• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Ekonomi TEKNOLOGI DAN ILMU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perspektif Ekonomi TEKNOLOGI DAN ILMU "

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Abd. Jamal, S.E, M.Si, DR (Kandidat)

Pendahuluan

Sejak manusia lahir sudah membutuhkan berbagai kebutuhan, seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. Dalam kehidupan primitif, masyarakat di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut diusahakan dengan mendapatkannya dari alam, dan terus dilakukan dengan cara berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain.

Dengan berkembangnya zaman di mana kebutuhan penduduk sudah semakin berkembang, dan telah terbatasnya kebutuhan yang didapatkan dari alam, berkembanglah cara memenuhi kebutuhan dengan mengolah sendiri lahan untuk mendapatkan makanan. Akan tetapi, hasil produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Kebutuhan masyarakat tidak hanya makanan dan juga tidak hanya pada satu jenis makanan, tapi juga butuh pakaian dan tempat tinggal yang layak.

Oleh karena berkembangnya kebutuhan masyarakat tersebut, muncullah pemikiran dari mereka untuk melakukan perdagangan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks tersebut. Jenis perdagangan yang muncul pada tataran ini adalah masyarakat melakukan pertukaran barang/jasa dengan barang/jasa yang disebut dengan “barter”. Barter ini muncul karena belum adanya uang di dalam masyarakat, sementara masyarakat membutuhkan barang/jasa yang tidak dihasilkan sendiri.

1 Makalah disampaikan pada Dialog Penelaahan terhadap Pranata Sosial untuk Memahami Dinamika Masyarakat Indonesia di Provinsi Aceh dengan tema “Dinamika Masyarakat Aceh Pasca Tsunami” pada tanggal 29 Juni 2009 di Banda Aceh

2 Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh

(2)

Bagi penduduk di Aceh, barter ini masih ada hingga periode waktu sekitar tahun 1970-an. Di dalam barter ini masyarakat melakukan pertukaraan barang dalam ukuran standar unit yang mereka sepakati, misal satu bambu4

garam ditukarkan dengan dua bambu padi. Bahkan di dalam era modern pun barter masih dilakukan. Misalnya pada saat terjadinya hiperinflasi (www.en.wikipedia.org).

Berkembangnya jumlah penduduk dan kebutuhan setiap individu dan keluarga, maka barter menjadi semakin sulit. Hal ini disebabkan tidak adanya kebutuhan atau keinginan masyarakat yang dapat ditukarkan dalam waktu bersamaan. Atau berbedanya antara kebutuhan seseorang dengan barang dan jasa yang tersedia pada pihak lain. Barter di sini menjadi pilihan yang paling sulit untuk dilakukan, karena harus mempertemukan semua orang yang memiliki barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Ekonomi barter ini sangat tidak efisien. Misalnya, di pasar terdapat 3.000 jenis barang dan jasa yang berbeda, maka tukar menukar di dalam perekonomian barter diperhitungkan sebanyak 4.498.500 kali5 (Mahmud, 1985 : 2) Untuk

menyelesaikan persoalan ini maka muncullah uang yang mula-mula sekali yang disebut dengan commodity money (uang terbuat dari benda), misalnya, kulit berbulu, rahang binatang, binatang ternak, budak belian dan lain-lain (Mahmud, 1985 : 16).

Uang dalam bentuk tersebut juga mengalami banyak kendala karena tidak efisien di dalam operasionalnya. Dengan demikian muncul uang-uang lain yang lebih efisien dan praktis seperti uang kartal (uang kertas dan koin) atau uang giral. Uang tersebut sangat efisien di dalam melakukan perdagangan. Bahkan di zaman modern sekarang ini berkembang pada kartu kredit dan debit di dalam urusan perdagangan.

4 Ukuran ”Bambu” merupakan ukuran kesepakatan masyarakat pada masa lalu yaitu dengan menggunakan ukuran satu ruas bambu yang sudah cukup tua.

5 Jumlah ini berasal dari rumus

1 ) 1 (  n n

R . R adalah jumlah perbandingan

(3)

Pranata Sosial dan Ekonomi

Pranata-pranata sosial muncul dan berkembang sebagai refleksi dari sebuah kebudayaan. Menurut Rosyada (1999 : 163) pranata sosial adalah tradisi-tradisi dalam kehidupan manusia yang terbentuk sebagai kombinasi antara reaksi kemanusiaan atas tantangan dan dinamika lingkungannya, dengan etos yang menjadi nilai dasar kehidupannya.

Koentjaraningrat (1964 : 113) mengatakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-komplkes kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam sebuah pranata sosial sebagai sebuah sistem tentu terdapat tiga hal utama, yakni subjek yaitu manusia, objek yaitu aktivitas yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dan kelembagaan yaitu aturan atau norma yang mengatur aktivitas tersebut. Oleh karenanya, di dalam pranata sosial terdapat seperangkat aturan yang berpedoman pada kebudayaan.

Selanjutnya, Kuntjaraningrat juga mengatakan bahwa pranata sosial memiliki delapan tujuan, yaitu :

a. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan sosial dan kekerabatan, yaitu yang disebut kinship atau domestic institutions.

b. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mata pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, dan mendistribusikan harta benda atau economic institutions.

c. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan pengetahuan dan pendidikan manusia atau educational institutions.

d. Pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia atau scientific institutions.

(4)

f. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau religius institutions.

g. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok atau bernegara atau political institutions.

h. Pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmani manusia atau somatic institutions.

Sebagai salah satu tujuan dari pranata sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka pranata ekonomi sistem norma atau kaidah yang mengatur tingkah laku individu dalam masyarakat guna memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Dengan demikian, fungsi pranata ekonomi adalah :

a. Mengatur konsumsi barang dan jasa. b. Mengatur distribusi barang dan jasa, dan c. Mengatur produksi barang dan jasa.

Jadi pranata ekonomi ini lahir ketika orang-orang mulai mengadakan pertukaran barang atau perdagangan serta mengakui adanya kebutuhan atau tuntutan dari orang lain.

Dari sisi pembangunan ekonomi, kehidupan masyarakat di dalam pranata ekonomi dan pranata sosial memiliki strata atau jurang pemisah dua kelompok masyarakat yang disebut dengan dualisme6 ekonomi (Todaro,

2003 : 145). Di satu sisi masyarakat berada pada kelompok elit (superior) namun di sisi lain juga ada yang berkehidupan di dalam kelompok inferior. Akan tetapi, kedua kelompok masyarakat tersebut dapat hidup di dalam ruang dan waktu yang sama. Biasanya, kedua kelompok masyarakat tersebut saling membutuhkan dan saling bekerjasama secara ekonomi dan sosial. Misalnya, hubungan pengusaha dengan buruh (dualisme ekonomi), bank dan rentenir (dualisme keuangan), penduduk berpendidikan tinggi dan

(5)

pendidikan rendah (dualisme sosial) serta pusat dan daerah (dualisme regional).

Dari contoh tersebut terlihat jelas bahwa pranata ekonomi memang terbentuk dengan sendirinya disebabkan oleh adanya kebutuhan masyarakat. Dualisme tersebut juga berkembang disebabkan oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada masa lalu, di dalam mengembangkan ekonomi, masyarakat melakukan pinjaman pada sesamanya dengan tanpa adanya bunga. Akan tetapi, dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat dan kebutuhannya untuk melakukan produksi, rentenir7 menjadi satu pilihan untuk menambah modal

kerja. Bahkan pada daerah tertentu saat ini di Aceh, rentenir masih dapat hidup8. Hal ini disebabkan oleh sulitnya akses masyarakat pada bank formal

untuk mendapatkan pinjaman guna menjalankan usaha mereka. Akses mereka terhadap bank resmi tentu baru dapat dilakukan bila mereka memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh bank, yang biasanya mereka9 tidak punya. Sedangkan pinjaman pada rentenir tidak

diperlukan persyaratan administratif, kecuali perjanjian-perjanjian tertentu yang mengikat atas saling kepercayaan.

Perkembangan pranata kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat terus mengalami perubahan-perubahan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemajuan teknologi yang berkembang pesat. Bahkan perubahan pola konsumsi masyarakat sangat ditentukan oleh perubahan lingkungan sekitar, bukan ditentukan oleh kebutuhan (needs) tapi oleh keinginan (wants).

7 Di dalam masyarakat Aceh, rentenir juga sempat hidup. Beberapa waktu lalu, rentenir juga diistilahkan oleh beberapa kelompok masyarakat sebagai Bank 47. Istilah tersebut digunakan karena secara formal pada masa lalu adanya Bank BNI 46 sebagai sebutan untuk Bank BNI saat ini. Sebutan untuk rentenir mungkin berbeda untuk beberapa daeah di Aceh

8 Hasil wawancara penulis dengan beberapa pengurus Lembaga Keuangan Mikro saat melakukan pengawasan LKM untuk Badan Pengawas BRR di Kabupaten Aceh Tamiang beberapa waktu lalu, terungkap di daerah tersebut masih ada rentenir, terutama di daerah pedalaman

(6)

Demonstrative effects menjadi kebanggaan dan pedoman konsumtif kelompok masyarakat tertentu. Sikap konsumerisme yang berlebihan tersebut berdampak pada tergerusnya ekonomi bangsa. Hal ini karena bangsa kita harus menyediakan devisa yang cukup untuk melakukan impor dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang telah mengalami pergeseran dan perubahan kepala pola konsumtif tertentu. Bahkan gejala ini seringkali mengarah pada sikap over consumptive atau materialistis (Marzali, 2007 : 186). Perilaku tersebut sering diperlihatkan oleh sebagai kelompok masyarakat yaitu kelas menengah ke atas yang biasanya banyak hidup diperkotaan.

Jangan heran bila di berbagai media termasuk elektronik banyak muncul iklan-iklan yang ribuan jumlahnya. Peranan jasa perbankan seperti kartu kredit dan kartu debit mempermudah kelompok ini untuk melakukan transaksi, baik antar wilayah maupun antar negara. Jarak antar negara tidak lagi menjadi halangan di dalam memenuhi keinginan masyarakat. Mereka cukup membuka komputer dan internet dan langsung dapat melakukan transaksi baik di pasar uang maupun pasar barang. Perkembangan ilmu pengetahuan dn teknologi sangat mendukung perubahan pranata ini.

Perubahan kehidupan pranata sosial dan ekonomi ini dapat berarti dan bermanfaat bila perubahan tersebut normal, wajar dan tidak mengandung traumatik (Ranjabar, 2008 : 54). Misalnya, pada masa lalu tanah diolah dengan bajak, namun sekarang diolah dengan traktor. Perdagangan dilakukan antar desa, berubah menjadi antar negara atau lintas samudra dan lintas benua.

Proses perubahan dapat berlangsung dalam beberapa kecepatan, lambat, sedang dan cepat, atau secara evolusi dan revolusi. Oleh karenanya, Ranjabar (2008 : 82 - 111) menjelaskan beberapa faktor perubahan baik penyebab, pendorong maupun penghambat perubahan, yaitu :

1) Faktor penyebab, yaitu :

(7)

b. Struktur sosial c. Inovasi

d. Perubahan Lingkungan

e. Ukuran penduduk dan komposisi penduduk f. Inovasi dalam teknologi

2) Faktor pendorong a. Toleransi

b. Sistem terbuka lapisan masyarakat c. Heterogenitas

d. Rasa tidak puas e. Karakter masyarakat f. Pendidikan

g. Ideologi

3) Faktor penghambat

a. Kehidupan masyarakat yang terasing

b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat c. Sikap masyarakat yang sangat tradisional

d. Adanya kepentingan yang tertanam e. Adanya prasangka

f. Adat istiadat

Ternyata perubahan-perubahan sosial dan ekonomi tidak hanya dapat disebabkan dan didorong oleh beberapa faktor tertentu, tapi juga ada faktor-faktor yang menghambat. Komunikasi antar masyarakat dapat menyebabkan saling pengaruh mempengaruhi. Pengaruh tersebut dapat dalam bentuk ideologi, penemuan-penemuan baru, maupun perubahan perilaku. Namun sebaliknya, bagi masyarakat yang terasing, perubahan tersebut tidak akan dapat diperoleh karena tidak adanya komunikasi dengan masyarakat luar yang biasanya membawa sesuatu yang baru di dalam kehidupan.

(8)

perubahan-perubahan karena kuarangnya efisien di dalam melakukan suatu kegiatan ekonomi. Keyakinan dan mengangungkan budaya dan tradisi leluhur secara berlebihan juga akan tetap berada pada ketertinggalan. Kenyamanan dengan kondisi kehidupan yang ada, kecurigaan pada pendatang, juga menjadi penghalang pada perubahan kehidupan dari kehidupan yang lama kepada yang baru. Kebiasaan atau adat istiadat yang tetap dipertahankan juga akan stagnan tanpa ada perubahan.

Pranata dan Struktur Ekonomi dalam Masyarakat Aceh

Sejak berabad-abad lalu, pranata ekonomi masyarakat Aceh adalah saudagar dan petani. Kedua kelompok masyarakat tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lain dalam kerangka kerjasama yang saling menguntungkan. Namun demikian, pada dasarnya kelompok saudagar atau pedagang lebih banyak mendapatkan manfaat dari hasil pertukaran dan perdagangan tersebut. Semangat dagang atau persaudagaran memang sudah tertanam dalam jiwa masyarakat Aceh yang pada umumnya berasal dari pedagang perantau masa lalu terutama melalui alur Gujarat dan Hadralmaut.

Dari sisi pranata ekonomi, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Aceh terdiri dari beberapa kelompok pada tingkat dasar yang dikenal dengan istilah ”muge”10 yang berfungsi sebagai pedagang pengumpul. Muge ini

membeli komoditas pertanian langsung dari petani dan juga menjual langsung kepada penduduk yang membutuhkan.

Kelompok kedua adalah toke atau haji yang berfungsi sebagai pedagang perantara (midleman) yang menampung komoditas pertanian dari para muge dan penyalur atau distributor barang-barang kebutuhan masyarakat melalui para muge tersebut. Di samping fungsinya sebagai distributor, juga berfungsi sebagai penampung aset di ”gala” atau digadaikan oleh para petani kepada

(9)

toke untuk memenuhi kebutuhan yang besar dan urgen dengan janji akan ditebus kembali kalau petani atau masyarakat sudah mendapatkan penghasilan.

Kelompok ketiga adalah toke rayeuk (toke besar) yang setara dengan eksportir dan importir. Pada masa lalu banyak saudagar Aceh yang melakukan kegiatan perdagangan antar pulau dan antar negara yang kemudian menetap di negara lain setelah sukses dalam kegiatan bisnisnya, seperti di Arab Saudi dan Malaysia. Pengusaha sukses Aceh yang berada di dalam negeri juga berdomisili di luar Aceh terutama di Medan dan Jakarta. Pada umumnya ketertarikan mereka untuk kembali ke Aceh secara relatif kurang berminat.

Di sektor ekonomi perikanan/kelautan, masyarakat Aceh juga terlibat di dalam kegiatan melaut sebagai nelayan. Sebagian nelayan melakukan kegiatnnya dengan cara memancing atau menarik pukat. Ini khusus bagi nelayan kelas rendah atau berekonomi lemah. Namun bagi nelayan yang memiliki modal besar dia akan menjadi toke bangku. Toke bangku ini hanya memberikan modal kepada para nelayan yang selanjutnya dia menunggu hasil dan dia menjadi pengumpul untuk dijual atau dilelang. Nelayan yang menggunakan jasa toke bangku ini akan mendapat imbalan sesuai dengan ketentuan atau kesepakatan11.

Dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh, pada masa lalu, kehidupan ekonomi di perdesaan sebenarnya tidak hanya dalam bentuk perdagangan sebagaimana diuraikan di atas, namun rasa ke-gotongroyong-an ske-gotongroyong-angat kental di dalam kehidupke-gotongroyong-annya. Para petke-gotongroyong-ani di dalam melakukke-gotongroyong-an kegiatan pertaniannya sehari-hari selalu melakukannya secara bersama-sama dengan kelompoknya. Misalnya, pada saat mulai mengolah tanah, para petani mengolah tanah secara bergiliran sampai selesai untuk seluruh anggota kelompoknya. Begitu juga dengan tahapan-tahapan kegiatan pertanian lainnya sampai ke tahapan panen yang mereka lakukan secara

(10)

bergantian (istilahnya, aplusan atau urub). Rasa kebersamaan ini tidk hanya dilakukan sesama petani laki-laki, tapi juga bauran laki-laki dengan perempuan. Kondisi ini menunjukkan rasa kebersamaan yang sangat tinggi di dalam masyarakat.

Selanjutnya, dalam menghidupkan ekonomi perdesaan untuk bangkit dari kemiskinan, para kepala desa (geusyik) bersama dengan tetua desa (tuha peuet dan tuha lapan)12 membentuk lumbung desa. Para petani saat panen

mengumpulkan hasil panen untuk disumbangkan kepada desa sesuai dengan kemampuan dan hasil panennya. Hasil pengumpulan ini digunakan untuk pembiayaan pembangunan desa baik untuk pembangunan jalan desa maupun untuk kegiatan-kegiatan lain yang menunjang kemajuan desa dan penduduknya.

Untuk melancarkan pertumbuhan sektor pertanian, keujruen13 merupakan

kunci kesuksesannya. Para keujruen ini melakukan kegiatannya dalam meningkatkan hasil pertanian tanpa pamrih. Akan tetapi, saat panen, para petani memberikan hasil panen sesuai kemampuan kapadanya sebagai imbalan selama masa produksi pertanian.

Begitu juga halnya di dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, para guru ngaji di dalam mendidik anak-anak mengaji di balai-balai pengajiannya tanpa mengharapkan balas jasa. Namun dengan kesadaran para penduduk, kadangkala, mereka memberikan sekedar uang minyak kepada teungku14 karena telah mengajarkan ilmu agama dengan harapan

12 Istilah untuk perangkat desa, seperti LMD (Lembaga Musyawarah Desa) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa)

13 Keujruen atau keujruen blang adalah istilah untuk seseorang yang selalu menjaga pintu air irigasi untuk pengairan sawah. Bila musim sawah sudah tiba, keujruen mengairi sawah sehingga petani dapat membajaknya. Begitu juga bila kelebihan air, misal ada hujan, maka dia akan menutupnya, dan itu terus dilakukan hingga panen tiba

(11)

anaknya akan menjadi manusia yang bermartabat di masa yang akan datang.

Aceh sebagai sebuah daerah yang pernah berjaya, di mana hilir mudiknya ratusan atau bahkan ribuan pedagang atau saudagar di masa lalu, ternyata belum membuat daerah ini dan masyarakatnya hidup makmur dan berkecukupan. Sejak era tahun 1970-an, perusahaan-perusahaan multinasional pun bercokol di tanah rencong. Setelah 30-an tahun, tingkat kemiskinan penduduk juga masih relatif tinggi yang pada tahun 2008 masih mencapai 23,5 persen. Angka tersebut masih jauh di atas tingkat kemiskinan Indonesia yang hanya 15,4 persen.

Berkembangnya kegiatan-kegiatan sektor ekonomi di Aceh yang dimulai pada era 1970-an hanya mampu menyerap sebagian tenaga kerja lokal, selebihnya, tenaga kerja pendatang mendominasi lapangan kerja yang ada di Aceh. Sektor industri dan pertambangan pernah mencatat sejarah sebagai sektor yang mampu menggerakkan ekonomi dan menjadi mesin penggerak ekonomi Aceh terutama pada era 1970-an hingga 1990-an. Pertumbuhan ekonomi Aceh melaju dengan tingkat yang siginifikan. Sektor-sektor non migas terlihat terseok-seok di belakang sektor industri dan perdagangan.

Selama 6 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Aceh terus mengalami kemerosotan. Bahkan pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi pada harga konstan tahun 2000 menunjukkan angka minus 8,32 persen (termasuk minyak dan gas) (Lihat Gambar 1). Ini mengindikasikan bahwa peranan dari sektor minyak dan gas telah merosot.

(12)

kurang efisien bila dibandingkan dengan sektor perkotaan seperti sektor industri pengolahan dan jasa.

Gambar 1

Pertumbuhan PDRB NAD ADHK 2000

Sumber : BPS, Aceh Dalam Angka 2002-2008 (diolah)

Bila dilihat dari sisi non migas, pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2008 ternyata menunjukkan angka positif yang mencapai 1,89. Akan tetapi, angka ini masih lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2007 yang mencapai 7,02 persen. Di satu sisi, pertumbuhan yang positif tersebut menunjukkan bahwa sektor non migas masih berpeluang untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi Aceh dan memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat Aceh. Namun di sisi lain, rendahnya pertumbuhan tersebut menunjukkan gejala melemahnya produktivitas ekonomi Aceh saat ini. Melemahnya produktivitas bisa disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam atau teknologi yang ada.

(13)

tidak cukup membantu untuk untuk menurunkan tingkat kemiskinan paling tidak setara dengan tingkat kemiskinan nasional. Kemiskinan ini sudah merupakan tema sentral di dalam perjuangan bangsa Indonesia selama ini. Pembangunan dengan manajemen dan sistem desentralisasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia sekarang ini merupakan upaya untuk membebaskan rakyat Indonesia (termasuk masyarakat Aceh) dari belenggu kemiskinan. Bencana alam gempa dan tsunami telah membuka tabir kemiskinan di Aceh.

Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam dan cacat fisik merupakan kemiskinan alami. Namun kemiskinan karena adanya perubahan struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya merupakan kemiskinan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Kemiskinan yang terakhir ini dapat diperkecil jumlahnya dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, mengubah pola pikir (mindset) dan meningkatkan akses terhadap sumberdaya ekonomi, politik dan sosial budaya.

Berkaitan dengan masalah kemiskinan ini, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007 mengatakan bahwa permasalahan kemiskinan dan pengangguran bukan permasalahan statistik dan angka, melainkan persoalan nyata mengenai sulitnya kondisi kehidupan rakyat. Persoalan lain, yang dihadapi rakyat kita adalah meskipun lapangan pekerjaan tersedia, belum tentu mereka memiliki pendidikan dan ketrampilan ... (dalam Ranjabar, 2008 : 131).

Dari pernyataan presiden tersebut jelas nyata bahwa rendahnya kualitas sumberdaya manusia menjadi faktor penting bagi perubahan status sosialnya dengan tingkat ekonomi yang lebih baik. Ketersediaan lapangan kerja yang cukup, namun tenaga kerja tidak memiliki keahlian, mustahil dia mampu untuk memperbaiki tingkat kehidupan ekonominya.

(14)

tersebut, sehingga penduduk Aceh lebih banyak yang bekerja di sektor pertanian dan sektor perdagangan sebagai habitat aslinya.

Ketika sektor pertambangan dan industri ini sudah berada pada titik anti klimaks, namun masyarakat Aceh masih eksis pada pekerjaannya dari masa ke masa, terutama masyarakat perdesaan yang tetap berkutat dengan pekerjaannya sebagai petani. Akan tetapi, setelah bencana tsunami, di mana banyaknya lembaga NGO masuk ke Aceh, banyak masyarakat yang mulai mencari pekerjaan yang mereka anggap lebih memiliki prestise atau white collar (kerah putih), mereka tinggalkan pekerjaan mereka sebagai blue collar (kerah biru)15. Dengan demikian, cara hidup dan perilaku ekonomi mereka

pun mulai berubah, seperti bergesernya pola konsumsi. Tidak hanya mereka yang terlibat secara langsung untuk bekerja di sektor-sektor tersebut, tapi juga masyarakat yang terimbas dari multiplier effect ekonomi, seperti menaikkan harga-harga barang dan jasa dengan kelipatan yang relatif tinggi16.

Setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami, terjadi perubahan-perubahan yang berarti, tidak hanya pada tatanan kehidupan sosial dan politik, tapi juga pada tatanan ekonomi. Perubahan budaya ekonomi telah mulai terlihat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi ekonomi, baik dari produksi, distribusi maupun konsumsi. Misalnya, banyaknya muncul produsen-produsen waralaba, pasar-pasar swalayan dan cafe-cafe.

Penutup

Perkembangan ekonomi yang melanda bangsa-bangsa di dunia juga telah berpengaruh pada perubahan tatanan kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Aceh, terutama pada tatanan kehidupan ekonomi. Pranata

15 Kerah putih merupakan istilah untuk pekerjaan yang tidak berkeringat, seperti bekerja pemerintahan, manajer, dan lain-lain. Sedangkan kerah biru adalah pekerjaan yang dapat menyebabkan baju kotor, seperti pertanian, bengkel, dan lain-lain

(15)

kehidupan ekonomi yang pernah hidup di dalam masyarakat seperti kegotongroyongan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi rakyat perdesaan telah mulai pupus. Masyarakat sekarang lebih cenderung melakukan berbagai transaksi ekonomi dengan mengedepankan uang. Bahkan, kegiatan sosial pun telah diukur dengan nilai rupiah. Perubahan-perubahan yang telah melunturkan nilai-nilai sosial budaya tersebut disebabkan oleh kesibukan-kesibukan masyarakat sehari-hari dalam melaksanakan tugas rutinnya sebagai pekerja di sektor-sektor ekonomi.

Perubahan-perubahan pilihan pekerjaan pada sektor-sektor ekonomi tertentu yang dianggap lebih produktif dan menjanjikan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Memang harus diakui, pergeseran pilihan pekerjaan juga telah berdampak pada pada pergeseran nilai-nilai budaya dan pranata sosial dan ekonomi itu sendiri. Masyarakat telah menjadi sosok yang lebih individualis dalam tutur dan tingkah lakunya.

Referensi

Bank Indonesia, 2009. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dumairy, 1996. Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1964. Pengantar Antropologi, Cetakan Kedua, Universitas Indonesia, Jakarta.

Deliarnov, 1995. Pengantar Ekonomi Makro, …………

Mahmud, Syamsuddin, 1985. Ekonomi Moneter Indonesia, Yayasan Kesejahteraan Ummat, Jakarta.

Marzali, A, 2007. Antropologi dan Pembangunan Indonesia, Cetakan Kedua Kencana, Jakarta.

Ranjabar, J, 2008. Perubahan Sosial dalam Teori Makro : Pendekatan Realitas Sosial, Alfabeta, Bandung.

Rosyada, Dede, 1999. Hukum Islam Dan Pranata Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

(16)

Gambar

Gambar 1Pertumbuhan PDRB NAD ADHK 2000

Referensi

Dokumen terkait

rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian untuk tergolong rumah tangga miskin adalah 3,687 kali atau 386,7 persen bila dibandingkan resiko rumah

[r]

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan: 1) pemanfaatan web service dan JSON untuk mengambil data pengumuman dari database server

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris pengaruh partisipasi penyusunan anggaran, motivasi dan komitmen organisasi terhadap kinerja

Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, disebutkan

Sesuai dengan observasi awal yang dilakukan di SMP Negeri 3 Lembang pada tanggal 4 Agustus 2015, ditemukan masalah yaitu kurangnya minat siswa kelas VIII-H pada

output yang diperoleh bernilai negatif (-) dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh 0,998 yang menunjukkan bahwa petani yang memiliki produksi yang

This research aims to investigate impact of ionic liquids synthetic i.e 1-butyl- 3-methyl imidazoliumbromide or [BMIM]bromide toward cellulose’s palm empty bunch and convert