• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Akses KB dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Hormonal dan non Hormonal pada Akseptor KB Aktif di Wilayah Kerja Puskesmas Siabu Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Akses KB dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Hormonal dan non Hormonal pada Akseptor KB Aktif di Wilayah Kerja Puskesmas Siabu Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2016"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya kehamilan dimana bahan bakunya mengandung

preparat estrogen dan progesteron, hormon-hormon ini bekerja sebagai

penghambat pengeluaran folicel stimulating hormon dan leitenizing hormon

sehingga proses konsepsi terhambat (Manuaba, 2002).

Kontrasepsi hormonal ini menggunakan hormon dari progesteron.

Penggunaan kontrasepsi ini dilakulan dalam bentuk pil, suntikan atau implan.

Pada dasarnya, mekanisme kerja hormon progesteron adalah mencegah

pengeluaran sel telur dari indung telur, mengentalkan cairan di leher rahim,

sehingga sulit ditembus sperma membuat lapisan dalam rahim menjadi tipis dan

tidak layak untuk tumbuhnya hasil konsepsi, saluran telur jalannya jadi lambat

sehingga mengganggu saat bertemunya sperma dan sel telur.

Kontrasepsi non hormonal adalah kontrasepsi yang tidak mengandung

hormone baik estrogen maupun progesteron. Jenis – jenis kontrasepsi non

hormonal meliputi metode sederhana (metode kalender, metode suhu badan basal,

metode lendir serviks, metode simpo termal, senggama terputus atau coitus

interuptus, kondom, diafragma), dan metode modern (IUD tanpa hormon, MOW,

(2)

sederhana adalah menghindari senggama selama kurang lebih 718 hari, termasuk

masa subur dari tiap siklus. Sedangkan kondom menghalangi spermatozoa ke

dalam traktus genitalia interna wanita (Hartanto, 2004).

Cara kerja IUD terutama mencegah sperma dan ovum bertemu. Sedangkan

MOW dan MOP adalah dengan mengikat dan memotong saluran ovum atau

sperma sehingga sperma tidak bertemu dengan ovum. Tidak ada satupun yang

seratus persen efektif dan semua disertai dengan tingkat risiko tertentu.

Akibatnya, perlu ditekankan pentingnya penyuluhan yang tepat dan menyeluruh

(Saifuddin, 2006).

Kontrasepsi merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan.

Upaya itu dapat bersifat sementara, dapat pula bersifat permanent. Penggunaan

kontrasepsi merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi fertilitas

Meskipun masing- masing jenis kontrasepsi memiliki tingkat efektivitas yang

tinggi dan hampir sama, akan tetapi efektivitas kontrasepsi juga dipengaruhi oleh

perilaku dan tingkat sosial budaya pemakainya (BKKBN, 2006).

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia WHO dan Perseikatan

bangsa-bangsa untuk mengembangkan model baru yang secara rinci memperkirakan

jumlah kematian ibu di 172 negara, serta jumlah kematian yang mungkin dapat

dihindari dengan penggunaan kontrasepsi. Perkiraan menunjukkan bahwa Yunani

memiliki angka kematian maternal terendah di Dunia, dengan hanya tiga ibu

meninggal per 100.000 kelahiran hidup. Sebaliknya, Chad di Afrika Tengah

memiliki tingkat kematian ibu tertinggi di Dunia menurut hitungan dengan 1.465

(3)

tertinggi kedua, dengan 1.365 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Tanpa

penggunaan kontrasepsi, jumlah kematian ibu akan menjadi 1,8 kali lebih tinggi

secara global. Kebutuhan tertinggi kontrasepsi yang belum terpenuhi adalah

Sub-Sahara Afrika, dimana hanya 22% wanita yang sudah menikah atau aktif secara

seksual menggunakan alat kontrasepsi, dibandingkan dengan 75% di negara maju

(Irianto, 2014).

Indonesia merupakan sebuah negara berkembang dengan jumlah

peningkatan penduduk yang tinggi. Hasil sensus menurut publikasi BPS pada

bulan Agustus 2010 antara lain jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363

orang, terdiri atas 119.507.600 laki-laki dan 118.048.783 perempuan dengan laju

pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun. Pertumbuhan jumlah

penduduk ini tentu saja akan berimplikasi secara signifikan terhadap

perkembangan ekonomi dan kesejahteraan negara (Sulistyawati, 2011).

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia dapat dikendalikan dengan

mengontrol faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk yaitu

melalui program keluarga berencana untuk mengendalikan fertilitas. Keluarga

Berencana merupakan suatu program untuk meningkatkan kepedulian dan peran

serta masyarakat melalui pengaturan jumlah kelahiran, pembinaan kesejahteraan

keluarga dalam upaya untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.

Program keluarga Berencana mempunyai tujuan untuk mengendalikan angka

kelahiran sehingga dapat meningkatkan kualitas penduduk.

Kesadaran akan pentinggnya kontrasepsi di Indonesia perlu di tingkatkan

(4)

permasalahan global yang muncul di seluruh dunia, selain isu pemanasan global,

krisis ekonomi, masalah pangan serta menurunnya tingkat kesehatan penduduk.

Kekhawatiran akan terjadi ledakan penduduk pada tahun 2015 mendorong

Pemerintahan Indonesia menyusun beberapa kebijakan penting karena penduduk

yang besar tanpa disertai kualitas yang memadai akan menjadi beban

pembangunan serta menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan pembangunan Nasional (Emon, 2008).

Untuk menahan laju peningkatan jumlah penduduk, indonesia menggunakan

program keluarga berencana. Program ini cukup efektif dalam menurunkan laju

pertumbuhan penduduk. Prevalensi KB menurut alat KB dari peserta KB aktif di

Indonesia adalah 66,20%. Alat KB yang dominan adalah Suntikan 34% dan Pil

KB 17%. Peserta KB baru secara Nasional sampai dengan bulan Maret 2012

sebanyak 220.51 peserta. Apabila dilihat pertahunan pada pemakaian kontrasepsi

maka dapat dilihat bahwa jumlah peserta IUD sebanyak 6,78% , MOW sebanyak

1,61%, MOP sebanyak 0.52%, Kondom sebanyak 6,21%, Implant sebesar 8, 16%.

Suntikan berjumlah 1.008.577 (49,92%), dan pesertaPil 546.597 (27, 05%)

akseptor, mayoritas Akseptor KB baru bulan Maret 2012 paling banyak

menggunakan non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (non MKJP) yaitu

83,18%. Sedangkan peserta KB baru yang menggunakan Metode Jangka Panjang

seperti IUD, MOW, MOP dan Implant hanya 16,82 % (BKKBN, 2013).

Data Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia tahun 2012 suntik dan pil

adalah dua alat kontrasepsi yang paling popular sedangkan tingkat pemakaian

(5)

KB yang memakai Kontrasepsi IUD masih rendah yaitu 3,9%. Padahal, IUD

merupakan alat Kontrasepsi yang sangat efektif, murah, dan aman dalam

menghentikan kehamilan (SDKI, 2012).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-

2014 diarahkan kepada pengendalian kualitas penduduk melalui tiga prioritas

utama (1) Revitalisasi Program KB (2) Penyerasian kebijakan pengendalian

penduduk dan (3) Peningkatan ketersediaan dan kualitas data serta informasi

kependudukan yang memadai, akurat, dan tepat waktu (BKKBN, 2012).

Berdasarkan data dari BKKBN Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2012

jumlah PUS adalah 2.317.450 jiwa, pemakaian metode atau alat kontrasepsi pada

pasangan usia subur yang masih aktif sebagai peserta KB terdiri dari pemakaian

alat kontrasepsi Pil 425.630 (32,54%), Suntik 422.310 (32,30%), IUD 140.480

(10,74%), Implant 121.670 (9,30%), MOW 109.590 (8,38%), Kondom 83.450

(6,38%), dan MOP 4.730 (0,36%) (BKKBN, 2012).

Propil Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal (2013) Tingkat pencapaian

pelayanan KB dapat digambarkan melalui cakupan peserta KB aktif yang

ditunjukkan melalui kelompok sasaran program yang sedang atau pernah

menggunakan alat kontrasepsi menurut daerah tempat tinggal, tempat pelayanan

serta jenis kontrasepsi yang digunakan akseptor. Persentase peserta KB aktif

tahun 2012 sebesar 60, 51% meningkat dari tahun 2013 sebesar 63,91 %. Hal ini

menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat khususnya pasangan usia

(6)

Data yang diperoleh dari BKKBN (2014) menyatakan bahwa peserta KB

aktif yang menggunakan KB Hormonal di Kabupaten Mandailing Natal jumlah

Pasangan Usia Subur (PUS) Tahun 2012, 2013, 2014 secara berurut yaitu, 72.025,

72.213 dan 76.697. Pada tahun 2012 Jumlah pengguna IUD sebanyak 2.044

akseptor, pengguna PIL 11.914 akseptor dan pengguna Suntik 20.560 akseptor,

pengguna Implan sebanyak 3.412 akseptor. Pada tahun 2013 jumlah pengguna

IUD sebanyak 2.058 akseptor, pengguna PIL 12.346 akseptor, dan pengguna

suntik 21.638 akseptor, pengguna Implan sebanyak 4.554 akseptor.

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di dua Puskesmas Siabu

dan Puskesmas Sihepeng Kecamatan Siabu pada bulan juli tahun 2015, data dari

BBKBN proporsi pencapaian Akseptor KB Aktif 3.576 (99,97%) Akseptor.

Berdasarkan peserta KB aktif ,yang memakai kontrasepsi hormonal seperti Suntik

sebanyak 1.675 (46,84%) Akseptor, Pil sebanyak 890 (24,88%) Akseptor, Implant

408 (11.40%) Akseptor, jadi seluruh Akseptor yang menggunakan alat

kontrasepsi Hormonal sebanyak 83,12% akseptor. Sedangkan pengguna

kontrasepsi non Hormonal AKDR/alat kontrasepsi dalam Rahim sebanyak 405

(11,32%) Akseptor, MOP tidak ada MOW sebanyak 125 (3,49%) Akseptor, dan

Kondom sebanyak 73 (2,04%) Akseptor, maka jumlah seluruh akseptor KB yang

menggunaka alatkontrasepsi Non Hormonal sebanyak16, 85% akseptor .

Ada beberapa kemungkinan kurangnya keberhasilan program KB yaitu

salah satunya adalah faktor keterjangkauan atau akses pelayanan KB. Akses

pelayanan yang efektif hanya dapat dijamin jika pelayanan terjangkau dalam

(7)

Menurut survei yang telah dilakukan di Puskesmas Siabu pada bulan Juli

2015 bahwa pemilihan alat Kontrasepsi Non Hormonal jauh lebih rendah. Jadi

Akseptor mengalami kesulitan di dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal

ini tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia, tetapi juga ketidaktahuan

mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut. Masih

banyak yang belum tahu bahwa penggunaan KB non hormonal memiliki manfaat

yang sangat baik yaitu dapat digunakan metode kontrasepsi jangka panjang.

Tingkat ekonomi juga mempengaruhi pemilihan pemakian jenis alat

kontrasepsi. Hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi

yang diperlukan akseptor harus menyediakan biaya yang diperlukan. Akan tetapi

jika dihitung dari segi keekonomisannya, kontrasepsi jangka panjang lebih murah

di banding dengan jangka pendek, kadang masyarakat melihatnya dari segi biaya

harus dikeluarkan untuk sekali pasang saja. Jika patokannya adalah biaya setiap

kali pasang, mungkin alat kontrasepsi jangka panjang terlihat jauh lebih mahal,

tetapi jika dilihat masa atau jangka waktu penggunaannya, tentu biaya yang harus

dikeluarkan untuk pemasangan alat kontrasepsi jangka panjang akan lebih murah

dibandingkan alat kontrasepsi jangka pendek. Untuk sekali pemasangan alat

kontrasepsi Non Hormonal bisa aktif selama 3- 5 tahun, bahkan seumur hidup/

sampai masa menopause. Sedangkan alat kontrasepsi hormonal hanya mempunyai

masa aktif 1- 3 bulan saja, yang artinya untuk mendapatkan efek yang sama

dengan alat kontrasepsi hormonal, seseorang harus melakukan 12- 36 kali

(8)

Berdasarkan segi biaya yang harus keluarkan untuk pemakainan KB

hormonal jauh lebih banyak mengeluarkan biaya dibandingkan KB non hormonal,

karna dalam pemakian KB hormonal harus mengeluarkan biaya setiap bulannya

untuk pemakain alat kontrasepsi sedangkan Kb non hormonal cukup

mengeluarkan biaya sekali saja.

Menurut hasil survei yang telah dilakukan pada bulan Juli tahun 2015 pada

Akseptor KB tentang jarak pelayanan KB (BKKBN dan Puskesmas), akseptor

mengatakan bahwa sulit menjangkau jarak puskesmas dari pemukiman

masyarakat, hal ini membuat akseptor jadi malas untuk berkunjung ke Puskesmas.

Bukan hanya itu akseptor juga mengeluarkan biaya ongkos untuk menuju

puskesmas dan ini juga membuat akseptor merasa bahwa setiap kunjungan ke

puskesmas untuk melakukan pelayanan KB non hormonal seperti IUD, dimana

akseptor harus menunggu adanya safari KB gratis dari pemerintah, sedangkan

akseptor sendiri tidak tahu kapan jadwal safari dilakukan dan membuat akseptor

jadi malas dan kecewa untuk datang ke puskesmas. Akseptor yang sering

berkunjung ke puskesmas adalah kalangan menengah ke bawah, masyarakat yang

ekonominya lebih baik memilih ke klinik untuk melakukan pemasangan KB non

hormonal baik itu IUD, dan MOW sedangkan pemakaian MOP di puskesmas

siabu belum ada yang memakainya disebabkan bahwa tingkat pengetahuan

tentang pemakaian alat kontrasepsi non hormonal masih rendah karna masih ada

masyarakat yang tidak tahu apa itu yang dinamakan metode kontrasepsi pria, dan

(9)

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan bahwa akseptor KB

aktif tidak hanya ke puskesmas memasang KB, akan tetapi ke BKKBN juga ini

dikarenakan persedian KB di puskesmas sangat minim sehingga tidak semua

akseptor dapat memasang atau memperoleh KB di puskesmas. Sehingga

pelayanan KB di BKKBN lebih diminati akseptor dibanding dengan puskesmas.

Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam pemilihan KB

hormonal dan non hormonal dan masih banyak masyarakat yang belum

mengetahui manfaat KB hormonal dan non hormonal dimana kurangnya rasa

ingin tahu masyarakat dan pemahaman mereka tentang alat kontrasepsi hormonal

dan non normonal sehingga pengetahuan mereka masih kurang tentang alat

kontrasepsi, sedangkan pengadaan promosi tentang kesehatan masih terbilang

jarang bahkan sekali dalam 3 bulan belum tentu terlaksana. Dan promosi tentang

KB sangat bagus karna masyarakat bisa lebih cepat mengerti tentang manfaat ber

KB. Masyarakat mandailng natal masih kental dengan budaya banyak anak

banyak rezeki, sehingga sebagian orang tua mereka merasa tidak perlu khawatir

dimana anak tersebut sudah membawa rezeki masing- masing.

Pendidikan seseorang sangat menentukan dalam pola pengambilan

keputusan dan penerimaan informasi dari pada seseorang yang berpendidikan

rendah. Pendidikan juga akan mempengaruhi pengetahuan dan persepsi seseorang

seseorang tentang pentingnya suatu hal, termasuk program KB. Pada akseptor

dengan tingkat pendidikan rendah, keikutsertaannya dalam program KB hanya

ditujukan untuk mengatur kelahiran. Sementara itu pada akseptor KB dengan

(10)

kelahiran juga meningkatkan kesejahtraan keluarga karena dengan cukup dua

anak dalam satu keluarga kecil bahagia dan sejahtera dapat tercapai dengan

mudah. Hal ini dikarenakan seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi

maka memiliki pandangan yang lebih luas tentang suatu hal dan lebih muda

menerima ide atau cara kehidupan baru. Dengan demikian, tingkat pendidikan

juga memiliki hubungan dengan yang akan digunakan pemilihan jenis alat

kontrasepsi (Bappenas, 2010).

Masih rendahnya pemilihan alat kontrasepsi non hormonal membuat

penulis tertarik untuk mengetahui dan melakukan penelitian ini tentang Hubungan

Akses KB dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Hormonal dan Non Hormonal

Pada Akseptor KB Aktif Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Siabu

Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah penelitian ini

adalah bagaimana Hubungan Akses KB dengan Pemilihan Kontrasepsi Hormonal

dan Non Hormonal Pada Akseptor KB Aktif di Wilayah Kerja Puskesmas

Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2016.

1.3 Tujuan Penelitiaan

1. Untuk mengetahui hubungan jarak akseptor KB dengan pemilihan alat

kontrasepsi hormonal dan non hormonal pada akseptor KB aktif di

Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal

(11)

2. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan pemilihan alat

kontrasepsi hormonal dan non hormonal pada akseptor KB aktif di

Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal

Tahun 2016.

3. Untuk mengetahui hubungan biaya dengan pemilihan alat kontrasepsi

hormonal dan non hormonal pada akseptor KB aktif di Wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2016.

4. Untuk mengetahui hubungan sumber pelayanan dengan pemilihan alat

kontrasepsi hormonal dan non hormonal pada akseptor KB aktif di

Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal

Tahun 2016.

1.4 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan jarak (sulit dan mudahnya dalam menjangkau jarak ke

sarana Pelayan KB (BKKBN dan Puskesmas) dengan pemilihan alat

kontrasepsi hormonal dan non hormonal.

2. Ada hubungan pengetahuan akseptor dengan pemilihan alat kontrasepsi

hormonal dan non hormonal.

3. Ada hubungan biaya untuk pemasangan alat kontrasepsi dengan pemilihan

alat kontrasepsi hormonal dan non hormonal.

4. Ada hubungan sumber pelayanan (BKKBN dan Puskesmas) Akseptor

(12)

1.5 Manfaat Penelitian

Sebagai informasi bagi pihak Puskesmas Siabu mengenai alat kontrasepsi

hormonal dan non hormonal serta diketahuinya beberapa hal yang mempengaruhi

Referensi

Dokumen terkait

Namun ada pula beberapa yang hanya merasa memiliki tingkat kepuasan sedang terhadap pelayanan Transjogja di mata mahasiswa yang sebanyak 40 orang, ini semua karena satu-

sekolah tersebut sudah mengatur tata tertib tentang perundungan. Data yang. didapat tersebut sangat berguna untuk menganalisis rumusan masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut dapat diduga bahwa hasil belajar IPA siswa dapat ditingkatkan dengan menggunakan model pembelajaran yang menciptakan kondisi siswa

Data yang dikumpulkan meliputi identitas sampel (umur, varitas, berat badan, panjangltinggi badan, kadar hemoglobin, jenis penyakit infeksi dan konsumsi makanan ) dan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kelas V SDN 1 Ogowele bahwa hasil belajar siswa pada siklus I masih rendah yakni hanya 12 orang siswa yang tuntas dari 20

Melalui perancangan video klip berkonsep film sinematik, diharapkan cerita yang tersirat dari lirik lagu dapat disampaikan kepada penonton melalui visualisasi yang

Tingkat klasifikasi perkembangan desa berdasarkan data potensi desa terbagi menjadi tiga kelas, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan hasil skor yang telah

atau perancangan pembelajaran, (2) tahap pelaksanaan pembe-lajaran dan (3) tahap pengukuran.Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan bahwa pengembangan