• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Adat Vs Hukum Positif Studi Kasus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Adat Vs Hukum Positif Studi Kasus"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Adat Vs Hukum Positif:

Studi Kasus Adat Tajen di Bali

Tugas Mata Kuliah Antropologi Semester I

Oleh: - Guno Wardoyo

- Mita Hardiyanti Djuhaepa - Robi Hasbialloh

(2)

I. Pendahuluan:

Bali sebagai salah satu daerah dengan akar kebudayaan yang dijaga dengan sangat kuat mempunyai beberapa kontroversi yang menarik untuk dikaji. Tulisan ini akan mengkaji kontroversi adanya adat yang dijadikan Hukum Adat di Bali, khususnya ritual Tajen, yang bertentangan dengan Hukum Positif Indonesia, dalam hal ini larangan tentang perjudian. Kontroversi mengenai Tajen selalu ada sampai saat kini bagi sebagian orang Bali tajen adalah bagian dari ritual adat budaya Bali identik dengan tabuh rah harus dijaga dan dilestarikan.

Tajen merupakan sebuah tradisi judi sabung ayam di Bali yang dilakukan dengan memasangkan taji, yaitu sebuah pisau kecil yang dipasangkan di kaki dua ayam jantan yang diadu sebagai senjata untuk membunuh lawannya. Tajen biasa dilakukan di pura-pura, arena sabung ayam atau bahkan tempat-tempat wisata yang memang menyediakan arena sabung ayam dan tajen sebagai obyek wisata.

Menurut sejarah, tajen dianggap sebagai sebuah proyeksi dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan pada saat tilem. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ke tanah dianggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan naik tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia. Matabuh darah binatang dengan warna merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan tajen adalah, dimana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih.

Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa judi tajen sudah ada dari jaman sebelum ajaran agama Hindu masuk ke Bali, yaitu sebelum abad X Masehi. Namun sayangnya pendapat ini sukar dibuktikan dan dipercaya, dikarenakan kebanyakan orang di Bali lebih mempercayai bahwa tajen berasal dari tabuh rah. Sampai saat ini, persoalan tajen di Bali tetap menjadi sesuatu yang cukup dilematis. Dalam perspektif hukum positif, kegiatan apapun yang mengandung unsur permainan dan menyertakan taruhan berupa uang, maka dianggap sebagai perjudian dan dianggap terlarang. Namun di sisi lain, tajen yang sebenarnya merupakan sebuah proyeksi dari tabuh rah dianggap sebagai salah satu bentuk upacara adat yang sakral, patut dijunjung tinggi, dihormati dan tentu saja harus dilestarikan

Kuatnya adat yang melegalkan tradisi Tajen ini membuat para penegak hukum positif (Polisi) mengalami kesulitan dalam memberantasnya.

(3)

Tulisan ini juga merupakan salah satu tugas mata kuliah Antropologi pada semester satu Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jakarta.

II. Landasan Teori:

Dalam hukum positif Indonesia, dalam hal ini Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 303 ayat 3, menyatakan berjudi sebagai berikut:

“Main judi berarti tiap-tiap permainan yang kemungkinannya akan menang, pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau mungkin bertambah besar, karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Main judi mengandung segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.

Atas perbuatan judi tersebut, KUHP pasal 303 juga menyebutkan:

(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ribu rupiah, barang siapa dengan tidak berhak:

a. berpencarian dengan sengaja memajukan atau memberi kesempatan berjudi atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan main judi; b. dengan sengaja memajukan atau memberi kesempatan berjudi kepada umum atau dengan sengaja turut dalam perjudian itu, biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat atau cara dalam hal memakai kesempatan itu;

c. berpencaharian turut main judi.

(2) Jika yang bersalah dalam melakukan itu dalam pekerjaannya, maka boleh dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.

Berdasar kutipan KUHP di atas, dapat disimpulkan, bahwa berjudi secara resmi atau secara hukum dianggap sebagai tindak pidana atau dianggap sebagai kejahatan. Dan jika ada individu yang bekerja kemudian dianggap “bersalah” karena melakukan perjudian, maka hak melakukan pekerjaan tadi bisa dicabut (dikeluarkan dari pekerjaannya).

Dalam agama Hindu yang menjadi agama terbesar dan landasaran dari Hukum Adat di Bali disebutkan bahwa Judi adalah dilarang dalam Agama Hindu, sebagaimana dijelaskan larangan tersebut di Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, dan 228.

Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan.

(4)

Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221:

”Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota”.

Istilah kerajaan dan putra mahkota zaman sekarang dapat ditafsirkan sebagai negara dan generasi penerus, sedangkan istilah Pemerintah dapat ditafsirkan sebagai penguasa, mulai Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur.

Para penjudi dan peminum minuman keras digolongkan sebagai orang-orang “sramana kota” (sloka 225) disebut pencuri-pencuri tersamar (sloka 226) yang mengganggu ketenteraman hidup orang baik-baik. Judi menimbulkan pencurian (sloka 222), permusuhan (sloka 227) dan kejahatan (sloka 228).

Tabuh Rah Tidak Sama Dengan Tajen

Tabuh Rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pecaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan judi dan pertaruhan.

Mengenai Tabuh Rah, sudah diatur dalam Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hasil seminar PHDI tahun 1976 di Denpasar. Sumber sastra Tabuh Rah adalah: Lontar Siwatattwapurana dan Yadnyaprakerti.

Pelaksanaan Tabuh Rah adalah upakara (banten) diiringi puja mantra yang dilengkapi dengan taburan darah binatang korban antara lain ayam, itik, babi, kerbau di mana darahnya keluar dari di sambleh atau perang sata, dilanjutkan dengan mengadu kemiri, telor, kelapa.

Perang sata (adu ayam) dalam Tabuh Rah hanya dilaksanakan tiga ronde (telung perahatan) di tempat melaksanakan upacara agama, dapat menggunakan toh (taruhan) tetapi hasil kemenangan taruhan itu dihaturkan seluruhnya sebagai dana punia kepada Sang Yajamana.

Adu ayam yang pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan-ketentuan di atas tidak dapat disebut sebagai Tabuh Rah.

Bahkan diulas juga bahwa kondisi Tajen ini bertentangan dengan ajaran Hindu sebagai berikut:

Awidya

Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama.

(5)

banyaknya lukisan atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya.

Contoh lain, pernyataan seseorang bahwa ia harus pandai berjudi karena leluhurnya dahulu terkenal sebagai penjudi; jadi jika hormat pada leluhur harusnya menuruti pula hobi leluhurnya.

Berjudi juga sering menjadi simbol eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan dalam satu Banjar.

Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”.

Di zaman dahulu sering pula status sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya.

Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.

Tamasik

Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa bekerja.

Yang dimaksud dengan bekerja menurut Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9:

“Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma. Oleh karenanya Oh Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan.”

Dengan demikian mereka yang ingin dapat hasil tanpa bekerja tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada unsur untung-untungan atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan keberanian orang-orang tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan mereka berspekulasi dengan harapan hampa mendapat kemenangan.

Sadripu

Kalah atau menang dalam berjudi membawa dampak munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah:

1. kama (nafsu tak terkendali), 2. lobha (serakah),

(6)

6. matsarya (cemburu, dengki, irihati).

Penjudi yang menang menguatkan: kama, lobha, mada, dan moha, pada dirinya dan yang kalah menguatkan: kroda, dan matsarya.

Untuk itu Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat melalui beberapa kali seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu, dengan melibatkan berbagai pakar, menetapkan pelaksanaan “tabuh rah” dalam rangkaian Bhuta Yajña, sebagai berikut:

1. Tabuh Rah dilaksanakan dengan Panyambleh (anetak gulu ayam) disertai dengan upakara Yajña (sesajen).

2. Tabuh Rah dalam bentuk “perang sata” (adu ayam) adalah satu tradisi yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya dapat diganti dengan “penyambleh”.

3. Apabila dilakukan dengan “Perang Sata” (adu ayam), harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Upacara yang boleh disertai “Perang sata” adalah upacara Bhuta Yajña sebagai berikut:

i. Caru Panca Kelud (Panca Sanak Madurgha).

ii. Caru Rsi Ghana

iii. Caru Balik Sumpah

iv. Tawur Agung

v. Tawur Labuh gentuh

vi. Tawur Panca Walikrama

vii. Tawur Ekadasa Rudra

b. Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut.

c. Diiringi dengan “adu tingkih” (kemiri), adu pangi, adu telur, adu kelapa, dilengkapi andel-andel serta upakaranya.

d. Pelaksananya adalah Sang Yajamana (yang mempersembahkan upacara) dengan berbusana pakaian upacara sembahyang.

e. Perang sata maksimal dilakukan “Tlung Prahatan” (3 sehet) , tidak disertai taruhan.

(7)

III. Analisa

Hasil studi yang dilakukan beberapa peneliti FH Udayana mengatakan bahwa kegiatan perjudian ini masih terus berlangsung salah satunya akibat sikap beberapa Polsek di Bali dalam melakukan penegakan hukum terhadap perjudian Tajen lebih memilih penegakan hukum dalam rangka peace maintenance, yakni mengutamakan terpeliharanya keamanan, ketertiban dan rasa keadilan masyarakat daripada penegakan hukum berupa law enforcement, yakni penindakan hukum atas dasar undang-udang dan peraturan-peraturan yang berlaku semata-mata.

Tindakan diskresi yang dipilih oleh beberapa Polsek ini menimbulkan dampak negatif berupa adanya penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian anggotanya berupa pungutan liar di lokasi perjudian. Penyimpangan yang terjadi ini tidak semata-mata disebabkan oleh perilaku anggota yang sengaja memanfaatkan kebijaksanaan Polsek serta kewenangan yang dimilikinya, akan tetapi peranan dari penyelenggara perjudian yang berusaha untuk mencegah adanya penindakan hukum terhadap pelaku perjudian juga memberi andil yang cukup besar.

Hal ini terlihat pada saat terjadi hubungan antara petugas dengan penyelenggara perjudian, yakni adanya hubungan pertukaran antara kedua belah pihak, dimana masing-masing mengharapkan adanya imbalan atau keuntungan atas tindakan yang dilakukan. Meskipun sebenarnya penyimpangan oleh anggota tersebut telah diketahui oleh Pimpinannya, namun tetap saja dipertahankan tanpa adanya sanksi atau tindakan yang tegas dari pimpinannnya. Sampai batas-batas tertentu yakni selama tidak ada keluhan atau laporan pengaduan dari masyarakat, penyimpangan tersebut memang sengaja dibiarkan. Akan tetapi apabila sudah melampaui batas dan sudah sangat meresahkan warga masyarakat, maka penyimpangan tersebut akan diberi sanksi atau hukuman.

IV. Kesimpulan & Saran

Dasar yang jelas tentang larangan berjudi di dalam Kitab Menawa Dharmasastra dan hasil fatwa PHDI menuntut agar para penguasa khususnya di Bali diharap memahami benar tentang jenis-jenis judi agar tidak terkecoh dengan dalih pelaksanaan adat dan upacara agama.

Oleh karena itu menjadi tugas para Sulinggih atau pemimpin-pemimpin umat untuk meningkatkan kualitas beragama antara lain menyadarkan masyarakat akan dosa berjudi.

Memberantas perjudian tidak dapat dengan paksaan atau kekuasaan berdasarkan Undang-undang saja, tetapi akan lebih berhasil jika disertai dengan dharmawacana-dharmatula, dan penyuluhan-penyuluhan yang intensif.

(8)

Untuk menjaga kesehatan rohani masyarakat, salah satu upaya mungkin dapat ditempuh misalnya Pemerintah menyediakan fasilitas hiburan atau rekreasi yang sehat, antara lain berolah raga.

Jarang sekali di desa-desa ada lapangan voli, sepak bola, bulu tangkis, meja pingpong, dll. yang dikelola oleh Pemerintah. Jika ada, fasilitas itu dibuat oleh warga setempat, klub-klub, atau perusahaan.

Masyarakat yang ingin berenang di sungai atau di laut airnyapun sudah tercemar limbah atau sampah. Pemerintah agar berupaya mengalihkan keinginan masyarakat mencari hiburan dari berjudi kepada bentuk hiburan lain yang sehat.

Pada hari-hari raya misalnya diadakan pertandingan olah raga antar Banjar, Desa. Bentuk olah raga dipilih yang murah meriah misalnya tarik tambang, lomba lari

Di Klungkung, Gianyar dan Karangasem ada permainan “Ayunan Jantera” yang ramai dikunjungi pada hari-hari raya oleh anak-anak, tua, muda. Bentuk hiburan zaman sekarang yang mahal dan mewah belum tentu membawa kegembiraan dan kesehatan rohani.

Kenyataan di masyarakat dan di umat Hindu khususnya, keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan PHDI belum luas disosialisasikan dan bahkan dengan dalih untuk pembangunan pura, dana punia melalui pungutan karcis masuk dan sebagainya, maka hasil yang diperoleh dari melaksanakan judian tidaklah patut untuk dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Bila alasan dengan “tajen” gampang mengumpulkan dana dan bila hal ini dikaji secara mendalam sesungguhnya merupakan kerugian besar dalam pembinaan dan pembangunan mental spiritual. Judian mengarahkan orang malas bekerja dan ingin menikmati sesuatu dengan gampangan. Bila judi berupa tajen kini nampak semakin merebak, maka merupakan kewajiban dari pemerintah dan lembaga sosial masyarakat (LSM) dan utamanya PHDI dan Kanwil Agama beserta aparat kepolisian untuk menegakkan hukum, khususnya undang-undang larangan judi di Indonesia. Pemerintah dan lembaga terkait wajib mencegah dan mengeliminir, memperkecil ruang lingkup dan mencegah berkembangnya judian tersebut.

Juga diperlukan ketegasan dari Pimpinan Polri agar secara eksplisit melarang para anggotanya untuk melindungi, bekerja-sama dan memberi peluang akan adanya judi Tajen ini, tentunya dengan kordinasi yang kuat dengan para pemuka agama yang diperkirakan dapat diterima secara Hukum Adat di Bali.

(9)

Puja Gd, MA, Tjok Rai Sudharta MA.1977. Manawa Dharmasastra, Dirjen Bimas Hindu: Jakarta

Dharmawacana Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi sulinggih, tinggal di Geriya Tamansari Lingga Ashrama, Jl.Pantai Lingga, Singaraja

Kitab Undang Undang Hukum Pidana Republik Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Selatan Kabupaten Aceh Selatan untuk Pekerjaan Belanja Modal Pengadaan Gorden Sumber Dana APBK/DAK Tahun Anggaran

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah edukasi pada kelompok intervensi (pengetahuan: p= 0,002;

Two photogrammetric techniques for road surface analysis are proposed: for pavement deformation under test load monitoring and for road surface 3D reconstruction and

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Kendala penerapan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dengan media blok pecahanyaitu siswa malu bertanya, masih ada siswa yang tidak memperhatikan

Tim Evaluator hanya akan melihat bukti – bukti pada folder yang relevan dan tidak akan mencari bukti pada folder lainnya. Pastikan bukti-bukti yang. disampaikan tersusun

Rumusan dasar negara Pancasila yang termuat dalam piagam Jakarta secara yuridis formal ditetapkan sebagai dasar filsafat negara pada

Hasil penelitian wawancara tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam pemberian izin SPA di Makassar cukup optimal dalam meminimalisir tempat-tempat yang di