• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENCANA ALAM ANTARA TAKDIR DAN SUNNATULL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BENCANA ALAM ANTARA TAKDIR DAN SUNNATULL"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

opini

BENCANA ALAM: SUNNATULLAH ATAU TAKDIR?

Oleh:

Dr. A. Husnul Hakim IMZI, M.A.

(Direktur Lembaga Riset dan Studi al-Qur’an Institut PTIQ Dan Direktur Lingkar Studi al-Qur’an [eLSiQ] Jakarta)

Mengapa di tanahku terjadi bencana,

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, Atau alam mulai engggan bersahabat dengan kita,

Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang (Ebit G. Ade)

Lirik lagu di atas seakan menggambarkan keputusasaan, karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari bencana-bencana yang terjadi, seperti gunung meletus, angin puting beliung, banjir bandang, tanah longsor, dan lain-lain.

Benarkah Tuhan telah bosan? Di mana sifat kasih sayang-Nya yang selama ini dicurahkan kepada kita, bahkan tanpa kita minta sekalipun? Kenapa alam menjadi ganas, padahal selama ini bersahabat dengan kita? Di mana Tuhan Sang Rabbul alamin itu? Apakah Tuhan memang sengaja membiarkan alam ini berbuat sesuka hatinya untuk "menyiksa" manusia, makhluk ciptaan-Nya yang paling baik?

Kalau dikatakan sebagai peristiwa alam semata. Ini berarti alam tidak ada yang mengatur atau alam memiliki kehendak layaknya manusia. Kalau dikatakan sebagai kehendak Tuhan. Apa benar Tuhan tega menghancurkan ciptaan-Nya sendiri? Atau jika dikatakan, banjir dan tanah longsor itu akibat curah hujan yang cukup tinggi, benarkah? Apakah dulu-dulunya tidak pernah hujan seperti sekarang ini? Inilah beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak kita, dan mungkin masih banyak pertanyaan yang bisa diajukan dalam kasus ini.

Yang pasti, manusia teramat lemah untuk bisa menundukkan alam, bahkan manusia akan menjadi bulan-bulanan ketika alam menunjukkan keganasannya. Tidak ada teori atau kekuatan apapun yang bisa melawan keganan alam, apalagi jika

terjadinya bencana alam itu secara tiba-tiba dan tidak disangka-sangka.

(2)

Takdir, berasal dari bahasa Arab, taqdir, yaitu ketentuan Tuhan yang bersifat pasti dan mengikat sekaligus memaksa. Sementara yang dimaksud alam dalam tulisan ini adalah segala ciptaan Allah yang kita katakan sebagai benda mati, seperti langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, laut, angin, pepohonan, dan lain-lain. Dalam pandangan kita, mereka memang benda-benda mati, namun dalam, pandangan Tuhan mereka itu layaknya makhluk hidup yang juga mengabdi kepada-Nya, layaknya manusia (Q.s. 41 : 11). Bedanya, kalau pengabdian manusia bersifat ikhtiyari (diberi hak pilih), sedangkan pengabdian alam bersifat ijbari (dipaksa).

Karena itu, istilah taat dan tidak taat hanya ada dalam kehidupan manusia, bukan di dunia alam raya. Sebab, mereka semua tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan Tuhan. Mereka tidak punya pilihan atau kehendak, kecuali hanya ikut saja kepada ketentuan Tuhan yang telah ditetapkan untuknya, layaknya kerbau yang ditusuk hidungnya. Inilah yang diistilahkan oleh al-Qur’an dengan takdir (Q.s. 36: 38).

Sebagai kelanjutan dari penghambaannya, alam justru diciptakan untuk manusia (Q.s. 2: 29); bahkan ia "ditundukkan" demi memenuhi kebutuhan manusia (Q.s. 14: 32-33). Kalau begitu, sejatinya alam itu bersahabat dengan manusia. Karakter bersahabat dan melayani manusia inilah takdir alam yang tidak mungkin berubah menjadi menghukum manusia. Namun, penjelasan Qur’ani ini ternyata berbanding berbalik dengan fenomena alam yang terjadi akhir-akhir ini. Alih-alih memenuhi kebutuhan manusia, prilaku alam telah memorakporandakan tata kehidupan manusia.

Bagaimana al-Qur'an melihat hal ini? di dalam al-Qur’an memang banyak dijumpai redaksi yang dapat dipahami sebagai kebalikan dari karakter alam yang melayani dan bersahabat dengan manusia, misalnya rajfah (Q.s. 7: 87, 91), yaitu lahar panas; zalzalah (Q.s. 99: 1), yaitu gempa bumi; shaihah (Q.s. 11: 67, 94), yaitu petir atau kilat yang menyambar, shā`iqah (Q.s. 41: 17 dan Q.s. 2: 55), yaitu guntur yang memekakkan telinga, bumi terbalik dan hujan batu (Q.s. 11: 82), yang skenarionya seperti tsunami; thaufān (Q.s. 29: 14), yang dijelaskan oleh Ibn Katsir sebagai hujan yang sangat lebat sehingga merusak perkebunan, sawah dan ladang, dan lain-lain.

(3)

al-Qur’an, maka fenomena alam yang berubah dari takdirnya itu, paling tidak, merujuk kepada salah satu dari dua kemungkinan, yaitu (1) bentuk-bentuk azab Allah di dunia, atau (2) penggambaran situasi hari kiamat.

Kalau begitu, perubahan sifat dan karakter alam --dari melayani menjadi menghukum manusia-- seharusnya dipahami sebagai bentuk pengabdiannya kepada Allah swt., yakni sebagai eksekutor.

Bencana Alam: antara Takdir dan Sunnatullah

Sunnatullah adalah sebuah istilah yang sudah cukup akrab di telinga kita. Sunnatullah biasanya diidentikkan dengan ‘hukum alam’ atau hukum sebab akibat. Ini memang tidak sepenuhnya salah, sebab kenyataanya alam raya memang teratur dan dikendalikan oleh Sang Maha Cerdas. Allah swt. Namun, jika kita rujuk langsung kepada ayat-ayat al-Qur’an, ternyata tidak ada satu pun penyebutan term sunnatullah yang berhubungan dengan prilaku alam. Seluruhnya terkait dengan prilaku manusia dalam konteks kehidupan sosialnya. Menurut salah seorang pakar tafsir Indonesia, Quraish Shihab, sunnatullah adalah kebiasaan Allah dalam memperlakukan

masyarakat. Artinya, suatu masyarakat akan berubah kondisinya sesuai dengan perubahan sikap dan prilakunya, baik positif maupun negatif.

Pengidentikan sunnatullah dengan hukum alam, boleh jadi, dipengaruhi oleh sifat yang melekat pada term sunnatullah itu sendiri, yang dinyatakan sebagai ketentuan Allah yang tidak berubah (la tabdīla) dan tidak berpindah (la tahwīla). Padahal, maksud yang sesungguhnya tidaklah demikian. Kedua term ini tidak mengacu kepada konsistensi sunnatullah dalam gambarannya sebagaimana hukum alam.

(4)

Karena itu, jika terjadi perubahan karakter alam, dari melayani menjadi menghukum manusia, itu bukan berarti alam telah keluar dari takdirnya, akan tetapi, perubahan karakter itu terkait dengan prilaku masyarakat. Bahkan, lebih tidak tepat lagi jika kita menganggapnya sebagai kehendak alam itu sendiri, atau yang biasa dikenal dengan ‘keganasan alam’. Sebab, pernyataan ini sama saja menganggap alam ini berjalan sendiri, tidak ada yang mengatur.

Bahkan, seandainya dikatakan sebagai takdir Allah sekalipun juga tidak tepat. Kenapa demikian? Sebab anggapan itu sama saja telah menuduh Allah "tidak becus" mengatur alam ini. Ini jelas bertentangan dengan sifat dasar Allah, sebagai Zat Yang Maha Rahman dan Rahim.

Paling tidak, ada tiga ayat yang bisa kita jadikan sebagai landasan teori, bahwa Allah dengan kemahakuasaan-Nya, tidak mungkin menghendaki terjadinya bencana dalam komunitas manusia, apalagi dalam skala yang sangat besar dan dahsyat. Yaitu, "Tuhanmu tidak akan menghancurkan suatu negeri dengan cara zalim (seenaknya) sedangkan (prilaku sosial) penduduknya adalah baik" (Q.s. 11: 117), "Kami tidak akan menghancurkan suatu negeri kecuali penduduknya berbuat zalim" (Q.s. 28: 59), "Betapa banyak suatu negeri yang dihancurkan, karena penduduknya zalim" (Q.s. 22: 45). Dari ketiga ayat ini, dapat dipahami bahwa kehancuran yang menimpa sebuah daerah, antara lain dengan bencana alam, bukanlah kehendak alam itu sendiri.

Dengan demikian, perubahan prilaku alam, dari bersahabat menjadi

menghukum, itu memiliki keterkaitan secara positif dengan prilaku manusia. Bahkan, jika kita mau berfikir lebih jernih dan mendalam, sesungguhnya bencana alam

sejatinya untuk mengembalikan dan menjaga keseimbangan alam semesta yang telah dirusak oleh manusia, baik langsung, seperti ilegal logging, membuang sampah sembarang, mendirikan bangunan di atas serapan-serapan air; maupun tidak langsung, seperti ketidakadilan, korupsi, ketidakjujuran, ketidakpedulian, dan lain-lain.

Demikian ini, karena manusia termasuk dalam satu kesatuan alam semesta yang dinyatakan Al-Qur’an dengan ‘alamin. Bahkan, menurut Taqi Mishbah, seorang filosof dari Iran, bahwa bencana alam boleh jadi sebagai pertolongan terakhir Allah tehadap orang-orang baik yang selama ini telah terzalimi, sementara ia sendiri tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan kezaliman sosial tersebut.

Penutup

(5)

raya. Sebab, respon terhadap sikap ketidakadilan, ketidakpedulian, keserakahan, bukan saja datang dari sesama manusia, tapi juga dari alam raya (Q.s. 55 : 7-9).

kenyamanan hidup manusia, yang diberi hak untuk memilih, sangatlah tergantung pada upaya mereka, baik langsung, seperti memelihara kelestarian alam raya ini seperti awal penciptaannya, sebelum adanya manusia, maupun tidak langsung dengan menjaga sifat dan prilaku sosialnya. Sebab, sesuai dengan takdirnya, alam bersifat ijbari (dipaksa) dan ditundukkan untuk melayani manusia, ia tidak bisa menolak takdirnya. Manusialah yang diberi kebebasan untuk menentukan sikap dan pilihannya sendiri (ikhtiyari). Dalam relasinya dengan alam raya, kakarakter ikhtiyari itu tidaklah bersifat mutlak dan absolut. Ia tetap berada dalam koridor kehendak (irādah) dan kekuasaan (qadrah) Tuhan yang diwujudkan dalam sunnah-Nya.

Hujan tidak akan menyebabkan banjir, jika serapan-serapan air atau situ-situ berfungsi dengan baik. Air sungai tidak akan meluap, jika tidak terjadi penyempitan dan sedimentasi (pengendapan lumpur). Kalau begitu, kenapa situ-itu berubah fungsi ? Kenapa sungai-sungai menjadi menyempit ? Kenapa tidak dilakukan pengerukan sungai ? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab, karena jawabannya sudah cukup jelas. Kalau begitu, masihkah kita tetap menyalahkan hujan, masihkan kita terus menerus menyalahkan sungai ? Masihkah kita tetap menyatakan, “Akibat diguyur hujan deras daerah anu terjadi banjir” “Akibat hujan deras sungai x meluap” Kata-kata ini sama saja dengan perbahasa “lempar batu sembunyi tangan”.

Wa Allahu a’lam

Data Pribadi :

Ahmad Husnul Hakim

Referensi

Dokumen terkait

Pergerakan imbal hasil Surat Utang Negara yang masih mengalami penurunan pada perdagangan kemarin didukung oleh hasil positif dari pelaksanaan lelang penjualan

Kini, terdapat pelbagai aplikasi TMK yang diperkenalkan dalam pendidikan untuk membantu para guru dan pelajar menjalani proses PdP dengan lebih berkesan.. Apa yang

This study was conducted to compare fibrin deposit in pregnant mice that infected by Plasmodium berghei (treatment group) to the normal pregnant mice (control group) and

ketepatan indikasi, pasien adalah 100% sedangkan untuk tepat obat 90%, dosis 73,06% dan waktu pemberian 93,6% hal ini bisa dikarenakan penggunaan antibiotik

[r]

Terdapat portico dan podium atau semacam panggung di mana bagian utama kuil berdiri, merupakan bagian dari model kuil Etruscan yang sudah ada sejak abad VII SM. Kuil ini

kegiatan perawatan yaitu suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu hasil yang dapat mengembalikan atau mempertahankan suatu

Sebanyak 9,15 g ekstrak kental n-heksana hasil partisi menunjukkan aktif antibakteri dengan diameter zona hambat sebesar 9 mm terhadap Staphylococcus aureus dan 8