• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 PERMASALAHAN RENDEMEN TEBU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 PERMASALAHAN RENDEMEN TEBU"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

2. 1 Definisi-definisi

Berdasarkan modul penentuan rendemen tebu (Harisutji, 2001) dan Cane Sugar Handbook (Meade dan Chen, 1977) dapat didefinisikan istilah-istilah yang lazim digunakan dalam penetapan rendemen tebu sebagai berikut :

a. RENDEMEN (Hablur % tebu)

Jumlah gula yang dapat dihasilkan setiap 100 bagian berat tebu. Pengertian rendemen disini adalah rendemen sementara, karena masih belum dikoreksi. Untuk menghitung rendemen sementara digunakan rumus Hommes (1932 dalam Meade dan Chen, 1977), yaitu :

Rendemen = Nilai Nira perahan pertama (NNPP) x Faktor Rendemen.

b. INDIVIDUAL

Yang dimaksud dengan individual dalam penelitian ini adalah setiap lori atau truk yang digunakan untuk mengangkut tebu yang akan digiling.

c. PETANI

Pemilik tebu yang tebunya akan digiling.dan dimuat dalam lori atau truk secara sendiri-sendiri, tidak bercampur dengan tebu orang lain.

d. BRIX (derajat brix, obx)

Satuan yang menyatakan persen berat/berat (b/b) zat padat terlarut suatu larutan. Bila larutannya adalah sakarosa murni, maka brix = % sakarosa; tetapi bila tidak murni, maka brix selain terdiri dari sakarosa juga mengandung zat padat terlarut lainnya.

e. POL (% pol)

Adalah konsentrasi (gram solute/100 gram larutan) larutan sakarosa murni dalam air. Untuk larutan sakarosa murni, maka pol = konsentrasi sakarosa; sedangkan untuk larutan yang terdiri dari sakarosa dan zat-zat optik lain, maka

(2)

pol merupakan jumlah aljabar rotasi zat-zat penyusunnya. Untuk nira yang “normal” kontribusi sakarosa sangat dominan, sehingga zat optik lainnya dapat diabaikan.

Dasar pengukurannya menggunakan satuan derajat gula internasional (oZ/oS/oV).

100 oZ = putaran optik suatu larutan “normal” sakarosa yang diukur pada 587 nm, 20 oC dan tabung polarisasi 200 mm.

Larutan “normal” sakarosa adalah larutan sakarosa murni 26.000 gram dalam air murni yang dilarutkan pada 20 oC hingga volume 100 ml.

f. GULA

Produk utama pabrik gula yang merupakan butiran kristal “sakarosa” yang keluar dari masakan dan mengandung sedikit kotoran (impurities). Kualitas atau jenis gula antara lain dibedakan menurut derajat pol-nya.

g. SAKAROSA

Gula murni, merupakan senyawa disakarida α- D- glucopyranosyl β- D- fructofuranoside

h. HARKAT KEMURNIAN (HK), purity

Merupakan perbandingan persentase antara pol (sakarosa) dengan zat padat terlarut total (brix).

HK pol = (pol/brix) x 100 % HK sakarosa = (sakarosa/brix) x 100 %

i. NILAI NIRA

Suatu gambaran teoritis jumlah gula yang dapat dikristalkan dari suatu larutan gula (nira) dengan cara penghabluran/kristalisasi. Karena kristalisasi sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan bukan gula yang terbawa dalam larutan, maka tidak semua gula dalam larutan tersebut dapat dikristalkan. Semakin besar bahan bukan gula semakin kecil gula yang dapat dikristalkan.

(3)

Untuk menghitung nilai nira digunakan rumus Winter Carp (Meade dan Chen, 1977), yaitu :

Nilai Nira (nn) = pol – 0,4 (brix – pol)

j. NILAI NIRA PERAHAN PERTAMA (NNPP)

Adalah nira yang keluar dari gilingan pertama, yang belum tercampur air imbibisi atau bahan-bahan lain.

k. TEBU (Sugar Cane)

Bahan baku dari Saccharum officinarum yang dikirim ke gilingan, termasuk didalamnya tebu bersih, kotoran (trash) dan bahan asing lain yang terbawa.

2.2. Analisis Brix dan Pol

Dalam analisis nira tebu dikenal istilah brix, pol, Harkat Kemurnian (HK), nilai nira, rendemen sementara, dan rendemen tebu giling (rendemen nyata, rendemen realisasi atau rendemen efektif). Analisis Brix dan Pol merupakan dasar-dasar perhitungan dan kontrol pabrikasi pabrik gula. Dengan melakukan analisis ini dapat diperkirakan jumlah gula yang akan diperoleh seorang pemilik tebu yang akan menggilingkan tebunya di pabrik gula.

2.2.1. Metode Analisis Brix

Analisis brix bisa menggunakan 3 (tiga) cara dengan menggunakan alat yang berbeda, yaitu (Harisutji W., 2001) :

(1) Cara refraktometris, dengan menggunakan alat refraktometer. Prinsip kerja: sudut bias suatu sinar radiasi yang melalui larutan gula (nira) tergantung pada konsentrasi dan temperatur dari larutan tersebut. Dengan temperatur konstan, konsentrasi (brix) larutan gula (nira) dapat diketahui dengan mengukur index bias larutan tersebut. Kalibrasi refraktometer brix dengan menggunakan larutan sakarosa murni;

(2) Cara timbangan hydrometer (timbangan brix), dengan menggunakan alat timbangan brix/brix weger/brix hydrometer. Prinsip kerja : gaya tekan ke

(4)

atas suatu benda yang dicelupkan ke dalam cairan (larutan gula/nira) tergantung pada berat jenis larutan tersebut. Brix hydrometer dilengkapi dengan thermometer dan koreksi pengukuran sesuai dengan suhunya. Cara kalibrasinya dengan menggunakan larutan sakarosa murni.

(3) Cara piknometris, dengan menggunakan alat piknometer. Prinsip kerja : brix larutan bisa ditemukan dengan mengukur berat jenisnya. Melalui tabel hubungan antara berat jenis dan brix larutan maka dapat dihitung brix larutan.

2.2.2. Metode Analisis Pol

Salah satu cara melakukan analisis pol adalah dengan menggunakan alat yang disebut polarimeter/sakarimeter/sakaromat. Prinsip kerja : berdasarkan pengukuran sudut pemutaran bidang polarisasi oleh larutan gula. Besarnya sudut putar tergantung pada konsentrasi larutan, ketebalan larutan yang dilewati sinar (panjang tabung polarisasi), temperatur dan panjang gelombang. Kalibrasinya dengan menggunakan standar tabung kwarsa yang mempunyai nilai putaran optik yang tetap.

Perhitungan persen pol menurut Winter Carp (Meade dan Chen, 1977) : % pol = { (26 x oZ) / (100 x BJ) } x (1,1).

BJ = berat jenis nira, dihitung dari tabel hubungan antara brix dan BJ oZ = pembacaan derajat polarisasi

2.3. Rendemen dan Produksi Tebu

Luas areal tebu dalam negeri cenderung terus menurun rata-rata 1,72 persen per tahun selama tahun 1993-2004 (Sekretariat Dewan Gula, 2004). Penurunan areal tanam yang cukup drastis terjadi pada tahun 1999, yaitu sebesar 9,9 persen, sebagai akibat dari dihapuskannya kebijakan TRI serta adanya konversi lahan. Penurunan areal juga diikuti dengan menurunnya produktivitas tebu dengan laju sebesar 1,42 per tahun (Rusastra, et al. 2000). Pada tahun 1999, penurunan produktivitas mencapai 12,26 persen, yaitu dari 71,8 ton/ha menjadi 62,8 ton/ha. Semakin rendahnya luas areal dan produktivitas tebu menyebabkan produksi tebu

(5)

nasional juga semakin rendah, menurun hingga 3,01 persen per tahun. Penghapusan TRI pada tahun 1999, menyebabkan produksi tebu menurun drastis sebesar 1,25 persen (Tabel 1).

Rendahnya produksi gula nasional antara lain juga disebabkan tidak efisiennya pabrik-pabrik gula (PG) yang ada (Husodo, 2000; Murdiyatmo, 2000; Woeryanto, 2000). Pada masa kejayaan industri gula di tahun 1930, Indonesia memiliki 179 Pabrik Gula (PG). Jumlah PG semakin menurun karena secara ekonomis tidak menguntungkan. Jumlah PG per September 2003 tercatat sebanyak 58 unit PG milik BUMN dan 6 PG milik swasta (Sekretariat Dewan Gula, 2004). Dari 58 PG tersebut, 46 PG berada di Jawa dan 12 PG berada di luar Jawa. Pada umumnya PG-PG beroperasi jauh dibawah kapasitas giling. Sebagian besar PG mempunyai kapasitas giling yang kecil (<3.000 TCD) karena mesin yang telah berumur lebih dari 75 tahun serta tidak mendapat perawatan yang memadai, sehingga menyebabkan biaya produksi per kg gula tinggi (Arifin, 2000).

Tabel 1. Areal Tanam, Produktivitas dan Produksi Tebu

Tahun Areal (ha) Produktivitas(ton/ha) Produksi Tebu (ribu ton)

1993 420.687 89,4 37.593.146 1994 428.726 71,2 30.545.070 1995 420.630 71,5 30.096.060 1996 403.266 70,9 28.603.531 1997 385.669 72,5 27.953.841 1998 378.293 71,8 27.177.766 1999 340.800 62,8 21.401.834 2000 340.660 70,5 24.031.355 2001 344.441 73,1 25.186.254 2002 350.723 72,8 25.533.431 2003 335.725 67,4 22.631.109 2004 344.852 73,0 25.172.380

Sumber : Sekretariat Dewan Gula, 2004.

Rendemen yang dihasilkan PG-PG juga sangat menurun dan selama 10 tahun terakhir (1993-2004) relatif berfluktuasi dengan rata-rata mencapai 7,24 %, jauh

(6)

lebih rendah dibandingkan 10 tahun sebelumnya (1983-1992) yang dapat mencapai 9,8 %. Produktivitas gula yang dihasilkan PG-PG nasional selama 10 tahun terakhir (1993-2004) juga relatif rendah dengan rata-rata 5,12 ton/ha. Demikian juga produksi gula yang dihasilkan PG-PG tersebut relatif rendah dan cenderung menurun dengan rata-rata 3,3 persen per tahun (Sekretariat Dewan Gula, 2004).

Dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Thailand, Cina, India, Jepang dan Philipina, rata-rata produktivitas tebu Indonesia sebenarnya relatif tinggi dan mendekati produktivitas Amerika Serikat. Namun dalam hal rata-rata rendemen dan rata-rata produktivitas gula, Indonesia menempati posisi terendah (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-Rata Rendemen dan Produktivitas Gula Antar Beberapa Negara Produsen

Negara Rata-rata Produktivitas tebu (ton/ha) Rata-rata Rendemen (%) Rata-rata Produktivitas Gula (ton/ha) Jepang 64,09 11,53 7,41 Thailand 56,76 10,97 6,24 Cina 59,16 11,84 7,00 India 69,33 10,90 7,56 Philipina 60,70 8,26 5,00 Indonesia 70,13 7,06 4,95 USA 78,44 11,61 9,11 Sumber : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2003

2.4. Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula

Angka rendemen yang digunakan untuk menghitung hasil di pabrik gula adalah rasio antara hasil gula kristal (hablur) dengan bobot tebu yang digiling disebut rendemen nyata (Anonim, 1984; LP IPB, 2002; Purwono, 2002). Jika dihitung dalam persentase, maka rendemen adalah kristal nyata diperoleh % tebu digiling atau lebih dikenal dengan kristal nyata % tebu (Harisutji, 2001; Santoso dan

(7)

Martoyo, 2000). Dengan demikian perhitungan rendemen nyata yang diperoleh dapat dilakukan dengan rumus:

Bobot hablur

Rendemen nyata = --- x 100 Bobot tebu

Dari perhitungan ini berarti gula yang diperoleh adalah hanya gula yang dihasilkan dalam bentuk kristal selama satu periode proses. Kenyataannya, selama proses terjadi kehilangan gula yang sangat dipengaruhi oleh efisiensi pabrik gula. Kehilangan gula selama proses kemungkinan terbawa dalam bagase (ampas), filter cake (blotong) atau molases (tetes) (LP IPB, 2002).

Gula yang dapat dikristalkan merupakan bagian dari total padatan terlarut yang terkandung dalam tebu. Total padatan terlarut tersebut terdiri dari gula dan bukan gula (Winter Carp dalam Meade dan Chen, 1977). Komposisi tebu secara umum dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :

(8)

Tabel 3. Komposisi Tebu

Komponen % tebu

Air Zat padat :

Sabut

Zat padat terlarut Komposisi Nira : Gula Sakarosa Glukosa Fruktosa Garam-garam :

Garam asam anorganik Garam asam organik Asam-asam organik bebas :

Asam karboksilat Asam-asam amino Zat-zat organik non gula lain :

Protein Amilum Gum Lilin, lemak Lainnya 73 – 76 24 – 27 11 – 16 10 – 16 % padat zat terlarut :

75 – 92 70 – 88 2 – 4 2 – 4 3,0 – 7,5 1,5 – 4,5 1,0 – 3,0 0,5 – 2,5 0,1 – 0,5 0,5 2,0 0,5 – 0,6 0,001 – 0,050 0,3 – 0,60 0,05 – 0,15 3,0 – 5,0 Sumber : Meade dan Chen (1977)

Penggilingan yang kurang baik menyebabkan sebagian gula masih terbawa dalam bagase. Pada saat proses pemurnian nira kotor menjadi nira jernih dapat terjadi kehilangan gula bersama dengan filter cake (blotong). Kehilangan gula lainnya adalah pada saat pemisahan antara kristal gula dengan tetes (Santoso, 1998). Kehilangan gula biasanya dinyatakan dalam pol % tebu, pada pabrik-pabrik gula di Jawa Timur berkisar antara 1,5 hingga 2,5% (Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2005). Pada Gambar 1 disajikan secara ringkas alur pengolahan gula dan kemungkinan terjadinya kehilangan gula.

(9)

Gambar 1. Alur Pengolahan Tebu Menjadi Gula Kristal

2.5. Cara Penetapan Rendemen Tebu di Indonesia Saat ini

Rendemen merupakan tolok ukur perolehan gula, ditentukan setiap periode berdasarkan kristal nyata yang dihasilkan dari tebu yang digiling. Sebagai contoh, bila dinyatakan rendemen 10% maka untuk setiap 1000 kg tebu giling diperoleh sukrosa 100 kg. Tampaknya sederhana, namun dalam prakteknya pengukuran rendemen tidak mudah. Angka perbandingan sukrosa terhadap tebu yang benar baru bisa diperoleh jika pabrik gula (PG) berhenti beroperasi. Semua bahan baku digiling dan semua gula ditampung, kemudian keduanya dihitung dan dibandingkan (Ananta, 1984). Dalam kenyataannya, tebu yang masuk ke PG dimiliki oleh ratusan bahkan ribuan petani. Tebu masuk secara kontinyu dan menghasilkan gula kristal yang kontinyu pula. Dalam kondisi seperti itu, rendemen tebu petani yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dibedakan (Partowinoto, 1996). PG tidak bisa dihentikan sementara hanya untuk menghitung rendemen masing-masing petani.

Pemasakan

Kristalisasi

Penggilingan

Pemurnian

Tebu

Nira kotor Bagase

(ampas)

Nira bersih Filter cake

(blotong)

Nira kental

Gula pasir Molases (tetes)

Kehilangan gula (1,5-2,5%)

(10)

Untuk mengatasi hal tersebut, maka penetapan rendemen di Indonesia dilakukan dengan menggunakan pendekatan rumus Hommes (Ananta, 1975). Hommes menyatakan bahwa rendemen merupakan suatu besaran yang ditentukan oleh faktor luar pabrik dan faktor dalam pabrik (Hommes, 1932 dalam Ananta, 1984). Yang dimaksud dengan faktor luar pabrik adalah nilai nira perahan pertama (NNPP), sedangkan faktor pabrik tercakup dalam Faktor Rendemen (FR). Nilai nira perahan pertama sepenuhnya tergantung kepada kualitas tebu yang digiling (Santoso, 1998). Secara matematis rumus penentuan rendemen dinyatakan sebagai berikut :

Rendemen = Nilai Nira Perahan Pertama x Faktor Rendemen …...… (1)

Awalnya, usahatani tebu berada di bawah satu manajemen pabrik gula (Ananta, 1975). Angka rendemen hanya dibutuhkan oleh PG guna keperluan intern mereka, terutama untuk mengukur kinerja proses. Sejak diberlakukannya program Tebu Rakyat Intensifikasi tahun 1975 (Inpres No. 9/1975) tebu ditanam dan dikelola oleh petani tebu rakyat (PTR), pabrik gula hanya menggiling tebu PTR dengan sistem bagi hasil berdasarkan rendemen tebu. Berdasarkan kondisi tersebut maka penentuan rendemen sebagaimana rumus Hommes di atas ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian No. 013/SK/MENTAN/BPB/3/76 tanggal 5 Maret 1976 tentang Pedoman Penentuan Rendemen Tebu Rakyat Yang Diolah Pabrik Gula.

Berdasarkan SK Mentan di atas, nilai nira perahan pertama diambil dari setiap contoh tebu yang minimal bisa memenuhi waktu giling 30 menit (Ananta, 1984).. Pada PG berkapasitas 2000 – 3000 TCD dalam waktu giling 30 menit diperlukan sekitar 60 ton tebu. Oleh karena itu, analisis nira perahan pertama dilakukan untuk setiap 60 ton tebu (Santoso, 1998). Dalam konteks tersebut, jumlah tebu yang dimiliki petani secara individu tidak dapat memenuhi kebutuhan analisis.

Terkait dengan faktor rendemen di atas, dikenal istilah Winter Rendemen (WR) yang merupakan perbandingan sukrosa dalam gula hasil dengan sukrosa yang terdapat dalam nira mentah (Meade dan Chen, 1977). Winter Rendemen merupakan persentase jumlah hablur (sukrosa) akhir yang efektif dihasilkan

(11)

terhadap jumlah hablur yang terdapat dalam nira mentah yang diolah. Hablur yang dimaksud dihitung sebagai standar gula pasir (equivalent sugar granulated) yakni kristal 100% murni atau gula kristal putih.

Karena winter rendemen menunjukkan kemampuan stasiun pengolahan dalam mengambil sukrosa dari nira mentah, maka nilai WR sebenarnya menggambarkan efisiensi stasiun pengolahan. Nilai WR biasanya kurang dari 100%, karena beberapa bagian sukrosa akan hilang selama proses pengolahan. Kehilangan tersebut bisa karena sukrosa terbawa ke dalam blotong setelah proses klarifikasi, terangkut ke dalam tetes, atau secara kimia sukrosa berubah menjadi senyawa lain (Santoso, 1998).

Menurut Winter Carp dalam Meade dan Chen (1977),

Faktor rendemen = KNT x HPB x PSHK x WR x 10-8 ... (2) dimana KNT : hasil kali kadar nira tebu, HPB : hasil pemerahan brix, perbandingan setara harkat kemurnian nira mentah/nira perahan pertama (PSHK) dan Winter Rendemen (WR).

Dengan demikian persamaan (1) dapat diturunkan menjadi :

Rendemen = NNPP x KNT x HPB x PSHK x WR x 10-8 ……... (3) Menurut Santoso dan Bahri (2004), rumus ini biasa digunakan di Indonesia. Dalam rumus ini kualitas tebu didekati dengan NNPP x KNT x 10-2 dan efisiensi pabrik didekati dengan HPB x PSHK x WR x 10-4 (Anonim, 1984; LRPI, 2004; Santoso dan Bahri, 2004). Sehingga :

Rendemen = NNPP x KNT x efisiensi pabrik x 10-2 …... (4).

Jika mengacu kepada penentuan rendemen yang digunakan di Indonesia saat ini {persamaan (1)} dan membandingkannya dengan persamaan (4), maka seharusnya pendekatan yang terjadi adalah :

(12)

Persamaan (5) diatas menunjukkan hasil penetapan rendemen berdasarkan analisis nilai nira perahan pertama kurang menghargai prestasi individu, karena kualitas tebu yang seharusnya didekati dengan NNPP dan KNT hanya didekati dengan NNPP saja, KNT untuk semua tebu dianggap sama.

2.6. Metode Penetapan Rendemen Tebu Alternatif

2.6.1. Metode Penetapan Rendemen Dengan Krepyak Mini Sampler (KMS)

Pada musim giling 2003, PG Mojopanggung dengan kapasitas giling ± 2400 TCD telah mengupayakan proyek percontohan penentuan rendemen individu yang menghargai prestasi individu dengan model sampling “krepyak mini sampler (KMS)” (Martoyo dan Santoso, 2003). Krepyak mini sampler ditujukan untuk menetapkan titik sampel individu, sedangkan ultrasonic flowmeter untuk menetapkan kadar nira perahan pertama (KNPP), sehingga rendemen ditetapkan berdasarkan formula : Rendemen = NNPP x KNPP x Faktor Kristal. Upaya untuk mengukur langsung NNPP dan KNPP untuk menilai kualitas tebu secara lebih tegas merupakan langkah yang baik dalam rangka penyempurnaan penetapan rendemen yang lebih berkeadilan.

Namun demikian, hasil kajian Martoyo dan Santoso (2004) menemukan lori dengan berat tebu tinggi dan diperkirakan niranya tinggi namun kenyataannya berat niranya rendah, begitu pula sebaliknya, sehingga menyebabkan rentang nilai KNPP yang cukup besar, berkisar antara 20 – 85 %. Hal tersebut diduga karena kesalahan sistem yang hanya mengukur jumlah NNPP berdasarkan jarak (waktu) yang sama. Padahal, kenyataannya terjadi perbedaan jarak (waktu) untuk tebu lonjoran di krepyak tebu I (krepyak mini I sampler) dengan jarak (waktu) untuk tebu cacah di krepyak tebu II (krepyak mini II sampler), serta jarak (waktu) nira mengalir di talang NNPP.

Dengan kondisi demikian, pada skala komersial untuk musim giling 2004 metode ini masih mempunyai kendala dalam pelaksanaannya, khususnya pengukuran KNPP dengan ultrasonic flowmeter. Untuk PG yang berkapasitas giling > 3000

(13)

TCD, dimana umpan tebu ke krepyak lebih dari 2 meja tebu, perlu dikaji tingkat kevalidan sampel kaitannya dengan tercampurnya nira tebu antar individu (Martoyo dan Santoso, 2004).

2.6.2. Metode Penetapan Rendemen Dengan Refraktometer

Alat yang digunakan dalam metode ini adalah refraktometer presisi yang sudah dikalibrasi. Prinsip yang diterapkan adalah index bias larutan gula mempunyai korelasi dengan konsentrasi larutan tersebut ((Harisutji, 2001). Metode ini bisa digunakan untuk analisis macam-macam nira (npp, nira mentah, nira encer) atau nira kental dan tetes dengan mengencerkannya terlebih dahulu setara dengan nira encer.

Prosedur analisisnya sederhana, yaitu meneteskan larutan contoh kedalam prisma refraktometer dan dibaca skala brix yang tertera serta suhunya. Skala yang ditunjukkan dalam alat sudah langsung menunjukkan brix, kemudian dikoreksi sesuai dengan suhu pengukuran. Brix terkoreksi = brix terbaca + koreksi brix.

Menurut Purwono (2002), diketahui bahwa terdapat korelasi yang nyata antara nilai brix (B) yang diukur dengan rendemen (R) dengan r2 = 0.82 dan persamaan regresinya adalah :

R = - 0.0254 + 0.4746 B.

Dengan demikian, cukup dengan memasukkan hasil pengukuran brix, maka dapat langsung diketahui nilai rendemen suatu contoh tebu.

Hasil penelitian Santoso dan Martoyo (1994) di tiga pabrik gula menunjukkan bahwa hasil pengukuran brix refraktometer dan hydrometer tidak berbeda untuk contoh nira mentah dan nira encer. Semakin rendah kemurnian contoh, perbedaan hasil pengukuran semakin besar. Walaupun terdapat perbedaan hasil pengukuran, penggunaan refraktometer untuk pengawasan pabrikasi tidak menimbulkan masalah berarti, bahkan menguntungkan. Cara pemakaian refraktometer lebih

(14)

mudah dan cepat, hanya memerlukan contoh yang sedikit dibandingkan menggunakan hydrometer.

Perbandingan hasil pengukuran refraktometer brix dan kadar bahan kering sesungguhnya dalam contoh nira mentah, nira encer, nira kental dan tetes juga dilaporkan oleh Mellet (1986) dalam Santoso dan Martoyo (1994). Pada contoh nira mentah, nira encer dan nira kental, cara refraktometer memberikan perbedaan 0,05 – 0,13 angka lebih tinggi dari kadar bahan kering sesungguhnya. Sedangkan pada contoh tetes, perbedaan itu menjadi 3,2 – 4,4 angka lebih tinggi.

Hasil kajian Ekosoni, Hendroko dan Praptiningsih (1996), menunjukkan pengamatan brix dengan refraktometer-tangan pada rumpun tebu contoh telah mampu mendekati rerata brix kebun dengan simpangan hanya sebesar ± 5%. Kajian ini menyarankan mengambil 3 (tiga) rumpun contoh yang terletak pada tiga juring berhimpitan, masing-masing berturutan searah kemiringan lahan. Disarankan pula untuk tidak mengambil rumpun pada jarak minimal 10 meter dari pinggir kebun.

Refraktometer tangan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan di atas karena hanya membutuhkan setetes nira, yang dapat diambil tanpa merusak batang-batang tebu dan tidak menggunakan logam berat (Pb) seperti pada prosedur analisis pendahuluan.

2.6.3. Metode Penetapan Rendemen dengan Pendekatan Core Sampler (PCS)

Dalam makalahnya, Partowinoto (1996) menyebutkan bahwa metode Core Sampler telah diperkenalkan sejak tahun 1975 untuk mengatasi permasalahan antara petani dengan pabrik gula, pertama kali digunakan di pabrik St. Martin di Lousiana (USA).

Sistem kerja core sampler : sebuah pipa dengan diameter 8 – 10 dm, panjang ± 6m diujungnya dilengkapi semacam gergaji diputar dengan 550 sampai 1250 rpm

(15)

dimasukan ke tumpukan tebu di dalam truk/kontainer dengan arah datar atau menukik dengan sudut 45o. Sampel yang diambil dipotong-potong dan kemudian dicacah. Selanjutnya 1 kg cacahan tebu dipress dengan tekanan 3000 psi hingga menghasilkan nira kurang lebih 60% tebu, selanjutnya nira tersebut dianalisis pol dan brixnya. Core sampler hanya mampu membedakan mutu tebu (nilai nira) dari masing-masing truk/lori dengan pendekatan perhitungan NNPP dan KNT, sedangkan untuk menentukan besarnya rendemen perlu adanya rumus rendemen atau Faktor Rendemen (Santoso dan Bahri, 2004).

Pendekatan Core Sampler (PCS) adalah metode penetapan rendemen dengan cara mengambil sampel dengan pendekatan seperti pengambilan sampel dengan menggunakan alat Core Sampler.

2.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendemen 2.7.1. Varietas

Teknik bercocok tanam, meliputi pengolahan tanah, pemilihan varietas, jenis bibit, pemupukan dan waktu tanam yang tepat serta pemeliharaan yang baik, akan mendorong dihasilkannya rendemen serta bobot tebu yang tinggi, sehingga berpengaruh pada tingginya hasil gula per satuan luas kebun. Menurut Darmodjo (1995) kontribusi varietas terhadap produksi mencapai 60%. Potensi varietas tebu yang belum diintensifkannya program pemberdayaan varietas-varietas unggul baru merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas hasil gula di Indonesia (Lestari, H. 2000; Mirzawan, et al., 2001)

Upaya peningkatan produktivitas dengan menggunakan varietas unggul merupakan cara termurah dibandingkan cara lain, walaupun hal ini tidak dapat menyelesaikan keseluruhan masalah yang telah terjadi. Menurut Mirzawan, et al. (2001), penanaman varietas unggul baru yang lebih baik dari varietas yang telah ada dapat meningkatkan produktivitas jika kondisi lingkungan sesuai untuk varietas unggul tersebut dan varietas tersebut diperlakukan sesuai kebutuhannya.

(16)

Pemilihan suatu varietas tebu didasarkan kepada pertimbangan sifat kemasakan, tingkat kemantapan produksi, bakat rendemen tinggi, dan faktor-faktor lainnya (Sastrowijono dkk, 1984). Menurut Saputro (1998), varietas tebu yang baik dan diminati para praktisi mempunyai ciri-ciri antara lain : (1) Berdiameter besar, minimum 28 mm, karena dapat meningkatkan kapasitas tebang; (2) Tahan kepras, sekurang-kurangnya sampai 4 kali panen tebu kepras; (3) Tidak roboh; (4) Kanopi lebar, karena dapat menutup permukaan tanah sehingga menekan pertumbuhan gulma; dan (5) Ciri-ciri lain yang umum, yaitu rendemen tinggi, anakan cukup 3-4 batang, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, tidak berbunga serta daun tua mudah terkelupas.

2.7.2. Tingkat Keprasan

Tanaman tebu yang berasal dari kebun bibit datar (KBD) disebut dengan plant cane (PC). Tanaman ini langsung ditanam dari kebun pembibitan (Hendroko, et al. 1987). Setelah panen, umumnya petani tidak lagi menanam bibit tebu baru, melainkan dikepras dan ditumbuhkan kembali dari tunas-tunas yang masih ada. Tanaman seperti ini disebut dengan ratoon atau tanaman keprasan. Menurut survai yang dilakukan Ditjen BP Perkebunan Departemen Pertanian (2004), petani menanam tanaman keprasan (ratoon) sampai lebih dari 15 kali. Tingginya tingkat keprasan tersebut menurut Arsana, et al. (1997), disebabkan petani lebih suka memelihara tanaman keprasan karena biaya tanaman (bibit dan pemeliharaan awal) lebih murah meskipun produksinya relatif rendah yang antara lain disebabkan oleh potensi varietas keprasan yang rendah.

Hasil penelitian Rasyid (1992) melaporkan bahwa rendahnya produksi disebabkan oleh jumlah tunas keprasan yang gagal menjadi batang tebu layak giling hingga mencapai 51%. Persaingan tunas yang tumbuh pada tunas keprasan merupakan penyebab kematian tunas, akibatnya jumlah batang tebu produktif pada tanaman keprasan menjadi rendah. Pada akhirnya akan menurunkan tingkat rendemen yang dihasilkan.

(17)

2.7.3. Pemupukan

Unsur-unsur esensial seperti Nitrogen (N), Fosfat (P) dan Kalium (K) dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan ketersediaan yang terbatas di dalam tanah, maka unsur-unsur tersebut perlu ditambahkan melalui pemupukan. Oleh Dharmawan (1982) penggunaan pupuk dipandang sebagai cara yang paling mudah dan terpercaya untuk meningkatkan hasil pertanian. Tanaman tebu memerlukan ketersediaan hara untuk perkembangannya sejak satu hingga tiga-enam bulan pertama masa pertumbuhannya (Pawirosemadi, 1996), pada periode tersebut hara N, P dan K yang diperlukan sekitar 80 – 85% dari total kebutuhannya.

Pada tebu, unsur N dibutuhkan dalam jumlah tertentu tergantung varietas dan lokasi tempat tumbuhnya (Sahadi, 1997). Hasil penelitian Isro Ismail, Nugraharsi dan Kunhartono (1996), menyebutkan bahwa pemberian unsur N secara berlebihan dapat menghambat proses penimbunan gula dalam batang. Hal tersebut berakibat pada rendahnya kadar gula, menurunnya kualitas nira dan rendemen akan menurun.

Menurut Geus (1973), kekurangan hara K pada tanaman tebu menyebabkan penurunan produk hablur sebagai akibat dari terhambatnya proses fotosintesis dan penurunan kualitas nira. Fosfat memegang peranan dalam metabolisme pertumbuhan tebu dan pembentukan gula. Hasil penelitian Saputro dan Isro Ismail (1993) di PG Bungamayang, menyatakan bahwa pemberian pupuk TSP sebesar 7 kuintal per ha pada tanaman pertama (PC) akan meningkatkan jumlah batang, rendemen dan hasil kristal gula.

Soeparmono dan Ekosoni (1995) melaporkan hasil percobaan pupuk AS tablet di PG Rejoagung. Percobaan dilakukan di lahan sawah tetapi tidak berpengairan teknis, sehingga persediaan air relatif kurang. Pupuk yang digunakan adalah pupuk AS yang ada di pasaran kemudian ditabletkan dengan alat pembuat tablet.

(18)

Pengaruh pemupukan AS tablet tampak pada rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman umur 9 bulan dan bobot tebu per hektar. Pada dosis 6 ku AS per hektar, beda tinggi rata-rata 3,1%, sedangkan untuk bobot tebu per hektar saat panen perbedaannya rata-rata 3,48%. Hal ini memberikan informasi bahwa bentuk tablet memberikan efek penyerapan N lebih lama bagi tanaman tebu dibandingkan pupuk AS tabur.

2.7.4. Tingkat Kemasakan (Umur Tanaman)

Daur kehidupan tanaman tebu dimulai sejak stadia perkecambahan, pertunasan, perpanjangan batang, kemasakan dan akhirnya stadia kematian (Hendroko, et al. 1987). Kemasakan merupakan stadia yang terpenting, karena pada stadia ini terjadi pembentukan sukrosa, sebagai tujuan utama budidaya tebu.

Menurut Tjokrodirdjo (1992), proses kemasakan tebu dimanifestasikan dalam rendemen berjalan dari ruas ke ruas dan terus meningkat dengan bertambahnya umur tanaman sampai dicapai suatu titik maksimal. Setelah itu, tergantung antara lain pada varietas tebu dan kondisi tanaman, rendemen akan menurun (Sunantyo, 1992). Oleh karena itu, tebu seharusnya dipanen pada kemasakan optimal agar diperoleh hasil gula yang optimal pula. Pemanenan tebu sebelum atau kelewat masak akan menghasilkan tebu yang kadar gulanya tidak optimal karena mengandung bukan-gula yang lebih banyak.

2.7.5. Kewayuan (“Penundaan Giling”)

Tebu wayu selain kehilangan berat karena penguapan juga kehilangan kadar gula karena inversi, yaitu sukrosa diubah oleh enzim menjadi gula reduksi (Martoyo, 2000). Salah satu indikator tinggi-rendahnya rendemen tebu dan faktor terpenting dari beberapa faktor penentu kualitas nira adalah nilai nira dan kadar gula reduksi (Anonim, 1984). Pol merupakan resultan dari keberadaan sukrosa dan gula

(19)

reduksi dalam nira serta mempunyai hubungan langsung yang negatif dengan gula reduksi (Meade dan Chen, 1977).

Hal tersebut menunjukkan bahwa jika kadar gula reduksi semakin tinggi maka pol semakin rendah. Hasil penelitian Santoso, et al. (1996) menunjukkan bahwa kenaikan kadar gula reduksi sangat dipengaruhi oleh tebu yang tertunda giling. Setiap hari penundaan giling dapat meningkatkan kadar gula reduksi sebesar 0,35 poin dan 98,6% dari kenaikan kadar gula reduksi tersebut adalah kontribusi dari penundaan giling. Akibatnya, setiap hari penundaan giling akan memberikan kerugian penurunan rendemen sebesar 0,53 poin.

2.7.6. Kotoran (“Trash”)

Kotoran tebu terdiri dari antara lain klaras, pucukan, sogolan, akar dan tanah. Klaras atau daun kering tidak mengandung nira sehingga bila terikut dalam jumlah yang banyak akan menyumbangkan sabut sehingga jumlah sabut atau ampas per satuan tebu meningkat. Peningkatan kadar sabut akan mengurangi ekstraksi nira dan mengurangi kapasitas stasiun gilingan, berarti juga mengurangi gula yang diperoleh atau menurunkan rendemen (Martoyo, 2000).

Pucukan atau sogolan mengandung hanya sedikit gula tetapi banyak mengandung bukan-gula, jika terikut dalam tebu giling akan berdampak mengurangi perolehan gula karena penambahan bukan-gula akan menyebabkan gula terbawa ke dalam tetes. Tanah yang terbawa ke dalam ampas akan menyebabkan ampas sulit terbakar dan kapasitas stasiun ketel menurun, sedangkan jika tanah tersebut terbawa ke stasiun proses akan mempengaruhi proses pengendapan pada pemurnian nira karena bak pengendap (clarifier) penuh dengan lumpur sehingga hasil nira jernih mutunya rendah.

Hasil penelitian Yates (1996, dalam Martoyo, 2000) kotoran tebu akan menurunkan rendemen dengan kecepatan 0,125-0,25 poin per satuan (%) kotoran. Penelitian terakhir di beberapa pabrik gula di Australia oleh Kent (1999, dalam

(20)

Martoyo, 2000) dilaporkan bahwa kotoran tebu menyebabkan kapasitas giling turun 8 % dan rendemen turun 6,8 % untuk setiap 5 % kadar kotoran.

2.7.7. Brix dan Efisiensi Pabrik

Rendemen adalah perbandingan antara kristal nyata yang diperoleh dengan tebu digiling atau lebih dikenal dengan kristal nyata % tebu. Kristal nyata yang dimaksud disini adalah gula dalam nira tebu yang dapat dikristalkan menjadi gula kristal putih (GKP). Total gula dan kandungan bukan gula tersebut dikenal sebagai brix, yaitu satuan yang biasa digunakan dalam industri gula yang menyatakan persen berat/berat (b/b) zat padat terlarut suatu larutan (gula). Brix selain terdiri dari gula juga mengandung zat padat terlarut lainnya (Harisutji, 2001).

Hommes (1932 dalam Meade dan Chen, 1977) menyatakan tidak semua gula dalam nira tebu dapat dikristalkan, karena pengkristalan gula dipengaruhi oleh kandungan bukan gula yang ada dalam nira tebu, dengan rumus :

Kadar kristal = kadar gula – 0,4 x kadar bukan gula.

Dilain pihak, pabrik mempunyai kontribusi terhadap upaya penyelamatan kristal. Usaha untuk menyelamatkan kristal ini disebut dengan efisiensi pabrik. Dalam kenyataannya, salah satu faktor yang mempengaruhi petani tebu menggilingkan tebunya ke suatu pabrik adalah tinggi-rendahnya efisiensi tersebut. Banyak petani yang lebih memilih suatu pabrik tertentu karena pabrik tersebut memiliki tingkat efisiensi yang relatif lebih tinggi dari pabrik lainnya, dengan harapan akan memperoleh rendemen yang lebih tinggi, karena rendemen adalah hal yang penting yang menyangkut hasil bagi antara petani dan pabrik gula.

Gambar

Tabel 1.  Areal Tanam, Produktivitas dan Produksi Tebu
Tabel  2.   Rata-Rata Rendemen dan Produktivitas Gula Antar Beberapa Negara  Produsen
Tabel  3.  Komposisi Tebu
Gambar 1. Alur Pengolahan Tebu Menjadi Gula Kristal

Referensi

Dokumen terkait

1) Informasi pencapaian jumlah tebu digiling berdasarkan tahun. 2) Informasi jumlah tebu digiling berdasarkan wilayah.. Proses pengolahan data rendemen. 1) Proses mengolah data

Berdasarkan hasil observasi lapang terungkap bahwa kinerja pabrik gula BUMN secara umum makin tidak efisien, yang antara lain disebabkan oleh : (1) Rendahnya rendemen pasokan

Kolom (11), (12), (13) : Isikan kumulatif luas tanaman tebu yang digiling dalam hektar, kumulatif hasil tebu yang digiling dalam kuintal dan kumulatif produksi

Berdasarkan hasil observasi lapang terungkap bahwa kinerja pabrik gula BUMN secara umum makin tidak efisien, yang antara lain disebabkan oleh : (1) Rendahnya rendemen pasokan

(1) Dalam rangka mencapai peningkatan rendemen dan hablur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, batang tebu yang digiling merupakan milik petani dan pekebun tanaman tebu

Perkembangan Produksi Gula Kristal Putih di Seluruh Pabrik Gula di Pulau Jawa Tahun 2015 - 2020... PERKEMBANGAN PRODUKTIVITAS GULA KRISTAL PUTIH DI SELURUH PABRIK GULA

Penyelenggaraan perkebunan tebu khususnya usaha peningkatan rendemen dan hablur tanaman tebu serta efisiensi pabrik gula yang demikian sejalan dengan amanat dan jiwa Pasal

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul : Kajian Teknik Penetapan Rendemen Tebu Individual Petani Di Pabrik Gula Mojopanggung Tulung Agung, Jawa Timur adalah