• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. LANDASAN TEORI 1. Globalisasi dan Otonomi Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. LANDASAN TEORI 1. Globalisasi dan Otonomi Daerah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

II. LANDASAN TEORI

1. Globalisasi dan Otonomi Daerah

Perdagangan bebas (free trade), globalisasi dan otonomi daerah mempunyai arti berbeda-beda. Pengertian perdagangan bebas sering dicampuradukkan dengan pengertian globalisasi. Perdagangan bebas dapat diartikan sama dengan liberalisasi perdagangan dan free market. Hal ini disebabkan liberalisasi perdagangan dan free

market merupakan suatu tindakan menghilangkan berbagai bentuk hambatan atau

perlindungan terhadap sektor perdagangan atau pasar dalam arti umum.

Pengertian globalisasi juga sering dicampuradukkan dengan pengertian internasionalisasi dan multinasionalisasi. Globalisasi lebih diartikan secara umum sebagai dunia tanpa batas (borderless). Globalisasi merupakan sebuah proses keterlibatan dan ketergantungan yang intensif antara negara-negara dan masyarakatnya dalam berbagai kegiatan kehidupan tanpa batas, namun dengan adanya globalisasi tidak berarti bahwa setiap negara atau masyarakatnya menjadi satu dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.

Berbeda dengan internasionalisasi, internasionalisasi diartikan sebagai aliran bahan baku, barang dan jasa, uang, gagasan, tenaga kerja dan arus modal antara dua negara atau lebih. Sedangkan multinasionalisasi merupakan proses pemindahan dan relokasi sumberdaya ekonomi, khususnya modal dan tenaga kerja dari suatu negara ke negara lain. Contoh bentuk multinasionalisasi adalah pembangunan pabrik atau perusahaan suatu negara di negara lainnya dalam upaya memperluas pasar maupun relokasi industri dari suatu negara ke negara lain, seperti Coca Cola, Sony, Samsung dan lain-lain.

Pemahaman terhadap definisi tersebut, maka hal positif yang dapat diperoleh dari adanya pasar bebas, globalisasi, internasionalisasi dan multinasionalisasi antara lain semakin terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa yang diperlukan dengan harga bersaing, kurangnya intervensi pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi dan meningkatnya peran pasar dalam kegiatan ekonomi.

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (Kini Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah) mengenai pengertian desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

(2)

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan,

moneter dan fiscal serta agama.

Hal posistif dari adanya otonomi daerah dan desentralisasi antara lain semakin terbukanya kewenangan daerah untuk mengembangkan dan membangun ekonomi daerahnya bagi kesejahteraan rakyatnya. Juga semakin tingginya beban daerah dalam memenuhi kebutuhan pengembangan kegiatan usaha yang lebih kompetitif dan dinamis sesuai dengan permintaan pasar.

Pergeseran kewenangan dan penyelenggaraan berbagai tugas pemerintahan menempatkan Pemerintah Daerah (Pemda) Kota dan Kabupaten yang merupakan ujung tombak implementasi otonomi pada posisi yang sulit. Selain keterbatasan kemampuan keuangan dan sumber daya manusia (SDM), pemerintah daerah juga dihadapkan pada lingkungan usaha yang semakin dinamis sebagai akibat gelombang era perdagangan bebas. Arus perdagangan bebas ini hampir tidak terbendung, menjalar ke berbagai pelosok daerah melalui wahana travel, transportasi dan telekomunikasi yang semakin murah dan nyaman bagi penggunanya. Proses perdagangan tersebut telah membuka peluang dan kesempatan bagi para pelaku ekonomi untuk mengembangkan usahanya, baik yang telah berjalan selama ini maupun jenis usaha baru. Akibatnya pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan dunia usaha agar memberikan respon kebijakan secara memadai terhadap perdagangan yang semakin terbuka dan dilakukannya pergeseran pendekatan dalam pembangunan perekonomian daerah dari plan economy ke market economy.

Implikasi otonomi daerah dan perdagangan bebas akan memberikan dampak positif bagi pembangunan nasional dan daerah, terutama melalui terbukanya perdagangan dan investasi di daerah. Terbukanya perdagangan dan investasi ini selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, sehingga upaya pembangunan ekonomi nasional dan daerah dapat lebih dipercepat lagi. Sebaliknya adanya pasar bebas dapat juga menimbulkan pengaruh negatif bagi perekonomian nasional dan daerah, seperti menurunnya produksi barang dan jasa dalam negeri, penguasaan sektor-sektor ekonomi nasional dan daerah oleh negara-negara luar. Namun pengaruh negatif dari pasar bebas ini hanya dapat terjadi jika tidak dapat secara efektif dan efisien menyikapi peluang yang tercipta dari adanya perdagangan bebas.

Menyikapi kondisi yang berubah saat ini baik karena adanya desakan globalisasi maupun desakan otonomi daerah, maka pengembangan iklim usaha yang

(3)

kondusif merupakan persyaratan mutlak dalam pengembangan UKM di masa datang. Guna mencapai iklim usaha yang kondusif, maka diperlukan penciptaan lingkungan kebijakan yang kondusif bagi UKM. Kebijakan kondusif dimaksud dapat diartikan sebagai lingkungan kebijakan yang transparan dan tidak membebani UKM secara finansial berlebihan. Ini berarti berbagai campur tangan pemerintah yang berlebihan, baik tingkat pusat maupun daerah harus dihapuskan, khususnya penghapusan berbagai peraturan dan persyaratan administrasi yang rumit dan menghambat kegiatan UKM (Firdausy, 2003).

.

2. Pembangunan Ekonomi Lokal

Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan serba sejahtera. Terdapat pemahaman dan perhatian yang makin besar di antara para penentu kebijakan pembangunan nasional dan pembangunan daerah, yaitu berusaha untuk melanjutkan strategi ekonomi nasional guna membangkitkan perekonomian lokal. Peningkatan pembangunan diupayakan agar dapat dirasakan oleh masyarakat luas (nasional) maupun oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil atau terbatas (lokal).

Kepentingan ekonomi nasional dan motivasi perusahaan besar seringkali tidak berkesesuaian, bahkan berbeda secara nyata dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat lokal, para pekerja lokal yang tidak memiliki keterampilan atau golongan masyarakat yang termasuk dalam kelompok berpendapatan rendah dan perusahaan kecil tersebar di seluruh daerah yang modalnya, keterampilannya, kemampuan manajemennya dan pemasarannya masih lemah.

Dalam sistem ekonomi pasar, pemanfaatan sumber daya - sumber daya pembangunan diarahkan untuk mencapai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif sebagai upaya untuk mendorong berkembangnya perusahaan yang ada sekarang dan perusahaan baru serta mempertahankan basis ekonominya yang dimiliki oleh wilayah bersangkutan. Dalam pembangunan ekonomi lokal masyarakat harus memanfaatkan sumber daya alam, SDM, sumber daya modal, sumber daya sosial, sumber daya institusional (kelembagaan) dan sumber daya fisik yang dimiliki untuk menciptakan suatu sistem perekonomian mandiri dalam arti berkecukupan dan berkelanjutan.

Pembangunan ekonomi lokal tidak hanya merupakan retorika baru, tetapi mencerminkan suatu pergeseran fundamental peranan pelaku-pelaku pembangunan, demikian pula sebagai aktivitas yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi

(4)

masyarakat. Secara esensial peranan pemerintah lokal dan kelompok berbasis masyarakat dalam mengelola sumber daya berupaya untuk mengembangkan usaha kemitraan baru dengan pihak swasta atau dengan pihak lainnya untuk menciptakan pekerjaan baru dan mendorong berkembangnya berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu daerah (wilayah) ekonomi. Ciri atau sifat utama suatu pembangunan yang berorientasi atau berbasis ekonomi lokal dengan menekankan pada kebijaksanaan pembangunan pribumi yang memanfaatkan potensi SDM lokal, sumber daya institusional lokal dan sumber daya fisik lokal. Orientasi ini menekankan pada pemberian prakarsa lokal dalam proses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi secara luas.

Pembangunan ekonomi lokal berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan dalam kapasitas perusahaan untuk menghasilkan produk yang lebih baik, identifikasi pasar baru dan transformasi pengetahuan. Pemerintah lokal dengan partisipasi masyarakat dan menggunakan sumberdaya kelembagaan berbasis masyarakat yang ada dan berpotensi ekonomi diperlukan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki untuk merancang dan melaksanakan pembangunan ekonomi lokal. Pemerintah lokal dan organisasi kemasyarakatan menyadari bahwa semua kegiatan sektor publik mempunyai suatu pengaruh terhadap keputusan-keputusan sektor swasta. Keputusan swasta dan kegiatan ekonomi publik adalah erat terkait satu sama lain dan mempengaruhi peluang untuk menciptakan lapangan kerja. Organisasi berbasis masyarakat perlu menyusun prespektif baru yang bermanfaat untuk mendorong prakarsa pembangunan terencana dan terkoordinasi. Dalam masyarakat, baik yang besar maupun kecil perlu memahami bahwa pemerintah lokal, lembaga kemasyarakatan dan sektor swasta merupakan mitra utama dalam proses pembangunan ekonomi (Adisasmita., 2005).

3. Rasionalisasi Dana Bergulir

Pengentasan kemiskinan baik melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) maupun program non IDT, pada dasarnya mengacu pada upaya meningkatkan atau menstimulasi aktivitas perekonomian di daerah pedesaan. Aktivitas perekonomian pada umumnya didasarkan pada kegiatan investasi, antara lain dipengaruhi oleh jumlah tabungan terakumulasi dan tingkat harga modal untuk investasi yakni berupa tingkat bunga yang harus dibayar bagi balas jasa atas modal. Dengan demikian, harga barang atau jasa adalah masalah sentral dalam pembahasan perekonomian

(5)

pada umumnya maupun perekonomian pedesaan pada khususnya (Nurdin dalam Prijono, 1996)

Dalam kerangka dasar pemikiran pengembangan program IDT maupun pembangunan keluarga sejahtera di daerah tertinggal, dikemukakan bahwa kemiskinan yang terjadi terutama di daerah pedesaan, bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Kemiskinan antara lain ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan seakan-akan tidak dapat diubah, tercermin dalam lemahnya keinginan untuk maju, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan (Mubyarto dalam Prijono,1996).

Kondisi tersebut sangat umum terlihat di daerah pedesaan. Kenyataan memperlihatkan bahwa tingkat harga dalam perekonomian desa sangat ditentukan oleh kekuatan ekonomi di luar pedesaan, antara lain oleh para pedagang perantara, khususnya untuk barang produksi hasil industri maupun hasil pertanian desa.

Ketidakmampuan masyarakat pedesaan untuk melakukan ”bargaining” dengan pelaku dari luar daerah pedesaan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kurangnya modal, tingkat pengetahuan dan keterampilan, dan lain sebagainya. Lemahnya posisi dalam ”bargaining” ini akan menggerogoti kekuatan ekonomi masyarakat desa, sehingga akhirnya menjadi lemah dan kurang berdaya dalam sistem ekonomi pasar untuk bersaing bebas antara sesama pelaku ekonomi (Nurdin

dalam Prijono, 1996).

Oleh karena itu, ekonomi pedesaan tidak mungkin dibiarkan bersaing dengan pelaku ekonomi lainnya, terutama mereka yang berasal dari daerah perkotaan. Untuk itu dalam upaya menggerakkan daya ekonomi pedesaan pada umumnya dan masyarakat desa, khususnya, diperlukan sejumlah investasi tertentu. Investasi ini harus dilakukan sendiri oleh masyarakat desa (swasembada) agar pelaku ekonomi yang ada di daerah pedesaan tersebut merasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap investasi yang dilakukan.

Pertanyaan sekarang, dari mana memperoleh modal untuk melakukan investasi ? Disinilah peran pemerintah dalam membantu mengembangkan modal awal bagi aktivitas perekonomian pedesaan. Beberapa program yang dapat dilakukan, antara lain melalui mekanisme akumulasi dan alokasi tabungan serta penciptaan modal bergulir (revolving funds) dalam kerangka pemikiran ekonomi kelembagaan. Dalam kaitan dengan penciptaan modal bergulir tersebut, kerangka

(6)

pemikiran ekonomi kelembagaan perlu digarisbawahi. Hal ini mengingat keberhasilan modal bergulir sangat tergantung dari eksistensi kelompok.

Program IDT maupun Tabungan Kesejahteraan Keluarga (Takesra) dan Kredit Usaha Kesejahteraan Keluarga (Kukesra) yang dikembangkan di daerah desa tidak tertinggal, pada dasarnya merupakan bentuk dari penciptaan modal bergulir dalam upaya membantu menyediakan modal awal investasi bagi perekonomian pedesaan agar tercipta perekonomian yang swasembada di daerah pedesaan. Program IDT dan pembangunan keluarga sejahtera di daerah tidak tertinggal adalah program untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan penduduk miskin atau

Pra Sejahtera dan Sejahtera 1 untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka

kesempatan berusaha. Dalam kerangka itu, program IDT dan keluarga sejahtera diarahkan pada pengembangan kegiatan sosial ekonomi untuk mewujudkan kemandirian penduduk miskin di desa dengan menerapkan prinsip gotong royong,

keswadayaan dan partisipasi (Sayogyo dalam Prijono, 1996).

Namun demikian, keberhasilan menggerakkan ekonomi pedesaan menuju ekonomi yang swasembada tidak saja tergantung dari penciptaan modal bergulir, tetapi juga bagaimana membantu masyarakat desa mengembangkan jiwa kewirausahaan, peningkatan pengetahuan pasar dan lain sebagainya, melalui pendidikan dan latihan serta bantuan pemasaran (Sayogyo dalam Prijono, 1996). Sayogo mengemukakan bahwa, keberhasilan program ekonomi pedesaan termasuk program IDT, keluarga sejahtera, maupun program lainnya sangat tergantung dari partisipasi anggota kelompok. Dalam hal ini perencanaan top down dan bottom up harus benar-benar diperhatikan dalam mengembangkan setiap program di daerah pedesaan. Lebih lanjut Sayogyo mengemukakan bahwa dalam banyak hal, ketidakberhasilan dalam suatu program pembangunan, terutama di daerah pedesaan, termasuk pengembangan ekonomi pedesaan yang swasembada, karena kurangnya bentuk partisipasi aktif dari anggota kelompok. Dengan kata lain, kurangnya perencanaan yang bersifat bottom up dan terlalu menekankan pada perencanaan top down.

4. Pengertian Dana Bergulir

Dalam upaya meningkatkan peran koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, guna pengembangan usahanya, pemerintah memberikan stimulan dalam bentuk dana bergulir untuk bantuan perkuatan modal usaha.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.05/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara/Lembaga, dalam ketentuan

(7)

umum yang dimaksud dengan Dana Bergulir adalah dana yang dialokasikan oleh Kementerian Negara/Lembaga/Satuan kerja Badan Layanan Umum (BLU) untuk kegiatan perkuatan modal usaha bagi koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah yang berada di bawah pembinaan Kementerian Negara/Lembaga.

Tujuan dana bergulir yaitu membantu perkuatan modal usaha guna pengembangan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah, dalam upaya penanggulangan kemiskinan, pengangguran dan pengembangan ekonomi nasional.

Suatu dana dikategorikan sebagai dana bergulir, jika memenuhi karakteristik berikut :

a. Bagian dari keuangan negara.

b. Dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangan.

c. Dimiliki,dikuasai, dan/atau dikendalikan oleh PA (Pengguna Anggaran)/KPA (Kuasa Pengguna Anggaran).

d. Disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompok masyarakat, ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah dan digulirkan kembali kepada masyarakat (revolving fund).

e. Ditujukan untuk perkuatan modal koperasi, usaha mikro, kecil, menengah dan usaha lainnya.

f. Dapat ditarik kembali pada suatu saat.

Dana bergulir sebagai bagian dari keuangan negara merupakan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban negara.

Dana bergulir dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangan mempunyai pengertian bahwa, dana bergulir dimasukkan ke dalam siklus APBN, yaitu APBN/APBN Perubahan dan/atau Laporan Keuangan PA (Menteri atau Kepala/Ketua Lembaga)/KPA (Sekretaris Jenderal/Sekretaris Kementerian Negara/ Sekretaris Lembaga atau Direktur Jenderal/Deputi).

Dana bergulir dimiliki, dikuasai dan/dikendalikan oleh PA/KPA, maksudnya PA/KPA mempunyai hak kepemilikan dana bergulir, penguasaan dana bergulir, dan/atau kewenangan dalam melakukan pembinaan, monitoring, pengawasan atau kegiatan lain dalam rangka pemberdayaan dana bergulir.

Dana bergulir dapat ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah mempunyai pengertian bahwa, PA/KPA/pihak ketiga yang diberi kewenangan oleh PA/KPA dapat menarik/menagih dana bergulir dengan mengenakan bunga/bagi hasil selain pokok dana bergulir kepada penerima dana bergulir, atau PA/KPA/pihak ketiga

(8)

yang diberi kewenangan oleh PA/KPA dapat menarik/menagih dana bergulir dengan tidak mengenakan bunga/bagi hasil dengan tujuan tertentu yang ditetapkan oleh Kementerian Negara/Lembaga.

Perkuatan modal mempunyai pengertian bahwa dana tersebut digunakan untuk meningkatkan kemampuan operasional/bisnis penerima dana bergulir. Sedangkan pengertian dapat ditarik kembali maksudnya dana tersebut dapat ditarik secara fisik oleh PA/KPA/pihak ketiga yang diberi kewenangan oleh PA/KPA dari penerima dana bergulir untuk digulirkan kembali (Permenkeu Nomor 99 Tahun 2008)

5. Pengertian Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi sebagai Lembaga Keuangan

Kegiatan usaha simpan pinjam adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghimpun dana dan menyalurkan melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota koperasi bersangkutan, calon anggota koperasi bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya (PP Nomor 9 Tahun 1995). Secara kelembagaan usaha simpan pinjam koperasi dapat berupa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) atau Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi. KSP adalah suatu koperasi yang usahanya hanya berupa simpan pinjam. Pada KSP, koperasi yang bersangkutan tidak memiliki usaha lain selain simpan pinjam tersebut. Sedangkan USP Koperasi adalah unit usaha koperasi yang bergerak dalam bidang simpan pinjam, merupakan salah satu unit usaha pada koperasi. Koperasi dengan USP sebagai unit usaha, dapat memiliki satu atau lebih usaha di luar usaha simpan pinjam.

Spesifikasi dari pada usaha simpan pinjam koperasi sebagai lembaga keuangan pada dasarnya, yaitu pihak yang dilayani, baik yang menyimpan maupun meminjam adalah anggota koperasi sekaligus juga sebagai pemilik koperasi itu sendiri. Namun demikian dalam ketentuan usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia seperti diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1995 terdapat kelonggaran, yaitu pihak yang dilayani dapat berupa calon anggota, koperasi lain dan anggotanya. Sedangkan secara hak kepemilikan, spesifikasi koperasi yaitu setiap anggota memiliki satu suara, tidak tergantung pada proporsi penyertaan modalnya.

Sesuai dengan esensi dasarnya, KSP memperoleh simpanan dan memberikan pinjaman dari dan untuk anggotanya. Namun dalam prakteknya bisa terjadi perolehan dana KSP dan USP koperasi terutama bukan berasal dari simpanan anggotanya, melainkan berasal dari pihak lain atau lembaga keuangan lainnya. Pada koperasi yang anggotanya relatif rendah tingkat ekonominya, terutama di negara-negara berkembang, pada umumnya dana yang dipinjamkan oleh koperasi

(9)

kepada para anggotanya tidak berasal dari para anggotanya, tetapi dari pihak lain, yaitu lembaga keuangan lain, atau dapat berasal dari lembaga non keuangan termasuk dari pemerintah. KSP yang demikian, dengan dana yang dipinjamkan terutama bukan berasal dari para anggotanya di beberapa negara disebut sebagai Koperasi Kredit. Dengan pengertian tersebut, koperasi pertanian yang didirikan untuk memperoleh pupuk, bibit dan obat-obatan serta sarana produksi lainnya secara kredit disebut sebagai Koperasi Kredit. Demikian pula Koperasi Unit Desa (KUD), Koperasi Karyawan (Kopkar), Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) dapat dikategorikan sebagai Koperasi Kredit karena dana yang dipinjamkan sebagian besar bukan berasal dari para anggotanya.

Dapat pula terjadi pada awalnya anggota KSP bukan merupakan sasaran peminjamnya, karena anggota KSP tersebut adalah pemilik dana yang ingin mendapatkan nilai tambah dari dana tersebut. Namun tidak dengan langsung mengusahakan sendiri melainkan dengan cara meminjamkan kepada pihak lain melalui KSP dan USP Koperasi. Sedangkan peminjam adalah orang lain yang dapat diperlakukan sebagai calon anggota. Keanggotaan tersebut tentu sepanjang memenuhi kriteria sebagai anggota sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada koperasi tersebut. Dengan demikian pada dasarnya KSP dan USP Koperasi pada awalnya merupakan koperasi investasi, karena koperasi tersebut didirikan sebagai sarana investasi para anggotanya. Dalam perkembangannya setelah melalui fase tertentu, sesuai dengan ketentuan pada koperasi bersangkutan, misalnya telah memenuhi simpanan pokok, simpanan wajib dan memiliki catatan kinerja (track

record) baik sebagai debitur, maka peminjam tersebut dapat menjadi anggota yang

berarti juga sebagai pemilik koperasi. Dengan kondisi seperti itu secara bertahap dicapai kondisi, yang dilayani adalah anggotanya dan yang memiliki adalah anggota koperasi. Menurut ketentuan tipe koperasi tersebut dimungkinkan, secara bisnis juga potensial kelayakannya, namun dalam praktek belum banyak dijumpai di Indonesia.

Dalam posisi KSP dan USP Koperasi, yaitu penyimpan dan peminjam sebagian besar adalah anggotanya, maka pada dasarnya KSP dan USP Koperasi tersebut berperan sebagai lembaga perantara keuangan bagi anggotanya. Anggota sebagai pemilik dana mengharapkan KSP dan USP Koperasi berperan sebagai sarana investasinya atau sarana penyimpan dananya. Sedangkan anggota yang dalam posisi kekurangan dana untuk usaha mengharapkan KSP dan USP Koperasi berperan sebagai sarana atau sumber guna memperoleh dana untuk modal usaha.

(10)

Dengan kata lain sumber dan sasaran penyaluran dana adalah para anggotanya. Meskipun penyimpan dan peminjam sebagian besar adalah anggotanya, tidak berarti bahwa para anggota tidak memerlukan sumber dan sasaran penyaluran dana dari dan untuk non anggota. Hal tersebut disebabkan sangat sulit untuk mencapai posisi , yaitu setiap saat semua kebutuhan para anggota dapat dipenuhi dari anggota sendiri.

Pada suatu saat dihadapi keadaan, yaitu kelebihan dana, sehingga perlu sarana penyaluran dana. Pada saat yang lain dihadapi situasi, yaitu kekurangan dana untuk memenuhi keperluan anggota, sehingga diperlukan sumber dana dari non anggota. Dalam rangka memenuhi harapan anggota KSP dan USP Koperasi harus selalu mencari alternatif sumber dana baru yang murah dan mudah. Pada sisi lain perlu selalu melakukan identifikasi pengusaha dan bidang usaha yang potensial dikembangkan sebagai sasaran investasi atau penyaluran dana (Prijadi dkk, 2005).

6. Fungsi dan Peran KSP dan USP Koperasi

KSP dan USP Koperasi sebagai koperasi yang bergerak dalam usaha simpan pinjam mengemban fungsi dan peran sebagai koperasi dan sebagai lembaga keuangan. Sebagai koperasi, KSP dan USP Koperasi memiliki fungsi dan peran terutama dalam membangun maupun mengembangkan kemampuan anggota, serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para anggota juga masyarakat pada umumnya. Koperasi berusaha terutama untuk kepentingan anggota, pada dasarnya tidak berbeda dengan badan usaha lainnya, karena para anggota sekaligus juga sebagai pemilik. Lebih spesifik lagi, yaitu sebagai anggota juga sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pelanggan. Dalam koperasi yang diutamakan bukanlah keuntungan langsung atau profit sebagai perusahaan, melainkan pengembangan kemampuan dan kesejahteraan anggotanya. Dengan demikian koperasi diharapkan dapat berperan sebagai wahana perjuangan peningkatan kesejahteraan para anggotanya.

Sebagai lembaga keuangan, KSP dan USP Koperasi berfungsi dan berperan sebagai lembaga perantara (intermediary institution) dana dengan menampung simpanan dari penyimpan dana serta menyalurkan dana kepada pengguna dana. Pemilik dana yang menyimpan atau menabungkan dananya di koperasi mengharapkan agar koperasi dapat berperan sebagai tempat menampung simpanan dengan aman atau sebagai sarana investasi dengan resiko dan pengembalian

(11)

Dalam koperasi, pemilik dana diharapkan terutama dari para anggota sendiri. Sebagai pemilik dana dan sebagai pemilik koperasi, maka para anggota memiliki kepentingan. Oleh karena itu, para anggota harus peduli terhadap tingkat keamanan dan tingkat pengembalian atau imbalan dana investasinya sebagai perusahaan miliknya. Hal ini yang menjadi salah satu pembeda penyimpan dana di koperasi dan non koperasi. Apabila koperasi dapat merealisasikan pembeda ini secara nyata dan positif, yaitu dalam arti tingkat pengembalian investasi memadai dan koperasi sebagai perusahaan juga menunjukkan kinerja baik serta transparan, maka koperasi memiliki nilai lebih bagi para anggota sebagai pemilik dan pelanggan akan menjadi daya saing bagi koperasi.

Dalam hal anggota sebagai pengguna atau sasaran penyaluran dana, maka KSP dan USP Koperasi berperan sebagai sumber dana investasi, baik investasi jangka pendek, modal kerja atau investasi jangka panjang. Sebagai pengguna dana, kepentingan anggota yaitu mendapatkan sumber dana dengan syarat dan prosedur yang mudah dan biaya murah.

Dengan dana yang diperoleh, maka para anggota melakukan kegiatan usaha yang merupakan proses perolehan nilai tambah dan menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya serta dapat mengembalikan pinjaman kepada koperasi. Dengan pengembalian pinjaman kepada koperasi ini memungkinkan berulang dan membesarnya proses kegiatan usaha serta terjadi akumulasi nilai tambah yang berdampak terhadap peningkatan pendapatan. Di samping itu juga terjadi peningkatan kebutuhan dana investasi yang berdampak terhadap peningkatan pasar penyaluran dana KSP dan USP Koperasi. Juga terjadi peningkatan kebutuhan tenaga kerja yang berarti peningkatan kesempatan kerja.

Dengan demikian KSP dan USP Koperasi berperan dalam mendukung proses terjadinya peningkatan pendapatan, peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan akumulasi aset bagi anggotanya. Para anggota sebagai penyimpan dan peminjam dana, juga sebagai pemilik koperasi memiliki hak dan kepentingan terhadap nilai tambah atau keuntungan dari KSP dan USP Koperasi sebagai perusahaannya

(Prijadi dkk, 2005)

7. Pengembangan Usaha

Pengembangan usaha khususnya dan pembangunan ekonomi pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Peningkatan kesejahteraan ekonomi dicapai apabila pendapatannya meningkat lebih tinggi dari pada laju peningkatan harga-harga, sehingga kemampuan memenuhi

(12)

kebutuhan ekonomi masyarakat meningkat. Dengan kata lain peningkatan kesejahteraan ekonomi adalah peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan hanya dapat terjadi bila orang atau masyarakat yang telah bekerja meningkat pendapatannya dan yang belum bekerja dapat bekerja, setelah bekerja dapat meningkatkan pendapatannya.

Peningkatan kesempatan kerja akan terjadi bila terdapat peningkatan jumlah atau jenis produksi yang ditentukan oleh permintaan atau penjualan produk tersebut. Sedangkan peningkatan pendapatan akan terjadi bila terdapat peningkatan nilai tambah per-satuan produksi atau per-satuan tenaga kerja atau per unit usaha. Peningkatan pendapatan juga dapat terjadi bila terdapat peningkatan volume produksi dan penjualan per-satuan waktu atau per-tenaga kerja, dengan tingkat nilai tambah yang tetap.

Dengan demikian apabila yang dituju adalah peningkatan pendapatan masyarakat, maka indikator keberhasilan utama adalah peningkatan pendapatan, peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan produksi serta penjualan

(Prijadi dkk, 2005)

8. Pengembangan SDM

SDM pengelola KSP dan USP Koperasi merupakan salah satu kunci keberhasilan pengembangan koperasi yang berusaha di bidang simpan pinjam. Cukup banyak KSP dan USP Koperasi yang berkembang dengan baik apabila ditelusuri berkat ketepatan (rekruitment) dan pembinaan SDM nya. Demikian pula sebaliknya, kegagalan KSP dan USP Koperasi disebabkan oleh kesalahan pemilihan dan pembinaan SDM nya.

Dalam pengembangan SDM KSP dan USP Koperasi sebagai salah satu kelompok usaha di Indonesia terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain KSP dan USP Koperasi yang potensial tumbuh dalam jumlah besar dan menyebar di seluruh pelosok tanah air. Manajemen SDM KSP dan USP Koperasi dapat distandarisasi meskipun tidak berarti hanya satu pola manajemen. Oleh karena itu pembinaan SDM KSP dan USP Koperasi perlu didukung pemerintah pusat maupun daerah.

Dengan kendala tersebut, maka kedepan perlu dikembangkan pusat-pusat pengembangan SDM Simpan Pinjam Koperasi. Pusat Pengembangan SDM tersebut diproyeksikan memiliki pasar yang cukup karena usaha simpan pinjam koperasi potensial berkembang di berbagai daerah dalam jumlah besar, kini ada lebih dari 36.000 unit KSP dan USP Koperasi di Indonesia.

(13)

Pusat pengembangan SDM tersebut tidak perlu didirikan tersendiri, apalagi dari awal. KSP dan USP Koperasi besar dan sukses seperti Koperasi Setia Bhakti Wanita Surabaya memiliki pengalaman banyak dan baik dalam pengembangan SDM Simpan Pinjam. Demikian pula Bank Bukopin dapat didukung untuk berkembang sebagai pusat pengembangan SDM Simpan Pinjam. Dukungan tersebut idealnya tetap mengacu pada mekanisme pasar dan tidak mengganggu prinsip-prinsip kompetisi dan kompetensi.

Dukungan yang diberikan dilakukan dalam upaya meningkatkan kemampuan tutor atau pengajar dan meningkatkan pasar yang dilatih. Peningkatan pasar yang dilatih dapat berupa promosi dan biaya pelatihan bagi SDM KSP dan USP Koperasi, terutama KSP dan USP Koperasi yang masih lemah posisinya (Prijadi dkk, 2005).

9. Program Pengembangan KSP Sektoral

Program KSP Sektoral telah dirintis dan dilaksanakan dari tahun 2003-2004, dimaksudkan untuk memberikan dukungan perkuatan kepada KUKM di sektor agribisnis. Hal ini dilakukan dengan cara meningkatkan akses pada sumber pembiayaan dalam upaya meningkatkan kemampuan dan jangkauan pelayanannya, sehingga KSP tersebut mampu memberikan pelayanan keuangan kepada UKM di sektor agribisnis.

Program ini pada tahun 2005 ditingkatkan pelayanannya tidak hanya pada sektor agribisnis, namun diperluas ke berbagai sektor usaha produktif lainnya, seperti pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan perkebunan, pertambangan dan galian, industri pengolahan dan kerajinan, perdagangan dan aneka jasa lainnya.

Program tersebut diawali dengan memberikan perkuatan kepada 10 KSP dengan penyediaan anggaran Rp 1 milyar untuk setiap KSP. Pemanfaatan dana tersebut yaitu setiap anggota KSP dapat memperoleh pinjaman maksimal Rp 20 juta. Dukungan perkuatan kepada KSP ini dilakukan secara selektif. Program ini pada tahun 2004 dilanjutkan dengan menyalurkan dana Rp 150 milyar untuk 150 KSP di berbagai propinsi di Indonesia. Pada tahun 2007 program ini dilanjutkan kembali dengan realisasi Rp 10 milyar untuk 20 KSP @ Rp 500 juta dan Rp 15 milyar untuk 50 KSP @ Rp 300 juta (Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2007b). Rincian

(14)

Tabel 3. Program Pengembangan KSP Sektoral dari tahun 2003-2004 dan 2007

Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2007 Jumlah

Program

Kop (Rp M) Kop (Rp M) Kop (Rp M) Kop (Rp M)

Pengembangan

KSP Sektoral 10 10 150 150 70 25 230 185

Total 230 185

Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2008b

10. Program Pembiayaan Produktif Koperasi dan Usaha Mikro(P3KUM) dan Program Perempuan Keluarga Sehat Sejahtera (Program Perkassa)

P3KUM adalah rangkaian kegiatan pemerintah yang dilakukan dalam bentuk perkuatan permodalan KSP dan USP koperasi untuk mengembangan usaha mikro anggota koperasi dengan menggunakan dana bergulir konvensional guna mengurangi kemiskinan dan memperluas kesempatan kerja.

Pola konvensional adalah model pengembangan permodalan koperasi yang pengelolaan dan pelayanannya mempergunakan perhitungan berdasarkan tingkat suku bunga. Sedangkan pola syariah yaitu model pengembangan permodalan koperasi yang pengelolaan dan pelayanannya menggunakan perhitungan berdasarkan pola bagi hasil. Pengelolaan pola konvensional dilaksanakan oleh KSP dan USP Koperasi, sedangkan pola syariah dilakukan oleh Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS).

Tujuan kedua program tersebut adalah : (a) memberdayakan usaha mikro melalui perkuatan permodalan KSP, USP Koperasi, KJKS dan UJKS; (b) meningkatkan kemampuan SDM dalam bidang manajemen usaha dan pengelolaan keuangan; (c) memperkuat peran dan posisi KSP, USP Koperasi, KJKS dan UJKS dalam mendukung upaya perluasan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Sedangkan sasaran P3KUM dan Program Perkassa, antara lain yaitu terwujudnya peningkatan modal kerja bagi usaha mikro yang bergerak di bidang pertanian, perikanan/nelayan, peternakan, industri kerajinan/industri rumah tangga, pedagang kaki lima, warung-warung kecil yang disalurkan oleh KSP dan USP koperasi dalam bentuk pinjaman (Permenegkop dan UKM Nomor 08 Tahun 2007).

Kementerian Negara Koperasi dan UKM secara kumulatif sampai tahun 2005 telah menyalurkan P3KUM dengan pola syariah kepada 426 KJKS dan UJKS sebanyak Rp 96,8 milyar, dengan rincian berikut : (a) Tahun 2003 disalurkan kepada 25 KJKS dan UJKS @ Rp 50 juta sebanyak Rp 1,25 milyar; (b) Tahun 2004 didistribusikan kepada 99 KJKS dan UJKS @ Rp 50 juta sebanyak Rp 4,95 milyar;

(15)

(c) Tahun 2005 disalurkan kepada 302 KJKS dan UJKS @ Rp 300 juta sebanyak Rp 90,6 milyar.

Kemudian tahun 2006 telah disalurkan P3KUM pola konvensional dan pola syariah kepada 1.576 KSP dan USP koperasi maupun KJKS dan UJKS sebesar Rp 137,95 milyar, dengan rincian berikut : (a) P3KUM pola konvensional kepada 626 KSP dan USP koperasi @ Rp 100 juta sebesar Rp 62,60 milyar; (b) P3KUM pola konvensional kepada 197 KSP dan USP koperasi @ Rp 50 juta sebesar Rp 9,85 milyar; (c) P3KUM pola syariah kepada 557 KJKS dan UJKS @ Rp 100 juta sebesar Rp 55,7 milyar; (d) P3KUM pola syariah kepada 196 KJKS dan UJKS @ Rp 50 juta sebesar Rp 9,8 milyar.

Program Perkassa tahun 2006 telah didistribusikan kepada 197 koperasi @ Rp 100 juta senilai Rp.19,7 milyar, dengan rincian : (a) Program Perkassa pola konvensional kepada 99 KSP dan USP koperasi @ Rp 100 juta sebesar Rp 9,9 milyar; (b) Program Perkassa pola syariah kepada 98 KJKS dan UJKS @ Rp 100 juta sebesar Rp 9,8 milyar.

Tahun 2007 untuk P3KUM ditingkatkan menjadi 2.000 koperasi, alokasi anggaran Rp 200 milyar dengan rincian Rp 100 milyar untuk 1.000 KSP dan USP koperasi @ Rp 100 juta dengan pola konvensional, serta Rp 100 milyar lagi untuk 1.000 KJKS dan UJKS @ Rp 100 juta dengan pola syariah. Khusus untuk tahun 2007 yang direncanakan menerima P3KUM sebanyak 2.000 koperasi dengan alokasi Rp 200 milyar dapat dirasakan manfaatnya oleh 42.725 orang anggota koperasi. Dengan asumsi setiap satu orang anggota koperasi mampu merekrut dua orang tenaga kerja, maka melalui P3KUM diharapkan dapat menyerap 85.450 orang tenaga kerja.

Program Perkassa dengan alokasi Rp 25 milyar telah disalurkan untuk 250 koperasi @ Rp 100 juta, dengan rincian : (a) Program Perkassa pola konvensional kepada 125 KSP dan USP koperasi @ Rp 100 juta sebesar Rp 12,5 milyar; (b)

Program Perkassa pola syariah kepada 125 KJKS dan UJKS @ Rp 100 juta sebesar Rp 12,5 milyar. Demikian juga Program Perkassa dengan alokasi Rp 25

milyar dapat dirasakan manfaatnya oleh 6.175 orang anggota koperasi. Dengan asumsi setiap anggota mampu merekrut dua orang tenaga kerja, maka melalui Program Perkassa diharapkan dapat menyerap 12.350 orang tenaga kerja

(Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2007b). Rincian lebih lanjut dapat dilihat

(16)

Tabel 4. Program P3KUM dan Perkassa dari tahun 2005-2007

2005 *) 2006 2007 Jumlah

Program

Kop (Rp M) Kop (Rp M) Kop (Rp M) Kop (Rp M)

P3KUM 426 96,8 1.576 137,95 2000 200 4.002 434,75

Program

Perkassa - - 197 19,7 250 25 447 44,7

Total 4.449 479,45

*) Kumulatif dari tahun 2003 s/d 2005

Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2008c

P3KUM dan Program Perkassa mempunyai karakter yang relatif sama, baik jumlah pinjaman maupun sasaran yang diberikan pinjaman. Jumlah pinjaman yang diberikan kepada KSP dan USP Koperasi relatif sama, yaitu Rp 50 juta atau Rp 100 juta sesuai dengan kebutuhan dan alokasi anggaran APBN yang ada. Sasaran yang diberikan pinjaman sama, yaitu usaha mikro yang bergerak di bidang pertanian, perikanan/nelayan, peternakan, industri kerajinan/industri rumah tangga, pedagang kaki lima dan warung-warung kecil.

Bedanya, P3KUM dialokasikan kepada KSP dan USP Koperasi biasa. Sedangkan Program Perkassa khusus dialokasikan kepada Koperasi Wanita. Koperasi Wanita adalah koperasi yang para anggota dan pengelolanya adalah wanita. Koperasi Wanita umumnya banyak mengalami kemajuan dalam pengelolaan organisasi maupun usahanya. Hal ini disebabkan para wanita mempunyai sifat-sifat khusus yang secara naluri melekat dan dimiliki oleh para wanita, yaitu kejujuran, keuletan, kegigihan dan kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Sifat-sifat tersebut sangat diperlukan dalam pengelolaan koperasi yang sehat, yaitu sehat organisasi, sehat usaha dan sehat mental.

Kedua jenis program dana stimulan ini dialokasikan kepada KSP dan USP Koperasi yang kini jumlahnya lebih dari 36.000 unit dan sebarannya mencapai seluruh kecamatan di Indonesia. KSP dan USP Koperasi dapat melayani para anggota koperasi yang pada umumnya juga UKM. Oleh karena itu program dana stimulan merupakan program strategis untuk menggerakkan sektor riil dan meningkatkan produktivitas usaha. Bergeraknya sektor riil dan meningkatnya produktivitas usaha dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Di samping itu juga meningkatmya pendapatan dan kesejahteraan para anggota koperasi serta masyarakat di sekitarnya yang berarti dapat mengurangi jumlah kemiskinan.

Gambar

Tabel 3. Program Pengembangan KSP Sektoral dari tahun 2003-2004 dan 2007
Tabel 4.  Program P3KUM dan Perkassa dari tahun 2005-2007

Referensi

Dokumen terkait

Menggunakan data x-ray microtomography untuk menganalisis dan mengekstrak pori dan porositas memainkan peranan yang penting dalam menginvestigasi karakteristik pori dari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa r hitung 0,496 lebih besar dari r tabel = 0,244 pada taraf signifikansi 5% yang artinya bahwa ada hubungan yang positif

Pelabuhan Tanjung Priok, Tingginya aktivitas transportasi laut yang dikarenakan perdagangan internasional membuat pelabuhan begitu ramai dan juga meningkatnya arus kapal

Kedua, dalam Undang-undang Nomor 07 Tahun 2017 tentang pemilu pada pasal 280 menjelaskan perihal larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan ketika kampanye Pemilu,

Pemberian insentif yang tepat merupakan salah satu cara yang dapat digunakan perusahaan untuk meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan untuk mencapai kinerja

Apakah dengan adanya sistem pemesanan tiket secara online ini perusahaan lebih efisien dan efektif dalam melakukan aktivitasnya dalam hal pemesanan tiket?. Ya Tidak

Fortifikasi dengan tepung kedelai yang dilakukan pada gaplek serta adanya proses fermentasi dapat meningkatkan kadar serta memperkaya jenis asam amino seperti

Hasil penelitian menunjukkan bahwa agar batang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti bahan pemadat agar bacto untuk perbanyakan tanaman nilam secara in-vitro , karena pada