• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Minuman Sari Tempe (Misape)

Misape adalah suatu produk minuman yang diolah dari bahan baku tempe kedelai, kemudian ditambahkan bumbu antara lain gula, garam, jahe dan kayu manis. Sedangkan bahan tambahan pangan yang digunakan adalah asam benzoat sebagai bahan pengawet, dan CMC sebagai stabilisator. Proses pembuatannya yaitu dengan mengekstrak tempe, kemudian direbus hingga mendidih sambil ditambahkan bumbu dan bahan tambahan pangan. Setelah proses perebusan kemudian dilanjutkan dengan penyaringan dan pengemasan.

Misape adalah bentuk inovasi pengolahan tempe. Masyarakat Indonesia sebelumnya mengolah tempe dengan cara digoreng (tempe mendoan, tempe keripik), disayur, ataupun dikukus. Tempe yang dikonsumsi dalam bentuk ini disebut tempe generasi pertama, karena wujud dan rasanya masih dapat dikenali oleh masyarakat umum. Sedangkan tempe generasi kedua adalah produk yang dihasilkan tidak memiliki bentuk dan rasa khas tempe (Astawan, 2008). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa misape termasuk dalam tempe generasi kedua.

a. Bahan Baku 1) Tempe kedelai

Hidayat (2006) menjelaskan bahwa Tempe adalah produk fermentasi yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan, diantaranya adalah kedelai. Tempe kedelai merupakan jenis tempe yang paling dikenal dan paling disukai masyarakat dibanding jenis-jenis tempe yang lain, misalnya tempe benguk, tempe gembus, tempe lamtoro atau tempe bongkrek. Suprapti (2003) menyatakan bahwa kualitas tempe kedelai ditentukan oleh cita rasa, kelunakan/tingkat kelapukan kedelai, kebersihan, kemurnian, daya

(2)

tahan, dan kesuburan kapang. Bagan proses pembuatan tempe dapat dilihat dalam Gambar 1.

KEDELAI PENCUCIAN PERENDAMAN PENGUPASAN PEREBUSAN PENIRISAN RAGI TEMPE PENGEMASAN PEMERAMAN TEMPE

Gambar 1. Proses pembuatan tempe kedelai Sumber : Pembuatan tempe (Suprapti, 2003)

Untuk dapat menghasilkan tempe yang baik, Astawan (2008) menjelaskan ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

a) Faktor sanitasi lingkungan (ruang dan peralatan) yang baik dan bersih untuk mencegah terjadinya kontaminasi.

(3)

b) Penambahan ragi dilakukan setelah biji kedelai yang telah direbus mengalami proses penirisan secara sempurna. Hal ini penting dilakukan untuk mencegah tertumbuhan bakteri pembusuk.

c) Pemeraman dilakukan dengan suhu dan waktu terkrontrol.

Enzim proteolitik menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi asam amino, sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0,5 menjadi 2,5 %. Degradasi protein ini juga menyebabkan peningkatan pH. Nilai pH tempe yang baik berkisar antara 6,3 – 6,5. Kedelai yang telah terfermentasi menjadi tempe akan mudah dicerna karena banyak bahan yang mudah larut. Selain itu, bau langu yang biasa ada dalam kedelai juga hilang setelah menjadi tempe (Hidayat, 2006). Perbandingan kandungan gizi kedelai, susu kedelai, dan tempe kedelai, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi kedelai, susu kedelai, dan tempe kedelai

No Unsur Gizi Kedelai Susu Kedelai Tempe

1. Energi (kal) 331 41 149 2. Air (g) 7,5 87 64 3. Protein(g) 34,9 3,50 18,3 4. Lemak(g) 18,1 2,50 4 5. Karbohidrat (g) 34,8 5 12,7 6. Kalsium (mg) 227 50 129 7. Fosfor (mg) 585 45 154 8. Zat Besi (mg) 8 0,70 10 9. Vitamin A (SI) 110 200 50 10. Vitamin B1 (mg) 1,07 0,08 0,17

(4)

2) Air

Suprapti (2005) menjelaskan bahwa air yang dipergunakan dalam proses pengolahan makanan serta minuman, baik yang digunakan secara langsung (ditambahkan ke dalam produk), maupun tidak langsung (digunakan dalam proses pencucian dan perendaman), harus memenuhi persyaratan sebagai air minum. Persyaratan air sebagai air minum antara lain:

a) Tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau. b) Bersih dan jernih

c) Tidak mengandung logam atau bahan kimia berbahaya d) Derajat kesadahan nol

3) Gula

Hidayat (2005) mengungkapkan bahwa gula merupakan bahan tambahan pada pengolahan makanan yang berfungsi untuk memperbaiki cita rasa sekaligus sebagai bahan pengawet alami dengan tujuan menghambat bakteri. Gula dalam industri pangan biasanya menggunakan sukrosa, yaitu gula yang diperoleh dari bit atau gula tebu. Aspek terpenting dalam penggunaan bahan pemanis dalam minuman ringan adalah untuk memberikan rasa manis dan memberikan nilai kalori terhadap minuman tersebut.

4) Garam (NaCl)

Garam khususnya garam dapur (NaCl) akan menghasilkan pengaruh terhadap bahan pangan, misalnya untuk memperbaiki cita rasa dan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Mikroba pembusuk, khususnya jenis proteolitik sangat peka dengan kadar garam rendah, yaitu kurang dari 6 %. Garam dapat mempengaruhi Aw dari bahan

makanan sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri (Winarno, 1983).

5) Kayu manis

Kulit manis atau lebih dikenal dengan nama yang kurang tepat kayu manis (Cinnamomum verum, synonym C. zeylanicum) ialah sejenis pohon penghasil rempah. Termasuk ke dalam jenis

(5)

rempah-rempah yang amat beraroma, manis, dan pedas. Orang biasa menggunakan rempah-rempah ke dalam makanan yang dibakar manis, anggur panas.

Kayu manis adalah salah satu bumbu makanan tertua yang digunakan manusia. Bumbu ini digunakan di Mesir Kuno sekitar 5000 tahun yang lalu, dan disebutkan beberapa kali di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama (http://www.jamitra.com/Kayumanis.htm).

6) Jahe (Zingiber officinale Roxb)

Muhtadi (1992) menerangkan bahwa jahe termasuk ke dalam family zingiberaceae. Rimpang jahe bercabang-cabang, berwarna putih kekuningan, dan memiliki serat. Bentuk jahe pada umumnya gemuk agak pipih dan kulitnya mudah di kelupas. Rimpang jahe berbau harum dan memiliki rasa pedas. Rimpang jahe dapat dimanfaatkan sebagai bumbu masak, manisan, minuman, dan obat-obatan tradisional.

b. Bahan Tambahan Pangan

1) Carboxy Methyl Cellulosa (CMC)

Hidayat (2005) menjelaskan bahwa CMC (Carboxymethyl Cellulose) dalam bentuk murninya disebut gum selulosa, yang terdiri dari garam-garam kalsium, natrium dan ammonium. CMC merupakan polielektrolit anionik turunan dari selulosa yang digunakan luas dalam industri pangan. CMC digunakan dalam bentuk garam natrium carboxymethyl cellulose sebagai pemberi bentuk, konsistensi, dan tekstur. CMC juga berperan sebagai pengikat air, pengental, dan stabilisator emulsi.

2) Asam benzoat

Cahyadi (2008) menyebutkan bahwa asam benzoat (C7H6O2)

sebagai bahan pengawet memiliki bentuk hablur atau jarum putih, sedikit berbau benzaldehid atau benzoin. Bahan pengawet ini agak mudah menguap pada suhu hangat dan mudah menguap dalam uap air. Asam benzoat sulit larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan eter. Asam benzoat merupakan asam lemah yang mengalami disosiasi

(6)

tergantung pada pH mediumnya. Molekul yang tidak terdisosiasi mempunyai efektifitas sebagai pengawet. Pengaruh pH pada disosiasi asam benzoat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh pH pada disosiasi asam benzoat pH Asam yang tidak terdisosiasi (%)

3 93,5 4 59,3 5 12,8 6 1,44 7 0,144 pKa 4,19

Sumber : Bahan tambahan pangan (Cahyadi, 2008)

c. Proses pembuatan misape

TEMPE

AIR, GULA, GARAM KAYU MANIS, JAHE

CMC, ASAM BENZOAT BLANCING PENGGILINGAN PEREBUSAN PENYARINGAN PENGEMASAN PEMOTONGAN MISAPE

(7)

2. Bakteri

Winarno (1983) menggolongkan jenis mikroba perusak menjadi tiga kelompok, yaitu kapang, bakteri dan khamir. Hasil pertanian yang mengandung pektin, misalnya biji-bijian dan buah-buahan sering dirusak oleh kapang. Bahan pangan yang mengandung gula tinggi, misalnya anggur, apel dan nenas mikroba perusaknya adalah khamir. Sedangkan bahan pangan dengan kandungan protein tinggi, misalnya daging, susu dan telur mudah dirusak oleh bakteri.

Dwijoseputra (1985) menjelaskan bahwa bakteri termasuk uniseluler, secara umum tidak berkhlorofil, dan produksi aseksualnya dengan cara pembelahan sel. Bakteri memiliki ukuran sel sekitar 0,5 - 1,0 um x 2,5 – 5,0 um, dan memiliki tiga bentuk, yaitu batang (bacil), bulat (coccus), dan spiral.

Fardiaz (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme pada makanan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu :

a) Faktor intrinsik

Faktor intrinsik adalah sifat-sifat fisik, kimia dan struktur makanan yang mempengaruhi populasi dan pertumbuhan mikroorganisme. Hal-hal yang termasuk dalam faktor intrinsik adalah sebagai berikut :

1. pH

2. Aktifitas air (aw)

3. Potensi oksidasi-reduksi (O/R, Eh) 4. Kandungan nutrisi

5. Senyawa anti mikroba 6. Struktur biologi b) Faktor ekstrinsik

Faktor ekstrinsik adalah kondisi lingkungan penyimpanan yang mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme pada makanan, antara lain suhu penuimpanan, kelembaban relatif lingkungan, dan susunan gas dilingkungan tempat penyimpanan.

(8)

Faktor implisit adalah parameter biotik yang mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam makanan, meliputi antagonisme, sinergisme dan sintrofisme. Sinergisme terjadi setelah adanya senyawa perangsang, sedangkan antagonisme terjadi setelah adanya senyawa penghambat oleh mikroorganisme lain. Sintrofisme adalah pertumbuhan antara dua mikroorganisme sehingga membentuk kondisi nutrisi yang memungkinkan mikroba lainnya untuk tumbuh. Meskipun mikroba patogen atau pembusuk terdapat di dalam makanan, bisa tidak terjadi keracunan atau kebusukan makanan karena pertumbuhannya dihambat oleh reaksi antagonistik mikroba lainnya (Fardiaz, 1992).

Menurut Gamar (1994) mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan suhu pertumbuhan, yaitu :

a. Psikrofilik

Bakteri jenis psikrofilik dapat tumbuh baik pada suhu di bawah 20oC, dengan kisaran suhu optimal adalah 10oC – 20oC. b. Mesofilik

Bakteri mesofilik memiliki suhu pertumbuhan optimal antara 20oC – 45oC.

c. Termofilik

Bakteri termofilik dapat tumbuh baik pada suhu di atas 45oC, dengan kisaran pertumbuhan optimal 50oC – 60oC.

Winarno (1983) menambahkan bahwa golongan bakteri perusak antara lain family Pseudomonadaceae, Achromobactericeae, dan Lactobacillaceae. Genus Pseudomonas dari family Pseudomonadaceae dapat tumbuh pada suhu rendah (psychrophyllic), dan bersifat proteolitik sehingga dapat menghidrolisa atau merusak protein. Bakteri genus Acetobacter dari family Pseudomonadaceae dapat merubah etanol menjadi asam asetat. Selain dapat membentuk asam, Acetobacter juga dapat memproduksi lendir. Bakteri pembentuk lendir yang lain adalah Alcaligenes yang dapat hidup pada suhu rendah dan sering merusak susu.

(9)

Fardiaz (1989) menjelaskan bahwa bakteri memiliki beberapa fase pertumbuhan, yaitu :

a.Fase adaptasi

Fase adaptasi adalah fase dimana bakteri menyesuaikan dengan substrat dan kondisi lingkungan di sekitarnya.

b.Fase pertumbuhan awal

Fase dimana sel bakteri mulai membelah dengan kecepatan yang masih rendah.

c.Fase logaritmik

Fase dimana bakteri membelah dengan cepat dan konstan. d.Fase pertumbuhan lambat

Fase dimana zat nutrisi di dalam medium sudah sangat berkurang dan adanya hasil-hasil metabolisme yang mungkin beracun atau dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

e.Fase pertumbuhan tetap (statis)

Fase dimana jumlah populasi sel bakteri cenderung stabil, karena jumlah sel yang hidup hampir sama dengan sel yang mati.

f. Fase menuju kematian dan fase kematian

Fase dimana sebagian populasi bakteri mulai mengalami kematian karena beberapa sebab, yaitu zat gizi di dalam medium habis dan energi cadangan di dalam sel juga habis.

Rahayu (2001) menerangkan bahwa analisa total bakteri dalam bahan pangan dapat menggunakan metode MPN. Berbeda dengan metode cawan yang menggunakan medium padat (agar), dalam metode MPN digunakan medium cair di dalam tabung reaksi, dimana perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung yang positif, yaitu yang ditumbuhi oleh mikroba setelah inkubasi pada suhu dan waktu tertentu.

Metode MPN biasanya dilakukan untuk menghitung jumlah mikroba di dalam bahan pangan yang berbentuk cair. Cara melakukan metode MPN dengan tabung durham dapat dilihat pada Gambar 3.

(10)

Minuman 10-1 10-2 1 ml 1 ml

9 ml 9 ml

10-1 10-1 10-1 10-2 10-2 10-2 10-3 10-3 10-3

inkubasi inkubasi inkubasi

keruh keruh keruh

Tabel MPN Gambar 3. Metode MPN

Sumber : Penuntun praktikum mikrobiologi pangan II (Rahayu, 2001)

3. Sifat Organoleptik

Uji organoleptik adalah cara mengukur, menilai atau menguji mutu komoditas dengan menggunakan kepekaan alat indra manusia, yaitu mata, hidung, mulut, dan ujung jari tangan. Uji organoleptik juga disebut pengukuran subjektif karena didasarkan pada respon subjektif manusia sebagai alat ukur (Soekarto, 1990).

Dalam penilaian bahan pangan, faktor yang menentukan diterima atau tidak suatu produk adalah sifat indrawinya. Penilaian indrawi ini ada enam tahap yaitu pertama menerima bahan, mengenali bahan, mengadakan klarifikasi sifat-sifat bahan, mengingat kembali bahan yang telah diamati, dan menguraikan kembali sifat indrawi produk tersebut. Indra yang digunakan dalam menilai sifat indrawi suatu produk adalah :

a. Penglihatan yang berhubungan dengan warna kilap, viskositas, ukuran dan bentuk, volume kerapatan dan berat jenis, panjang lebar dan diameter serta bentuk bahan.

b. Indra peraba yang berkaitan dengan struktur, tekstur dan konsistensi. Struktur merupakan sifat dari komponen penyusun,

(11)

tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut atau perabaan dengan jari, dan konsistensi merupakan tebal, tipis dan halus.

c. Indra pembau, pembauan juga dapat digunakan sebagai suatu indikator terjadinya kerusakan pada produk, misalnya ada bau busuk yang menandakan produk tersebut telah mengalami kerusakan.

d. Indra pengecap, dalam hal kepekaan rasa , maka rasa manis dapat dengan mudah dirasakan pada ujung lidah, rasa asin pada ujung dan pinggir lidah, rasa asam pada pinggir lidah dan rasa pahit pada bagian belakang lidah (www.petra.ac.id, 2009).

1. Panelis

Rahayu (1998) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel. Dalam penilaian suatu mutu atau analis sifat-sifat sensorik suatu komoditi, panel bertindak sebagai instrument atau alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis.

Menurut Soekarto (1985), ada 6 macam panel yang biasa digunakan dalam penilaian organoleptik, yaitu sebagai berikut :

a. Panel pencicip perseorangan

Pencicip perseorangan juga disebut pencicip tradisional. Keistimewaan pencicip ini adalah dalam waktu singkat dapat menilai suatu hasil dengan tepat, bahkan mampu menilai pengaruh macam-macam perlakuan, misalnya bahan baku dan cara pengolahan. Tetapi kemampuan pencicip perseorangan hanya terbatas pada komoditas tertentu, sehingga masing-masing komoditas memerlukan panelis yang berbeda sesuai dengan keahlian masing-masing.

b. Panel pencicip terbatas

Panel pencicip terbatas terdiri dari 3 sampai 5 orang penilai yang memiliki kepekaan tinggi. Syarat untuk bisa menjadi panelis terbatas adalah sebagai berikut :

(12)

1. Mempunyai kepekaan tinggi terhadap komoditi tertentu 2. Mengetahui cara pengolahan, peranan bahan dan teknik

pengolahan, serta mengetahui pengaruhnya terhadap sifat-sifat komoditas.

3. Mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang cara-cara penilaian organoleptik.

c. Panel terlatih

Anggota panel terlatih adalah 15 sampai 25 orang. Tingkat kepekaan yang diharapkan tidak setinggi panel pencicip terbatas. Panel terlatih berfungsi sebagai alat analisis, dan pengujian yang dilakukan terbatas pada kemampuan membedakan. Untuk menjadi seorang panelis terlatih, maka prosedur pengujian yang harus diikuti adalah :

a. Uji segitiga (triangel test)

b. Uji pembanding pasangan (paired comparison) c. Uji penjenjangan (ranking)

d. Uji pasangan tunggal (single stimulus test) d. Panel agak terlatih

Jumlah anggota panel agak terlatih adalah 15 sampai 25 orang. Panel ini tidak dipilih menurut prosedur pemilihan panel terlatih, tetapi juga tidak diambil dari orang awam yang tidak mengenal sifat sensorik dan penilaian organoleptik. Termasuk di dalam panel agak terlatih adalah sekelompok mahasiswa atau staf peneliti yang dijadikan panelis secara musiman.

e. Panel tak terlatih

Anggota panel tak terlatih tidak tetap. Pemilihan anggotanya lebih mengutamakan segi sosial, misalnya latar belakang pendidikan, asal daerah, dan kelas ekonomi dalam masyarakat. Panel tak terlatih digunakan untuk menguji kesukaan (preference test).

f. Panel konsumen

Anggota panel konsumen antara 30 sampai 1000 orang. Pengujiannya mengenai uji kesukaan (preference test) dan dilakukan

(13)

sebelum pengujian pasar. Dengan pengujian ini dapat diketahui tingkat penerimaan konsumen (Soekarto,1985).

2. Jenis Pengujian Ornanoleptik

Rahayu (1998) menerangkan bahwa pengujian organoleptik memiliki berbagai macam cara yang digolongkan dalam beberapa kelompok. Berikut adalah jenis pengelompokan untuk menguji sifat organoleptik :

a. Uji pembedaan

Pengujian organoleptik yang termasuk di dalam uji pembedaan antara lain sebagai berikut :

1. Uji pembedaan pasangan (paired comparation)

Pengujian ini berfungsi untuk menilai ada atau tidaknya perbedaan antara dua macam produk. Digunakan untuk menguji produk baru yang dibandingkan dengan produk terdahulu yang sudah diterima oleh konsumen.

2. Uji Perbedaan segitiga (triangel test)

Uji perbedaan segitiga digunakan untuk mengetahui perbedaan yang kecil.

b. Uji hedonik atau uji kesukaan

Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan, sekaligus tingkatannya. Tingkat kesukaan itu disebut skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat tidak suka.

c. Uji mutu hedonik

Uji mutu hedonik adalah uji hedonik yang lebih spesifik untuk suatu jenis mutu tertentu. Contoh penggunaan uji mutu hedonik adalah untuk mengetahui rasa buah dalam permen, sifat pera atau pulen pada nasi, sifat gurih pada kerupuk, dan kelezatan pada daging panggang (Rahayu, 1998).

(14)

Untuk mendukung pelaksanaan uji organoleptik, maka perlu memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Lokasi Laboratorium harus tenang dan bebas polusi b. Ruang pengujian terbagi 2 : bilik pencicip dan dapur c. Dinding dicat warna netral

d. Wastafel dilengkapi lap dan sabun e. Tissue polos non parfum

f. Panelis tidak sedang lapar (www.coolnetters.com, 2009)

4. Penyimpanan Suhu Rendah

Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa suhu rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 15 0 C efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Kisaran suhu tersebut sangat berguna untuk pengawetan jangka pendek. Setiap penurunan suhu 8 0 C laju metabolisme akan berkurang setengahnya.

Menyimpan bahan pangan pada suhu sekitar -2 0 C sampai 10 0 C dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan karena suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme, menghambat pertumbuhan mikroba, mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia, dan hilangnya kadar air dari bahan pangan (Muchtadi, 1989).

B. Kerangka Konsep

Variabel terkendali : 1. Bahan baku

2. Bahan Tambahan Pangan 3. Waktu pemanasan 4. Suhu pemanasan 5. Suhu penyimpanan Variabel pengaruh : Waktu penyimpanan 0, 3, 6, 9 dan 12 hari. Variabel terpengaruh : 1. Total bakteri 2. Organoleptik Misape

(15)

C. Hipotesis

Ada pengaruh variasi waktu penyimpanan selama 0, 3, 6, 9, dan 12 hari terhadap total bakteri dan sifat organoleptik misape.

Gambar

Gambar 1. Proses pembuatan tempe kedelai            Sumber : Pembuatan tempe (Suprapti, 2003)
Tabel 2. Pengaruh pH pada disosiasi asam benzoat   pH  Asam yang tidak terdisosiasi (%)

Referensi

Dokumen terkait

1) Person , yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket. 2) Place , yaitu sumber data yang menyajikan

Semua layer yang telah dihasilkan (R, K, LS, dan CP), selanjutnya digunakan untuk menghitung besarnya laju erosi.. Perhitungan laju

Dalam variabel manfaat sosial di dalamnya terkandung enam komponen variabel yang secara ekonomis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga nilai penggunaan, yakni sebagai nilai

Analisis kelayakan usaha garam samudra ini dilakukan dengan menghitung komponen – komponen usaha produksi garam samudra, seperti investasi yang diperlukan untuk

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan antara pola makan balita dengan status gizi balita usia 1-5 tahun di dusun Wonokromo Pleret Bantul tahun 2013

Penelitian ini bertujuan menguji model struktural yang terdiri dari tujuh variabel yang dibangun yaitu lingkungan atau suasana pelayanan, interaksi antara sesama

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh harga koefisien hubungan Chi Square antara penggunaan media sosial terhadap kejadian kekerasan dalam pacaran remaja

Penelitian ini memperoleh hasil bahwa persepsi kegunaan, kemudahaan penggunaan persepsian berpengaruh positif terhadap sikap pengguna terhadap media sosial, yang akhirnya sikap