BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Struktur Modal
Struktur Modal merupakan pilihan pendanaan antara utang dan ekuitas. Struktur modal (yang ditargetkan) adalah bauran utang, saham preferen, dan saham biasa yang direncanakan perusahaan untuk menambah modal (Brigham dan Housten, 2001: 6). Struktur modal secara singkat juga dapat diartikan sebagai paduan sumber dana jangka panjang yang digunakan oleh perusahaan (Keown, 2000: 542). Sementara itu, Riyanto (2001: 22) mendefinisikan struktur modal sebagai pembelanjaan permanen di mana mencerminkan perimbangan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri.
B. Teori-teori Struktur Modal
Struktur Modal merupakan masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan. Untuk mengukur Struktur Modal tersebut maka dapat digunakan beberapa Teori yang menjelaskan Struktur Modal dalam suatu Perusahaan. Teori yang menjelaskan hal tersebut antara lain :
1. Pendekatan Tradisional
Menurut pandangan tradisional, terdapat struktur modal optimal. Struktur modal dapat diubah-ubah sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh suatu struktur modal yang optimal (Hanafi, 2004: 297). Struktur modal optimal adalah kombinasi dari utang dan ekuitas yang memaksimumkan harga saham perusahaan
(Brigham dan Houston, 2001: 45). Dengan demikian, menurut pendekatan tradisional tersebut struktur modal mempengaruhi nilai perusahaan.
2. Pendekatan Modigliani dan Miller
Pendekatan atau teori yang dikemukakan oleh Modigliani dan Miller merupakan sanggahan dari pendekatan tradisional. Menurut Modigliani dan Miller, struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Tidak menjadi masalah bagaimana perusahaan membiayai operasinya; jadi keputusan struktur modal tidak memiliki relevansi dengan nilai perusahaan (Brigham dan Houton, 2001: 31).
Teori ini sangat ketat dengan asumsi yang tidak realistis, yaitu: (1) tidak adanya biaya broker, (2) tidak ada pajak, (3) tidak ada biaya kebangkrutan, (4) investor dapat meminjam dana dengan bunga yang sama dengan bunga perusahaan, (5) semua investor memiliki informasi yang sama mengenai peluang masa depan, dan (6) laba sebelum interest pajak (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang (Brigham dan Houton, 2001: 31).
Meskipun teori ini memiliki kelemahan-kelemahan khususnya pada asumsi yang digunakan, namun teori ini menjadi awal dari pemikiran mengenai pemikiran tentang struktur modal modern. Modigliani dan Miller dalam pendekatan selanjutnya, melakukan pengurangan-pengurangan pada beberapa asumsinya.
Modigliani dan Miller dalam teori awalnya mengasumsikan tidak ada pajak, tetapi dalam kenyataannya pajak tersebut ada. Peraturan perpajakan memperbolehkan pengurangan pembayaran bunga sebagai biaya, tetapi pembayaran dividen kepada pemegang saham tidak dapat dikurangkan. Pajak dibayarkan kepada pemerintah, yang berarti merupakan aliran kas keluar. Utang dapat digunakan untuk menghemat pajak, karena bunga dapat dikurangkan dari pajak. Perlakuan yang berbeda ini mendorong perusahaan menggunakan utang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teori ini akhirnya juga akan membawa pada pemikiran yang tidak realistik, karena secara tidak langsung menganjurkan perusahaan untuk menggunakan utang 100% dalam struktur modalnya agar dapat diperoleh pengurangan pajak secara maksimal.
3. Teori Trade-Off
Dalam kenyataannya, terdapat hal-hal yang membuat perusahaan tidak dapat menggunakan utang sebanyak-banyaknya apalagi sampai 100% dalam struktur modalnya. Salah satu hal penting berkaitan dengan utang adalah, semakin tinggi utang maka akan semakin tinggi kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan (Hanafi, 2004: 309). Hal ini disebabkan dengan semakin tingginya utang, maka bunga yang harus dibayar juga tinggi dan jika perusahaan tidak mampu membayarnya maka perusahaan akan diklaim bangkrut oleh kreditur.
Kebangkrutan akan menimbulkan biaya kebangkrutan yang tidak sedikit. Biaya kebangkrutan ini meliputi: biaya langsung, yaitu biaya dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, biaya pengacara, biaya akuntan, dan biaya lain
yang relevan, dan biaya tidak langsung seperti: akibat suplier tidak bersedia lagi menyuplai barang, sehingga perusahaan harus berganti suplier.
Biaya lain yang timbul dari semakin tingginya jumlah utang perusahaan adalah biaya keagenan utang (agency cost of debt). Ketika utang meningkat, maka konflik yang terjadi antar kreditur dengan pemegang saham cenderung meningkat karena pemegang saham memiliki potensi mengalami kerugian yang lebih besar dibandingkan kreditur. Dalam kondisi demikian, kreditur akan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan yang mana mengakibatkan timbulnya biaya pengawasan yang dibebankan kepada perusahaan.
Jadi pada dasarnya teori ini menyatakan adanya suatu trade-off dalam penggunaan utang. Peningkatan utang akan meningkatkan nilai perusahaan, namun demikian sampai batas tertentu peningkatan jumlah penggunaan utang justru akan menurunkan atau mengurangi nilai perusahaan. Teori ini dalam kenyataannya juga belum dapat memberikan petunjuk sampai seberapa besar utang harus digunakan oleh perusahaan agar diperoleh struktur modal yang optimal.
4. Teori Packing-Order
Teori packing-order ini pada dasarnya hanya menjelaskan urut-urutan proses pendanaan yang dilakukan perusahaan, tidak menjelaskan mengenai struktur modal yang harus dimiliki perusahaan untuk mencapai struktur modal optimal atau untuk mencapai nilai perusahaan yang maksimum.
Menurut teori ini, manajer keuangan tidak memikirkan tingkat utang atau struktur modal yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Jika perusahaan memiliki kesempatan investasi, maka perusahaan akan mencari dana untuk mendanai kebutuhan investasi tersebut. Pada awalnya perusahaan akan menggunakan dana internal, selanjutnya jika dana internal tersebut tidak mencukupi perusahaan akan menerbitkan saham.
C. Faktor-faktor Penentu Struktur Modal
Menurut (Riyanto, 2001: 297) faktor-faktor penentu struktur modal peru-sahaan adalah tingkat bunga, stabilitas earning dan susunan aset.
a. Tingkat Bunga
Pada waktu perusahaan merencanakan pemenuhan kebutuhan modal sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga yang berlaku pada waktu itu. Tingkat bunga akan mempengarahi pemilihan jenis modal apa yang akan ditarik, apakah perusahaan akan mengeluarkan saham atau obligasi.
b. Stabilitas Earning
Stabilitas dan besarnya earning yang diperoleh oleh suatu perusahaan akan menentukan apakah perusahaan tersebut dibenarkan untuk menarik modal dengan biaya bunga tetap atau tidak. Suatu perusahaan yang mempunyai
earning stabil umumnya akan selalu dapat memenuhi kewajiban finansialnya sebagai akibat dari penggunaan modal asing. Sebaliknya, perusahaan yang mempunyai earning tidak stabil dan unpredictable akan menanggung risiko tidak dapat membayar beban bunga atau tidak dapat membayar angsuran-angsuran utangnya pada tahun-tahun atau keadaan yang buruk. Perusahaan
public utilities misalnya rumah sakit, di mana mempunyai earning yang relatif stabil dapat mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh pinjaman atau penarikan modal asing dibandingkan dengan perusahaan industri barang-barang mewah.
c. Susunan Aset
Kebanyakan perusahaan industri di mana sebagian besar dari modalnya tertanam dalam aset tetap (fixed assets), akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan modalnya dari modal yang permanen, yaitu modal sendiri, sedang modal asing sifatnya adalah sebagai pelengkap. Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya aturan struktur finansial konservatif yang horizontal yang menyatakan bahwa besarnya modal sendiri hendaknya paling sedikit dapat menutup jumlah aset tetap plus aset lain yang sifatnya permanen. Dan perusahaan yang sebagian besar dari asetnya sendiri dari aset lancar akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan dananya dengan utang jangka pendek.
d. Kadar Risiko dari Aset
Tingkat atau kadar risiko setiap aset dalam perusahaan adalah tidak sama. Makin panjang jangka waktu penggunaan suatu aset di dalam perusahaan, makin besar derajat risikonya. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tak ada henti-hentinya, dalam artian ekonomis dapat mempercepat tidak digunakannya suatu aset, meskipun dalam artian teknis masih dapat digunakan. Dalam hubungan ini kita mengenal adanya prinsip aspek risiko di dalam ajaran pembelanjaan perusahaan, yang menyatakan bahwa apabila ada aset yang peka risiko, maka perusahaan harus lebih banyak membelanjai dengan modal sendiri, modal yang tahan risiko, dan sedapat mungkin mengurangi pembelanjaan dengan modal asing atau modal yang takut risiko. Dengan ringkas dapatlah dikatakan bahwa makin lama modal harus diikatkan, makin tinggi derajat risikonya, makin mendesak keperluan akan pembelanjaan seluruhnya atau sebagian besar dengan modal sendiri.
e. Besarnya Jumlah Modal yang Dibutuhkan
Besarnya jumlah modal yang dibutuhkan juga berpengaruh terhadap jenis modal yang akan ditarik. Apabila jumlah modal yang dibutuhkan sekiranya dapat dipenuhi hanya dari satu sumber saja, maka tidaklah perlu mencari sumber lain. Sebaliknya apabila jumlah modal yang dibutuhkan adalah sangat besar. sehingga tidak dapat dipenuhi dari satu sumber saja (misalnya dengan saham biasa), maka perlu dicari sumber yang lain (misalnya dengan saham preferen atau obligasi). Dengan ringkas dapatlah dikatakan bahwa apabila
jumlah modal yang dibutuhkan sangat besar, maka dirasakan perlu bagi perusahaan tersebut untuk mengeluarkan beberapa jenis surat berharga secara bersama-sama, sedangkan bagi perusahaan yang membutuhkan modal yang tidak begitu besar cukup hanya mengeluarkan satu jenis surat berharga saja. f. Keadaan Pasar Modal
Keadaan pasar modal sering mengalami perubahan disebabkan karena adanya gelombang konjungtur. Pada umumnya apabila gelombang meninggi (up swing) para investor lebih tertarik untuk menanamkan modalnya dalam saham. Berhubungan dengan itu maka perusahaan dalam rangka usaha untuk mengeluarkan atau menjual surat berharga haruslah menyesuaikan dengan keadaan pasar modal tersebut.
g. Sifat Manajemen
Sifat manajemen mempunyai pengaruh langsung terhadap pengambilan keputusan mengenai cara pemenuhan kebutuhan dana. Seorang manajer yang bersifat optimis mempunyai keberanian untuk menanggung risiko yang besar (risk seeker), akan lebih berani untuk membiayai pertumbuhan penjualannya dengan dana yang berasal dari utang (debt financing) meskipun metode pendanaan dengan utang ini memberikan beban finansiil yang tetap. Sebaliknya seorang manajer yang bersifat pesimis, yang serba takut untuk menanggung risiko (risk averter) akan lebih suka membelanjai pertumbuhan penjualannya dengan dana yang berasal dari sumber intern atau dengan modal saham (equity financing) yang tidak mempunyai beban financial yang tetap. h. Besarnya Perusahaan
Suatu perusahaan yang besar di mana sahamnya tersebar sangat luas, setiap perluasan modal saham hanya akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kemungkinan hilangnya atau tergesernya pengendalian dari pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Sebaliknya pada perusa-haan kecil di mana sahamnya hanya tersebar di lingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan hilangnya pengendalian pihak dominan terhadap perusahaan yang ber-sangkutan. Dengan demikian, pada perusahaan besar di mana sahamnya tersebar sangat luas akan lebih berani mengeluarkan saham baru dalam memenuhi kebutuhannya untuk membiayai pertumbuhan penjualan dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Sedangkan menurut Brigham dan Houston (2001: 39), faktor-faktor yang berpengaruh pada pengambilan keputusan struktur modal adalah:
a. Stabilitas Penjualan
Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil dapat lebih aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan menanggung beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang penjualannya tidak stabil. Pe-rusahaan umum, karena permintaan atas produk atau jasanya stabil, secara historis mampu menggunakan lebih banyak leverage keuangan daripada pe-rusahaan industri.
b. Struktur Aset
Perusahaan yang asetnya sesuai untuk dijadikan jaminan kredit cenderung lebih banyak menggunakan banyak utang. Aset multiguna yang dapat
digunakan oleh banyak perusahaan merupakan jaminan yang baik, sedangkan aset yang hanya digunakan untuk tujuan tertentu tidak begitu baik untuk dijadikan jaminan. Karena itu, perusahaan real estate biasanya mempunyai leverage yang tinggi, sedangkan perusahaan yang terlibat dalam penelitian teknologi tidak demikian.
c. Leverage Operasi
Jika hal-hal lain tetap sama, perusahaan dengan leverage operasi yang lebih kecil cenderung lebih mampu untuk memperbesar leverage keuangan karena ia akan mempunyai risiko bisnis yang lebih kecil.
d. Tingkat pertumbuhan
Jika hal-hal lain tetap sama, perusahaan yang tumbuh dengan pesat harus lebih banyak mengandalkan modal eksternal. Lebih jauh Iagi, biaya pengembangan untuk penjualan saham biasa lebih besar daripada biaya untuk penerbitan surat utang, yang mendorong perusahaan untuk lebih banyak mengandalkan utang. Namun, pada saat yang sama perusahaan yang tumbuh dengan pesat sering menghadapi ketidakpastian yang lebih besar, yang cenderung mengurangi keinginannya untuk menggunakan utang.
e. Profitabilitas
Seringkali pengamatan menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi menggunakan utang yang relatif kecil. Meskipun tidak ada pembenaran teoritis mengenai hal ini, namun penjelasan praktis atas kenyataan ini adalah bahwa perusahaan yang sangat menguntungkan, seperti Intel, Microsoft, dan Coca-Cola memang tidak
me-merlukan banyak pembiayaan dengan utang. Tingkat pengembaliannya yang tinggi memungkinkan mereka untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan mereka dengan dana yang dihasilkan secara internal.
f. Pajak
Bunga merupakan beban yang dapat dikurangkan untuk tujuan perpajakan, dan pengurangan tersebut sangat bernilai bagi perusahaan yang terkena tarif pajak yang tinggi. Karena itu, makin tinggi tarif pajak perusahaan, makin besar manfaat penggunaan utang.
g. Pengendalian
Pengaruh utang lawan saham terhadap posisi pengendalian manajemen dapat mempengaruhi struktur modal. Apabila manajemen saat ini mempunyai hak suara untuk mengendalikan perusahaan (mempunyai saham lebih dari 50 persen) tetapi sama sekali tidak diperkenankan untuk membeli saham tambahan, mereka mungkin akan memilih utang untuk pembiayaan baru. Di lain pihak, manajemen mungkin memutuskan untuk menggunakan ekuitas jika kondisi keuangan perusahaan sangat lemah sehingga penggunaan utang dapat membawa perusahaan pada risiko kebangkrutan, karena jika perusahaan jatuh bangkrut, para manajer tersebut akan kehilangan pekerjaan. Tetapi, jika utangnya terlalu kecil, manajemen menghadapi risiko pengambilalihan. Jadi, pertimbangan pengendalian tidak selalu menghendaki penggunaan utang atau ekuitas karena jenis modal yang memberi perlindungan terbaik bagi manajemen bervariasi dari suatu situasi ke situasi yang lain. Bagaimanapun,
jika posisi manajemen sangat rawan, situasi pengendalian perusahaan akan dipertimbangkan.
h. Sikap manajemen
Manajemen dapat melakukan pertimbangan sendiri terhadap struktur modal yang tepat. Sejumlah manajemen cenderung lebih konservatif daripada manajemen lainnya, sehingga menggunakan jumlah utang yang lebih kecil daripada rata-rata perusahaan dalam industri yang bersangkutan, sementara manajemen lain lebih cenderung menggunakan banyak utang dalam usaha mengejar laba yang lebih tinggi.
i. Sikap Pemberi Pinjaman dan Lembaga Penilai Peringkat
Tanpa memperhatikan analisis para manajer atas faktor-faktor leverage yang tepat bagi perusahaan mereka, sikap para pemberi pinjaman dan perusahaan penilai peringkat (rating agency) seringkali mempengaruhi keputusan struktur keuangan. Dalam sebagian besar kasus, perusahaan mem-bicarakan struktur modalnya dengan pemberi pinjaman dan lembaga penilai peringkat serta sangat memperhatikan masukan yang diterima.
j. Kondisi Pasar Modal.
Kondisi di pasar saham dan obligasi mengalami perubahan jangka panjang dan pendek yang dapat sangat berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan yang optimal. Misalnya, selama situasi kacaunya kredit belum lama ini di AS, pasar obligasi bernilai rendah (junk bonds) dan tidak ada pasar dengan tingkat suku bunga yang "wajar" untuk obligasi jangka panjang yang baru dengan peringkat di bawah tiga B. Karena itu, perusahaan berperingkat
rendah yang membutuhkan modal terpaksa beralih ke pasar saham atau pasar utang jangka pendek, tanpa mempedulikan struktur modal yang ditargetkan. Tetapi, setelah keadaan membaik, perusahaan ini dapat menjual obligasi untuk mengembalikan struktur modalnya yang ditargetkan semula.
k. Kondisi Internal Perusahaan
Kondisi internal perusahaan juga berpengaruh terhadap struktur modal yang ditargetkannya. Misalnya, andaikan suatu perusahaan baru saja menyelesaikan program litbangnya dan perusahaan tersebut meramalkan laba yang lebih tinggi dalam waktu dekat. Namun, kenaikan laba tersebut belum diantisipasi oleh investor, karena belum tercermin dalam harga saham. Perusahaan ini tidak ingin menerbitkan saham, ia lebih menyukai pembiayaan dengan utang sampai kenaikan laba tersebut terealisasi dan tercermin pada harga saham. Kemudian pada saat itu perusahaan akan menerbitkan saham biasa, melunasi utang, dan kembali pada struktur modal yang ditargetkan. l. Fleksibilitas Keuangan
Pada kondisi yang baik perusahaan umumnya akan menambah modalnya melalui penjualan saham atau obligasi, tetapi pada masa yang sulit perusahaan cenderung menggunakan utang dari pemasok modal atau kreditur.
Selain pendapat dari Riyanto (2001: 297) serta Brigham dan Houston (2001: 39), menurut pendapat Awat (1999: 124) banyak faktor yang dapat mempengaruhi keputusan struktur modal; namun faktor-faktor berikut ini dapat mewakili keseluruhan faktor-faktor penentu struktur modal. Adapun
faktor-faktor penentu struktur modal tersebut adalah sebagai berikut : ( Awat 1999: 124) )
a. Tujuan Perusahaan
Jika tujuan manajer adalah memaksimumkan kemakmuran dan kekayaan para pemegang saham, maka struktur modal yang optimal adalah yang dapat memaksimumkan nilai pasar perusahaan. Sedangkan apabila tujuan para manajer itu memaksimumkan keamanan pekerjaannya, maka struktur modal yang optimal terletak pada leverage rata-rata perusahaan lain dalam satu in-dustri.
b. Tingkat Leverage Perusahaan yang sama dalam satu Industri yang sama. Leverage dapat didefinisikan sebagai besarnya rasio total asset dalam setiap ekuitasnya. Angka rasio leverage ini biasanya digunakan untuk mengetahui berapa besarnya utang dalam total asset perusahaan. Namun, sekali lagi seperti layaknya rasio-rasio yang lain, rasio leverage ini tidak memiliki angka yang bias dijadikan benchmark. Penjelasannya didapat dengan membandingkan rasio yang sama dengan perusahaan lainnya dalam industry yang sejenis. Mempunyai leverage yang tinggi tidak selalu berarti jelek. Bahkan leverage pada tingkat tertentu bisa meningkatkan ROE. Akan tetapi masalahnya pada leverage yang berlebihan pada akhirnya akan mengurangi profit margin dan mengurangi efisien perputaran asset.
c. Kemampuan Dana Intern
Penentu utama dana intern itu adalah tingkat pertumbuhan pendapatan. Tingkat pertumbuhan pendapatan yang tinggi memungkinkan manajemen
memperoleh dana yang lebih besar dari laba ditahan yang akan mengurangi dana pinjaman. Dengan demikian, kemampuan dana intern ini bukan hanya dipengaruhi oleh rate of growth tapi juga oleh kebijakan pembagian laba. d. Pemusatan Pemilikan dan Pengendalian Suara
Apabila saham yang ada dalam perusahaan hanya dimiliki oleh sejumlah kecil pemilik, maka manajer akan segan untuk mengeluarkan saham baru. e. Batas Kredit
Usaha manajemen untuk menyesuaikan rasio debt-equity dengan yang diinginkan, dipengaruhi oleh sikap kreditur terhadap perusahaan tersebut.
f. Besarnya Perusahaan
Suatu perusahaan yang berukuran besar lebih mudah memperoleh pinjaman dibandingkan dengan perusahaan yang kecil.
g. Pertumbuhan Aset Perusahaan
Pertumbuhan aset dapat dijadikan indikator bagi kesempatan pengembangan perusahaan pada waktu yang akan datang, sebab dapat mem-berikan gambaran bagi kebutuhan dana secara total dalam perusahaan tersebut.
h. Stabilitas Earnings
Oleh karena variabilitas earnings dapat menjadi ukuran risiko bisnis suatu perusahaan, maka calon kreditur cenderung memberikan pinjaman kepada perusahaan yang mempunyai earning yang relatif stabil.
i. Biaya Modal Sendiri
Karena biaya modal sendiri (cost of equity) dapat merefleksikan harga saham, maka turun naiknya harga saham akan menunjukkan harapan bagi
equity financing yang murah/mahal yang dapat mengakibatkan debt financing
menjadi kurang/lebih menarik. Jadi perubahan harga saham akan mempunyai hubungan yang negatif dengan rasio debt-equity.
j. Biaya Hutang
Jika biaya hutang lebih besar dari rentabilitas aset maka penambahan hutang akan membawa efek yang unfavourable bagi rentabilitas modal sendiri.
k. Tarif Pajak
Karena pembayaran bunga merupakan tax-deductible bagi perusahaan, maka debt-financing akan lebih menarik dibandingkan dengan equity-financing. Dengan demikian, tarif pajak dan rasio debt-equity dihipotesiskan mempunyai hubungan yang positif.
l. Perkiraan Tingkat Inflasi
Perkiraan tingkat inflasi akan mempengaruhi permintaan dan penawaran dana. Dalam keadaan inflasi yang tinggi maka perusahaan menyenangi debt-financing.
Penawaran dana secara. aggregate terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Berkurangnya ketersediaan dana ekstern, mengakibatkan debt-financing menjadi lebih mahal.
n. Kebiasaan Umum di Pasar Modal
Kebiasaan yang kaku di pasar modal, misalnya investor yang hanya menyenangi surat-surat berharga yang dikeluarkan oleh: bank, perusahaan asuransi, dan public utility, akan menyulitkan perusahaan untuk dengan segera mengubah struktur modalnya.
o. Struktur Aset
Apabila komposisi aset suatu perusahaan bersifat capital-intensive maka yang diutamakan adalah equity-financing. Artinya, modal pinjaman hanya merupakan pelengkap saja, terutama untuk memenuhi kebutuhan dana bagi modal kerja.
D. Penelitian Terdahulu
Ozkan (2001) menguji hubungan karakteristik khusus perusahaan yang mempengaruhi struktur modal perusahaan. Variabel yang digunakan adalah size, growth opportunity, profitabilitas, likuiditas dan non debt tax shield. Hasil
penelitian menyatakan bahwa size, growth opportunity, profitabilitas, likuiditas dan non debt tax shield berpengaruh negatif terhadap struktur modal. Sedangkan likuiditas berpengaruh positif terhadap struktur modal.
Penelitian yang dilakukan oleh Laili Hidayat (2001) mengambil leverage
sebagai variabel terikat. Sedangkan variabel bebasnya adalah fixed asset ratio, market to book ratio, firm size, corporate tax rate, non-debt tax shield, profitability, firm age, volatility dan assets uniqueness. Hasil penelitian yang didapat adalah non-debt tax shield dan volatility tidak berpengaruh secara signifikan terhadap leverage perusahaan. market to book ratio, firm size dan
profitability berpengaruh negatif secara signifikan terhadap leverage perusahaan. Sedangkan variable lainnya mempunyai pengaruh positif terhadap leverage
perusahaan.
Sekar Mayangsari (2001) juga mengambil leverage sebagai variabel terikat. Tetapi untuk variabel bebasnya adalah pertumbuhan, laba bersih, perubahan modal kerja, struktur aktiva, ukuran perusahaan dan utang operasi. Hasil penelitiannya adalah ukuran, laba bersih, struktur aktiva dan perubahan modal kerja terbukti secara signifikan mempengaruhi keputusan pendanaan external.
Penelitian yang dilakukan oleh Asih Suko Nugroho (2006) mengambil
Debt to Equity Ratio (DER) sebagai variabel terikat. Sedangkan variabel bebasnya adalah Operating Leverage (DOL), Current Ratio (CR), Struktur Aktiva (STA), Growth, Price Earning Ratio (PER), dan Return on Assets (ROA). Hasil penelitian yang didapat adalah Struktur Aktiva (STA) tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap Debt to Equity Ratio (DER). Operating Leverage (DOL) dan Return on Assets (ROA) berpengaruh negatif secara signifikan terhadap Debt to Equity Ratio (DER). Sedangkan variable lainnya mempunyai pengaruh positif terhadap Debt to Equity Ratio (DER).