BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sekolah adalah tempat tinggal kedua bagi anak-anak, sehingga sebagai
rumah kedua bagi anak-anak maka kondisi, suasana, dan kegiatan di dalamnya
haruslah berjalan secara kondusif agar anak-anak merasa aman, nyaman, dan
tenang dalam menuntut ilmu. Seiring dengan majunya perkembangan zaman dan
teknologi mau tidak mau harus dihadapkan dengan sesuatu yang baru dan kita
tetap harus mengikutinya, karena teknologi tidak dapat kita lawan, demikian
halnya dengan perkembangan sekolah. Sekolah yang pada mulanya menjadi
rumah kedua bagi anak sedikit demi sedikit terus mengalami perubahan, baik
dari segi positif maupun negatif. Untuk segi positif hal tersebut memberi dampak
baik bagi anak. Sekolah diharapkan dapat menjadi tempat bagi anak untuk dapat
mengembangkan diri, beraktualisasi, bersosialisasi dan juga meningkatkan
kecerdasan anak itu sendiri. Namun ditengah tujuan baik dari sekolah itu sendiri
munculah beberapa tindakan yang mengarah pada tindakan negative berupa
kekerasan yang dimulai dari kasus kekerasan yang menyebabkan anak trauma
hingga kehilangan nyawa. Seperti yang terjadi pada tahun 2015, seorang siswa
ahkirnya tewas saat sedang lomba melukis di sekolah tersebut.1 Anak tidak
pantas menerima kekerasan melainkan harus diberikan bimbingan dan
pembinaan, sehingga dapat bertumbuh serta berkembang sebagai anak normal
yang sehat jasmani dan rohani.
Di Indonesia terdapat kewajiban untuk menjalankan dan melaksanakan
ketentuan untuk memenuhi hak-hak anak, seperti yang tercantum dalam Pasal 1
butir 12 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan
Anak) yang menyebutkan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia
yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, Pemerintah dan Negara”.2
Dalam Pasal 49 dan Pasal 50 UU Perlindungan Anak mengatur bahwa
Negara, pemerintah, keluarga dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan3. Pendidikan tersebut
diarahkan pada:
1.pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan
mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
2.pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
3.pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan
nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal,
1
Sindo Jakarta, Sabtu 19 September 2015, hal 7. Penganiayaan Anak SD
2
UUPA 2002 telah diperbaharui melalui UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3
dari mana anak berasal, dari peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari
peradaban sendiri;
4.persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan
5.pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.4
Akan tetapi segala peraturan tersebut belum mampu menjamin hak anak.
Hal ini terlihat dari berbagai macam kasus yang diberitakan di media sosial.
Berita dan media sosial banyak memberitakan bahwa lingkungan sekolah
menjadi tempat yang rawan bagi anak untuk menerima kekerasan serta
diskriminasi. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa di beberapa lingkungan
sekolah di Indonesia tidak aman dan sangat minim dalam hal pengawasan
sehingga menyebabkan adanya korban kekerasan. Segala bentuk kekerasan baik
fisik atau verbal sekarang ini sering disebut sebagai perundungan.
Menurut Global School-based Student Health Survey (GSHS), atau survei
kesehatan global berbasis sekolah, pada 2007 sekitar 40% murid berusia 13-15
tahun di Indonesia melaporkan telah diserang secara fisik selama 12 bulan
terakhir di sekolah mereka. Hal ini adalah “salah satu angka yang tertinggi di
Indonesia. Setengah dari anak-anak yang disurvei melaporkan telah mengalami
perundungan di sekolah, sementara 56% anak laki-laki dan 29% anak perempuan
4
di institusi – termasuk panti asuhan, pusat rehabilitasi, pesantren dan asrama
serta tempat tahanan anak-anak – melaporkan telah mengalami kekerasan fisik.5
Sekolah dalam hal ini harus lebih memperhatikan kondisi siswanya,
karena maraknya aksi perundungan ini. Jangan sampai sekolah yang seharusnya
menjadi tempat bagi anak agar merasa nyaman malah menjadi tempat yang
menakutkan. Hanya beberapa kasus perundungan yang menimpa anak-anak
disekolah yang tersorot oleh masyarakat, namun jika ditelusuri lebih lanjut maka
akan ditemukan lebih banyak kasus yang tidak terungkap dan tidak dilaporkan
karena dianggap hal yang tidak serius yang tidak memerlukan penanganan lebih
lanjut. Seperti yang dikatakan oleh ketua Komisi Perlindungan Anak Seto
Mulyadi pada tahun 2015 mengatakan bahwa “rata-rata kekerasan terhadap anak
terjadi sekitar 3000 sampai 3500 pelaporan terkait kasus kekerasan terhadap
anak. Namun angka itu dianggap masih terlalu kecil.”6
Istilah perundungan belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena
belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia.7 Perundungan
sekarang ini sudah menjadi kebiasaan dan dapat menimbulkan balas dendam
kepada siswa lain atau adik kelas. Sekolah sendiri dalam hal ini guru harus lebih
waspada dan memperhatikan anaknya, faktor kedekatan antara guru dan anak
5
Internet, 7 Mei 2016, WWW:http://kabar24.bisnis.com/read/20150226/19/406778/pbb-40-anak-indonesia-jadi-korban-bully-di-sekolah
6
Internet, 1 Juni 2017, https://beritagar.id/artikel/bincang/seto-mulyadi-anak-harus-terlatih-melawan-predator
7
Susanti,2006,Bullying bikin anak depresi dan bunuh diri. (online) diunduh dari :
juga harus dibangun, karena banyak anak yang sebenarnya menjadi korban tetapi
tidak melaporkan. Dalam mengatasi perundungan di sekolah semua pihak harus
bekerjasama baik itu kepala sekolah, guru, karyawan, siswa dan bahkan orang
tua murid. Perundunganterjadi dalam berbagai bentuk dan mungkin guru pernah
melakukan tindakan perundungan terhadap muridnya, meskipun tidak disadari.
Hal ini dapat berdampak buruk pada kondisi psikologis anak, baik pelaku
ataupun korban. Sehingga jika terjadi kasus perundungan sekolah harus
benar-benar menangani dengan serius dan diselesaikan hingga tuntas tidak hanya
dengan sekedar hukuman namun bimbingan juga harus dilakukan.
Tata tertib sekolah dalam hal ini yang menjadi payung peraturan di
sekolah diharapkan dapat berfungsi baik dalam mencegah atau menyelesaikan
kasus kekerasan khususnya. Pemerintah Indonesia sendiri melalui Departemen
Pendidikan telah mengeluarkan Permendikbud nomor 82 Tahun 2015 tentang
pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan
pendidikan, sehingga diharapkan dengan adanya Permendikbud tersebut dapat
diaplikasikan ke dalam peraturan tata tertib masing-masing sekolah.
Dengan adanya Permendikbud tersebut seharusnya sekolah juga telah
menjalankan aturan yang mengatur tentang perundungan itu sendiri. Namun
perlu juga disadari sekolah juga harus memikirkan cara utuk menyelesaikan
kasus perundungan tersebut, karena dengan hukuman saja terkadang tidak
membuat pelaku perundungan tersebut jera. Korban juga harus diperhatikan
perundungantersebut. Maka dari itu peraturan/ tata tertib yang dibuat disekolah
harus dapat membimbing pelaku perundungandan juga melindungi korban agar
mendapatkan pemulihan.
Alasan dilakukannya penelitian ini pada SMA Don Bosko Semarang
selain ketersediaanya untuk dijadikan objek, karena pada SMA Don Bosko
pernah terjadi kasus perundungan antar siswa dan SMA Don Bosko memiliki tata
tertib khusus perudungan sehingga dengan tata tertib yang ada kasus
perundungan dapat dianalisis.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan diatas,
maka peneliti tertarik untuk meneliti dan menulis skirpsi yang berjudul
“Penyelesaian Kasus Perundungan Melalui Tata Tertib Sekolah Di SMA
Don Bosco Semarang”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkanlatar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tata tertib sekolah SMA PL Don Bosko mengatur tentang
perundungan ?
2. Bagaimana penyelesaian kasus perundungan yang terjadi di SMA PL Don
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dicapai oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan perundungan di tata tertib sekolah SMA
Don Bosco.
2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian kasus perundungan di SMA Don
Bosco
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dimanfaatkan baik dari segi
akademis maupun dari segi praktis
1. Dari segi teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
manfaat akademis untuk pengembangan ilmu hokum, terutama bagi
pembentukan tata tertib sekolah yang lebih tegas mengenai perundungan.
2. Dari segi praktis, diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai tambahan kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam
menyelesaikan kasus perundungan di sekolah.
1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Metode Pendekatan
Jenis penelitian adalah yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris adalah
penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan
terjadi dalam masyarakat. Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian
lapangan (penelitian terhadap data primer) yaitu suatu penelitian meneliti
peraturan-peraturan hukum yang kemudian di gabungkan dengan data dan
prilaku yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Data/materi pokok dalam
penelitian ini diperoleh secara langsung dari para informan melalui penelitian
lapangan, yaitu para arsitek yang pernah melakukan penciptaan atas suatu
karya cipta. Metode pendekatannya adalah kualitatif yaitu suatu pendekatan
penelitian yang tidak mengedepankan angka-angka statistic melainkan
mengedepankan pemahaman terhadap makna dari realita yang diteliti. Ada
beberapa pertimbangan dalam menggunakan metode kualitatif seperti
diungkapkan Lexy. J. Moleong, pertimbangan pertama, metode ini
berdasarkan bukti-bukti nyata yang didapatkan di lapangan.Pertimbangan
kedua, metode ini menggunakan interaksi langsung antar peneliti dengan
sumber data.Pertimbangan ketiga karena penelitian ini memungkinkan peneliti
mengembangkan pemahaman dan pemaknaan data di lapangan8.
1.5.2. Objek Penelitian
Adapun objek penelitian pada penulisan ini adalah semua informasi
yang terkait dengan pelaksanaan tata tertib sekolah dalam menyelesaikan
kasus perundungan yang terjadi di SMA Don Bosco Semarang.
1.5.3. Teknik Pengumpulan data
1.5.3.1.Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari
sumber asli (tidak melalui perantara). Data primer didapatkan setelah penulis
berkunjung ke lokasi penelitian yaitu di SMA Don Bosco Semarang, dan
melakukan metode wawancara untuk mendapatkan data tersebut. Penulis
memilih SMA Don Bosco Semarang sebagai lokasi penelitian karena
sekolah tersebut sudah mengatur tata tertib tentang perundungan. Data yang
didapat tersebut sangat berguna untuk menganalisis rumusan masalah yang
ada. Data diperoleh dengan melakukan wawancara lisan dengan melakukan
wawancara lisan dengan berbagai narasumber serta responden yang
berkompeten dan berhubungan dengan objek penelitian. Narasumber dalam
penelitian ini adalah Kepala Sekolah SMA Don Bosco Semarang, Guru BK,
siswa pelaku perundungan, siswa korban perundungan, siswa yang
menyaksikan perundungansecara langsung
1.5.3.2.Data Sekunder
Data sekunder yakni data yang diperoleh dari sejumlah keterangan dan
fakta yang digunakan oleh seseorang dan secara tidak langsung diperoleh dari
bahan-bahan dokumen, literature, buku-buku, artikel, serta sumber-sumber
tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Studi kepustakaan dalam
penelitian ini menggunakan bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer,
1) Bahan hukum primer: bahan hukum berupa Undang-Undang yang
berkaitan dengan rumusan masalah. Undang-undang yang digunakan
sebagai acuan yakni:
a) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo No. 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
2) Bahan hukum sekunder: bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hokum primer yang digunakan untuk membantu menganalisa serta
memahami bahan hukum primer yakni:
a) Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan
Pendidikan.
b) Tata Tertib SMA Don Bosco Nomor 4.3 Tentang Larangan.
3) Bahan Hukum tersier: bahan hukum yang diperoleh untuk
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
Primer dan Sekunder, seperti: Tata Tertib Sekolah, kamus hukum.
1.5.4. Metode Penyajian Data
Langkah terakhir setelah data primer dan sekunder terkumpul melalui
kegiatan pengumpulan data, kemudian data tersebut diolah, diperiksa, dipilih,
kemudian dilakukan proses editing dan coding. Tahap pemeriksaan dilakukan
proses pengolahan data selesai dan untuk menjawab pertanyaan peneliti maka
data disusun secara sistematis dan disajikan dalam bentuk uraian-uraian.
1.5.5. Teknik Analisa Data
Langkah selanjutnya setelah mengumpulkan berbagai data adalah
menganalisis data. Analisis data yakni merupakan factor terpenting yang turut
menentukan kualitas sebuah penelitian yang dilakukan. Teknik analisa data
yang digunakan oleh penulis yakni kualitatif. Analisis data kualitatif adalah
menganalisis suatu permasalahan dengan menjabarkan data berdasarkan hasil
temuan di lapangan dan studi kepustakaan. Selanjutnya data yang diperoleh
tersebut disusun kemudian dilakukan reduksi atau pengolahan data, sehingga
menghasilkan sajian data dan terakhir diambil kesimpulan atas analisa tersebut.