• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Lanjut Usia Konstipasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Lanjut Usia Konstipasi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Lanjut Usia

Manusia usia lanjut merupakan seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial yang nantinya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Depkes (2000) dalam Notoatmodjo (2007) mendefinisikan bahwa usia lanjut merupakan orang yang sudah memasuki tahap dewasa akhir dengan usia sekitar 60 tahun ke atas. Menurut Notoatmodjo (2007), usia lanjut adalah kelompok orang yang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade.

Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, pasal 1 ayat 2, menyatakan bahwa yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Usia lanjut menurut WHO (1997) dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu lanjut usia (elderly): 60-74 tahun, usia tua (old): 75-90 tahun, dan sangat tua

(very old): >90 tahun (Notoatmodjo 2007).

Pada seorang usia lanjut mengalami perubahan-perubahan komposisi tubuh, sistem pencernaan, sistem jantung, sistem pernapasan, otak dan sistem saraf, sistem metabolisme dan hormon, sistem ekskresi, massa tulang dan mengalami perubahan mental (Wirakusumah 2002).

Konstipasi

Kebiasaan buang air besar normal mempunyai variasi yang luas pada setiap orang. Perubahan kebiasaan BAB merupakan manifestasi klinis yang umum dari penyakit saluran cerna. Konstipasi didefinisikan sebagai evakuasi feses yang jarang atau sulit dan dapat akut atau kronis. Konstipasi absolut didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses maupun flatus (Grace & Neil 2006).

Menurut Bangun (2005), konstipasi merupakan keadaan atau gejala hambatan gerak sisa makanan di saluran pencernaan sehingga buang air besar tidak bisa lancar dan teratur. Pada keadaan normal, setiap 24 jam usus besar (kolon) akan dikosongkan secara periodik. Seseorang dianggap konstipasi apabila tidak dapat buang air besar selama dua hari atau lebih.

Penyebab konstipasi menurut The National Digestive Disease Information

Clearinghouse (NDDIC) dalam Muhammad (2010), yaitu kurangnya asupan serat

(2)

dalam konsumsi sehari-hari, kurangnya aktifitas terutama di usia lanjut, obat-obatan tertentu (obat golongan narkotika, antasid yang mengandung alumunium dan kalsium, antihipertensi golongan penghambat kalsium, obat anti Parkinson, antispasmodik, antidepresan, suplemen Fe, diuretik, antikonvulsan), intoleransi susu, penyakit dan gangguan pada usus besar, kehamilan, usia lanjut, pemakaian pencahar berlebihan, kebiasaan menahan buang air besar, kurang asupan cairan, gangguan fungsional pada usus.

Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam hubungannya dengan konstipasi, yaitu dimana konstipasi akut sering mengindikasikan obstruksi usus, dengan gejala utamanya berupa nyeri kolik abdomen, muntah, konstipasi, dan distensi. Apabila yang terjadi adalah konstipasi kronis maka akan beresiko untuk berkembang secara perlahan menjadi obstruksi usus (Bangun 2005).

Konstipasi kronis biasa terjadi akibat diet rendah serat. Selain itu, bisa juga karena makan tidak teratur, kurang pergerakan dan olah raga, dan mengabaikan saat terjadi rangsangan untuk buang air besar. Konstipasi yang terjadi pada usia lanjut dengan atau tanpa gambaran sistemik harus diobati secara sungguh-sungguh dengan tidak mengabaikan berat badan yang menurun (Daldiyono et al 1990).

Muhammad (2010) mengemukakan gejala-gejala konstipasi pada setiap orang berbeda-beda, tergantung pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar masing-masing orang. Akan tetapi, gejala umum yang sering ditemui diantaranya adalah perut terasa penuh, nyeri dan mulas; tinja atau feses lebih keras dari biasanya; pada saat BAB feses atau tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan dan membuang tinja; serta menurunnya frekuensi BAB, dan meningkatnya waktu BAB (BAB menjadi 3 hari sekali atau lebih).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumahtangga) pada waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan

(3)

zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2003).

Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), aktivitas dan mempertahankan daya tahan tubuh. Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan asupan zat gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Serat

Serat adalah zat non-gizi yang termasuk sebagai salah satu jenis kelompok polisakarida atau karbohidrat kompleks. Serat terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu dan membentuk rantai kimia panjang, sehingga sukar dicerna oleh enzim pencernaan (Soelistijani 2002). Menurut Lubis (2009), serat makanan adalah komponen karbohidrat kompleks yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, tetapi dapat dicerna oleh mikro bakteri pencernaan. Serat makanan merupakan bahan baku yang baik untuk pertumbuhan mikroflora usus.

Serat makanan tidak dicerna di usus halus, akan tetapi dimetabolisme oleh bakteri yang berada dan melalui usus besar. Hal ini dapat menambah volume feses, meningkatkan pengaruh laksatif, melunakkan konsistensi feses, memperpendek transit time di usus, memproduksi flatus, hasil produksi metabolisme bakteri dan keluaran anion organiknya akan mengubah garam empedu dan asam lemak berantai pendek. Serat makanan menurut jenisnya dibedakan menjadi dua, yaitu serat larut dan serat tak larut air. Serat larut berfungsi dalam memperlama waktu pengosongan lambung sehingga seseorang dapat merasa kenyang lebih lama, sedangkan serat tidak larut air dapat menurunkan waktu transit dalam kolon, menghasilkan feses lebih lembek dan lebih banyak (Kusharto 2006).

Selanjutnya menurut Almatsier (2003), serat larut air mudah di fermentasi, sehingga pertumbuhan dan perkembangan bakteri kolon menyebabkan bertambahnya berat feses. Serat tidak larut air, terutama lignin yang terdapat

(4)

dalam dedak gandum tidak mengalami fermentasi. Serat tidak larut air mampu menyerap air, sehingga mengalami peningkatan berat dan mempunyai pengaruh laksatif paling besar. Serat membantu pengeluaran feses dengan cara mengatur peristaltik usus dan memberi bentuk pada feses. Selulosa dalam serat makanan mengatur peristaltik usus, sedangkan hemiselulosa dan pektin mampu menyerap banyak air dalam usus besar, sehingga memberi bentuk pada sisa makanan yang akan dikeluarkan.

Konsumsi serat yang kurang akan mengakibatkan seseorang mengalami sembelit atau konstipasi, sehingga sangat dianjurkan seseorang mengkonsumsi serat sebesar 20-30 g per hari untuk orang dewasa. Perbandingan konsumsi serat larut dan serat tak larut sebaiknya 1:3 (Muchtadi 2009). Sumber serat larut yang baik adalah jenis kacang-kacangan, rumput laut, agar-agar, apel, pisang, jeruk, wortel, bekatul, dan buncis, sedangkan sumber serat tak larut seperti polong-polongan, buah berbiji, serta sayuran (Kusharto 2006).

Cairan

Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Pada pria dewasa, 55%-60% berat tubuh adalah air dan pada wanita dewasa 50%-60% berat tubuhnya adalah air. Air sebagai salah satu zat gizi mikro yang mempunyai fungsi dalam berbagai proses penting dalam tubuh manusia, seperti metabolisme, pengangkutan dan sirkulasi zat gizi dan non gizi, pengendalian suhu tubuh, kontraksi otot, transmisi impuls saraf, pengaturan keseimbangan elektrolit, dan proses pembuangan zat tak berguna bagi tubuh. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kurang air berdampak buruk terhadap kesehatan atau meningkatkan risiko kejadian berbagai penyakit, seperti sembelit, kram, batu ginjal, infeksi saluran kemih dan lain-lain (Hardinsyah et al 2011). Menurut Driskell (2009), dehidrasi (kurang cairan) kronis akan dapat berakibat terjadinya konstipasi.

Almatsier (2003) menyatakan bahwa konsumsi cairan terdiri atas air yang diminum, yang diperoleh dari makanan, serta air yang diperoleh sebagai hasil metabolisme (air metabolik). Menurut Sawka, Cheuvront, dan Carter (2005), total konsumsi cairan adalah berasal dari air minum (drinking water), air pada minuman (water in beverages), dan air pada makanan.

Kebutuhan air tiap orang berbeda dan berfluktuasi tiap waktu. Hal tersbut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas, serta faktor lingkungan. Sebagian besar lansia mengurangi minum air putih atau

(5)

minuman lain karena berbagai alasan, misalnya karena timbulnya rasa mual setelah minum susu, keasaman sari buah yang dapat mengganggu lambungnya, serta tidak suka air. Penyebab utama hal tersebut adalah keengganan untuk terlalu sering buang air kecil, karena telah menurunnya kontrol terhadap kandung kemih (Muchtadi 2009).

Menurut Hardinsyah et al (2011), asupan air pada usia lanjut yang optimal adalah 1-1,5 liter per hari. Pada keadaan usia lanjut, kepekaan pusat rasa haus berkurang sehingga diperlukan perhatian lebih dari pengasuh usia lanjut untuk mengawasi konsumsi minuman pada kelompok ini. Kebutuhan cairan lansia dihitung dengan rumus 30ml/kg BB (untuk lansia dengan status gizi kurang/kurus 100ml/10 kg pertama, 30 ml/10 kg kedua, dan 15 ml/kg sisanya) (WHO 2002).

Penilaian Konsumsi Pangan

Penilaian komsumsi pangan adalah kegiatan mempelajari seluk beluk tentang makanan, menelaah jumlah makanan yang dikonsumsi, dan membandingkan dengan baku kecukupan gizi yang dapat dipenuhi. Konsumsi makanan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Penilaian konsumsi makanan secara kualitatif biasanya digunakan untuk menggali informasi mengenai kebiasaan makan dan frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi. Konsumsi makanan secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi dan dari informasi ini dapat diketahui dan dihitung konsumsi zat gizi dari makanan tersebut (Suhardjo 1989).

Pengukuran makanan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain metode recall 24 jam, metode perkiraan makanan (estimted

food records), penimbangan makanan (food weighing), metode food account,

metode inventaris (inventary method), pencatatan (household food record) (Supariasa 2002). Besarnya porsi makanan dan estimasi jumlah makanan yang dimakan dan diminum oleh responden, dapat diketahui dengan metode recall 24 jam (Khomsan dkk 2007).

Metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Metode recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang asupan harian individu (Sanjur 1997 dalam Supariasa 2002).

(6)

Meskipun metode recall 24 jam sudah dapat menggambarkan besar porsi dan estimasi jumlah makanan yang dikonsumsi, namun metode ini memiliki kelemahan berupa ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden, sehingga metode ini tidak cocok dilakukan pada anak usia di bawah 7 tahun, orang tua berusia di atas 70 tahun dan orang yang hilang ingatan atau orang yang pelupa. Oleh karena itu, metode penilaian konsumsi makanan pada lansia dilengkapi dengan metode food weighing.

Supariasa (2002) mengemukakan penimbangan makanan atau food

weighing merupakan salah satu metode pengukuran konsumsi makanan secara

kuantitatif pada tingkat perorangan yang digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung asupan zat gizinya. Adapun kelebihan dari metode ini ialah data yang diperoleh lebih akurat/teliti. Kekurangannya yaitu memerlukan waktu yang cukup lama, mahal karena membutuhkan peralatan, ada kemungkinan responden merubah kebiasaan makan mereka jika penimbangan dilakukan dalam periode yang cukup lama, tenaga pengumpul data harus terlatih dan trampil, serta memerlukan kerjasama yang baik dengan responden.

Pada metode penimbangan, responden atau petugas menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama 1 hari. Penimbangan makanan biasanya dilakukan beberapa hari tergantung tujuan, dana, dan tenaga yang tersedia.

Langkah-langkah pelaksanaan penimbangan makanan adalah petugas atau responden menimbang dan mencatat bahan makanan yang dikonsumsi dalam gram. Apabila terdapat sisa makanan setelah makan maka perlu juga dilakukan penimbangan sisa makanan tersebut untuk mengetahui jumlah sesungguhnya makanan yang dikonsumsi sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat. Kemudian dari jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sehari dapat dianalisis menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau Daftar Komposisi Gizi Jajanan (DKGJ). Selanjutnya hasil analisis zat gizi dibandingkan dengan kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) (Supariasa 2002).

Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan zat gizi. Klasifikasi tingkat kecukupan menurut Depkes (1996) dalam Supariasa (2002) adalah: defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%), dan kelebihan (>120%). Penilaian untuk mengetahui

(7)

tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen.

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal adalah kegiatan yang menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegitan fisik, seperti berjalan, berlari, berolahraga, dan lain-lain. Setiap kegiatan fisik membutuhkan energi yang berbeda menurut lamanya intensitas dan kerja otot (FKM-UI 2007). Menurut Hoeger dan Hoeger (2005), aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi.

Almatsier (2003), menjelaskan bahwa aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen keseluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan.

Menurut Rosmalina dan Permaesih (2008), aktivitas fisik merupakan faktor utama yang membedakan kebutuhan energi, selain itu juga berat badan dan umur. Aktivitas fisik sehari mencakup lama dan jenis aktivitas yang biasa dilakukan akan mempengaruhi jumlah energi yang dikeluarkan.

Fisik lansia yang melemah sebagai akibat dari proses penuaan yang terjadi pada seseorang menyebabkan keterbatasan lansia dalam beraktivitas. Penurunan aktivitas fisik ini akan mengakibatkan terjadinya kelemahan tonus otot dinding saluran cerna sehingga akan terjadi konstipasi (Arisman 2007).

Status Gizi Lansia

Menurut Briawan dan Madanijah (2008), status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan (asupan) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) untuk berbagai fungsi biologis. Penilaian status gizi menurut Riyadi (2004) dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya menggunakan pengukuran antropometri (ukuran-ukuran tubuh), terutama jika terjadi ketidakseimbangan kronik antara intik energi dan protein.

(8)

Indikator dari status gizi adalah berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Status gizi diukur dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT).

Salah satu perubahan fisik yang terjadi pada lansia seiring pertambahan usia adalah terjadinya penurunan massa tulang yang dapat merubah struktur tulang. Perubahan struktur tulang akan terjadi pada tulang-tulang punggung

(vertebrae), struktur jaringan pengikat dan tulang rawan (invertebrae) yang akan

merubah kurvatura tulang punggung menjadi lebih melengkung (kifosis torakalis) dan posisi akan menjadi bungkuk (Darmojo 1999).

Tinggi badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang diperlukan untuk pengkajian status gizi. Namun, dalam prakteknya seringkali menemukan kesulitan untuk mendapatkan data TB pada lansia terutama yang sudah tidak dapat berdiri dan mengalami kelainan tulang. Alternatif lain untuk memprediksi TB lansia yaitu pengukuran tinggi lutut (TL). Tinggi lutut dapat digunakan untuk melakukan estimasi TB lansia. Hasil pengukuran TL dikonversikan menjadi TB menggunakan rumus Chumlea (1984) dalam Fatmah (2008):

TB pria = 64,19 - (0,04 x usia dalam tahun) + (2,02 x tinggi lutut daIam cm) TB wanita = 84,88 - (0,24 x usia dalam tahun) + (1,83 x tinggi lutut dalam cm)

Menurut Riyadi (2004) indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi juga telah tersedia. Indeks Massa Tubuh merupakan perbandingan BB dalam satuan kilogram dengan TB kuadrat dalam satuan meter. Kategori IMT dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kategori indeks massa tubuh

Kategori IMT Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat : < 17,0 kg/m2

Kekurangan berat badan tingkat ringan : 17,0 – 18,49 kg/m2

Normal : 18,5 – 24,9 kg/m2

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan : 25,0 – 27,0 kg/m2

Kelebihan berat badan tingkat berat : >27,0 kg/m2 Sumber : Depkes (1994) dalam Supariasa et al (2002)

Referensi

Dokumen terkait

1) Penelitian ini menggunakan recall 24 jam yang menuntut responden untuk mengingat kembali semua makanan yang telah dikonsumsi selama satu hari, sehingga kerja sama dan

Estimasi Asupan Energi Dengan Metode Food Frequency Questionnaire (FFQ), Food Records dan Recall 24 Jam pada Anak Sekolah Dasar di Kota Palu Provinsi Sulawesi

Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga wanita hamil harus mendapatkan tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi walaupun makanan yang

gambaran asupan makanan menggunakan Metode Recall 24 Jam Dan Food Frequency Questionnaires (FFQ) Pada Atlet yaitu Kelengkapan makanan tidak lengkap dan memiliki status

Penelitian selajutnya diharapkan menggunakan alat bantu seperti buku gambar makanan atau food model pada saat wawancara mengenai asupan nutrisi dengan food recall 24 jam

Penelitian ini dilakukan dengan menghitung kecukupan energi, protein, dan kalsium dari konsumsi makanan dan susu pada anak dengan menggunakan metode food recall..

lanjut usia antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram dan

Data tingkat konsumsi energi anak stunting usia 6-59 bulan di Desa Asrikaton Kecamatan Pakis Kabupaten Malang diperoleh dengan cara recall 24 jam makanan yang dikonsumsi subjek