• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARSITEKTUR DI WILAYAH MINORITAS MUSLIM E

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ARSITEKTUR DI WILAYAH MINORITAS MUSLIM E"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

berlaku Agustus 2011 s.d. Agustus 2016. PenanggungJawab:

M. Anwar Firdausy RedaktuR:

Tarranita Kusumadewi Nangkula Utaberta Syamsul Arifin Muslih

Ahmad Kholil editoR:

Khoirul Hidayah Luluk Maslucha Ghanaim Fasya Umayatus Syarifah Aulia Fikriarini Rohmani Nur Indah desain gRafis:

Abadi Wijaya sekRetaRiat:

Nury Firdausia Edi Wasno Isa Aditya M. Khamim

el Harakah adalah jurnal Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, terbit berkala (tiap enam bulan) sebagai wahana komunikasi keilmuan insan akademik dalam kajian Budaya Islam. Redaksi mengundang para pakar dan akademisi untuk menyumbangkan pikirannya, baik berupa hasil penelitian, kajian mendalam, book review sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki. Naskah dimaksud adalah asli, belum dipublikasikan di media lain. Diutamakan naskah hasil penelitian. Redaksi berhak menyeleksi naskah yang masuk dan mengeditnya tanpa menghilangkan subtansi ide penulisnya.

(2)

arab latin arab latin

ا

a

ض

dh

ب

b

ط

th

ت

t

ظ

zh

ث

ts

ع

ج

j

غ

gh

ح

h

ف

f

خ

kh

ق

q

د

d

ك

k

ذ

dz

ل

l

ر

r

م

m

ز

z

ن

n

س

s

و

w

ش

sy

ه

h

(3)

sPiRitualisme Ratu kalinYamat:

kontroversi tapa wuda sinjang Rambut kanjeng Ratu di

Jepara Jawa tengah

Nur Said... 105

masJid di PaPua baRat:

tinjauan ekspresi keberagamaan minoritas muslim

dalam arsitektur

Ismail Suardi Wekke ...124

gaYa busana keRJa muslimaH indonesia

dalam PeRsPektif fungsi dan

sYaRiaH islam

Pingki Indrianti... 150

HaJi dan status sosial:

studi tentang simbol agama di kalangan

masyarakat muslim

M. Zainuddin ... 169

seting PeRilaku dan teRitoRialitas Ruang

sebagai PeRwuJudan adab di masJid gading

PesantRen kota malang

(4)

studi atas Pemikirannya dalam tafsir berbahasa bugis

karya mui sulsel

Muhammad Yusuf ... 199

ikon tRadisi ba’do katuPat

sebagai Refleksi kebudaYaan

masYaRakat Jaton di sulawesi utaRa

(5)

sPiRitualisme Ratu kalinYamat:

kontroversi tapa wuda sinjang Rambut kanjeng

Ratu di Jepara Jawa tengah

Nur Said

STAIN Kudus Telp: 0818265022 email: nursaid@ymail.com

abstract

In Javanese tradition, patriarchal culture is hold strongly though it cannot be generalized as a necessity. The emergence of Queen Kalinyamat as the representation of Javanese woman apparently indicates a contrary to the mainstream Javanese tradition. This article is a semiotical analysis on the spiritualism of Queen Kalinyamat who lived in the 16th century and protested against injustice in that time. She sent the military forces to Malacca to repel the Portuguese so that she was known as a wealthy and very powerful woman. Meanwhile, when her husband and brother were killed by Arya Penangsang, she also demanded justice by living as a naked ascetic (tapa wuda sinjang rambut) which resulted in multiple spiritual interpretations for grass root society. This is mostly interpreted as the spirit of sex drive, but the sufis interpreted it as meaningful metaphor to leave all sorts of worldly power material and position, then it is symbolized by the Arabic letter of Alif. Naked in this case is as a symbol of self-emptying and then filled with repentance, love and taqorrub to God. Queen Kalinyamat’s spiritualism counters the Javanese tradition toward different perspective reflecting eco-feminism trend in post-colonial era.

(6)

dikenal sebagai wanita kaya dan sangat kuat. Sementara itu, ketika suami dan kakaknya dibunuh oleh Arya Penangsang, dia juga menuntut keadilan dengan bertapa telanjang (tapa wuda sinjang rambut) yang telah melahirkan multi-makna spiritual di masyarakat akar rumput. Meskipun sebagian memaknainya sebagai semangat gairah seksual, kalangan sufistik memandangnya sebagai perilaku simbolik yang bermakna meninggalkan segala macam kekuasaan duniawi baik material dan jabatan sehingga dilambangkan dengan huruf Arab Alif. Telanjang dalam hal ini sebagai simbol pengosongan diri dan kemudian diisi dengan pertobatan, kasih dan taqorrub kepada Allah. Spiritualisme Ratu Kalinyamat menentang tradisi Jawa yang cenderung patriarki menuju perspektif yang berbeda yang mencerminkan trend ecofeminisme di era poskolonial.

Key words: Ratu Kalinyamat, spiritualism, sex, sufism, tapa wuda sinjang rambut

Pendahuluan

Dalam tradisi Jawa, terdapat konstruksi bahwa perempuan merupakan “konco wingking” (teman belakang) atau sebagai kelas kedua. Dalam hal pembagian peran, perempuan cenderung ditempatkan di ruang domestik (urusan dalam rumah tangga) sebagaimana dalam ungkapan sumur, kasur dan dapur. Bahkan RA Kartini yang dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan Indonesia menjadi korban tradisionalisme Jawa yang cenderung patriarkhal yang direproduksi oleh generasi tua:

“…kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya. Dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang – khas generasi muda – tapi terjebak dalam paluan ke-tua-an. Dalam masyaraktnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khazanah yang disusun oleh generasi tua. Tradisi hampir menentukan segalanya…” (Mohamad, 2006: 25-31).

Kartini dalam konteks kehidupannya bisa dibilang gagal dalam memperjuangkan idealisme yang sejak awal membenci kehidupan poligami ayahnya sendiri yang memperlakukan istri-istrinya secara tidak adil (Arbaningsih, 2005: 25). Namun demikian, dalam setiap periode tertentu, selalu ada peristiwa yang menunjukkan justru perempuanlah yang menjadi aktor sejarah hingga membawa zaman keemasan. Sebut saja Ratu Kalinyamat yang hidup di pesisir utara Jawa. Ratu Kalinyamat adalah salah satu figur perempuan yang dikenal sebagai pejuang heroik yang dijuluki “De Krange Dame” (Perempuan yang gagah berani) oleh orang Portugis (Gustami, 2000: 100).

(7)

yang biasanya didominasi oleh laki-laki bahkan dia berhasil menjadi seorang Ratu Jepara yang sangat berkuasa hingga Diego De Conto, seorang penulis Portugis menjuluki Ratu Kalinyamat sebagai “Rainha de Jepara senhora Poderosa e rice” (Ratu Jepara, seorang perempuan yang sangat berkuasa) (Said, dkk., 2005; 2). Namun, Ratu Kalinyamat tetaplah manusia biasa yang pernah juga mengalami keterpurukan jiwa terutama ketika suami yang dicintainya, Sultan Hadiri, terbunuh menyusul kematian saudara laki-lakinya, Sunan Prawata di tangan Arya Penangsang hanya karena faktor kepentingan politik. Menghadapi hal ini Ratu Kalinyamat melancarkan protes terhadap ketidakadilan penguasa yang direpresentasikan oleh Arya Penangsang. Arya Penangsang bagi Kalinyamat adalah simbol keserakahan dunia (Said, dkk., 2005: 2).

Sebagai wujud protes terhadap keserakahan Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat bertekad “bertapa telanjang” yang oleh masyarakat sekitar populer dengan istilah “tapa wudo sinjang rambut sinjang”. Memang belum ditemukan kata sepakat mengenai makna tentang cara pertapaan Ratu Kalinyamat yang “mertapa awuwudha wonten ing redi Dana Raja. Kang minangka tapih ramanipun kaore” itu sebagai sungguh-sungguh bertapa telanjang di gunung Danaraja atau sekedar kiasan.

Tulisan ini mengurai posisi Ratu Kalinyamat di tengah jejak Kesultanan Demak hingga kekuasaan Jepara; mulai dari akar konflik pesisir yang melibatkan Ratu Kalinyamat dan Aryo Penangsang hingga kontroversi tafsir tentang “tapa wudo sinjang rambut” Kanjeng Ratu yang populer hingga sekarang. Terdapat tiga persoalan yang akan dijawab dalam tulisan ini, yaitu: (1) Siapa sosok Ratu Kalinyamat dan sejauh mana ia terlibat dalam kekuasaan di Jepara baik mulai dari akar konflik hingga keemasan Jepara? (2) Bagaimana kiprah Ratu Kalinyamat hingga ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat berkuasa dan heroismenya yang tinggi?; (3) Bagaimana kontroversi spiritualisme Ratu Kalinyamat terkait “tapa wuda sinjang rambut” antara kalangan elit penguasa dan masyarakat akar rumput?

kerangka teori

(8)

(Armstrong, 1993: 14).

Maka tak berlebihan juga kalau ada yang mengatakan bahwa umat beragama dalam realitas sosialnya sesungguhnya juga mengenal adanya dimensi spiritual yang sakral (the reality of the Sacred) (Eliade, 1996: 158) atau disebut bahwa society as Sacred (Durkheim, 1996: 88), dalam realitas sosial juga sarat dengan fenomena yang sakral.

Perilaku Ratu Kalinyamat, sebagai sosok penguasa Jepara pada saat itu, ketika sedang dirundung duka, lalu melakukan “tapa wuda sinjang rambut” yang kontroversial itu tentu sarat dengan makna spiritual. Apalagi Ratu Kalinyamat dalam struktur sosial budaya masyarakat pesisir pada saat itu sebagai figur publik yang tentu akan menjadi referensi perilaku bagi masyarakat di sekitarnya. Masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh tiga fenomena; modernitas, agama dan budaya nenek moyang. Tidak ada golongan modern, golongan agama atau golongan budaya yang murni. Karena itu, spiritualisme selalu hadir dalam ruang kehidupan manusia selama manusia tumbuh rasa ingin tahu dalam menemukan makna dalam realitas kehidupannya (Risakotta, 2002: 123).

Maka Ratu Kalinyamat sebagai bagian dari nenek moyang masyarakat pesisir, ternyata perilaku tapa wuda sinjang rambut –nya telah melahirkan beragam tafsir spiritual yang bergulat dalam konstestasi tanda budaya yang begitu dinamik. Semua itu tak lepas dari kepentingan pencitraan sebagai sistem tanda (sign) yang di dalamnya menyimpan penanda (signifier) sebagai aspek material dan petanda (signified) sebagai aspek moral yang “ideologis” (Barthes, 1967: 41-48; Barthes, 1983: 115). Dalam pergulatan seperti itulah spiritualisme Ratu Kalinyamat akan didiskusikan dalam tulisan ini

Jati diri Ratu kalinyamat

(9)

Pamekas (Dokumen “Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara Nomor 2 Tahun 1989 Seri D No. 1” dalam Masya, 1991; 4).

Setelah Raden Patah yang bergelar Sultan Demak I meninggal dunia, beliau digantikan oleh putranya Pangeran Sabrang Lor (Pate Rodem Senior) yang kemudian bergelar Sultan Demak II. Dalam masa pemerintahan antara 2-3 tahun (1518-1521) Pangeran Sabrang Lor meninggal yang kemudian digantikan oleh Sultan Trenggana (Pate Rodem Yunior) yang bergelar Sultan Demak III. Sebenarnya yang berhak menggantikan adalah Pangeran Sedo Lepen, karena dialah sebagai saudara tertuanya. Namun karena Pangeran Sedo Lepen juga telah meninggal karena dibunuh oleh Pangeran Prawata putra Sultan Trenggana. Inilah yang kemudian hari berdampak pada dendamnya Arya Penangsang terhadap anak keturunan Sultan Trenggana (Dokumen “Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara Nomor 2 Tahun 1989 Seri D No. 1”).

Sementara Sultan Trenggana juga memiliki 6 (enam) keturunan; (1) Pangeran Mukmin (Sunan Prawata), (2) Putri I (Putri Kenya), (3) Putri II (Retna Kencana), (4) Putri III (Retna Mirah), (5) Putri IV, (6) Putri V. Retna Kencana dalam silsilah tersebut merupakan Ratu Kalinyamat yang dikenal sekarang (Hayati, dkk., 1991: 26-43; Said, dkk., 2005: 43-46).

Versi inilah yang lebih kuat dan tersosialisasi dalam masyarakat Jepara hingga ke arus bawah. Bahkan untuk menunjukkan kebesaran Ratu Kalinyamat sebagai “perempuan suci” dari keluarga raja silsilah Ratu Kalinyamat secara jelas dan cukup menonjol dipasang di depan Makam Kramat Ratu Kalinyamat Mantingan Jepara.

Dalam silsilah tersebut digambarkan bahwa bahwa Ratu Kalinyamat memiliki keturunan langsung dengan pendiri kerajaan Demak, Raden Patah melalui anaknya Sultan Trenggana. Sebagaimana dikenal dalam sejarah bahwa Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam yang berpengaruh menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Bahkan peninggalannya yang berupa monumen sejarah Masjid Agung Demak sebagai simbul keislaman menjadi daya tarik para peziarah dari berbagai kota dan bahkan manca negara.

Hal demikian menjadikan citra Ratu Kalinyamat sebagai sosok perempuan yang sangat dekat dengan Islam baik secara politis, sosial maupun budaya. Citra keislaman ini masih diperkuat dengan adanya peninggalan Masjid Mantingan yang sarat dengan ornamen seni ukir yang bernilai tinggi. Masjid ini sekarang dikenal dengan Masjid Astana Sultan Hadiri Mantingan Jepara.

(10)

Sultan Hadiri Mantingan Jepara terdapat sejumlah nama-nama besar antara lain Sultan Hadiri yang tak lain suaminya sendiri, bersebelahan dengan posisi makam Ratu Kalinyamat dan R. Abdul Jalil yang dikenal dengan Sunan Jepara yang oleh kalangan pengunjung Sufi dikenal dengan Syaikh Siti Djenar. Selain itu juga terdapat makam Raden Ayu Prodobinabar (anak Sunan Kudus), istri kedua Sultan Hadiri; Makam Patih Cie Wie Gwan dan istri yang dikenal dengan peletak seni ukir di Jepara; makam Senopati Abdurrahman dan istri; serta ketiga anaknya. Namun figur Ratu Kalinyamat tetap mendapat “tempat istimewa” di mata para peziarah di kompleks makam tersebut.

Kebesaran nama Ratu Kalinyamat dalam masyarakat Jepara dan para peziarah telah meneggelamkan nama sebenarnya. Dalam beberapa tulisan yang merujuk pada “Babad Tanah Jawa”, nama aslinya adalah Retna Kencana. Sedangkan yang merujuk pada “Hikayat Hasanuddin” dari Banten Ratu Kalinyamat memiliki julukan Ratu Arya Jepara. Sementara keterangan dari Juru Kunci Makam Ratu Kalinyamat dikenal juga dengan Raden Ayu Wuryani (Said, dkk., 2005: 49; Masya, 1991: 13-15).

Heroisme Ratu kalinyamat

Salah satu kebesaran Ratu Kalinyamat yang mempopulerkan citranya sebagai pemimpin kuat dan kaya raya adalah adalah prestasi kepemimpinannya di Jepara pada abad XVI. Hal ini selalu dikampanyekan oleh pihak-pihak berkepentingan terutama oleh Pemda Dati II Jepara untuk mengambil semangat kebesaran dan patriotismenya bagi konteks sekarang. Berbagai dokumen dan buku-buku yang diterbitkan oleh Pemda Jepara selalu memunculkan dan menonjolkan prestasi kekuasaan Ratu Kalinyamat secara sistematis. Upaya-upayanya bisa melalui momen upacara resmi Hari Jadi Kota Jepara, media massa atau Majalah Lokal Gelora Kartini, ritual “Buka Luwur” di kompleks pemakaman Ratu Kalinyamat dan lainnya.

Meskipun demikian, cerita tentang kemelut di Demak yang melibatkan Ratu Kalinyamat juga tak bisa dihindari. Kemelut tersebut terjadi sejak tewasnya Sultan Trenggana sebagai Sultan Demak III dalam ekspedisi militer pada tahun 1546 di Panarukan, Jawa Timur. Sebagai gantinya adalah puteranya yaitu Sunan Prawata sebagai Sultan Demak IV. Namun pemerintahannya tidak berlangsung lama karena Pangeran Prawata menjadi korban pembunuhan Adipati Jipang Panolan, Arya Penangsang.

(11)

juga sekaligus memenuhi ambisinya untuk merebut tahta Kerajaan Demak. Sasaran pembunuhan berikutnya adalah Menantu Sultan Trenggana, yaitu Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet ) dari Pajang, meskipun niat jahat ini akhirnya gagal. Untuk memperkuat ambisinya Arya Penangsang juga menghabisi Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat setelah beliau menghadap Sunan Kudus bersama istrinya.

Peristiwa terbunuhnya saudara dan suami inilah yang menyebabkan Ratu Kalinyamat melakukan “laku tapa” di bukit Danaraja dekat daerah Keling, sekarang dikenal dengan Sonder Tulakan Keling. Laku tapanya tersebut tidak akan diakhiri sebelum Adipati Arya Penangsang terbunuh. Cerita tentang laku tapa Ratu Kalinyamat inilah populer di masyarakat Jepara dengan “tapa wuda sinjang rambut” yang melahirkan spiritalisme tafsir sosial dari berbagai komunitas masyarakat dari elite politis, elite agama (thariqat) maupun dalam masyarakat awam yang akan dibicarakan secara khusus pada bagian lain.

Upaya pembunuhan yang dilakukan oleh Arya Penangsang ternyata mendapat “dukungan” dari Sunan Kudus, kendatipun perselisihan ini akhirnya dapat dimenangkan oleh pihak sekutu Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang dengan terbunuhnya Arya Penangsang oleh putra angkat Pangeran Hadiwijaya yaitu Danang Sutawijaya. Danang Sutawijaya inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Peristiwa terbunuhnya Aryo Penangsang terjadi pada tahun 1549 dan kesempatan ini digunakan oleh sekutu Ratu Kalinyamat untuk menobatkan Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jepara. Momen penobatan ini ditandai dengan candra sengkala “Trus Karya Tataning Bumi” pada tanggal 10 April 1549.

Pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat, Jepara dikenal sebagai bandar niaga yang ramai dan merupakan daerah makmur, gemah ripah loh jinawi.

Ratu Kalinyamat dikenal memiliki jiwa patriotisme dan anti terhadap segala bentuk penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka untuk menggempur Portugis tahun 1551 dan 1574.

(12)

perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar).

Hal ini bisa dipahami karena armada perang yang dikirim oleh Ratu Kalinyamat ke Malaka melibatkan hampir 40 perahu dengan prajurit sekitar 5.000 orang, meskipun mengalami kegagalan. Pada penyerangan lewat darat yang bertujuan menggempur benteng pertahanan portugis, serangan pasukan Kalinyamat juga masih belum berhasil mematahkan pasukan Portugis. Yang lebih tragis pimpinan prajurit Kalinyamat juga terbunuh sehingga “espada e hum cris guarnacido de ouro” (pedang penikam dan keris dihiasi emas) jatuh ke tangan Portugis. Dengan kenyataan ini akhirnya para prajurit kembali ke perahu dan melanjutkan peperangan di laut. Pada peristiwa ini, hampir 2000 prajurit Kalinyamat gugur dalam pertempuran yang cukup heroik ini. Yang lebih tragis pimpinan prajurit Kalinyamat terbunuh sehingga “espada e hum cris guarnacido de ouro” (pedang penikam dan keris dihiasi emas) jatuh ke tangan Portugis. Dengan kenyataan ini akhirnya para prajurit kembali ke perahu dan melanjutkan peperangan di laut. Pada peristiwa ini, hampir 2000 prajurit Kalinyamat gugur dalam pertempuran yang cukup heroik ini (Hayati, 1991: 50-53).

Kendati demikian, semangat patriotisme Ratu Kalinyamat tidak pernah luntur dan tetap membara mengusir penjajah. Maka diceritakan, 24 tahun kemudian Oktober 1574, Ratu Kalinyamat mengirimkan kembali armada militer ke Malaka yang jauh lebih besar yakni terdiri dari 300 kapal dengan 15.000 prajurit. Armada militer kedua dipimpin oleh “Regedor Principal de Seu Reyno” (pengusaha terpenting dalam kerajaan) yang disebut “Quilimo” yang diduga merupakan julukan dari “Kyai Demak”. Peperangan kedua ini –dengan mengutip sejarawan De Couto- berakhir dengan perundingan dan negosiasi politik. Namun tuntutan pihak Portugis dirasa terlalu berat sehingga tidak menemukan kesepakatan. Akibatnya pihak Portugis merampas enam kapal yang penuh dengan bahan-bahan makanan, pasukan Kalinyamat akhirnya memutuskan mundur kembali ke Jepara.

Sejarah dan kisah Ratu Kalinyamat telah dikomunikasikan secara sistemik oleh masyarakat Jepara terutama oleh Pemda setempat. Dalam hal ini masyarakat Jepara telah berhasil membuat sejarah yang mampu memukau publik melalui strategi komunikasi yang diperankannya. Ratu Kalinyamat dalam sejarah dan kisah yang tertutur di atas merupakan bagian dari cara berkomunikasi masyarakat dalam menemukan dan menangkap kesejatian diri Ratu Kalinyamat.

(13)

dan menungkapkan tanda-tanda tersebut untuk menghasilkan makna tertentu (signifying practice) dan mengungkapkan diri (communication) atas apa yang terjadi pada diri Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat yang semula “ditentukan” sebagai peristiwa historis menjadi ditentukan dalam sistem mitis. Peristiwa historis seperti ini tidak lagi sekedar dipahami sebagai historis melainkan mitis. Pada titik ini telah terjadi suatu proses dehistorisasi yakni menunjuk kekuatan mitis untuk mencabut status historis konsep dan bentuk tentang Ratu Kalinyamat. Pada saat yang sama proses naturalisasi juga berlangsung lantaran naturalisasi merupakan mesin mitis (semiotik) untuk menghasilkan esensi-esensi yang tak terbatas (Barthes, 1983: 142). Sehingga terjadi tarik menarik dan pertarungan bebas yang berlangsung secara dialektis antara sistem tanda yang ada dengan kebebasan orang untuk memilih dan memakainya sesuai kebutuhan pribadi atau kelompok dari komunitas tertentu yang jelas di dalamnya mengandaikan adanya efek (naturalizing effect). “Natural” adalah pengalaman utama dalam mitos yang di dalamnya mencerminkan ideologi.

spiritualisme tapa wuda sinjang Rambut

Sebagaimana disinggung sebelumnya, diantara lelaku Ratu Kalinyamat yang paling kontroversial dan melahirkan dinamika “makna spiritual” dalam masyarakat Jepara adalah tapa bratanya yang dikenal dengan ‘tapa wuda sinjang rambut”. Kenekatan Ratu Kalinyamat yang memutuskan “bertapa telanjang” terekam dalam cerita rakyat melalui tembang Pangkur berikut ini;

“Nimas Ratu Kalinyamat tilar pura, mratapa aneng wukir,

tapa wuda sinjang rambut, aneng wukir Donorojo,

aprasapa nora tapih-tapihan ingsun, yen tan antuk adiling Hyang, patine sedulur mami”

(Masya, 1991: 24; Prasetyo, tt: 11)

(14)

rambut” melepas pakaian dan menutup tubuhnya hanya dengan rambut yang terurai.

Mencermati isi teks yang terkandung dalam tembang Pangkur di atas tampaknya merupakan bagian dari karya sastra karena di dalamnya ditemukan makna tekstual yaitu makna yang dihasilkan dari interaksi bagian-bagian teks satu dengan lainnya dan menempatkan sejauh mungkin makna referensial, sehingga dimungkinkan adanya konotasi dan diaktifkannya ambivalensi untuk menghidupkan watak simbolik sastra (Kleden, 2004: 7-8).

Tembang Pangkur tersebut menggambarkan pencarian keadilan Ratu Kalinyamat atas kedhaliman yang menimpanya lantaran saudaranya, Sunan Prawata dan suami yang dicintainya, Sultan Hadiri meninggal akibat keserakahan Arya Penangsang yang haus kekuasaan. Ungkapan dalam tembang Pangkur “tapa wuda sinjang rambut” memiliki beragama makna yang denotatif, konotatif hingga yang ambivalensi.

Tembang Pangkur dalam kedudukannya sebagai sastra setidaknya akan memiliki 3 (tiga) fungsi; (1) Memberikan pengetahuan tentang kenyataan disebut sebagai fungsi mathesis atau merupakan wilayah baru untuk diketahui (the possible area of knowledge), (2) Menghadirkan sesuatu yang tidak mungkin dihadirkan disebut fungsi memesis, (3) Menghidupkan tanda (to act sign) atau disebut fungsi semiosis (Sunardi, 1992: 242-243).

Dengan demikian melalui tembang Pangkur di atas pembaca akan mampu: (1) Menangkap kenyataan tapa brata Ratu Kalinyamat sebagai wilayah baru yang bisa diketahui meski dengan interpretasi yang heterogen, (2) Menghadirkan dan mengaktualkan kembali semangat dan patriotisme Ratu Kalinyamat kendatipun kehadirannya tidak akan sama persis dalam konteks Ratu Kalinyamat hadir dalam ruang sejarah atau cerita, (3) Menempatkan fenomena tapa brata sebagai fenomena tanda yang tidak terpisahkan dari adanya penanda dan petanda.

Belum diketahui siapa sebenarnya pengarang (author) asli dari teks tembang Pangkur tersebut. Tidak munculnya pengarang dalam tembang pangkur tersebut bukanlah persoalan mendasar. Hal ini justru akan malahirkan “pembaca kritis” yang menuntut kematian author atau kematian otoritas makna teks yang dianggap sebagai sumber makna akhir. Kalaupun ada pengarang sesungguhnya suara pengarang hilang (“mati”) bersamaan munculnya teks (Barthes, 1975: 27).

(15)

miliki pembaca. Maka yang terpenting adalah tidak bersibuk diri melacak makna yang mungkin disembunyikan pengarang tetapi bagaimana pembaca memproduksi makna. Maka untuk kepentinga ini penulis akan memetakan pluralitas makna itu berdasarkan pendekatan dan perspektif pembaca secara lebih spesifik:

1. Tafsir Elit Penguasa

Menurut tafsir penguasa, dalam hal ini yang muncul dari pihak pemerintah seperti melalui berbagai penerbitan buku, lembaran daerah, majalah bulanan, pidato resmi pemerintahan ataupun bentuk lainnya menilai bahwa fragmen tapa wudanya Ratu Kalinyamat tidak tepat kalau dimaknai secara literal. Pihak pemerintah cenderung memaknai “tapa wuda” memiliki pengertian meninggalkan segala bentuk urusan keduniaan dan melepaskan kebesaran mahkota sebagai Ratu lalu menyendiri ke gunung Danaraja untuk menemukan keheningan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa agar mendapatkan keadilan. Jadi “telanjang” lebih dimaknai sebagai kiasan (konotatif) yang menyiratkan suatu bentuk pelepasan segala bentuk urusan keduniaan termasuk urusan kerajaan (Prasetyo, tt: 14; Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara Nomor 2 Tahun 1989 Seri D No. 1; 38-39) sikap Ratu Kalinyamat itu sebagai bentuk kesetiaan istri terhadap suami yang dicintainya (Hisom Prasetyo, tt: 14).

Kata “wuda” tidak dimaknai secara lugas yang berarti “telanjang” akan tetapi sebagai ungkapan kiasan yang harus ditafsirkan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa sudah menjadi kebiasaan para pengarang naskah-naskah sejarah tradisional di Jawa menggunakan lambang dan kiasan. Kebiasaan-kebiasaan ini terkait dengan sifat masyarakat Jawa yang senang sekali dengan olah rasa dengan menggunakan rasa pangrasa (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara Nomor 2 Tahun 1989 Seri D No. 1; 38; Said, dkk., 2005: 63-64). Hal ini diperkuat dengan penilaian Kyai Hadisiswaya sebagaimana dikutip Tim Penyusun naskah sejarah Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat dalam rangka menyambut khoul Sultan Hadiri Mantingan yang menyatakan bahwa:

(16)

Pola penafsiran seperti itulah yang dikembangkan dan disosialisasikan oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk koreksi terhadap pemahaman dalam masyarakat melalui cerita rakyat yang cenderung dimaknai lugas sehingga berdampak pada kesadaran etis yang “kontraproduktif.”

2. Tafsir Masyarakat Bawah

Ada beberapa versi masyarakat bawah dalam memaknai “tapa wuda sinjang rambut”. Dalam hal ini proses pencarian maknanya tidak lagi terkonstitusi oleh otoritas tertentu tetapi muncul secara bebas oleh masyarakat itu sendiri. Untuk memetakan pola pemaknaan ini penulis mengelompokkan dalam dua perspektif:

(1) Perspektif Cerita Rakyat

Fenomena tapa wuda sinjang rambut dalam masyarakat Jepara sudah tidak asing lagi atau setidaknya Ratu Kalinyamat telah dikenal oleh masyarakat sebagai sosok perempuan yang memiliki kelebihan baik secara fisik maupun mental. Secara fisik Ratu Kalinyamat mencerminkan perempuan yang berparas cantik. Rambutnya yang terurai panjang (sinjang rambut) menambah citra Ratu Kalinyamat sebagai sosok perempuan idola. Secara mental Ratu Kalinyamat dikenal sebagai pribadi tangguh tidak begitu saja menerima bentuk penindasan yang dialami seperti yang menimpa dirinya akibat ulah Arya Penangsang yang telah membunuh saudara dan suaminya.

(17)

Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara Nomor 2 Tahun 1989 Seri D No. 1; 30-31; Masya, 1991: 5-12).

Namun kesan bahwa Ratu Kalinyamat sebagai “pengumbar seks” menurut Juru Kunci Sonder, Pak Parni itu tak lepas dari isu negatif yang disebarkan oleh Arya Penangsang agar citra kebesaran yang dimiliki oleh Ratu Kalinyamat jatuh. Apalagi sejak awal Ratu Kalinyamat memang “rival politik” keluarga Arya penansang menjelang runtuhnya kerajaan Demak. Kesan Ratu Kalinyamat sebagai “pengumbar nafsu” menurut sebagian masyarakat juga diyakini tidak lepas dari propaganda penjajah Belanda yang ingin merusak citra figur lokal yang diidolakan masyarakat. Sehingga unsur politis dalam konteks ini juga sangat menonjol yang kesannya ingin menempatkan Belanda sebagai kelas elite sosial dan sekaligus “penjaga moral” yang harus diteladani sementara figur seperti Ratu Kalinyamat dipinggirkan dan dinafikan karena karakter dan moralitasnya dianggap bobrok dan hiperseks (Said, dkk., 2005: 74-76).

Kesan negatif terhadap Ratu Kalinyamat sebagai pengumbar seks ini ternyata oleh sebagian masyarakat yang memiliki komoditi seks ingin “mengambil berkah” agar mendapatkan “susuk cairing Ratu Kalinyamat”. Tidak bisa dielakkan hal ini menjadi salah satu “magnet” yang menjadikan daya tarik para pengunjung mendatangi kompleks pemakaman atau petilasan Ratu Kalinyamat yang dikenal sebagai perempuan yang cantik, berambut panjang. Dalam pernyataan bahasa lokal diceritakan oleh Parni, Pakuncen Komplek Pertapaan Ratu Kalinyamat di Sonder (Nur Said dkk, 2005: 86):

“… susuk cairing Kanjeng Ratu, nek diagem tambah baguse, tambah pantese, tambah

kewese, mulo ceritane Jepara meniko nek diencepi moro, nek diencepi priyayi-priyayi putri Jeporo do ketut kabeh”.

(…susuk cairing Kanjeng Ratu, apabila dipakai (oleh seseorang) akan bisa menambah kecantikan, kepantasan, dan daya tarik. Maka ceritanya “Jepara” (memiliki kepanjangan) nek diencepi moro (perempuan Jepara kalau sudah memberi senyum) kepada para lelaki, maka para lelaki tersebut akan tertarik semua).

Daya tarik inilah yang membuat para pemburu susuk masih tetap menonjol terutama pada setiap Malam Jumat Wage khususnya di kompleks pertapaan Ratu Kalinyamat, Sonder, Keling, Jepara. Harapannya adalah agar spirit seks yang ada dalam diri Ratu Kalinyamat meliputi aura bagi para peziarah khususnya para kaum perempuan yang berkepentingan.

(18)

Di kalangan sebagian masyarakat sufi dari golongan Thariqat Naqsyabandiyah, Khalidiyah dan Mujaddidiyah di Jepara menganggap Ratu Kalinyamat sebagai “bojo njero” (istri dalam/istri bayangan). “Bojo njero” biasanya melibatkan perempuan sebagai representasinya untuk mendongkrak spiritualitas para wali atau ahli thariqat yang kebanyakan laki-laki untuk sampai Tuhan. Hal ini sebagaimana Ibnu al Arabi ketika mengalami “extasy spiritual” penjelmaannya seakan memandang perempuan cantik di depan Ka’bah sehingga mendorong syahwat spiritrualitasnya menemuai Tuhan. Inspirasinya terhadap “perempuan cantik” oleh Ibnu al Arabi juga telah membuahkan karya tulis dalam sejumlah kitab yang berorientasi tasawuf. Hal yang sama juga dialami oleh Khalil Gibran yang selalu mempunyai “kekasih bayangan” yang selalu menemaninya dimanapun dan kapanpun ia pergi. Kekasih bayangan tersebut memberaikan inspirasi Gibran bagi lahir banyak karya sastra (Said, dkk., 2005: 79). Hal ini dimaksudkan sebagai wahana (wasilah) untuk mengantarkan para salik menemui Tuhan. Kalinyamat menurut mereka berasal dari bahasa Arab, yaitu kalimat, yang berarti kalimat syahadat. Membaca kalimat syahadat dalam Islam merupakan rukun pertama dari lima rukun Islam. Dengan demikian syahadat merupakan inti dalam Islam. Berdasarkan alasan tersebut istilah “Kalinyamat” di kalangan Sufi merupakan simbul dari inti Islam sehingga ada di antara mereka yang menjadikan Ratu Kalinyamat sebagai “guru spiritual” sebagian masyarakat Sufi di Jepara yang akan membimbingnya menuju Tuhan (Said, dkk., 2005: 79).

(19)

Mendudukkan Ratu Kalinyamat sebagai “guru spiritual” dalam kehidupan Sufi di Jepara menjadi fenomena tersendiri yang unik meski masih dalam komunitas yang sangat terbatas. Hal ini hanya bisa dilakukan ditangkap bagi mereka yang mampu memahami dan merenungkan dengan kejernihan hati dan pikiran yang bersih. Apalagi ajaran Sufi Ratu Kalinyamat dalam kebanyakan buku yang ada belum pernah diungkap.

Ratu Kalinyamat sebenarnya telah memberikan filosofi hidup yang dikenal dengan rahasia huruf Alif sebagai ajaran Tauhid tingkat tinggi. Ajaran rahasia huruf Alif yang berorientasi tauhid (pernyataan keesaan Tuhan) juga tercermin secara monumental dalam tulisan bahasa Arab pada gapura pintu masuk kompleks masjid Mantingan dan Makam Kramat Ratu Kalinyamat. Gupura ini menjadi “tugu identitas” yang dibanggakan oleh warga Jepara. Bunyinya adalah “asyhadu an lâ ilâha illâh” (saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah).

Hanya komunitas terbatas dari orang-orang tertentu yang mampu menemukan dan berkesimpulan bahwa Ratu Kalinyamat memiliki ajaran tasawuf tingkat tinggi. Hal ini seperti diuraikan oleh KH. Masrukhan, Juru Kunci kompleks pertapaan Ratu Kalinyamat Sonder bahwa ketika Ratu Kalinyamat menjelang pertapaaannya di Sonder, beliau mencari tempat yang benar-benar hening dan bisa mendukung kontemplasinya menuju Yang Suci. Sampai suatu ketika Ratu Kalinyamat Aso (dari bahasa Jawa yang berarti “istirahat”) lalu Semende (dari bahasa Jawa yang berarti “bersandar”), maka kemudian daerah tersebut terkenal Sonder yang terletak di desa Tulakan Keling Jepara (Said, dkk., 2005: 82). Di Sonder inilah Ratu Kalinyamat merasa cocok dengan lingkungan dan suasana mitisnya sampai akhirnya melakukan pertapaan atau dikalangan sufi dikenal dengan khalwat.

Sebelum berkhalwat kepada Allah di Sonder tersebut Ratu Kalinyamat membersihkan diri baik secara lahir maupun batin dengan mangambil air dari sungai yang dikeramatkan di daerah tersebut untuk sesuci dan melakukan “mandi besar”. Dalam mengambil air inilah Kanjeng Ratu mengucapkan semacam mantra yang berbunyi (Said, dkk., 2005: 82):

Sakdurungi Allah Ta’ala gawe bumi pitu, Allah Ta’ala gawe langit pitu Allah nurunake Huruf Alif. Wujute Alif Nurullah ya Nur Muhamad kang ngebai jagat royo manjing ono ing jiwo rogoku Lailaha illallah Muhamadurrasulullah”

(20)

Kutipan di atas menunjukkan ada rahasia yang sangat mendalam dari huruf Alif. Huruf Alif itu kalau difathah bunyinya “A” kalau dikasrah bunyinya “I” kalau didzommah bunyinya “U” sehingga berbunyi “A, I, U” yang menjadi semacam akronim yang berartí “aku iki urip” (saya ini hidup). Karena manusia itu memiliki kehidupan, sebagai konsekuensinya akan kembali kepada yang memberi hidup (inna lillâhi wa inna ilaihi rajiûn), sesungguhnya manusia adalah milik Allah dan hanya kepadaNya akan kembali (Said, dkk., 2005: 83).

Rahasia huruf “Alif” juga pernah digunakan oleh RMP Sosrokartono, kakak RA Kartini yang dikenal memiliki kedalaman spiritual sehingga menjadi media pengobatan terhadap berbagai penyakit dengan materi tambahan air putih. Bagi Sosrokartono huruf “Alif” adalah simbol “Allah” yang untuk bisa sampai kepadaNya melalui caturmurti, yaitu bersatunya empat faal jiwa manusia yaitu: pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan. Maka bersatunya empat faal jiwa manusia tersebut juga disebut sebagai “kenyataan” (Jawa: kasunyatan) yang kemudiaan disimbulkan dengan huruf “Alif” berwujud garis wajar tanpa tambahan apapun (Ciptoprawiro, 1991: 13; Ali, 1966: 1-10).

Dalam dunia filsafat Barat, “kenyataan” yang meliputi bersatunya empat jiwa manusia tersebut disebut “waarheid”, yang digambarkan seorang manusia berdiri tegak telanjang bulat. Maka kalau Ratu Kalinyamat dalam memohon keadilan kepada Sang Pencipta dengan cara tapa wuda sinjang rambut dalam perspektif ini juga menemukan relevansinya sebagai upaya menemukan jalan “caturmurti” untuk sampai pada “kasunyatan” yang tak lain adalah Allah, Sang Maha Adil (Ciptoprawiro, 1991: 13).

simpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa kehadiran Ratu Kalinyamat yang dikenal “De Krange Dame” (wanita yang gagah berani) dan “Rainha de Jeparasenhora Poderosa e rice” (Ratu Jepara, seorang perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar) dalam ruang sejarah kesultanan di pesisir Jawa telah menjadi counter budaya “atas realitas tradisi sosial yang patriarkhi.

(21)

Di masyarakat hal tersebut telah melahirkan beragam makna spiritual yang di dalamnya tak lepas dari sistem tanda (sign) sehingga memunculkan berbagai pesan “moral spiritual” antara lain: (1) Dari kelompok elit pemerintah memaknai memaknai “tapa wuda” sebagai kiasan yang memiliki pengertian meninggalkan segala bentuk urusan keduniaan dan melepaskan kebesaran mahkota kekuasaan sebagai Ratu untuk menemukan keheningan agar mendapatkan keadilan dari Sang Pencipta; (2) Dari kelompok masyarakat akar rumput memaknai “tapa wuda” meliputi dua arus; (a) Kalangan awam memaknai “tapa wuda” secara lugas sebagai telanjang bulat hanya berbaju rambutnya yang panjang terurai (sinjang rambut) sehingga memiliki pesan spiritualisme estetik yang kemudian dikenal dengan “susuk cairing Kanjeng Ratu”; (b) Kalangan kaum sufi memaknai Ratu Kalinyamat sebagai “bojo njero” (istri dalam/istri bayangan) untuk mendongkrak siritualitas para wali atau ahli thariqat yang kebanyakan laki-laki untuk sampai Tuhan. Dalam hal ini “tapa wuda” lebih dimaknai sebagai proses khalwat dalam keheningan untuk menemukan keadilan sejati dari Sang Maha Adil yang proses spiritualnya dikenal dengan huruf “Alif” sebagai simbol Allah. Untuk bisa sampai kepadaNya diraih melalui “caturmurti”, yaitu bersatunya empat faal jiwa manusia yaitu: pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan. Hal ini menuntut kekosongan jiwa (telanjang) yang kemudian hanya diisi mahabbah (cinta) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepadaNya.

daftar Pustaka

Ali, R. Mohammad, 1966. Ilmu Kantong Bolong Ilmu Kantong Kosong. Djakarta: Bhratara.

Arbaningsih, Dri. 2005. Kartini, dari Sisi Lain, Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.

Armstrong, Karen. 1993. A History of God, The 4,000 – Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books.

Barthes, Roland. 1967. Elements of Semiology. London: Jonathan Cape.

Barthes, Roland. 1983. Mitologies. New York: Hill and Wang.

(22)

Boyo” Surabaya.

Eliade, Mircea. 1996. The Reality of the Sacred. dalam Pals, Daniel L. Seven Theory of Religion [hlm. 158-197] New York: Oxford University Press.

Durkheim, Emile. 1996. Society as Sacred. Dalam Pals, Daniel L. Seven Theory of Religion [hlm. 88-123]. New York: Oxford University Press.

Durkheim, Emile. 1965. The Elementary Form of Religious Life. New York: The Free Press.

Gustami, SP. 2000. Seni Kerajinan Mebel, Ukir Jepara; Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multi Dimensi. Kanisius. Yogyakarta.

Hayati, Chusnul; Priyanto, Supriya dan Indriyanto. 1991. Ratu Kalinyamat Sebagai Tokoh Historis Legendaris, (Semarang: Laporan Hasil Penelitian, Fak. Sastra UNDIP Semarang,)

Kleden, Ignas. 2004. “Pengantar Penulis” dalam Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan, Esai-esai Sastra dan Budaya, Jakarta: Grafiti

Masya, A. Mukarram. 1991. Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat, Sebuah Sejarah Ringkas. Jepara: Tim Penyusun naskah sejarah Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat dalam rangka menyambut khoul Sultan Hadiri Mantingan.

Mohamad, Goenawan. 2006. Catatan Pinggir, TEMPO. Edisi 44/XXXV/25 – 31.

Pemda Jepara. 2004. Jepara Selayang Pandang 2004, Jepara: Pemda

Pemda Jepara. 2003. Jepara, Sejarah dan Budaya; Legenda Obyek-obyek Wisata. Jepara: Kadin Perhubungan dan Pariwisata.

Pemda Jepara, 1989. Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara Nomor 2 Tahun 1989 Seri D No. 1”. Jepara: Pemda Jepara.

(23)

Prasetyo, Ny. Hisom. Tt. Ratu Kalinyamat dan RA Kartini; Tanggung Jawab Moral Wanita Jepara. Jepara: PKK Kabupaten Dati II Jepara.

Risakotta, Bernard Adenay. 2002. “Modernitas, Agama dan Budaya Nenek Moyang: Suatu Model Masyarakat Indonesia”, disampaikan dalam dalam Internasional Conference of Anthropology, di Depasar; Indonesia, tanggal 17 July 2002.

Said, Nur; Ghufran, M. Nur; Roy, M.. 2005. Mitologi Ratu Kalinyamat dan Budaya Kapitalis (Kajian Semiologi Peran Mitos Ratu Kalinyamat dan Hubungan Signifikasi dengan Kemandirian Ekonomi Kaum Perempuan di Jepara Jawa Tengah). Jakarta: Laporan Penelitian Riset Unggulan Bidang Kemanusiaan dan Kemasyarakatan, LIPI.

(24)

masJid di PaPua baRat:

tinjauan ekspresi keberagamaan minoritas muslim

dalam arsitektur

Ismail Suardi Wekke

STAIN Sorong, Papua Barat Telp: 081315540777 email: iswekke@gmail.com

abstract

For Muslim, mosque has unique role and its special function in daily life. Five times a day, mosques carry out prayer as compulsory activities. This study explores mosques in West Papua Province where Muslim is as minority. It employs qualitative approach and used in-depth interview and non-participant observation to collect data. The findings show that there are three mosque major components; wudhu area, praying hall, and mimbar. In mosque as a center of activity in the region, the board provided some facilities to be used by either Muslim or others. Mosques embedded with various arts from many traditional roots. Patterns and symmetries were used to enhance art in wall of mosque. On the other hand, the minority condition gives them opportunity to present architecture design to engage with other community. Building styles and type reflect the multicultural characteristics as identity through built environment representing their culture within the local community. Muslim minority tries to extend their mosque not only as praying place but also as a society facility.

(25)

dalam masjid;tempat wudhu, ruang shalat, dan mimbar. Di masjid yang menjadi pusat akitivitas di daerah tertentu, pengurusnya menyediakan beberapa fasilitas yang dapat digunakan umat Islam maupun umat lain. Masjid dihias dengan keragaman seni dari pelbagai akar tradisi. Pola dan simetris digunakan untuk memperkaya seni di dinding masjid. Di sisi lain, kondisi minoritas memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk menghadirkan desain arsitektur yang tetap memperhatikan kepentingan komunitas lain. Gaya dan tipe bangunan mencerminkan karakteristik multikultural sebagai identitas melalui lingkungan bangunan yang mencerminkan budaya mereka diantara komunitas lokal. Masyarakat minoritas muslim berupaya menjadikan masjid tidak saja sebagai tempat shalat tetapi juga sebagai pusat kegiatan masyarakat.

Keywords: minority Muslim, mosque, identity

Pendahuluan

Masjid memiliki makna yang khas bagi setiap muslim. Sehingga seorang muslim yang memiliki kemampuan untuk mendesain bangunan berusaha untuk menerapkan spirit keislaman dalam bangunan tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, setiap bangunan merefleksikan kepercayaan beragama tersebut sekaligus memadukan unsur lokal yang ada. Dari sinilah kemudian pola bangunan yang terwujud tetap mencerminkan kesatuan tauhid. Pada saat yang sama tetap mendapatkan nuansa kewilayahan yang menyatu. Masjid-masjid ini kemudian menjulang sebagai mercusuar kemajuan komunitas muslim, sekaligus sebagai simbol dari ketaatan atas pemahaman agama yang diusahakan untuk terimplementasi secara paripurna. Seni menjadi bagian arsitektur dari simbol dalam kehidupan (Harun, 2009:16; Tinker, 2004:442). Ini juga berhubungan dengan ekspresi beragama dalam konteks hubungan manusia dengan bangunan.

(26)

mendorong berkreasi. Dengan demikian, pembahasan tersebut menjadi dasar adanya kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan keseharian dengan tetap berdasar kepada keyakinan yang dijadikan sebagai pandangan, sekaligus sebagai jalan hidup yang tidak hanya ditinggalkan sebagai aspek ibadah semata.

Namun di tengah komprehensifitas penelitian tersebut, belum membahas secara khusus bagaimana bangunan di kalangan minoritas muslim. Islam dipandang sebagai bagian mayoritas. Sementara ada saja area dimana keberadaan muslim secara regional merupakan bagian minoritas, seperti Pulau Bali dan Pulau Papua. Dengan interaksi dengan umat lain, maka akan memberikan kewajiban di satu sisi. Pada sisi lain, ada hak yang juga terbatasi oleh hak penganut agama lain. Pertemuan antara hak dan kewajiban ini kemudian memberikan pengaruh tersendiri sehingga tidak dapat disamakan antara mayoritas muslim dengan minoritas muslim. Penelitian dengan arus utama sebagaimana diuraikan sebelumnya tidak memberikan gambaran ini. Penelitian minoritas muslim masih terbatas pada hal perlunya hukum tersendiri, ekspresi keberagamaan dan upaya untuk mengintegrasikan diri. Penelitian yang berhubungan dengan pola bangunan belum dibahas secara khusus.

Langkanya penelitian seperti ini akan memberikan gambaran arsitektur di kalangan muslim tidak secara utuh. Dimana bagi seorang muslim walaupun itu dalam konteks minoritas sekalipun, Islam tetap menjadi landasan etis bagi perjalanan kehidupan (Ashkan dan Ahmad, 2010: 287). Tidak sekadar menjadi formal dalam bentuk ibadah syariah. Padahal minoritas muslim memiliki lingkungan yang memungkinkan untuk mengekspresikan spirit keberagamaan dalam konteks harmoni lingkungan (Wekke, 2011:25). Lebih jauh dari itu terbentuk dalam pelbagai segi kehidupan. Dengan tidak tergambarkan secara utuh, maka keberadaan minoritas muslim dipahami secara parsial sehingga akan memunculkan kesalahpahaman. Sementara ini penelitian dalam konteks muslim minoritas sudah terpublikasi dalam tema budaya (Rosenbaum, 2013: 213), keterlibatan sosial (Leinweber, 2013:98) nasionalisme, (Naqvi, 2012: 474) dan pendidikan (Wekke, 2012:203). Kesemua penelitian itu secara umum menggambarkan bagaimana komunitas muslim dalam aktivitas yang berhubungan dengan aspek sosial yang tidak mengkaji secara khusus tentang arsitektur.

(27)

yang homogen. Untuk itu, penelitian ini akan mengeksplorasi pola bangunan masjid yang berada di wilayah Papua Barat. Faktor utama yang akan menjadi perhatian penelitian adalah bagaimana spirit keberagamaan minoritas muslim yang terekspresi dalam bangunan masjid. Secara ringkas, penelitian akan menganalisis bangunan masjid di Propinsi Papua Barat yang terbentang dari Raja Ampat sampai di Teluk Bintuni.

arsitektur dan islam: Historisitas dan tipologi

Pada masa awal Arab jahiliyah sekaligus sebagai awal perkembangan Islam, seni arsitektur belum mendapat perhatian luas, dimana sahabat Rasulullah lebih menumpukan perhatian kepada persoalan aqidah dan membangun keutuhan umat Islam. Perkembangan seni yang mendapat perhatian luas justru berada pada syair dan prosa. Perawian syair dalam periode pra Islam menjadi jalan dan sistem yang diikuti untuk menyebarluaskan syair. Ini sekaligus menjadikan penggubahan syair dan prosa sebagai mata pencaharian. Adapun seni patung semata-mata digunakan secara terbatas untuk kebutuhan penyembahan dan perhiasan ka’bah. Dengan diterimanya Islam sebagai agama, maka patung lambat laun tidak diperhatikan dan sama sekali tidak disentuh dalam keseharian. Secara teologis, patung tidak diperkenankan menjadi ekspresi seni. Ini berhubungan dengan doktrin bahwa dalam pembentukan sebuah bentuk terutama yang berkaitan dengan makhluk, bukan menjadi wilayah kewenangan manusia (Alami, 2012: 698).

Sistem imarah (kekaisaran) sudah dikenal saat itu, akan tetapi di Yaman, Hirah dan Syam belum berkembang seni arsitektur dalam istana kerajaan. Bahkan di suku-suku tertentu di Mekkah tidak mengenal struktur istana. Sampai pada kekhalifaan al khulafa al rasyidun juga tidak menggunakan istana sebagai simbol kekuasaan. Sebaliknya di luar Madinah, Amru bin Ash saat menjadi gubernur Mesir di era kekhalifaan Umar bin Khattab mulai membangun istana. Sekaligus menyandingkan dengan Masjid Jami’. Kondisi ini berlangsung sampai pada berdirinya dinasti Uwami seiring dengan berakhirnya kekhalifaan Ali bin Abi Thalib. Bangunan yang menjadi kebanggaan bersama bangsa Arab bahkan sejak Islam belum berkumandang hanyalah ka’bah (Motadel, 2012:831). Ini warisan dari kejayaan dinasti Ibrahim bertahan sampai kedatangan Islam.

(28)

akuisisi model lama dengan fungsi dan visualisasi baru. Walaupun pada tahap awal merupakan adopsi dari kebudayaan Persia, Bizantium, Roma dan Asia Tengah. Setelah dilakukan modifikasi dan format ulang dengan konsisten, sehingga sepenuhnya menjadi milik masyarakat muslim. Pertumbuhan ini, berkembang dengan cepat dan melewati batas waktu dan tempat sehingga seniman non muslim sekalipun mulai berpaling kepada kecenderungan yang dikreasikan komunitas muslim. Sehingga Islam mendapatkan tempat yang khas dalam perkembangan arsitektur dunia.

Jika sebelumnya pada masa kekhalifahan, arsitektur Islam sangat berkembang, terlihat pada pembangunan masjid yang terbatas di Masjid Nabawi dan Masjid Quba, dan semata-mata hanyalah bentuk perluasan. Ketika dinasti Umawi terbentuk, arsitektur dan seni mulai dijadikan sebagai bagian pembentukan dukungan untuk kesatuan imperiritas dinasti, seperti seni ukir dengan teknik pahatan. Ayat-ayat al Quran, hadist Nabi dan syair mulai dipahat dan diukir pada tembok dinding bangunan masjid, istana dan gedung pemerintahan. Salah satu jejak seni ukir masih didapatkan pada dinding Qushai (istana mungil) Amrah. Istana yang digunakan untuk musim panas ini terletak di sebelah timur Laut Mati. Istana tersebut dibangun Khalifah Walid bin Abdul Malik. Selanjutnya dibangun tujuh bangunan utama yaitu Qubah al Skhrah (kubah batu), istana Musyatta, Qusair Amra, istana Khirbat al Majfar, istana Qasr al Hair al Syarqi, dan masjid Umayyah (Qyumzadeh, 2012: 423).

Pemerintahan Abdul Malik menandai sebuah keagungan yang selalu dikenang yakni berdirinya masjid kubah batu di Yerussalem. Motif ornamen yang digunakan merupakan pengembangan dari dekorasi Bizantium dan Persia. Ekspresi yang dimunculkan adalah kesucian dan kekuasaan, sekaligus menampilkan kedaulatan Islam. Sementara masjid Umayyah mengekspresikan seni mosaik, yang diserap dari motif klasik Romawi, Hellenistik dan pengaruh Kristen kemudian dielaborasi menjadi sebuah bangunan khas yang melambangkan keislaman (Purohit, 2011: 709).

(29)

empat perempatan oleh jalan yang membujur dari timur ke barat. Ditambah lagi dengan jalan yang memanjang dari utara ke selatan. Sebuah istana dibangun tepat berada di tengah-tengah pusat kota dari perjumpaan empat ruas jalan (Najafabadi, 2010: 255). Perubahan kondisi sosial masyarakat yang beralih dari kehidupan desa kepada kehidupan perkotaan turut mempengaruhi perkembangan kawasan dan bangunan.

Seni ukir pada bangunan kembali mengalami perkembangan, ditandai dengan empat kubah yang dibangun pemerintahan al Mansur di atas empat buah gerbang pintu masuk kota Baghdad. Garis tengah setiap kubah tersebut mencapai lima puluh hasta. Ditambah juga dengan ukiran emas dan beberapa ornamen yang diputar oleh angin. Kubah tersebut digunakan oleh petinggi kerajaan untuk istirahat. Dari kubah Khurasan terlihat air bening yang mengalir. Sementara di sisi kubah Syam terbentang perkampungan rakyat yang dipenuhi dengan kolam dan taman bunga. Adapun kubah Bashrah menunjukkan daerah industri. Terakhir, kubah Kaufah menggambarkan taman kesuma (Larrson dan Racus, 2010:350).

Begitu al Mansur menduduki tahta, dibangun sebuah kawasan kota baru antara sungai Tigris dan anak sungai Furat di Baghdad. Salah satu arsitek yang diminta untuk mewujudkan rencana khalifah adalah Hajjaj bin Arthah dan Amran bin Wadhdhah. Susunan kota berbentuk bundar dengan pusat kota yang ditempati bangunan istana dan masjid Jami’, yang keduanya dikelilingi lapangan dan taman. Seiring dengan kepadatan kota dan berdirinya pemukiman dan kediaman keluarga khalifah, para menteri dan pegawai kerajaan beserta keluarga dan pembesar istana lainnya mendorong keputusan untuk membangun kota satelit di Rushafah, sebelah Timur Sungai Tigris dan Karakh, selatan kota Baghdad. Peninggalan arsitektur Bani Abbasiyah dapat disaksikan istana Baghdad, Samarra, Ukhaidir dan pintu gerbang Raqqa yang berdiri kokoh di Baghdad. Kehadiran arsitek dari wilayah Kordova, Kairo dan daerah di semenanjung Spanyol sampai India kemudian membentuk kekhasan bangunan Abbasiyah. Tambahan referensi juga didapatkan dengan berlangsungnya penerjemahan buku dari karya sastra Persia dan Yunani yang diwujudkan dalam pemerintahan al Mansur, Harun al Rasyid, dan al Ma’mun (Bahonar, 2009: 242).

Persentuhan dari Ragam dan entitas budaya

(30)

Afrika. Pertemuan ini kemudian memungkinkan adanya keterbukaan dan pembentukan model seni yang baru. Pelbagai bangsa kemudian berkontribusi dan seni Islam yang juga bagian dari kepercayaan mereka. Tidak lagi hanya dibatasi oleh identitas kearaban. Ufuk seni meluas dalam pandangan kaum muslimin, sehingga berhasil mengkreasikan seni baru yang tetap pada garis keislaman, namun tetap berhasil menjauhi seni rupa yang berbentuk patung sebagai bagian menghindari penyembahan berhala (Brown, 2001: 37). Karena itu, dasar dan motif terwujud dalam al nabatiyah (tumbuh-tumbuhan) dan al handasiyah (gambar berdasar ilmu ukur).

Namun kepatuhan akan doktrin untuk tidak membuat representasi gambar makhluk hidup mulai bergeser. Beberapa khalifah kadang melanggar larangan tersebut. Semata-mata karena perintah khalifah, lukisan mulai dipergunakan untuk penggunaan mata uang dan pot bunga. Begitu pula dengan panel emas, sutra dan beludru dihiasi lukisan manusia dan pelbagai gambar binatang. Di satu sisi penggunaan emas untuk melambangkan kemewahan juga dipakai dalam kalangan istana. Tidak saja kaum perempuan, bahkan laki-laki yang memakai emas sudah merupakan pemandangan biasa. Ketaatan pada prinsip yang kecil menjadi longgar di kalangan pembesar istana. Karya-karya seni selalu dilapisi dengan emas dan perak. Juga penggunaan emas dan perak sebagai mata uang yang dicetak dalam pemerintahan khalifah Abd Malik sampai tahun 76 H/695 M (Makovicy, 2011: 569).

Kreasi lapisan berasal dari mutiara dan gading gajah pun juga berlanjut di seni pahat, seperti di mimbar agung Masjid al Aqsha Yerussalem, kedua benda ini mendominasi pahatan mimbar masjid. Seni mosaik untuk bangunan mulai berkembang. Terdapat dua jenis mosaik. Pertama, jenis mosaik yang digunakan untuk lantai dan dinding bagian bawah yang terdiri dari kepingan marmer atau batu bata. Kedua, jenis mosaik untuk dinding atas, khususnya mihrab yang dipengaruhi gaya Bizantine. Fragmen gelas kaca dan batu warna digunakan untuk membentuk mosaik. Setiap warna terdiri atas tiga penekanan yang dapat membedakan antara warna cerah dan warna gelap. Secara bersamaan juga berkembang seni keramik yang diproduksi di Mesir dan Irak. Motif keramik didominasi gambar binatang, lapisan logam dan lapisan kaca. Dalam seni lukis, ditampilkan komposisi ruang yang baru, pengukuran geometri (Samad dan Glenn, 2010: 302).

(31)

lilin). Di puncak bangunan menara dihiasi dengan peralatan perang seperti

clover, kepala tombak, atau kepala gergaji. Dalam menempatkan gergaji ini ada juga yang memilih gergaji bergerigi yang disebut merlons. Ini berarti dinding puncak yang sangat lunak dan terbuka. Pengaruh perkembangan monumen kemudian juga mendorong penambahan bangunan masjid dengan menara. Disamping alasan estetis, juga terdapat alasan fungsional seperti tempat menampung air dan penempatan posisi bilal agar suaranya mencapai jarak yang jauh juga alasan estetika (al Nasser dan Muhammed, 2013: 80), karena salah satu keindahan masjid diukur dengan keindahan menara.

Setelah penaklukan Syam dan Persia, terbentuk aliran khusus yang lebih sesuai dengan tatanan Arab Islam. Gaya bangunan dengan khas Arab Islam mulai dibangun dengan bentuk seperti pilar, busur, kubah, ukiran lebah bergantung, dan wajah menara yang menjulang tinggi. Penonjolan seni ini terutama pada masjid-masjid. Seiring dengan kritik ulama dan masyarakat dengan kemewahan hidup para pejabat kerajaan. Tipe Masjid Quba menjadi ispirasi bagi sebagian besar pembangunan masjid setelahnya. Ketika itu Quba menjadi sentral perhatian umat Islam dan pada saat yang sama juga pengembangan masjid di Mekah dan Madinah semakin bertambah dengan meningkatnya jamaah untuk berhaji setiap tahun. Walaupun tidak menjadi contoh bagi masjid lain tetapi secara khusus setiap khalifah walaupun tidak berkedudukan di Mekah maupun Madinah tetap saja mengagendakan sebagai bagian penting kebijakan dalam perluasan kedua masjid ini (Zad, 2011: 1166).

Dalam seni, kaligrafi mendapatkan tempat yang utama. Ini bermula dari ekspresi seni Islam yang meletakkan sentral kebudayaan Islam pada pelbagai bentuk hiasan. Pemakaian kaligrafi tersebar dalam pelbagai bentuk media ungkap. Keistimewaan kaligrafi terutama karena ia merupakan karya murni Islam Arab. Perkembangan kaligrafi juga dipengaruhi secara tidak langsung dari penulisan al Quran. Dari tradisi masyarakat lisan kemudian mengalami pergeseran dengan menjadi digunakannya tulisan sebagai sumber hukum untuk memandu kehidupan. Di sinilah kemudian menjadikan adanya seni yang sekaligus sebagai pionir dimana huruf-huruf Arab dapat ditampilkan dalam pelbagai model pada saat huruf lain tidak dapat dibentuk seperti itu. Maka, kaligrafi dijadikan hiasan dalam masjid. Dimana posisi seni yang lain tidak diperlakukan seistimewa ini (Wilson, Belk, dan Bamossy, 2013: 22). Perpaduan antara tulisan al Quran dengan kaligrafi kemudian mendominasi ukiran interior masjid. Selain itu, tidak ada hiasan lain.

(32)

berjalan secara revolusioner. Bahkan munculnya Islam dan perluasan kekuasaan Arab yang memperkenalkan tradisi baru yang kemudian menentukan pada situasi kultural yang menyeluruh. Pada saat itu hanya memiliki dampak yang terbatas dan bisa jadi tampak bersifat sementara dan dangkal. Dari perspektif peradaban yang lebih tua, komunitas minoritas muslim dengan segala kekuatan, tidak mewakili tingkat-tingkat kebudayaan yang signifikan. Kelompok minoritas ini menyajikan satu titik perhatian yang sangat dominan. Dengan sadar dan sengaja mereka mewakili sebuah tradisi baru yang diarahkan pada tradisi besar peradaban kuno. Lambat laun beberapa diantara mereka mulai berpikir untuk menggantikan masyarakat manusia yang ada sebelumnya dengan masyarakat baru yang didasarkan pada cita-cita baru (Omer, 2010: 199).

Ketika terjadi perjumpaan budaya Islam dan Arab, maka tradisi Arab memiliki hubungan inheren yang relatif kecil dengan Islam, walaupun kebudayaan Arab sendiri memiliki kekuatan dan daya tahan. Tetapi ketika masyarakat kota telah berdiri, budaya Arab dengan tegas dicangkokkan ke dalam konteks baru. Selanjutnya yang ditradisikan adalah budaya Islam yang disesuaikan dengan kondisi urban yang baru. Proses ini, menjamin suatu keadaan untuk berbagi dalam kebudayaan baru yang terwujud. Dalam hal ini dapat disebutkan konversi budaya Arami dan Persia ke dalam budaya Islam. Secara perlahan asimilasi mulai terbentuk hingga terwujud suatu peradaban baru yang umum di kawasan Mediteranian Timur dan Iran. Pada saat pemindahan pusat kekuasaan Islam dari Damaskus ke Persia, Islam mengembangkan aspek “unsur” Iran. Dari segi kebudayaan, Islam tidak terpaku pada batas nasionalisme saja. Dengan kebudayaan, Islam menjadi universal (Engineer, 1999:301).

(33)

kemajuan tersebut dilakukan dalam bingkai keagamaan dan skolastikisme. Suatu sebab yang menjadikan Islam dapat menghasilkan seni dan arsitektur begitu banyak dalam waktu yang singkat, kemudian menjadi steril sedemikian cepat, dapat diketahui melalui sifat dasar skolastikisme Islam itu juga. Bersifat kreatif di sisi lain, sementara itu dapat disaksikan adanya dukungan khalifah pada periode tertentu. Tetapi pada periode yang lain, justru khalifah sekaligus menjadi “penghambat” bagi perkembangan seni dan arsitektur. Bagaimanapun, Islam tetap kreatif dan progresif sepanjang kebebasan berpikir dan investigasi dapat menandingi fatalisme. Jika kemudian dunia tetap dijadikan sebagai kajian terbuka untuk digeluti semua orang, maka sepanjang itu pulalah Islam akan menunjukkan wajah dinamisme. Kecuali jika mengedepankan fatalisme dan ortodoksi, maka pengaruhnya akan nyata dalam bagaimana pandangan terhadap dunia. Islam selama ini bisa mempertahankan semangat kebangkitan yang tidak tertandingi Eropa hanya karena adanya kepasrahan total dalam hal melihat dunia sebagai alat semata-mata (Bee dan Hassan, 2008: 17). Begitu juga dengan seni dan arsitektur, sepanjang hanya dijadikan sebagai alat saja, namun tujuan penghambaan diri kepada Sang Khalik yang utama, maka selama itu pulalah kewujudan seni menjadi tetap bagian yang tidak tergeser sebagi sebuah alat kejayaan.

setting dan konteks islam Papua barat

Penelitian dilaksanakan di Propinsi Papua Barat, kawasan terbagi dalam identitas keagamaan dengan ragam klasifikasi seperti Islam, Protestan, Katolik, dan Konghucu. Rentangan daratan dan pulau dari Misol sampai ke Teluk Cendrawasih yang masuk dalam wilayah administratif Teluk Wondama tidak saja didiami oleh suku-suku yang berasal dari Papua. Tetapi juga pelbagai suku yang berasal dari wilayah Indonesia lainnya dalam jumlah yang siginifikan juga mendiami kawasan. Dengan mengacu kepada fakta seperti ini, maka bangunan masjid yang ada tidak saja dalam bentuk yang mengacu kepada tradisi Papua Muslim tetapi sudah mengalami perjumpaan dengan nuansa keislaman dari suku lain. Begitu pula dengan penganut agama lain. Sinergitas dan persentuhan antara umat beragama melahirkan model masjid yang khas sebagai bentuk kehidupan. Dua hal yang hidup secara bersamaan. Keteguhan atas tauhid dan pada saat yang sama senantiasa menerima iman orang lain.

(34)

lain. Semangat seperti ini juga hadir dalam ruang dan dinamika bangunan dan lingkungan binaan. Maka, kondisi sosial tidak dapat disembunyikan dari menjulangnya bangunan yang ada. Ketika peletakan material selalu saja ada persepsi dan praktik yang berlangsung selama ini. Bentuk-bentuk inilah kemudian juga memperoleh tempat dalam kelangsungan sebuah wilayah.

Kota Sorong dalam wilayah Propinsi Papua Barat menjadi sentral kegiatan ekonomi sekaligus menjadi jalur utama bagi distribusi barang. Ini mencerminkan kota ini juga sebagai pusat mobilitas dan ketersediaan transportasi yang memadai. Demikian juga dengan ide pengembangan keislaman dan eksistensi keberagamaan. Kota ini menjadi model bagi wilayah sekitarnya yang sekarang ini sudah dimekarkan menjadi daerah otonomi baru. Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Tambrauw, dan Kabupaten Raja Ampat awalnya merupakan wilayah dari Kabupaten Sorong. Kawasan Kota Sorong yang ada hari ini juga sebelumnya berasal dari Kabupaten Sorong. Keterbukaan Sorong terhadap interaksi yang ditandai dengan kelengkapan transportasi menjadikan kesempatan untuk tumbuh kembangnya sebuah ide. Termasuk dalam hal wujudnya arsitektur yang menjadi bentuk sebuah konsep kepercayaan yang terelaborasi dari perkembangan dan persentuhan dengan kebudayaan luar.

Kondisi minoritas tidak memungkinkan untuk membangun masjid raya di setiap kabupaten. Saat membangun masjid diperlukan dialog dan kebersamaan dengan penduduk dan umat lain. Walaupun demikian, ada saja masjid yang dijadikan sebagai pusat aktivitas umat Islam. Masjid Fasarkhan di Kabupaten Manokwari, merupakan salah satu tempat penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran dari waktu ke waktu sejak pembentukan Propinsi Papua Barat. Seperti di Kabupaten Manokwari, usaha membangun masjid raya selalu saja mendapatkan penentangan dari umat agama lain. Sehingga ide pembangunan masjid tinggal menjadi gagasan semata. Walaupun muslim Kabupaten Sorong secara politis memiliki kedudukan yang relatif kuat dengan posisi wakil bupati yang dijabat muslim tetapi tetap tidak memungkinkan untuk terbangunnya sebuah masjid raya. Ini berimbas kepada pengembangan masjid dalam wilayah yang didiami muslim bersama dengan umat lain. Masjid al Falah sebagai masjid pertama di Sorong tidak dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan umat. Keluasan dan ketersediaan sarana terbatasi karena berada di pemukiman bersama dengan penganut agama lain.

(35)

yang dapat menampung ribuan jamaah tersedia di beberapa daerah, seperti masjid di Bintuni dan Kaimana. Adapun Waisai, Kabupaten Raja Ampat umat Islam menikmati lahan dengan area yang mencapai dua hektar. Begitu juga Masjid al Akbar di Kota Sorong, bahkan dilengkapi dengan poliklinik dan sekolah. Perkembangan terakhir bahkan ditambahkan dengan gedung pertemuan. Salah satu gedung yang terbesar di kawasan Papua Barat dengan daya tampung mencapai ribuan orang. Beberapa masjid yang lain, walau tidak disebut sebagai masjid raya, juga memiliki kapasitas yang memadai untuk pelaksanaan ibadah.

Halaman tersebut secara fungsional menjadi bagian dari lingkungan masyarakat sekitar masjid. Wilayah lingkungan masjid tidak dikelilingi pagar, seperti Masjid at Taubah di Malanu, Kota Sorong, Masjid an-Nur, Teminabuan Sorong Selatan, dan masjid di Pasar Sentral, Bintuni. Pagar tidak digunakan untuk membatasi halaman dengan pertimbangan penggunaan halaman masjid juga untuk keperluan perayaan hari keagamaan. Secara leluasa pula masyarakat sekitar yang memiliki hajatan tertentu dapat menggunakan halaman masjid dengan mendirikan tenda. Resepsi pernikahan dan upacara selamatan diataranya menjadi kebutuhan masyarakat. Sehingga keterbatasan ruang di rumah masing-masing jamaah tidak menjadi penghalang untuk melaksanakan keperluan pribadi mereka. Pengerasan pasir dan batu di beberapa halaman masjid yang luas dengan fungsi untuk menyerap hujan. Namun di masjid wilayah perkotaan bahkan sudah dibeton untuk menghindari genangan air, sekaligus untuk kenyamanan penggunaan halaman.

Keterbatasan ini kemudian selalu gagal didialogkan masyarakat muslim dengan penganut agama lain. Dimana dengan jumlah pertambahan yang relatif tinggi dari waktu ke waktu tetapi ketersediaan lahan dan jarak dengan pemukiman kemudian tidak memungkinkan umat Islam untuk membangun masjid. Namun ini tidak menjadi halangan dan hambatan. Justru kesempatan ini digunakan dengan membangun musala keluarga yang justru jumlahnya lebih banyak. Hanya saja tidak dapat menampung jamaah dalam skala yang banyak. Walaupun demikian, justru keberadaan musala ini menjadi kelebihan tersendiri. Sekaligus dimanfaatkan untuk proses pembelajaran baca tulis al Quran bagi anak-anak usia sekolah dasar. Begitu juga musala menjadi wahana aktivitas keluarga muslim dalam menjalin silaturahmi dalam lingkungan terbatas. Prosesi yasinan setiap kamis malam, majelis taklim, dan penyelenggaraan jenazah justru dilakukan di musala keluarga ini.

(36)

ada tiga masjid raya yaitu di Waisai, Raja Ampat; Remu, Kota Sorong, dan Fakfak. Sementara Bintuni dan Kaimana masjid besar yang sudah terbangun puluhan tahun yang lalu dijadikan sebagai masjid bersama. Adapun di Teminabuan, Sorong Selatan masjid pasar sebagai masjid yang paling besar. Untuk Maybrat dan Tambrauw tidak terdapat masjid, yang disepakati untuk menjadi masjid pusat. Didapatkan juga masjid yang merupakan warisan dari kerajaan masa lalu. Di Kaimana, masjid besar merupakan sarana ibadah yang turun temurun dari kejayaan kesultanan Tidore yang menyebarkan Islam di pesisir selatan Papua. Juga di Pulau Doom, masjid yang ada direnovasi dari bentuk yang sudah ada sebagai warisan dari kesultanan Raja Ampat ketika masa awal menerima Islam.

Walaupun demikian, masjid selalu melengkapi madrasah. Bahkan juga ada masjid dalam proses perkembangannya justru membangun madrasah seperti Masjid Quba dan Masjid al Amin di Sorong, Masjid Muhammadiyah di Aimas dan Bintuni. Masjid Quba, Masjid al Amin. Tidak hanya sekolah, tetapi juga perguruan tinggi dilengkapi dengan masjid. Universitas Muhammadiyah Sorong dengan jumlah mahasiswa mencapai 21.000 dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah, Aimas melayani mahasiswa sebanyak 7.000. Masjid kedua lembaga ini digunakan bersama-sama dengan masyarakat sekitar. Selanjutnya, beberapa lembaga pendidikan kemudian untuk kebutuhan jamaah secara internal mendirikan musala atau masjid. Selanjutnya dalam mengakomodasi jamaah di sekitar madrasah, beberapa masjid tetap menjadi sarana beribadah di luar waktu sekolah. Beberapa sekolah yang tidak memiliki keluasan lahan, akhirnya menggunakan masjid terdekat untuk proses belajar mengajar.

(37)

dari bentuk bangunan sebagai produk kolektif. Perilaku masyarakat menjadi latar belakang pembentukan semua bagian ini.

masjid di Papua barat: tauhid dan Harmoni

Tipologi kawasan masjid secara umum merupakan tuntutan atas kepentingan fungsional. Sehingga masjid bukan saja menjadi tempat shalat semata tetapi juga menjadi kompleks yang multifungsi. Masjid Agung al Akbar di Kota Sorong melengkapi dengan beberapa fasilitas seperti poliklinik, madrasah, gedung pertemuan. Masjid ini juga menjadi sekretariat beberapa organisasi ummat seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ), dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA). Dengan letak yang berada di tengah kota, masjid ini menjadi sentral kegiatan. Gedung pertemuan yang dinamai al Akbar Convention Centre (ACC) menjadi ruang ekspresi warga kota. Bahkan gedung pertemuan ini tetap terbuka untuk digunakan seluruh warga kota tanpa memandang identitas keagamaan. Masjid dilengkapi dengan ruang parkir yang dapat menampung kendaraan roda empat sampai lima ratus kendaraan senantiasa digunakan area festival dan pertemuan warga. Secara berkala, Festival Seni Budaya Islam dalam skala propinsi dilangsungkan di sini. Festival dapat berlangsung dengan baik karena kelengkapan fasilitas pendukung yang ada. Ini menggambarkan akan ketersediaan fasilitas masjid yang memadai.

Area parkir di lingkungan masjid diperhatikan, dimana jamaah sebagian besar datang dengan kendaraan. Baik berupa sepeda motor maupun kendaraan lainnya. Sehingga dengan mobilitas seperti ini kemudian masjid selalu dilengkapi dengan area parkir yang dapat menampung kendaraan sampai angka puluhan atau bahkan ratusan. Masjid al Hakim di Kota Sorong menyediakan lahan parkir yang sudah disempurnakan dengan semen beton. Dua masjid yang berada di poros Jalan Aimas, dua masjid yang berada dalam lingkungan pemukiman dan pendidikan, juga sudah memperlebar halaman untuk menyediakan lahan parkir bagi jamaah. Tidak saja masjid agung atau masjid raya yang menyadari akan fasilitas seperti ini. Bahkan Masjid al Kautsar dengan letak yang tidak berada di perumahan warga namun berada di pemukiman dinas Pertamina, tetap saja menyediakan lahan parkir untuk kenyamanan jamaah.

(38)

sarana pelengkap penunjang aktivitas. Aspek fungsional ini kemudian menjadi pertimbangan dalam penggunaan ruang ada di kawasan masjid. Tidak saja untuk aktivitas semata-mata untuk shalat tetapi masjid sudah mulai bergerak dalam fungsi pendidikan. Masjid al Akbar, Masjid Quba, Masjid al Jihad, dan Masjid at Taubah, di Sorong, Masjid di Bintuni, dalam kawasan yang sama mengelola madrasah. Dengan menyatunya aktivitas ini, maka masjid kemudian menyertakan kegiatan pendidikan dalam aktivitas sehari-hari.

Masjid juga mengacu kepada kesederhanaan bentuk. Ini berarti walaupun masjid sebagai sarana ibadah tetapi tidak alasan pembangunan masjid dilandasi dengan kepentingan untuk bermewah-mewah. Justru yang harus terwujud adalah kesederhanaan dengan memberikan wadah semaksimal mungkin dalam fungsi yang diemban. Kesederhanaan terbentuk dalam hal gambar rencana tapak yang jelas dan mudah dimengerti. Sekaligus memberikan pesan akan keutuhan desain. Sebaliknya tidak ditemukan teknik yang disajikan dengan aneka warna, sukar untuk dimengerti dan mencerminkan kerumitan. Sederhana tergambar dengan tetap mempertahankan aspek fungsi untuk memenuhi kebutuhan ibadah. Secara efektif, fungsi ibadah diwadahi tanpa elemen lain yang tidak penting dan tidak praktis.

Menggambarkan masjid tidak dapat dilepaskan dari penjelasan pada aspek kesejarahan. Islam sebagai agama yang datang ke tanah Papua dalam proses perkembangan membawa bentuk-bentuk bangunan yang sudah digunakan di daerah lain sebelumnya. Paling tidak ada tiga respon umat Islam di kawasan lain dalam area iklim tropis yang sama sudah diiplementasikan, yaitu 1) ruang utama untuk shalat seluas mungkin dengan atap yang tinggi, 2) lantai yang dibentuk dengan marmer agar tercipta suasana sejuk, dan 3) ventilasi untuk memungkinkan sirkulasi udara dengan jendela yang lebar dan besar. Desain seperti yang sudah diterapkan di masjid lain tersebut kemudian kembali digunakan untuk mengakomodasi kepentingan pembangunan masjid baru. Pengaruh vernakular Papua tidak tergambar dalam masjid. Ini berkaitan dengan bangunan yang ada masih sebatas rumah tinggal, begitu juga adanya keragaman etnis dari segala penjuru tanah air dan perjumpaan dengan arsitektur dunia. Sehingga pilihan didasarkan pada warna paduan keragaman dengan tidak menumpukan secara khusus kepada ciri khas lokal. Langgam arsitektur tropis kemudian juga memberikan pengaruh dalam pengaturan ventilasi, teritisan atap lebar dan selasar.

Gambar

gambar 1. Contoh model busana kerja (Riyanto, 2009)
gambar 1,2,3
gambar 1. Suasana Masjid Gading Pesantren
Gambar 2.  Zonasi Pengamatan pada Masjid Gading Pesantren
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya dari

Kriteria Inklusi Ekslusi Population / Problem Jurnalnasional dan international yang berhubunganden gantopikpenelitiy akniregulasi emosi dan intensitas nyeri haid Selain

a) Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji pengaruh variabel Pendidikan, Jumlah Tanggungan Keluarga, dan Curahan Jam Kerja terhadap Pendapatan Keluarga Miskin

Madrasah ini adalah satu- satu madrasah tsanawiyah (MTs) yang punya program full day school di Lampung Selatan. Ini merupakan daya tarik tersendiri. Mutu tenaga pendidik dan

Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin meneliti mengenai apakah terdapat pengaruh dan seberapa besar pengaruh dari media sosial Instagram Kementerian kesehatan

Populasi dalam penelitian ini adalah bank umum syariah di Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2015, maka diperoleh sebanyak 12 bank umum syariah yang layak diteliti

Diagram Alir Metode Kerja Sterilisasi Permukaan  Dicuci air mengalir 3 menit  Ditimbang rimpang sebanyak 1 gram  Direndam Etanol 70% 10 ml 2 menit  Direndam NaOCl 5,3% 10 ml

Rata-rata hasil belajar ditinjau dari gaya kognitif konseptual tempo dari yang tertinggi adalah rata-rata hasil belajar mahasiswa bergaya kognitif fast- accurate, rata-rata