• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindroma Koroner Akut

2.1.1 Definisi Sindroma Koroner Akut

Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan kumpulan sindroma klinis nyeri dada disebabkan oleh kerusakan miokard yang diistilahkan dengan infark miokard. SKA terdiri dari unstable angina (UA) atau angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard dengan ST-elevasi dan tanpa ST-elevasi. Ketiga keadaan tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam kardiovaskuler yang memerlukan tatalaksana yang baik untuk menghindari tejadinya suddent death (Ramrakha dan Hill, 2006).

Secara klinis, untuk mendiagnosis infark miokard menurut Supriyono (2008) diperlukan 2 (dua) dari 3 (tiga) kriteria sebagai berikut :

1. Terdapat riwayat klinis: perasaan tertekan dan nyeri pada dada (angina), selama 30 menit atau lebih.

2. Perubahan gambaran EKG: segmen ST elevasi lebih dari 0,2 mV paling sedikit 2 (dua) precordial leads, depresi segmen ST lebih besar dari 0,1 mV paling sedikit 2 (dua) leads, ketidaknormalan gelombang Q atau inversi gelombang T paling sedikit 2 (dua) leads.

3. Peningkatan enzim pada jantung terutama kreatinin kinase 2 (dua) kali lebih besar dari nilai normal pada pemeriksaan laboratorium dan peningkatan troponin yang diakibatkan adanya kerusakan miosit pada otot jantung.

Data dari GRACE terhadap pasien yang datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada ternyata diagnosis ST-Elevasi Miocardial Infraction (STEMI) yang terbanyak (34%), Non ST-Elevasi Miocardial Infraction (NSTEMI) (31%) dan Unstable Angina (UA) (29%) (Budaj dkk, 2011).

(2)

Tabel 2.1. Jumlah Kasus SKA Pasien % STEMI 34% NSTEMI 31% UAP 29% dan lain-lain 6% Sumber : Budaj dkk, 2003

2.2. Patofisiologi Sindroma Koroner Akut

Pada saat pembuluh darah normal mengalami kerusakan pada lapisan endotel. Faktor yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan endotel yaitu faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat vasokonstriktor, sitokin sel darah, asap rokok, peningkatan gula darah dan oksidasi LDL. Lapisan endotel yang rusak menjadi terganggu dan jaringan ikat pada pembuluh darah mengalami thrombogenik sehingga terjadi primary hemostasis. Primary hemostasis

merupakan tahap awal pertahanan terhadap pendarahan. Proses ini bermula hanya dalam beberapa saat setelah pembuluh rusak dan dicegah oleh adanya sirkulasi platelet. Platelet akan menempel pada kolagen subendotel pembuluh darah dan

beragregasi untuk membentuk “Platelet plug” (Young dan Libby, 2007). Kerusakan lapisan endotel pembuluh darah ini juga akan mengaktifkan cell

molecule adhesion seperti sitokin, TNF-α, growth factor, dan kemokin. Limfosit

T dan monosit akan teraktivasi dan masuk ke permukaan endotel lalu berpindah ke subendotel sebagai respon inflamasi. Monosit berproliferasi menjadi makrofag dan mengikat LDL teroksidasi sehingga makrofag membentuk sel busa. Akibat kerusakan endotel menyebabkan respon protektif dan terbentuk lesi fibrous, plak aterosklerotik yang dipicu oleh inflamasi. Respon tersebut mengaktifkan faktor Va dan VIIIa yang akan membentuk klot pada pembuluh darah. Teraktivasinya kedua faktor tersebut dapat dipicu karena tidak terbentuknya protein C oleh liver

(3)

klot (Young dan Libby, 2007).

Aterosklerosis berkontribusi dalam pembentukan thrombus. Hal ini dikarenakan teraktivasinya faktor VII dan X mengakibatkan terpaparnya sirkulasi darah oleh zat-zat thrombogenik yang akan menyebakan rupturnya plak dan hilangnya respon protektif seperti antithrombin dan vasodilator pada pembuluh darah. Penyebab gangguan plak ini disebabkan faktor kimiawi yang tidak stabil pada lesi aterosklerosis dan faktor stress fisik penderita. Disebakan adanya perkembangan klot pada pembuluh darah dan tidak terstimulusnya produksi NO dan prostasiklin pada lapisan endotel sebagai vasodilator sehingga terjadi disfungsi endotel. Dengan adanya ruptur plak dan disfungsi endotel, teraktivasinya kaskade koagulasi oleh pajanan tissue faktor dan terjadi agregasi platelet yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi thrombosis koroner (Young dan Libby, 2007).

Infrak miokard akut dengan segmen ST elevasi (STEMI) umumnya terjadinya jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak. Kematian sel-sel miokard yang disebakan infark miokard dapat mengakibatkan kekurangan oksigen. Sel-sel miokard mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen (Corwin, 2002). Akibat thrombus tersebut, kebutuhan ATP pembuluh darah untuk berkontraksi berkurang, hal ini disebabkan kurangnya suplai oksigen sehingga pembentukan ATP berkurang. Keadaan ini berdampak pada metabolisme mitokondria sehingga terjadi perubahan proses pembentukan ATP menjadi anaerob glikolisis. Berkurangnya ATP menghambat proses, Na+ K+-ATPase, peningkatan Na+ dan Cl- intraselular, menyebakan sel menjadi bengkak dan mati (Fuster et al, 2011). Akibat kematian sel tercetus reaksi inflamasi yang menyebabkan terjadi penimbunan trombosit dan pelepasan faktor-faktor pembekuan dan membentuk plak thrombus. Jika plak aterosklerosis mengalami ruptur atau ulserasi dan terjadi ruptur lokal yang menyebabkan oklusi arteri koroner sehingga terjadilah infrak (Corwin, 2002).

(4)

Gambar 2.1. Patofisiologi terjadi sindroma koroner akut (Fuster et al, 2010)

2.3. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

Sindroma koroner akut (SKA) diklasifikasikan menjadi APTS, infark miokard akut dengan elevasi (STEMI) dan infark miokard akut tanpa ST-elevasi (NSTEMI).

2.3.1. Infark Miokard Akut dengan ST Elevasi (STEMI)

STEMI adalah sindroma klinis yang terjadi karena oklusi akut arteri koroner akibat thrombosis intrakoroner yang berkepanjangan sebagai akibat rupture plak aterosklerosis pada dinding koroner epikardial. Kerusakan miokard bergantung pada ada atau tidak kolateral, luas wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat, letak dan lama sumbatan aliran darah.

(5)

Berdasarkan American Heart Association guidelines, diagnosis ditegakkan dengan adanya nyeri dada / perasaan tidak nyaman yang bersifat substernal, lamanya lebih dari 20 menit, tidak hilang dengan istirahat disertai penjalaran, mual, muntah, keringat dingin, dan pada gambaran EKG dijumpai elevasi segmen ST > 1 mm pada 2 sadapan prekordial atau ekstremitas yang berhubungan dengan disertai adanya peningkatan enzim jantung (CK-MB, troponin) (Cannon and Braunwald, 2012).

Gambar 2.2. Diagram SKA Menurut ESC Guidelines (McGregor, 2007)

2.3.2. Infark Miokard Akut Tanpa Segmen ST-Elevasi (NSTEMI)

Berdasarkan American Heart Association guidelines, NSTEMI merupakan sindroma klinis dengan nyeri dada khas tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dengan gambaran EKG berupa depresi segmen ST persisten, gelombang T inverse atau mendatar atau EKG normal.

Mekanisme utama pada IMA tanpa elevasi segmen ST adalah proses akut thrombosis akibat rupturnya plak aterosklerosis, yang menyebabkan sumbatan aliran darah koroner mendadak. Secara klinis untuk mendiagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST jika didapat angina saat istirahat >20 menit, peningkatan intensitas, frekuensi, dan durasi angina (Cannon and Braunwald, 2012).

(6)

2.3.3. Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS)

APTS merupakan angina yang timbul saat istirahat dan semakin lama angina yang timbul semakin berat dengan gambaran EKG abnormal pada segmen ST atau EKG normal dan tidak terdapat peningkatan troponin.

Secara klinis Angina pektoris tidak stabil memiliki diagnosis yang sama dengan NSTEMI tetapi pada APTS tidak dijumpai kerusakan miokard dan dijumpai pada gambran EKG yang abnormal atau EKG normal dan juga tidak terjadi peningkatan troponin (Cannon and Braunwald, 2012).

2.4. Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut

Berdasarkan buku kardiologi oleh Bender (2006), diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko antara lain : faktor yang tidak dapat dikendalikan (nonmodifiable

factors) dan faktor yang dapat dikendalikan (modifiable factors). Faktor yang

dapat dikendalikan, yaitu: merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, makanan tinggi lemak, dan kurang aktivitas fisik. Sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan, yaitu: usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga.

2.4.1. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi a. Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang menetap (Dorlan, 2002). Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan tekanan darah sistolik normal dibawah 120 mmHg dan tekanan darah diastolik dibawah 80 mmHg. Hipertensi dikategorikan menjadi dua grade yaitu dengan katergori hipertensi grade 1 dan hipertensi grade 2 (Fuster et al, 2010).

(7)

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII Kategori Tekanan Darah Sistolik (mm Hg) Tekanan Darah Diastolik (mm Hg) Normal <120 Dan <80 Prehipertensi 120-139 Dan 81-89 Hipertensi Tingkat 1 140-159 Atau 90-99 Tingkat 2 ≥ 160 Atau ≥100

Sumber: Fuster et al, 2010

Hipertensi pada koroner jantung biasanya disebabkan meningkatnya tekanan darah dan mempercepat timbulnya aterosklerosis. Peningkatan tekanan darah menyebabkan beban jantung menjadi berat, sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (faktor miokard) pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Peningkatan tekanan darah yang menetap, menurut Anwar (2004), akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam penggunaan oksigen oleh miokardium.

b. Lipid

Lipid atau lemak mempunyai beberapa komponen yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas. Kolesterol, trigliserida, fosfolipid tidak larut dalam air yang terdapat di usus halus bergabung dengan apolipoprotein diangkut dalam bentuk komponen yang disebut lipoprotein. Tubuh membentuk empat jenis lipoprotein, yaitu kilomikron, VLDL (Very Low Density Lipoprotein), LDL (Low Density Lipoprotein), dan HDL (High Density Lipoprotein) (Almatsier, 2004).

Keempat lipoprotein yang dibentuk oleh tubuh mempunyai fungsi masing-masing. Kilomikron berfungsi mengemulsi lemak sebelum masuk ke dalam aliran darah. Kilomikron akan mengemulsi trigliserida yang ada di kilomikron menjadi

(8)

asam lemak yang dapat langsung digunakan sebagai zat energi. VLDL dibentuk di hati kemudian mengikat kolesterol yang ada pada lipoprotein lain dalam sirkulasi darah. VLDL bertambah berat dan menjadi LDL. HDL berfungsi mengambil kolesterol dan fosfolipid yang ada di dalam aliran darah lalu menyerahkannya ke lipoprotein lain untuk diangkut kembali ke hati guna diedarkan kembali atau dikeluarkan dari tubuh (Almatsier, 2004).

Hiperlidemia merupakan meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah (Dorland, 2002). Secara klinis, hiperlipidemia dinyatakan sebagai hiperkolesterolemia, hipertrigliserida atau keduanya yang merupakan akumulasi berlebih salah satu lemak utama dalam darah sebagai kelainan metabolisme ataupun kelainan transportasi lemak (Waspadji, 2003). Pada buku Hurst’s

dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada jantung. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan mengalami aterosklerosis (Fuster et al, 2010). Hiperlipidemia juga disebabkan karena abnormalnya lipoprotein dalam darah. Hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL kolesterol dan menurunnya HDL kolesterol (Kumar et al, 2010).

Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dapat mengindikasikan adanya faktor risiko untuk aterosklerosis. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dL pada orang berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dL untuk berusia lebih dari 30 tahun (Corwin E. J, 2001). Bila kadar kolersterol di atas 200 mg/dL merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia berkaitan erat dengan proses aterosklerosis pada usia 30-49 tahun, bila kadar kolesterol mencapai 260 mg/dL, kemungkinan terjadinya klinis aterosklerosis 3-5 kali dibandingkan dengan kadar kolesterol 220 mg/dL. Di bawah usia 50 tahun, hiperkolesterolemia mengungguli faktor risiko hipertensi, obesitas dan faktor lainnya (Waspadji, 2003).

(9)

Tabel 2.3. Frekuensi Hiperlipidemia Menjadi Penderita Infark Miokard

Kelahiran

% jumlah menjadi penderitaan infrak miokard

Umur < 60 tahun Umur > 60 tahun

1. Monogenik hiperlipidemia 20,6 7,5 a. Hiperkolesteremia 4,1 0,7 b. Hipertrigliserida 5,2 2,7 c. Campuran 11,3 4,1 2. Poligenik hiperkolesterolemia 5,5 5,5 3. Sporadik hiperkolesterolemia 5,8 6,9 Sumber : Waspadji, 2003 c. Merokok

Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar pada penyakit tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001, jumlah perokok di Indonesia sebesar 31,8%. Jumlah ini meningkat menjadi 32% pada tahun 2003, dan meningkat lagi menjadi 35% pada tahun 2004. Pada tahun 2006, The Global

Youth Survey (GYTS) melaporkan 64,2% atau 6 dari 10 anak sekolah yang

disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga (37,3%) pelajar biasa merokok, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9% atau 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah 10 tahun. Data Riset Riskesdas 2007 juga memperlihatkan tingginya penduduk yang merokok. Jumlah perokok aktif penduduk umur > 15 tahun adalah 35.4% (65.3% laki-laki dan 5.6% wanita), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan (Depkes, 2007).

Merokok dapat merubah metabolisme, khususnya dengan meningkatnya kadar kolersterol darah dan di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya penyakit jantung koroner (Waspadji, 2003).

(10)

Penelitian Framingham dalam Prof T.B. Anwar (2004), mendapatkan kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih dari pada bukan perokok. Hal ini disebabkan meningkatnya beban miokard yang dipicu oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO

sehingga menimbulkan tahikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi karboksi -Hb. Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL kolesterol makin menurun. Penurunan kadar HDL kolesterol pada perempuan lebih besar dibandingkan laki–laki perokok. Efek merokok ini akan berdampak langsung pada peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok.

Tabel 2.4. Tingkat Morbiditas Penyakit Koroner yang Berhubungan dengan Merokok

Pola Merokok Rasio Insiden

Bukan perokok 58

Hanya perokok cerutu dan pipa 71

Perokok sigaret

Sekitar ½ bungkus per hari 104

Sekitar 1 bungkus per hari 120

Lebih dari 1 bungkus per hari 183

Sumber : Waspadji, 2003

Merokok juga dapat mengubah konsentrasi serum lemak, terjadi peningkatan peroksidasi LDL lalu dimetabolisme oleh makrofag, gangguan intoleransi glukosa dan resistensi insulin sehingga terjadi peningkatan tekanan darah (Frati et al, 1996). Jika frekuensi dan intensitas merokok meningkat, maka kecendrungan terjadi kerusakan pembuluh darah lebih tinggi sehingga lebih mudah terjadi aterosklerosis.

(11)

d. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemia dan hiperlipidemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin atau keduanya (Waspadji, 2003). Dalam penelitian Suyono (2003), diabetes melitus merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan perbandingan dua kali lebih tinggi dibanding non diabetes melitus. Diabetes melitus bukan merupakan faktor tunggal risiko penyakit jantung koroner namun obesitas, hipertensi, dan hiperlipidemia juga sering menggambarkan gangguan karbohidrat. Dengan tingginya kadar insulin pada penderita DM dalam sirkulasi darah menjadi salah satu faktor meningkatnya aterosklerosis.

Menurut Supriyono (2008), yang dimaksud dengan penderita DM dengan kadar gula darah puasa >120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl akan cenderung mengalami aterosklerosis pada usia yang lebih dini dan penyakit yang ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes dari pada non-diabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak penting dalam metabolisme lipid dan kelainan-kelainan lipid pada penderita diabetes. Selain meupakan faktor risiko penyakit jantung koroner, diabetes berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen).

Penelitian Prof T. B. Anwar (2004) menunjukkan laki-laki yang menderita DM risiko penyakit jantung koroner 50% lebih tinggi daripada orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian Waspadji (2003) menunjukkan adanya hubungan penderita DM dengan penyakit jantung koroner.

(12)

Tabel 2.5. Distribusi Penderita Infark Miokard Akut dengan DM yang Meninggal Menurut Kelompok Umur.

Kelompok Umur

Infrak Miokard Akut + DM

Infrak Miokard Akut Non DM

Jumlah Kematian % Jumlah Kematian %

20–29 tahun 0 0 0,0 2 0 0,0 30–39 tahun 2 0 0,0 8 1 12,5 40–49 tahun 1 0 0,0 16 4 25,0 50–59 tahun 17 3 17,6 45 8 17,8 60–69 tahun 6 2 33,3 31 6 19,3 ≥ 70 tahun 14 6 42,8 29 2 6,9 40 11 131 21 P<0,01 Sumber: Waspadji, 2003 e. Obesitas

Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan dengan mengakumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa. Akibat akumulasi lemak tersebut meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/diabetes melitus, hiperlipidemia, gangguan fibrinolisis, dan hipertensi (Sugondo, 2002).

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator untuk menentukan berat badan lebih yang praktis dan obesitas pada orang dewasa dengan perhitungan berat badan dalam kg dibagi tinggi dalam meter kuadrat (Sugondo, 2002).

(13)

Tabel 2.6. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut WHO

Klasifikasi IMT (kg/m²)

Berat Badan Kurang <18,5

Kisaran Normal 18,5–24,9

Berat Badan Lebih >25

Pra-Obes 25,0–29,9

Obes Tingkat I 30,0–34,9

Obes Tingkat II 35,0–39,9

Obes Tingkat III >40

Sumber : Sugondo, 2006

Menurut Waspadji (2003), obesitas merupakan faktor independen terhadap penyakit jantung koroner. Obesitas berhubungan erat dengan kadar kolesterol serum, tekanan darah, dan toleransi glukosa. Dan obesitas tidak berdiri sendiri sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner, obesitas akan berpengaruh terhadap aterosklerosis melalui hubungannya dengan hipertensi, hiperlipidemia dan DM. Pada penelitiannya menunjukkan penderita yang BMI atau IMT >25 lebih banyak yang menderita PJK daripada kontrol.

Tabel 2.7. Body Mass Index pada Penderita PJK dan Kontrol

BMI PJK Kontrol N % N % < 25 24 51,1 34 72,3 25–30 23 48,9 13 27,7 > 30 - - - -Jumlah 47 100,0 47 100,0 Sumber : Waspadji, 2003 f. Stres

Stres, baik fisik maupun mental merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung koroner. Pada masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab utama stres dan terdapat hubungan yang saling berkaitan antara stres dan

(14)

abnormalitas metabolisme lipid. Stres juga merangsang sistem kardiovaskuler dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut jantung dan menimbulkan vasokonstriksi (Supriyono, 2008).

g. Kurangnya Aktivitas Fisik

Pada penelitian observasional dalam buku Cardiology (Bender et al, 2011), menunjukkan ada hubungan kuat antara aktivitas fisik dengan penyakit koroner. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkatan aktivitas fisik seseorang, semakin banyak seseorang melakukan aktivitas fisik semakin rendah risiko terjadinya penyakit jantung koroner.

Menurut penelitian Supriyono (2008), latihan fisik dapat meningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif. Olahraga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, dan memperbaiki sirkulasi koroner. Akibat kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan kegemukan maka akan menyebabkan orang yang kurang aktivitas menjadi gemuk. Pada umumnya seseorang yang gemuk kurang aktif daripada seseorang dengan berat badan normal (Waspadji, 2003).

2.4.2. Faktor Risiko yang tidak dapat dimodifikasi a. Usia

Pada penelitian Hanafiah (1993) terjadi peningkatan pasien infrak miokard akut (IMA) di bawah usia 45 tahum dari 7% (1985) menjadi 18% (1991) dan mayoritas penderita IMA adalah pria dibawah usia 45 tahun. Laki-laki ( 30 – 45 tahun) mengalami SKA lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause, insidennya meningkat pada perempuan) (Russ dan Fagan, 2002). Hal ini dikarenakan kadar kolesterol perempuan sebelum menopause (45-60 tahun) lebih rendah daripada laki-laki dengan usia yang sama.

(15)

tahun telah dijumpai penderita penyakit jantung koroner. Pada umur tersebut telah terjadi komplikasi plak-plak dalam pembuluh darah dan dapat mengalami perkapuran. Plak-plak ini terus meningkat dengan bertambahnya umur.

Tabel 2.8. Golongan Usia pada Penderita Penyakit Jantung Koroner dan Kontrol

Golongan Umur PJK Kontrol

N % N % 30–39 6 12,8 6 12,8 40–49 8 17,0 8 17,0 50–59 20 42,5 20 42,5 60–69 6 12,8 6 12,8 ≥ 70 7 14,9 7 14,9 Jumlah 47 100,0 47 100,0 Sumber : Waspadji, 2003

Menurut Prof. T. B. Anwar (2004), risiko penyakit jantung koroner pada penurunkan kadar kolesterol pada usia tua sangat bermanfaat. Hal tersebut dibuktikan dengan penurunkan kadar kolesterol total 1% pada penderita, maka terjadi penurunan 2% serangan jantung sehingga bila kadar kolesterol dapat diturunkan 15% maka risiko penyakit jantung koroner akan berkurang 30%.

b. Jenis Kelamin

Laki-laki mengalami sindrom koroner akut lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause, insidennya meningkat pada perempuan) (Russ dan Fagan, 2002). Hal ini dikarenakan kadar kolesterol perempuan sebelum menopause (45-60 tahun) lebih rendah daripada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar kolesterol perempuan biasanya akan meningkat menjadi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal tersebut terjadi karena pada perempuan menopause mengalami penurunan produksi hormon estrogen dimana fungsi hormon estrogen dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Anwar, 2004).

(16)

c. Suku / Ras.

Pada kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki mendominasi kematian akibat penyakit jantung koroner, tetapi lebih nyata pada kulit putih dan lebih serinditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua.

Onset penyakit jantung koroner pada wanita kulit putih umumnya 10 tahun lebih

lambat dibanding pria, dan pada wanita kulit berwarna lebih lambat sekitar 7 (tujuh) tahun. Insidensi kematian dini akibat penyakit jantung koroner pada orang Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibia (Supriyono, 2008).

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi, hiperkolesterolemia, dan diabetes melitus dipengaruhi oleh faktor genetik. Kedua hal tersebut berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerosis (Bahri, 2004). Penyakit jantung koroner juga merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerosis (Supriyono, 2008).

2.5. Pencegahan

Pencegahan merupakan salah satu upaya menurunkan angka kejadian suatu penyakit. Pencegahan penyakit jantung koroner meliputi atas pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya proses patologis yang mendasari penyakit jantung koroner, mencegah timbulnya aterosklerosis, dengan cara memberantas faktor-faktor risiko, dan mencegah timbulnya hipertensi dengan membatasi konsumsi garam. Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya serangan ulang atau progresifitas penyakit jantung koroner (Bagindo, 1992). Menurut Majid (2008), pencegahan penyakit kardiovaskuler harus dimulai sejak umur 20 tahun. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner, merokok, diet, dan aktivitas fisik harus secara rutin dipantau. Tekanan darah, kadar kolesterol, kadar gula darah (KGD puasa <110 mg/dL), dan indeks masa tubuh harus diperiksa 2 tahun.

(17)

1. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat luas mengenai faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner (Bagindo, 1992).

2. Meningkatkan pembinaan pola hidup sehat, termasuk di dalamnya kebersihan perorangan dan lingkungan, tidak merokok, memeriksakan tekanan darah (<140/90 mmHg) secara teratur, makanan seimbang, menjaga berat badan ideal, mengendalikan stres dan olahraga teratur (Bagindo, 1992).

3. Meningkatkan konsumsi makanan yang bervariasi seperti buah, sayur, sereal, roti, ikan, dan makanan rendah lemak (Graham, 2007).

4. Berjalan sepanjang 3 km setiap hari atau melakukan aktivitas sedang selama 30 menit (Graham, 2007).

Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan untuk pencegahan sekunder (Bagindo, 1992), antara lain adalah :

1. Penggunaan aspirin dan meneruskan penanggulangan faktor risiko. 2. Menyebarluaskan informasi tentang tanda-tanda serangan jantung.

Gambar

Tabel 2.1. Jumlah Kasus SKA Pasien % STEMI 34% NSTEMI 31% UAP 29% dan lain-lain 6% Sumber : Budaj dkk, 2003
Gambar 2.1. Patofisiologi terjadi sindroma koroner akut (Fuster et al, 2010)
Gambar 2.2. Diagram SKA Menurut ESC Guidelines (McGregor, 2007)
Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII Kategori Tekanan Darah Sistolik (mm Hg) Tekanan Darah Diastolik (mm Hg) Normal &lt;120 Dan &lt;80 Prehipertensi 120-139 Dan 81-89 Hipertensi Tingkat 1 140-159 Atau 90-99 Tingkat 2 ≥ 160 Atau ≥100
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tahap pelaksanaan eksperimen adalah bagian terpenting dalam penelitian ini. Di sini peneliti harus memberikan perlakuan kepada sampel penelitian, yaitu kelas eksperimen 1 dan

men  j  jad adii pengha penghallang ang un unttuk uk be bella a  j  jar  ar  .. a al i l in nii pen penti ting ng agar  agar  tterc erciip ptta a sebuah sebuah lilingkungan ngkungan

 Dengan mengamati contoh sikap perilaku patuh pada aturan/kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan sehari hari di rumah, siswa dapat berperilaku patuh di sekolah.  Contoh

Agar-agar tepung dimasukkan dalam kertas glasin yang dilapisi lilin atau dapat juga dimasukkan plastik kemudian dibungkus dengan kertas1.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat penggunaan, pengetahuan, sikap siswa – siswi SMA/SMK terhadap obat batuk yang mengandung Dextromethorphan HBr di Kabupaten

Dalam hal ini penerimaan sampel harus sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI) dimana ada parameter-parameter yang harus di sesuaikan, antara lain jumlah volume

Oleh karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari  0,05, maka model regresi dapat dipakai untuk memprediksi kemampuan shooting dalam permainan bola

Adapun rata-rata kecernaan BK= 84,68%, kecernaanPK = 65,99%, sedangkan pemanfaatan protein sebesar 43,14%.Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggantian bahan