencerdaskan masyarakat, menegakkan keadilan, dan memberantas kezaliman. Dinamika pers mempengaruhi pola pikir dan kehidupan masyarakat, tetapi sebaliknya masyarakat juga berpengaruh terhadap pers. Pers dapat mempengaruhi masyarakat karena ia sebagai komunikator massa. Pers berusaha menyampaikan informasi secara aktual dan faktual, karena masyarakat sebagai konsumen pers sangat selektif dalam memilih informasi.

Di era reformasi keadaan berubah sedemikian cepat, keterbukaan informasi mulai terjadi, pers bebas memberitakan segala tindak tanduk pemerintah, khususnya setelah Undang-Undang pers yang baru UU No 40/1999 ditetapkan. Pemerintahan dalam kabinet reformasi pembangunan telah memberi jaminan bahwa tidak ada lagi penekanan pers. Pers dipersilahkan untuk melakukan fungsi sosial kontrolnya sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam penerbitan pers, masyarakatlah yang akan menilai sehingga maju mundurnya kehidupan pers bergantung pada peran serta masyarakat, seiring dengan

(7)

kesadaran pentingnya supremasi hukum serta terwujudnya kedaulatan rakyat dalam negara yang demokratis.

Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab

Lahirnya Undang-Undang pers Nomor 40 tahun 1999 atas pertimbangan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan penegakan dan jaminan akan pelaksanaan hak kebebasan berbicara dan mendapatkan informasi. Salah satu media untuk menyalurkan kebebasan berbicara dan mendapatkan informasi adalah pers atau media massa. Agar dapat melakukan peranannya sebagai media penyaluran hak kebebasan berbicara dan mendapatkan informasi diperlukan adanya pers yang bebas dan bertanggung jawab. Jaminan kebebasan berbicara dan mendapatkan informasi itu antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut :

1. Pasal 28 UUD 1945; Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.

2. Pasal 28F UUD 1945; Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi daan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

3. Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

Piagam hak asasi manusia, bab VI pasal 20 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Selanjutnya pasal 21 menyatakan bahwa, setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

4. Undang-Undang No. 39 Tahun 2000 Pasal 14 tentang hak asasi manusia, pada ayat (1) menyatakan bahwa, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Dan ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

5. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, pada pasal 2 berbunyi,”Kemerdekaan pers salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.

(8)

Dan pada pasal 4 ayat (1) berbunyi,”Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara” (Sri Jutmini, 2007:105).

Peraturan tentang pers yang berlaku saat ini memuat berbagai perubahan yang mendasar atas Undang-Undang pers sebelumnya, dimaksudkan agar pers dapat berfungsi secara optimal sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.

Jadi, pencabutan Undang-Undang lama dan menggantinya dengan Undang-Undang yang baru, pada hakikatnya merupakan pencerminan adanya perbedaan nilai-nilai dasar politis ideologis antara Orde Baru dengan Orde Reformasi. Oleh karena itu, dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya pers harus menghormati hak asasi setiap orang dan dituntut tampil secara profesional dan terbuka untuk dikontrol masyarakat. Selain dari pada itu, pers juga memegang peranan yang sangat penting dalam melindungi hak asasi manusia dan mengadakan kontrol sosial (social control) untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, dan nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

Peranan Pers dalam Masyarakat Demokratis

Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi artinya pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan yang rakyatnya memegang peranan yang sangat menentukan (Syahrial Sarbaini, 2010: 182). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara (Depdikbud, 1990:195).

Dalam sistem pemerintahan, demokrasi merupakan suatu sistem yang menganut pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi dapat pula diberi batasan sebagai prinsip yang menganut kehidupan masyarakat sesuai dengan kehendak bersama masyarakat itu. Berdasarkan prinsip tersebut para anggota masyarakat sebagai satu kesatuan mebicarakan dan menentukan tujuan yang hendak dicapai bersama. Sedangkan masyarakat demokratis adalah masyarakat yang prilaku dan tindakannya berdasarkan pada nilai-nilai demokrasi. Masyarakat

(9)

demokratis akan tumbuh dan berkembang baik jika berada dibawah pemerintahan dan dalam suasana negara yang demokratis.

Salah satu ciri negara yang demokratis adalah adanya pers yang bebas dan bertanggung jawab yang berfungsi sebagai media untuk berbicara, berpendapat, menyebarkan berita, dan mendapatkan informasi baik oleh pemerintah maupun oleh warga negara. Pers adalah salah satu pilar demokrasi yang dapat menjembatani hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, karena kedua pihak saling membutuhkan.

Menurut M.Tabrani, seorang penulis tahun 1929, mengatakan bahwa, pers Indonesia tahun 1929 sangat rendah, maka untuk meningkatkan mutu pers Indonesia diperlukan orang-orang intelektual. Diserukan kepada intelektual untuk mengisi surat kabar Indonesia. Pers merupakan tanggung jawab semua kalangan. Peranan pers nasional tahun 1929, tidak hanya memberikan penerangan tentang kejadian setiap hari, tetapi juga menunjukkan kebobrokan dan kekurangan dalam masyarakat. Pers nasional mempunyai peranan ikut serta dalam pembangunan nasional di tanah air.

Pada zaman penjajahan Jepang, pers dijadikan alat propaganda Jepang. Perkembangan peranan pers Indonesia selanjutnya pada zaman Orde Lama dan Orde Baru adalah pers dijadikan alat dan pengaruh kekuasaan pemerintah. Kebebasan mengemukakan pendapat dipasung. Penerbitan surat kabar harus mengikuti peraturan yang berlaku. Tak jarang terjadi penangkapan wartawan. Terjadi pula tekanan beberapa surat kabar yang menyebabkan turunnya tiras penjualan. Akibatnya, masyarakat cenderung tidak mempercayai surat kabar yang dibredel. Pada hal letak kekuasaan surat kabar ada pada kepercayaan masyarakat untuk mempercayai surat kabar sebagai sumber informasi. Di era reformasi, sekarang ini terjadi keterbukaan dalam pemberitaan. Pers ikut aktif berpartisipasi bahkan menggerakkan reformasi. Masyarakat dapat melihat segala bentuk pers, masyarakat bebas memilih, menelaah, dan mengkritisi isi pers. Kebebasan pers bukanlah cuma milik wartawan, tetapi juga milik rakyat dan bangsa.

Berdasarkan perkembangan peranan pers di Indonesia, peranan pers adalah memberi informasi yang benar kepada publik tentang kejadian suatu peristiwa. Pers adalah media yang dapat dengan bebas menginvestigasi jalannya pemerintahan dan melaporkannya tanpa adanya penuntutan. Dalam masyarakat demokratis, rakyat bergantung pada pers untuk memberantas korupsi, untuk memaparkan kesalahan penerapan

(10)

hukum, serta ketidakefisienan dan ketidak efektifan kerja sebuah lembaga pemerintah.

Pasal 6 UU Pers No. 40 Th. 1999, berisi tentang peranan pers yang meliputi:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

2. Menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong penegakan supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia, menghormati pluralism/kebhinekaan.

3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.

4. Melakukan pengawasan kritis, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. (Retno Listyarti, 2006: 77).

Lahirnya UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang mulai berlaku efektif pada tahun 2010 merupakan upaya mewujudkan masyarakat demokratis selangkah lebih maju. Keberadaan UU ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperoleh hak atas informasi. Hal ini sangat sesuai dengan semangat yang telah diamanatkan dalam konstitusi, seperti dituliskan dalam pasal 28F UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Dalam UU No. 14 tahun 2008 disebutkan pula bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik (Palopo Pos 19 Mei 2010).

Dengan demikian, melalui tangan wartawan diharapkan adanya kemahiran dalam menulis, kecerdasan intelektual dan semangat dalam menuliskan berita, seorang wartawan kiranya mampu membawa pemikiran pembaca ke arah isi tulisan. Peranan pers di satu sisi sebagai pihak prodemokrasi yaitu memberikan gambaran yang benar dan terkini tentang apa yang terjadi, di lain pihak sebagai penjaga perubahan, peralihan, dan kritis. Pers juga harus mampu melakukan peranannya mencerdaskan bangsa dan mencerdaskan masyarakat. Pada masyarakat harus tumbuh dan berkembang “Enlightened understanding” dari

(11)

persoalan-persoalan publik, persoalan politik, dan proses politik. Lewat hal itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara efektif serta mempengaruhi agenda publik berupa upaya pencerdasan, kesadaran masyarakat terhadap hukum semakin tinggi, dan tidak akan mudah menempuh jalan main hakim sendiri, termasuk pada pers.

Sejalan dengan demokrasi yang dicita-citakan maka media massa yang ada di Indonesia harus dapat menjunjung prinsip rule of law. Berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka rule of law harus dipegang teguh oleh seluruh media massa Indonesia. Jika dilihat dari falsafah negara Pancasila maka media massa Indonesia haruslah tetap berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian kebebasan media massa Indonesia dapat dipertanggungjawabkan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan nilai keadilan. Oleh karena itu, pers yeng menyalahgunakan kebebasannya seperti menyiarkan berita yang bersifat penghinaan, menyebarkan gambar porno, dan pemberitaan yang bersifat menghasut, berarti melecehkan atau tidak mengindahkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika bangsa. Media massa yang demikian dapat diadukan atau digugat oleh masyarakat melalui prosedur hukum sehingga padat dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Media massa seperti pers Indonesia menganut teori social responsibiltypress (tanggung jawab sosial), yaitu sesuatu yang diberikan oleh pers harus dapat dipertanggungjawabkan pada diri sendiri, orang lain, masyarakat, pemerintah, lingkungan alam, dan kepada Tuhan. Pers Indonesia tidak boleh melanggar kebebasan yang melebihi batas, tetapi perlu diadakan pembatasan atas dasar moral dan etika, keamanan, dan ketertiban umum. Dengan demikian kebebasan yang disertai tanggung jawab dari pers semata-mata untuk menjamin berjalannya kehidupan negara yang demokratis, yaitu menghargai nilai-nilai moral dan etika, ketertiban umum, dan kelangsungan pemerintahan negara. Pemerintah tidak boleh melakukan penekanan dan pencabutan atas suatu izin usaha pers dengan alasan membahayakan penyelenggaraan pemerintahan negara.

Demokratisasi pers mengemuka ketika pers mengedepankan etika sosial dan budaya dalam menjalankan misinya. Menurut Surajiyo (2009: 77), etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling

(12)

memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa.

Sejalan dengan posisi pers sebagai wadah penyeimbang dan penyelaras masyarakat dan pemerintah, maka pemerintah hendaknya terbuka terhadap koreksi pers. Pemerintah hendaknya mengedepankan etika politik dan pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akajn aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa (Surajiyo, 2009:78).

Pemerintahan demokrasi sangat berkepentingan terhadap adanya pers yang bebas dan bertanggung jawab. Pemerintah mengatur dan memberi jaminan agar pers dapat memainkan peranannya sebagai media informasi dan kontrol sosial. Pemerintah juga memberi perlindungan hukum kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan perannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu, wartawan diharapkan tidak melanggar kode etik jurnalistik dan selalu meningkatkan profesionalitas kewartawanannya. Kebebasan pers harus diikuti dengan tanggung jawab kepada bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebebasan pers dianggap sebagai hal yang fundamental dalam hak-hak individu. Tanpa media yang bebas dan bertanggung jawab, masyarakat yang bebas dan pemerintah demokratis pun tidak akan mungkin diwujudkan. Tak ada negara yang demokratis tanpa adanya pers yang bebas dan bertanggung jawab.

UU Pers dan UU KIP yang baru membuat keadaan berubah sedemikian cepat, insan pers dapat bernapas lega karena kebebasannya mulai terbuka, dan masyarakatpun merasa puas karena hak-haknya dapat terpenuhi secara efektif berdasarkan nilai-nilai Pancasila, baik melalui media cetak maupun melalui media elektronik. Media dapat memberikan semangat menggerakkan perubahan, dan memobilisasi masyarakat untuk mencapai suatu tujuan. Contoh mutakhir tentang kekuatan pers terbukti belum lama ini. Lewat pemberitaan dan siarannya pers dapat menggalang empati bantuan nyata dari berbagai kalangan masyarakat di seluruh tanah air antara lain terhadap kasus Pritamulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional, bencana sunami di Mentawai dan gunung Merapi di Yogyakarta. Media dapat pula memberi kesempatan bagi pembaca atau pemirsa yang ingin mengisi, memuat, dan menyajikan informasi yang

(13)

hendak disampaikan. Ruang yang diberikan media untuk membaca atau pemirsa bervariasi dan beragam. Misalnya, di media cetak terdapat halaman Opini Anda, surat pembaca dan kolom. Di media elektronik terdapat acara editorial, suara anda, telepon pemirsa, dan sebagainya. Dengan demikian, proses demokratisasi dan reformasi telah mengalami kemajuan begitu pesat. Saat ini, semua masyarakat bisa mendapatkan informasi dimana saja dan kapan saja baik lewat televisi, radio, surat kabar, SMS, maupun internet. Kebebasan pers yang telah diperjuangkan dan diidam-idamkan oleh semua pihak, utamanya kalangan pers harus menjadi semangat dalam proses pembangunan sebagai bagian dalam menegakkan demokrasi. Dengan demikian pers yang bebas dan bertanggung jawab yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, lebih efektif melaksanakan perannya dalam meningkatkan kehidupan masyarakat yang demokratis.

Penutup

Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk memberikan sinyal kepada masyarakat untuk semakin meningkatkan partisipasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan dan proses demokratisasi dan transparansi sebagai upaya menciptakan kehidupan yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dapat terwujud.

Pemerintah juga memberi perlindungan hukum kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan perannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepada wartawan diharapkan tidak melanggar kode etik jurnalistik dan selalu meningkatkan profesionalitas kewartawanannya. Kebebasan pers harus diikuti dengan tanggung jawab kepada bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tanpa media yang bebas dan bertanggung jawab, masyarakat yang bebas dan pemerintah demokratis tidak akan mungkin diwujudkan. Tak ada negara yang demokratis tanpa adanya pers yang bebas dan bertanggung jawab. Pers yang bebas dan bertanggung jawab seiring dengan semangat reformasi, yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila dapat dengan lega melaksanakan perannya dalam meningkatkan kehidupan masyarakat yang demokratis.

(14)

Daftar Rujukan

Budiyanto. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Jutmini, Sri dan Winarno. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta: Tiga Serangkai.

Listyarti, Retno. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: ESIS. Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang

Pers. Jakarta: Sinar Grafika.

Surajiyo dan Agus Wiyanto. 2009. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Cet. I; Jakarta: Inti Prima Promosindo.

Syarbaini, Syahrial. 2010. Implementasi Pancasila melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Cet. I; Yogyakarta: Graha Ilmu.

Referensi

Dokumen terkait

Pembinaan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam proses membangun partisipasi kewargaan pemuda karang taruna di Desa Pamanukan maupun bagi masyarakat, tujuannya

Kegiatan pilkada ini menjadi salah satu sarana untuk menjalankan demokrasi dan kedaulatan rakyat, oleh karena itu dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang ada di masyarakat

Bahasa Ogan merupakan bahasa yang dipergunakan oleh salah satu suku bangsa bangsa di Indonesia, yaitu suku bangsa bangsa Ogan. Mereka menciptakan bahasa untuk

Dalam hal ini dapat ditunjukkan bahwa migrasi bisa berperan sebagai salah satu strategi penting untuk peningkatan kehidupan yang lebih baik, terutama bagi rakyat

Salah satu kegunaan yang penting dari unsur – unsur transisi dalam reaksi katalitik adalah untuk mengatomisasi molekul – molekul diatomik dan menyalurkan atom – atom tersebut

pelaksanaan inseminasi buatan dan kemudahan untuk mendapatkan makanan ternak, ini semua merupakan wujud untuk meningkatkan perkembangan usaha perter- nakan sapi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa pada materi kedaulatan rakyat dan sistem pemerintahan Indonesia melalui

Salah satu mata pelajaran yang bertanggung jawab untuk pendidikan demokrasi itu adalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, karena Pendidikan Kewarganegaraan