• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

7 A. Anak pra sekolah

1. Batasan anak pra sekolah

Anak usia prasekolah adalah mereka yang berusia 3 sampai 6 tahun. Anak usia 3 sampai 6 tahun biasa mengikuti program prasekolah dan kinderganten. Sedangkan di Indonesia pada umumnya anak mengikuti program tempat penitipan anak 3 sampai 5 tahun dan kelompok bermain atau Play Group (usia 3 tahun), sedangkan pada anak usia 4 sampai 6 tahun biasanya mengikuti program taman kanak-kanak (Patmonodewo, 2003).

Wong (2009) menyebutkan bahwa batasan usia anak pra sekolah adalah antara 3 sampai 5 tahun. Anak pada usia ini telah memiliki kontrol fungsi tubuh yang baik, pengalaman periode perpisahan yang pendek dan panjang, kemampuan berinteraksi secara kerja sama dengan anak lain dan penggunaan bahasa untuk simbolisasi mental.

Prasekolah dapat diartikan sebagai pendidikan sebelum sekolah. Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara tiga tahun sampai enam tahun (Riyanto, 2004). Anak prasekolah adalah pribadi yang mempunyai berbagai macam potensi. Potensi-potensi itu dirangsang dan dikembagkan agar anak tersebut berkembang secara optimal, anak dapat berkembang kepribadiannya lewat sosialisasi disekolah. Taman kanak-kanak (TK) adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai 6 tahun atau memasuki pendidikan dasar.

2. Perkembangan anak pra sekolah

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan. Hasil dari proses pematangan yang menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem

(2)

organ yang berkembang sedemikian rupa, sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetijiningsih, 2002).

Wong. (2009) menyebutkan perkembangan adalah perubahan dan perluasan secara bertahap pada kemampuan anak. Perkembangan bertahap ini menuju kompleksitas yaitu dari kemampuan yang lebih rendah ke yang lebih tinggi. Perkembangan ini merupakan peningkatan dan perluasan kapasitas seseorang melalui pertumbuhan maturasi serta pembelajaran. Pola tumbuh kembang bersifat jelas dan dapat diprediksi, kontinyu, teratur, dan progresif. Pola atau kecendrungan perkembangan ini juga bersifat universal dan mendasar bagi semua individu, namun unik dalam hal cara dan waktu pencapaiannnya.

Pertumbuhan tubuh yang mengakibatkan bertambahnya diferensiasi dan myelinisasi (suatu zat yang seperti lemak dalam sumsum tulang belakang dan urat saraf) maka berpengaruh terhadap pertambahan kecakapan anak pra sekolah terutama pada perubahan motoriknya. Anak usia 5 tahun misalnya, keseimbangan badannya semakin berkembang cukup baik, anak sudah pandai berjalan, dapat naik tangga, meloncat dari tanah dengan kedua kakinya bersama-sama dan sering juga dapat bersepeda (Monks dan Haditomo, 2004).

Perkembangan mempunyai berbagai dimensi yang saling berhubungan. Perkembangan termasuk fisik, kognitif, sosial dan spiritual dan emosional saling mempengaruhi satu sama lain dan semuanya tumbuh secara simultan. Sebaliknya, jika ada kesalahan atau keterlambatan dalam satu bidang akan berdampak pada bidang yang lain (Narendra, dkk, 2008). 3. Tahap perkembangan anak pra sekolah

Nurihsan dan Agustin (2011) tahap perkembangan dimulai dari bayi dengan tugas perkembangan meliputi belajar berjalan, belajar mengambil benda-benda padat, belajar berbicara, belajar menguasai benda, mempelajari perbedaan dan perilakunya, mencapai stabilitas fisologis,

(3)

pembentukn konsep sederhana tentang realitas fisik dan sosial, belajar menciptakan hubungan dirinya secara emosional kepada orang tuanya, saudara dan orang lain serta belajar membedakan salah benar dan pengembangan kata hati.

Perkembangan pada anak usia pra sekolah juga dapat dibedakan berdasarkan perkembangan motorik kasar seperti berjalan, berjinjit, menangkap dan melempar bola, melompat dengan satu kaki secara bergantian. Perkembangan motorik halus seperti menulis angka-angka, menulis huruf, menulis kata-kata, menulis nama, mengikat tali sepatu. Perkembangan sosial emosional seperti bermain sendiri mulai berkurang, sering berkumpul dengan teman sebaya, interaksi sosial, sudah siap untuk menggunakan alat-alat bermain (Sukarmin, 2009).

Berkaitan dengan kepercayaan diri, menurut para pakar psikologi, perkembangan kepercayaan diri anak telah terbentuk sejak anak masih bayi. Saat berumur tiga atau empat tahun, anak sudah bisa menilai dan menggambarkan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, sebaiknya orangtua sudah mulai membentuk kepercayaan diri anak sejak balita atau dini. Percaya diri anak itu merupakan sebuah perasaan yang mana perasaan anak tidak nyaman seperti dengan lingkungan barunya. Dari perasaan tidak nyaman itulah timbul rasa malu dan takut untuk melakukan sesuatu sehingga timbul perasaan tidak percaya diri atau minder. Cara mengatasinya adalah dengan membentuk mental anak sejak dini. Dalam hal ini, peran orang tua sangat diharapkan (Pristiani, 2012).

B. Kepercayaan diri

1. Pengertian Percaya Diri

Gufron dan Risnawita (2010) menyatakan bahwa percayaan diri merupakan suatu keyakinan dan sikap seseorang terhadap kemampuan pada dirinya sendiri dengan menerima secara apa adanya baik positif maupun negatif yang dibentuk dan dipelajari melalui proses belajar dengan tujuan untuk kebahagiaan dirinya

(4)

Percaya diri adalah modal dasar seorang manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhan sendiri. Seseorang mempunyai kebutuhan untuk kebebasan berfikir dan berperasaan sehingga seseorang yang mempunyai kebebasan berfikir dan berperasaan akan tumbuh menjadi manusia dengan rasa percaya diri. Salah satu langkah pertama dan utama dalam membangun rasa percaya diri dengan memahami dan meyakini bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kelebihan yang ada di dalam diri seseorang harus dikembangkan dan dimanfaatkan agar menjadi produktif dan berguna bagi orang lain (Hakim, 2002).

Seseorang yang percaya diri dapat menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang sesuai dengan tahapan perkembangan dengan baik, merasa berharga, mempunyai keberanian, dan kemampuan untuk meningkatkan prestasinya, mempertimbangkan berbagai pilihan, serta membuat keputusan sendiri merupakan perilaku yang mencerminkan percaya diri (Lie, 2003). Percaya diri merupakan dasar dari motivasi diri untuk berhasil. Agar termotivasi seseorang harus percaya diri. Seseorang yang mendapatkan ketenangan dan kepercayaan diri haruslah menginginkan dan termotivasi dirinya. Banyak orang yang mengalami kekurangan tetapi bangkit melampaui kekurangan sehingga benar-benar mengalahkan kemalangan dengan mempunyai kepercayaan diri dan motivasi untuk terus tumbuh serta mengubah masalah menjadi tantangan.

Rakhmat (2009) menyatakan bahwa kepercayaan diri atau keyakinan diri diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya, serta bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada konsep diri. Kepercayaan diri sebagai salah satu aspek kepribadian yang terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya lingkungan sosial.

Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang penting pada seseorang. Tanpa adanya kepercayaan diri akan banyak menimbulkan

(5)

masalah pada diri seseorang. Kepercayaan diri merupakan atribut paling berharga pada diri seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, karena dengan kepercayaan diri seseorang mampu mengaktualisasikan segala potensi. Kepercayaan diri merupakan sesuatu yang urgen untuk dimiliki setiap individu. Kepercayaan diri diperlukan baik oleh seorang anak maupun orang tua, secara individual maupun kelompok (Gufron dan Risnawita, 2010).

Kepercayaan diri anak dapat dilihat dari perkembangan perilaku sosial anak, dimana perkembangan sosial ini merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Kepercayaan diri berdasarkan perkembangan sosial ini juga dapat diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma keompok, moral dan tradisi yaitu anak dapat meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dengan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Perilaku perkembangan sosial anak ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatkan keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok (Nurihsam dan Agustin, 2011).

2. Faktor yang mempengaruhi Kepercayaan Diri

Gufron dan Risnawita (2010) menyatakan bahwa kepercayaan diri dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah :

a. Konsep diri

Terbentuknya kepercayaan diri pada diri seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulannya dalam suatu kelompok. Hasil interaksi yang terjadi akan menghasilkan konsep diri. Konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang dicapai (Gufron dan Risnawita, 2010).

(6)

b. Harga diri

Konsep diri yang positif akan membentuk harga diri yang positif pula. Harga diri adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. Harga diri adalah tingkat penilaian yang positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri seseorang. Harga diri merupakan evaluasi seseorag terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif. Tingkat harga diri seseorang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang. Faktor yang membangun terbentuknya harga diri ini meliputi jenis kelamin, intelegensi, kondisi fisik, komunikasi lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Berkaitan dengan komunikasi lingkungan keluarga dapat dinyatakan bahwa peran keluarga sangat penting dalam menentukan perkembangan harga diri anak. Dalam keluarga, seorang anak untuk pertama kalinya mengenal orang tua yang mendidik dan membesarkannya serta sebagai dasar untuk bersosialisasi dalam lingkungan yang lebih besar. Coopersmith dalam Gufron dan Risnawita (2010) berpendapat bahwa perlakuan yang adil, pemberian kesempatan untuk aktif, dan mendidik yang demokratis serta dengan membangun komunikasi yang baik akan membuat anak mendapat harga diri yang tinggi. Rasa harga diri ini nantinya akan membangun rasa kepercayaan diri pada anak dalam menjalani kehidupannya. c. Pengalaman

Pengalaman dapat menjadi faktor munculnya rasa percaya diri. Sebaliknya, pengalaman juga dapat menjadi faktor menurunnya rasa percaya diri seseorang. Pengalaman masa lalu adalah hal terpenting untuk mengembangkan kepribadian sehat. Pengalaman anak dengan cara permainan peran menjadikan anak mempunyai kesempatan untuk berada di depan panggung dan disaksikan oleh orang lain. Pengalaman dalam bentuk tampil seperti ini akhirnya dapat membuat anak merasa terbiasa dan akhirnya timbul rasa kepercayaan diri yang tinggi dalam setiap kegiatan yang dilakukan setiap hari.

(7)

d. Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan diri seseorang. Tingkat pendidikan yang rendah akan menjadikan orang tersebut tergantung dan berada di bawah kekuasaan orang lain yang lebih pandai darinya. Sebaliknya, orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih dibandingkan yang berpendidikan rendah. Keikutsertaan anak dalam program pendidikan usia dini (PAUD) mendapat pelatihan untuk bersosialisai termasuk salah satunya adalah bermain peran sehingga dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri anak.

Lauster (1997) mennyebutkan kepercayaan diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:

1) Faktor internal, meliputi:

a) Konsep diri. Terbentuknya keperayaan diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri. Seseorang yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya orang yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif.

2) Harga diri. Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. Orang yang memiliki harga diri tinggi akan menilai pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain. Orang yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi orang yang mempuyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan.

(8)

3) Kondisi fisik. Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada kepercayaan diri. Penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang. Lauster (1997) juga berpendapat bahwa ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan rasa rendah diri yang kentara.

4) Pengalaman hidup. Lauster (1997) mengatakan bahwa kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri. Lebih lebih jika pada dasarnya seseorang memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang perhatian.

2) Faktor eksternal meliputi:

1) Pendidikan. Pendidikan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada individu lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan memperhatikan situasi dari sudut kenyataan.

2) Pekerjaan. Kusuma (2005) mengemukakan bahwa bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian serta rasa percaya diri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain materi yang diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga di dapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri.

3) Lingkungan dan Pengalaman hidup. Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota kelurga yang saling berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Begitu juga

(9)

dengan lingkungan masyarakat semakin bisa memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar harga diri berkembang. Sedangkan pembentukan kepercayaan diri juga bersumber dari pengalaman pribadi yang dialami seseorang dalam perjalanan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan psikologis merupakan pengalaman yang dialami seseorang selama perjalanan yang buruk pada masa kanak kanak akan menyebabkan individu kurang percaya diri.

3. Ciri Kepercayaan Diri

Ciri-ciri individu yang memiliki kepercayaan diri adalah tidak memiliki keraguan dan perasaan rendah diri, tidak takut memulai sesuatu hubungan baru dengan orang lain, tidak suka mengkritik dan aktif dalam pergaulan dan pekerjaan, tidak mudah tersinggung, berani mengemukakan pendapat, berani bertindak, dapat mempercayai orang lain, dan selalu optimis. Ciri individu yang memiliki kepercayaan diri adalah sebagai berikut (Hakim, 2002):

a. Berpikir positif, yaitu menyadari dan mengetahui bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengatasi rintangan. Berfikir positif pada anak dapat membuat kehidupan yang lebih tenang, damai dan tentram jauh dari perasaan takut, was-was, serta curiga terhadap suatu hal. Anak tidak menaruh kecurigaan terhadap orang lain dan berani menghadapi tantangan yang diberikan (Anthony, 2006).

b. Tidak mudah putus asa, yaitu mampu menerima kelebihan dan kelemahan yang ada pada dirinya. Anak-anak juga perlu diajarkan mengenai nilai kegigihan. Kegigihan adalah semangat pantang menyerah diikuti keyakinan yang kuat dan mantap untuk mencapai impian dan cita-citanya. Nilai ini sangat dibutuhkan oleh manusia agar selalu memiliki semangat yang besar dan tidak mudah putus asa dalam mencapai cita-citanya.

c. Memiliki sikap mandiri, yaitu sikap tidak bergantung pada orang lain dan melakukan sesuatu yang berdasarkan kemampuan yang dimiliki.

(10)

Anak mandiri biasanya mampu mengatasi persoalan yang menghadangnya. Kemandirian itu tentu harus dilatih sejak dini. Kemandirian sangat erat terkait dengan anak sebagai individu yang mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), dan mengatur diri sendiri (self regulation). Anak paham akan tuntutan lingkungan terhadap dirinya, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Anak mandiri mampu memenuhi tuntutan lingkungannya.

d. Mampu berkomunikasi dengan baik, adalah melakukan hubungan dengan orang lain melalui komunikasi. Seorang atau anak akan dapat mengembangkan kemampuan bergaul dengan orang lain melali komunikasi. Penguasaan keterampilan bergaul dalam lingkungan sosial dimulai dengan penguasaan kemampuan berbahasa. Tanpa bahasa seseorang tidak akan dapat berkomunikasi dengan orang lain. Anak dapat mengekspresikan pikirannya menggunakan bahasa sehingga orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan oleh anak. Komunikasi antar anak dapat terjalin dengan baik dengan bahasa sehingga anak dapat membangun hubungan sehingga tidak mengherankan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu indikator kesuksesan seorang anak. Anak yang dianggap banyak berbicara, kadang merupakan cerminan anak yang cerdas (Hakim, 2002).

Menurut Anthony (2006), ciri individu yang memiliki kepercayaan diri adalah berpikir positif, yaitu menyadari dan mengetahui bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengatasi rintangan (Daradjat, 2003).

Faktor lain adalah tidak mudah putus asa, yaitu mampu menerima kelebihan dan kelemahan yang ada pada dirinya. Memiliki sikap mandiri, yaitu sikap tidak bergantung pada orang lain dan melakukan sesuatu yang berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Mampu berkomunikasi dengan baik, adalah melakukan hubungan dengan orang lain melalui komunikasi (Anthony, 2006).

Pendapat lain dari Hakim (2002), ciri- ciri individu yang mempunyai kepercayaan diri memiliki kompetensi/kemampuan diri,

(11)

berpikir positif, yaitu menyadari dan mengetahui bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengatasi rintangan, mandiri, sikap tidak bergantung pada orang lain dan melakukan sesuatu yang berdasarkan kemampuan yang dimiliki, optimis, yaitu selalu memandang masa depan dengan harapan yang baik, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, bersikap tenang yaitu tidak cemas atau gugup dalam menghadapi situasi tertentu dan mampu bersosialisasi dengan orang lain.

Monks dan Haditomo (2004) mengemukakan bahwa kepercayaan diri dapat dinilai melalui tiga aspek yaitu bila seseorang merasa adekuat terhadap apa yang ia lakukan, bila seseorang merasa dapat diterima oleh kelompoknya (merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya), dan bila seseorang percaya sekali pada dirinya sendiri serta memiliki ketenangan sikap, yaitu tidak gugup bila ia melakukan atau mengatakan sesuatu secara tidak sengaja dan ternyata hal itu salah.

4. Cara mengukur kepercayaan diri pada anak

Kepercayaan diri anak dapat dilihat dari perkembangan perilaku sosial anak. Perkembangan kepercayaan diri pada anak dapat diukur berdasarkan indikator kemampuan berfikir positif, sikap mandiri, tiak mudah berputus asa dan mampu berkomunikasi dengan baik.

C. Bermain Peran 1. Bermain

Istilah bermain menurut etimologis tergolong kata kerja, sedangkan permainan merupakan kata benda. Anak bermain berarti anak mengerjakan sesuatu permainan, sedangkan permaianan merupakan sesuatu yang dikenai dalam bermain. Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan anak baik fisik, emosi, mental, intelektual, kreatifitas dan sosial (Soetjiningsih, 2002). Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada paksaan dari luar. Menurut Montolalu (2005) bermain merupakan proses belajar yang menyenangkan, membantu anak mengenal dunianya,

(12)

mengembangkan konsep-konsep baru, mengambil risiko, meningkatkan ketrampilan sosial dan membentuk perilaku.

Bermain merupakan ciri ilmiah bagi seseorang untuk mengungkapkan konflik yang ada dalam dirinya yang pada awalnya anak belum sadar bahwa dirinya sedang mengalami konflik. Bermain juga didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang anak secara sungguh-sungguh sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa paksaan dari orang tua maupun lingkungan di mana dimaksudkan semata hanya untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan (Riyadi & Sukarmin, 2009).

2. Manfaat bermain

Tedjasaputra (2001) menjelaskan manfaat bermain bagi anak untuk perkembangan intelektual. Bermain merupakan media yang amat diperlukan untuk proses berpikir karena menunjang perkembangan intelektual melalui pengalaman yang memperkaya cara berpikir anak-anak. Bermain merupakan kesempatan bagi anak untuk bereksplorasi mengadakan penelitian-penelitian, mengadakan percobaan-percobaan untuk memperoleh pengetahuan.

Bermain dapat bermanfaat untuk perkembangan sosial. Anak biasanya dalam melakukan kegiatan bermain mengajak teman sebayanya. Anak akan belajar berbagai hak milik, bersosialisasi dengan teman-teman baru atau lama di dunia maya, mempertahankan hubungan yang sudah terbina. Mencari cara pemecahan suatu permasalahan yang dihadapinya dengan temannya (Zaviera, 2008).

Bermain juga dapat membantu perkembangan emosi. Bermain merupakan suatu kebutuhan sehari-hari bagi anak. Tidak ada anak yang tidak suka dengan bermain. Melalui bermain anak dapat mengungkapkan perasaan dan keinginannya. Anak dilatih untuk mengendalikan diri (Tedjasaputra, 2001).

Zaviera (2008) menyatakan bahwa bermain bagi anak memiliki beberapa manfaat. Manfaat tersebut meliputi aspek fisik, yaitu dengan

(13)

mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan yang banyak melibatkan gerakan – gerakan tubuh, akan membuat tubuh anak menjadi sehat.

Aspek perkembangan motorik kasar dan halus, hal ini untuk meningkatkan ketrampilan anak, aspek sosial, anak belajar berpisah dengan ibu dan pengasuh. Anak belajar menjalin hubungan dengan teman sebaya, belajar berbagi hak, mempertahankan hubungan, perkembangan bahasa, dan bermain peran sosial, aspek bahasa, anak akan memperoleh kesempatan yang luas untuk berani bicara. Hal ini penting bagi kemampuan anak dalam berkomunikasi dan memperluas pergaulannya (Zaviera, 2008).

Aspek emosi dan kepribadian. Melalui bermain, anak dapat melepaskan ketegangan yang dialaminya. Dengan bermain berkelompok, anak akan mempunyai penilaian terhadap dirinya tentang kelebihan yang dimiliki sehingga dapat membantu perbentukan konsep diri yang positif, mempunyai rasa percaya diri dan harga diri. Aspek kognisi. Pengetahuan yang didapat akan bertambah luas dan daya nalar juga bertambah luas, dengan mempunyai kreativitas, kemampuan berbahasa, dan peningkatan daya ingat anak (Zaviera, 2008).

Aspek ketajaman panca indra. Dengan bermain, anak dapat lebih peka pada hal – hal yang berlangsung dilingkungan sekitarnya. Aspek perkembangan kreativitas. kegiatan ini menyangkut kemampuan melihat sebanyak mungkin alternatif jawaban. Kemampuan divergen ini yang mendasari kemampuan kreativitas seseorang. Terapi dimana melalui kegiatan bermain anak dapat mengubah emosi negatif menjadi positif dan lebih menyenangkan (Zaviera, 2008).

3. Bentuk Permainan

Bermain menurut Tedjasaputra (2001) dibagi menjadi dua kategori yaitu bermain aktif dan bermain pasif.

a. Kegiatan bermain aktif

Nurihsam dan Agustin (2011) menjelaskan kegiatan bermain aktif diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan banyak aktivitas

(14)

tubuh atau gerakan-gerakan tubuh. Macam-macam kegiatan bermain aktif antara lain bermain bebas dan spontan, ciri dari kegiatan bermain ini dilakukan dimana saja, dengan cara apa saja dan berdasarkan apa yang ingin dilakukan. Tidak ada aturan permainan yang harus dipatuhi oleh anak. Bermain konstruktif yaitu kegiatan yang menggunakan berbagai benda yang ada untuk menciptakan suatu hasil karya tertentu, seperti menggambar, menciptakan bentuk tertentu dari lilin mainan, menggunting dan menempel kertas atau kain. Bermain khayal atau bermain peran yaitu pemberian atribut tertentu terhadap benda, situasi dan anak memerankan tokoh yang dipilihnya. Anak tampil dalam tingkah laku yang nyata dan dapat diamati dan biasanya melibatkan penggunaan bahasa. Mengumpulkan benda-benda yaitu kegiatan mengumpulkan benda-benda termasuk kegiatan bermain aktif karena atas inisiatifnya. Anak mengumpulkan barang-barang yang menarik minatnya.

Melakukan penjelajahan atau eksplorasi: kegiatan eksplorasi dijumpai pada aktivitas, berkemah, pramuka, karya wisata ke tempat-tempat yang memberikan pengalaman baru bagi anak. Permainan dan olahraga: olahraga selalu berupa kontes fisik sedangkan permainan bisa berupa kontes fisik dan kontes mental. Umumnya untuk melakukan kegiatan olahraga, dituntut ketrampilan fisik ataupun aturan permainan yang lebih ketat. Musik: aktivitas musik bisa digolongkan dalam bermain aktif bila anak melakukan kegiatan musik, misalnya bernyanyi, memainkan alat musik tertentu atau melakukan gerakan-gerakan yang diiringi musik. Melamun: melamun bisa bersifat reproduktif, artinya mengenang kembali peristiwa-peristiwa yang telah dialami (Narendra, 2008).

b. Kegiatan Bermain pasif

Kegiatan bermain pasif diartikan sebagai kegiatan yang tidak terlalu banyak melibatkan aktivitas fisik. Beberapa kegiatan bermain pasif anak, antara lain membaca: kegiatan membaca umumnya lebih

(15)

banyak ditemui pada anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah keatas. Hal ini timbul karena kurangnya fasilitas buku bacaan yang tersedia (Soetjiningsih, 2002).

Melihat komik dimana komik banyak digemari ank-anak karena tanpa membaca tulisannya, anak sudah dapat menangkap ceritanya. Menonton film yaitu dengan adanya kemajuan teknogi maka anak-anak dapat menikmati film,tidak hanya di bioskop, tapi juga di rumah. Medengarkan radio dimana kegiatan ini cukup digemari pada masa lalu dan mendengarkan musik. Musik dapat didengar melalui siaran radio, TV, ataupun pita atau piringan rekaman lagu (Tedjasaputra, 2001).

c. Bermain Peran

Menurut Sanjaya (2008), bermain peran adalah metode pembelajaran untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia. Bermain peran digunakan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan akan masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan anak untuk memecahkannya. Sedangkan menurut Prasetyo (2001), pembelajaran dengan bermain peran adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan. Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan dengan memerankan sebagai tokoh hidup atau benda mati. Metode ini banyak melibatkan anak dan membuat anak senang belajar serta metode ini mempunyai nilai tambah yaitu dapat menjamin partisipasi seluruh anak dan memberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerjasama hingga berhasil serta permainan merupakan pengalaman yang menyenang kan bagi anak.

Bermain peran pada anak dapat dilakukan dengan peran yang sesuai keinginannya atau dengan apa yang dilihat dan dia dengar, sehingga anak akan membuat fantasi dari permainannya. Misalnya

(16)

anak dapat memerankan menjadi hewan tertentu atau menjadi dokter atau polisi dan sebagainya (Riyadi dan Sukarmin, 2009).

Pembelajaran dengan bermain peran merupakan suatu aktivitas yang dramatik, biasanya ditampilkan oleh sekelompok kecil, bertujuan mengeksploitasi beberapa masalah yang ditemukan untuk melengkapi partisipasi dan pengamat dengan pengalaman belajar yang nantinya dapat meningkatkan pemahaman (Prasetyo, 2001).

Menurut Mulyasa (2005) pembelajaran dengan bermain peran ada tujuh tahap. Pada tahap pemilihan masalah, pengajar mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan anak agar dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya.

Tahap pemilihan peran memilih peran yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, mendeskripsikan karakter dan apa yang harus dikerjakan oleh para pemain. Menyusun tahap-tahap bermain peran, dalam hal ini pengajar telah membuat dialog tetapi anak bisa menambah dialog sendiri (Djamarah dan Zain, 2002).

Menyiapkan pengamat, dimana pada tahap kegiatan ini adalah semua anak yang tidak menjadi pemain atau pemeran. Tahap pemeranan dimana pada tahap ini anak mulai bereaksi sesuai dengan peran masing-masing sesuai yang terdapat pada skenario bermain peran. Tahap diskusi, yaitu mengajak peserta permainan untuk mendiskusikan permainan yang dijalankan.

Tahap evaluasi serta pengambilan keputusan, dalam hal ini pengajar menghentikan permainan pada saat terjadi pertentangan agar memancing permasalahan agar didiskusikan. Masalah yang muncul dari bermain peran, dibahas pada tahap diskusi dan evaluasi. Bermain peran disebut juga metode sosiodrama. Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial (Djamarah dan Zain, 2002).

Langkah-langkah dalam bermain peran meliputi: 1) guru menyiapkan naskah, alat media dan kostum, 2) guru menerangkan tehnik bermain peran dengan bahasa sederhana bila perlu dengan satu

(17)

contoh pera, 3) guru memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih peran yang didiskusika, 4) apabila bermain peran baru dilaksanakan maka guru yang memilih anak yang dianggap mampu dalam menjalankan tugas, 5) guru menyiapkan pendengar bagi anak yang tidak ikut dalam bermain peran, 6) guru memberi informasi informasi tentang peran yang harus mereka mainkan, 7) guru menyarankan kalimat pertama yang baik diucapkan oleh pemain dalam memulai, 8) guru menghentikan bermain peran pada detik-detik terakhir, kemudian membuka diskusi (Padmonodewo, 2003).

Djamarah dan Zain (2002) menyebutkan bahwa bermain mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode bermain peran adalah anak dapat melatih dirinya untuk memahami dan mengingat isi bahan yang akan diperankan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian, daya ingat anak harus tajam dan tahan lama.

Anak akan berlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain peran para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia. Bakat yang terdapat pada anak dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah. Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya. Anak memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya. Bahasa lisan anak dapat dibina menjadi bahasa yang lebih baik agar mudah dipahami orang lain.

Kelemahan metode bermain peran adalah sebagian anak yang tidak ikut bermain peran menjadi kurang aktif. Hal ini anak yang tidak mengikuti bermain peran hanya akan diam dan tidak memperhatikan teman yang bermain peran. Banyak memakan waktu. Dalam bermain peran harus benar-benar menentukan waktu yang tepat. Sehingga diharapkan ketika anak bermain peran tidak merasa terbebani karena waktunya yang lama. Memerlukan tempat yang cukup luas, dimana

(18)

tempat yang luas sangat diperlukan dalam bermain peran, serta sering kelas lain merasa terganggu oleh suara para pemain dan tepuk tangan penonton atau pengamat (Riyadi dan Sukarmin, 2009).

Proses pelaksanaan metode bermain peran meliputi pemilihan masalah, pengajar mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan anak agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya.

Pemilihan peran, memilih peran yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, mendeskripsikan karakter dan apa yang harus dikerjakan oleh para pemain. Menyusun tahap-tahap bermain peran, dalam hal ini guru telah membuat dialog tetapi anak dapat juga menambahkan dialog sendiri.

Menyiapkan pengamat, pengamat dari kegiatan ini adalah semua anak yang tidak menjadi pemain atau pemeran. Pemeranan, dalam tahap ini para anak mulai bereaksi sesuai dengan peran masing-masing yang terdapat pada skenario bermain peran. Diskusi dan evaluasi, mendiskusikan masalah-masalah serta pertanyaan yang muncul dari anak. Pengambilan kesimpulan dari bermain peran yang telah dilakukan. Maka, pembelajaran dengan bermain peran merupakan cara belajar yang dilakukan dengan cara membagi anak menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok memerankan karakter sesuai dengan naskah yang telah dibuat danmateri yang telah ditentukan oleh pengajar, sehingga anak lebih mudah memahami dan mengingat materi yang telah diperankan tersebut (Djamarah dan Zain, 2002).

(19)

D. Kerangka Teori

-Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Gufron dan Risnawita (2010) E. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep F. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah bermain peran 2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri

G. Hipotesis

Ada perbedaan kepercayaan diri anak sebelum dan setelah mendapat perlakuan bermain peran di TK Khusnul Khotimah 01 Semarang.

Kepercayaan diri anak Bermain Peran

Kepercayaan diri anak Faktor internal: 1. Konsep diri 2. Harga diri 3. Kondisi fisik 4. Pengalaman hidup Bermain peran Faktor eksternal: 1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Lingkungan dan Pengalaman hidup Ciri-ciri: - Berfikir positif - Mudah putus asa - Sikap mandiri - Berkomunikasi

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka Konsep F. Variabel Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

out the world looked to East Asia as a model for leveraging integration into the global economy toward poverty-reducing growth, are there lessons to be learned by developing

untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui pemurtabalikan kenyataan. Pada dasarnya, strategi-strategi ini tidak mengubah

Digitasi yang dimaksud adalah proses konversi data raster (citra/foto) menjadi data vektor (peta garis) dengan metode penarikan titik, garis, atau area yang

Ketua STPP Bogor yang selanjutnya disebut Ketua adalah Pimpinan Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan,

Penelitian ini dimotivasi oleh adanya perbedaan hasil penelitian yang menganalisis reaksi pasar terhadap pengumuman penerbitan.. obligasi

Dari segi $linis gambaran sen#ral dari me#abolisme $arbohidra# dapa# disimpul$an dalam is#ilah sederhana. i$a seorang wani#a men3adi hamil ma$a ia membu#uh$an lebih ban+a$

Penelitian yang dilakukan di rumah sakit dipilih yaitu Kancheepuram District , Tamil Nadu dengan judul “Sebuah studi untuk menilai pengetahuan tentang ulkus

Berdasarkan fasa yang terbentuk tersebut, dapat diindikasikan bahwa unsur yang terdapat pada baja SS 304 yang digunakan pada penelitian ini yaitu Fe sebesar