• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Tentang Mutisme Selektif pada Sis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kajian Tentang Mutisme Selektif pada Sis"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Tentang Mutisme Selektif pada Siswa di Sekolah Umum Shanti Yanuarini

(yanuarsephti@gmail.com)

Program Studi Magister Sains Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

ABSTRAK

Mutisme Selektif adalah kasus yang jarang dikaji di Indonesia. Pada umumnya, guru yang belum mengenal gejala Mutisme Selektif akan mereduksi gangguan ini dengan penyebutan kata “pemalu” padahal Mutisme Selektif ini mempunyai gejala yang berbeda dari sekedar sifat pemalu.

Jika merujuk pada American Psychiatric Association, Mutisme Selective dideskripsikan sebagai “persistent failure to speak in specific social situations (e.g., school, with playmates) where speaking is expected, despite speaking in other situations” (American Psychiatric Association, 2000, p. 125). Orangtua penderita Mutisme Selektif lebih senang memasukkan anak mereka pada sekolah dasar umum karena anak Mutisme Selektif umumnya memiliki fungsi organ tubuh yang normal. Dengan kata lain anak Mutisme Selektif memiliki kemampuan berbicara dan mendengar dengan baik, hanya saja ia “menarik dirinya” dari lingkungan sosial sehingga ia tidak mengucapkan sepatah katapun.

Hal yang menjadi salah satu permasalahan dalam dunia pendidikan adalah banyaknya guru di sekolah umum yang tidak dibekali dengan pemahaman psikologis anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka akan kesulitan memberikan terapi atau treatment yang terbaik dalam menangani kasus ini. Makalah ini menawarkan penjelasan yang berbasis psikologis mengenai kasus Mutisme Selektif, penyebab, gejala maupun contoh kasus Mutisme Selektif di sekolah umum dan treatment yang dapat diberikan bagi kasus ini. Laporan yang diberikan merupakan hasil studi literatur mengenai Mutisme Selektif dan laporan wawancara dengan guru mengenai kasus Mutisme Selektif di sekolah umum.

Kata kunci : Mutisme Selektif, sekolah umum

Pendahuluan

(2)

Kata Mutisme Selektif menunjuk pada gangguan yang terjadi pada anak dimana anak memilih untuk berbicara pada situasi sosial tertentu (seperti misalnya di rumah atau di lingkungan tempat dia merasa nyaman) dan tidak berbicara pada situasi sosial yang lain (di sekolah atau di lingkungan yang dirasanya asing atau membuatnya tidak nyaman (DSM IV, 2000).

Menurut Wood (1981), berbicara adalah cara anak untuk mengkomunikasikan pemikirannya untuk membangun kepercayaan atau pemahaman terhadap dunia mereka, diri mereka maupun orang lain. Dengan berbicara atau berkomunikasi, seorang anak akan mampu memahami dunia mereka dan hal-hal yang penting dalam hidup mereka dan jika mereka dapat memahami dunia mereka, mereka akan dapat berlaku secara mandiri di lingkungan tersebut. Komunikasi tersebut dapat terjadi secara verbal maupun secara non verbal(Wood, 1981). Bagi anak dengan gangguan Mutisme Selektif, ketiadaan komunikasi ini akan menghambat pemahaman mereka atas dunianya dan menghambat kemandirian mereka untuk berinteraksi secara baik.

Dalam kasus anak yang menderita gangguan Mutisme Selektif ini, saat di sekolah, guru biasa mengkaitkan keadaan ini dengan sifat pemalu. Dalam penelitian yang diadakan oleh Schwartz, Freedy, and Sheridan (2006) yang telah melakukan survey menyatakan dokter penyakit anak menyebut ini sebagai sifat pemalu dan mereka meyakinkan orangtua bahwa hal ini akan segera berlalu. Mutisme Selektif juga terkadang dipandang dalam 2 perspektif yakni “karakter yang tidak dewasa dan manipulatif” atau “perasaan tegang dan cemas (Labbe and Wiliamson, 1984)

Menurut kriteria yang terdapat dalam DSM IV, yang dikategorikan sebagai Mutisme Selektif adalah :

1. Kegagalan untuk berbicara di situasi sosial tertentu (yang mana diharapkan adanya kebutuhan untuk berbicara seperti contohnya di sekolah), namun ia berbicara di situasi yang lain.

2. Gangguan yang dialami menganggu pencapaian pendidikan atau pekerjaan atau dengan komunikasi sosial.

3. Lamanya gangguan ini sekurangnya 1 bulan (tidak terbatas pada bulan pertama di sekolah)

4. Kegagalan untuk berbicara bukan karena gangguan komunikasi (contoh: gagap) dan tidak muncul semata mata karena gangguan lain seperti misalnya gangguan perkembangan pervasif, Schizophrenia atau gangguan psikotis lain.

Shyness atau pemalu adalah sebuah reaksi emosional sementara yang dipicu oleh datangnya orang baru dan situasi baru (Cheek, 1989). Dalam penelitian yang diadakan oleh Cheek and Watson, ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai apakah seseorang tersebut pemalu atau tidak yakni : pipi merona, gemetar, merasa kesal, menjadi pendiam, pembicaraan kaku, menggunakan perilaku non verbal, penarikan diri dari kontak sosial atau menghindari interaksi (Cheek, 1984).

(3)

Sementara dari definisi Cheek mengenai shyness menyatakan bahwa ini hanya berlangsung sementara.

Gangguan Mutisme Selektif juga sering dikaitkan dengan Social Phobia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Black dan Uhde, 1995 menyatakan bahwa 90% anak yang memiliki gangguan SM juga memiliki hubungan dengan social phobia. yang ditandai dengan rasa takut untuk menghadapi keadaan sosial atau kinerja yang mengekpos mereka dalam pengawasan Ollendick & Hirshfeld-Becker (2002). Social Phobia umum terjadi pada usia remaja dan terkadang pada masa anak-anak, dan jarang terjadi di usia diatas 25 tahun (Scheneider et al, 2001)

Pada umumnya gangguan SM terjadi pada usia yang bervariasi tetapi terutama pada anak di usia sekolah. Laporan menuliskan bahwa gangguan ini terjadi paling banyak pada usia 5 atau 6, tetapi dapat juga terjadi pada anak yang lebih muda yakni pada usia 2 tahun 7 bulan (Black & Uhde, 1995) sampai 5 tahun 4 bulan (Ford et al., 1998). Santrock menyatakan bahwa anak berusia 2,5 – 6 tahun memiliki kemampuan untuk menggunakan kata untuk mempengaruhi perilaku, menjadi semakin mantap secara kognitif, mampu bekerjasama terutama pada permainan sosiodrama. Dalam hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan sekolah, anak anak pada masa akhir menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman teman sebaya.anak anak memiliki waktu yang cukup banyak untuk berinteraksi bersama teman teman sebayanya. Interaksi tersebut dapat terjadi di sekolah maupun di luar sekolah (Santrock, 2002). Bersama rekan sebayanya, anak berusaha untuk mengembangkan hubungan dengan orang baru serta berusaha untuk mengembangkan standar yang dimilikinya untuk dapat menilai diri sendiri dan memperkaya pengetahuan mereka (Santrock, 2002). Ia juga mengembangkan keterampilan untuk mendengarkan dan berkomunikasi secara efektif serta bergembira dan memperlihatkan antusiasme dan kepedulian terhadap orang lain serta memiliki rasa percaya diri dan selama masa bersekolah, mereka belajar untuk bersosialisasi dan mengikuti aturan yang ditetapkan. Bagi anak penderita Mutisme Selektif, mereka menarik dirinya dan bertindak sebagai pengamat saat teman temannya bermain. Dan konsekuensinya adalah mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi baik secara verbal maupun non verbal untuk membantu dirinya dalam menghadapi dunianya.

Sebuah penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa anak dengan gangguan mutisme selektif lebih banyak diderita oleh anak perempuan daripada anak laki-laki (Kumpulainen, 2002; Standart & Couteur, 2003) dan rasio perempuan dibanding laki laki adalah 2,6 : 1 sampai 1,51 : 1 (Garcia, Freeman, Francis, Miller, & Leonard, 2004). Dapat dikatakan bahwa dari 2 anak perempuan yang menderita mutisme selektif terdapat 1 anak laki laki menderita gangguan yang sama.

Penyebab Mutisme Selektif

(4)

Dalam sebuah literatur mengenai mutisme selektif, ada pula disebutkan bahwa mutisme selektif dapat disebabkan karena berasal dari keluarga migran, trauma pada masa awal sekolah, adanya luka/cedera pada mulut atau ada rahasia dalam keluarga (Hesselman 1883; Kolvin & Fundudis 1981; Leonard & Topol 1993)

Jenis Jenis Mutisme Selektif

Porter (2008) membagi kasus Mutisme Selektif ini menjadi beberapa jenis yakni transient mutism dimana ia menolak untuk berbicara selama beberapa minggu di awal namun kemudian kembali seperti semula. Grup yang kedua disebut grup migran dimana anak yang bilingual (memiliki kemampuan berbicara dalam 2 bahasa) memiliki rasa kurang percaya diri untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Grup yang ketiga memiliki gangguan ganda seperti misalnya keterlambatan perkembangan, berbicara dan bahasa, atau sindrom asperger. Kelompok yang keempat disebut persistent mutism yang gejalanya bisa bertahan selama tiga tahun atau lebih. Menurut penelitian, perkiraan untuk kelompok 4 ini diperkirakan sekitar 0,8 % per 1000 anak pada usia 7 tahun dan semakin menurun pada anak yang berusia di bawahnya.

Sementara menurut Utnick, Mutisme Selektif dapat dibagi menjadi 4 tahap yakni :

1. Mild  berkomunikasi dengan keluarga atau yang dianggap dekat dengannya, sedikit menggunakan simbol nonverbal untuk berkomunikasi dengan orang luar

2. Moderate  mampu memproduksi suara tanpa kata

3. Moderately severe berkomunikasi dengan bahasa non verbal (dengan gesture dll)

4. Severe  tidak berkomunikasi secara verbal maupun non verbal

Lebih lanjut lagi, Utnick juga menjelaskan mengenai ciri ciri anak SM di sekolah yakni :

1. Jika ia merasa cemas, maka ia akan duduk ataupun berdiri tanpa bergerak ataupun berekspresi

2. Menatap langit langit apabila mendapat pertanyaan

3. Meningkatkan sensitivitas sensory termasuk pada saat di keramaian

4. Kesulitan untuk mengikuti kegiatan sosial yang melibatkan bahasa yang ekspresif

5. Kesulitan untuk melakukan kontak mata

6. Sulit baginya ketika ia menjadi pusat perhatian, padahal mereka merasa mereka adalah pusat perhatian

7. Jika tidak tertangani, maka SM dapat memicu masalah lain termasuk rendah diri, dan phobia pada sekolah dan pada teman lain

(5)

Untuk mengetahui apakah anak atau siswa kita menderita mutisme selektif, Selective Mutism Foundation telah membuat seragkaian pertanyaan tes yang merujuk pada diagnosa dalam DSM IV maka ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab yakni :

1. Apakah anak anda memiliki ketakutan tanpa alasan untuk berbicara di depan kelas atau dengan anak lain atau orang dewasa saat di sekolah, restaurant atau toko ?

2. Apakah kegelisahan itu mempengaruhi kehidupan sehari hari mereka?

3. Apakah anak tampak cemas ketika berinteraksi dengan sebaya?

4. Ketika anak diharapkan untuk berbicara, apakah anak tersebut bereaksi dengan memberi ekspresi kosong pada wajahnya?

5. Apakah anak tersebut melekat pada orangtua atau bersembunyi di kamar ketika ada orang datang berkunjung?

6. Apakah anak tersebut tersenyum ketika sedang difoto oleh fotografer profesional (selain foto yang diambil di rumah)?

7. Apakah anak tersebut memiliki kekuatiran secara berlebihan untuk berbicara di depan umum?

8. Apakah anak tersebut memiliki kekuatiran secara berlebihan ketika dipanggil oleh guru di kelas untuk respon verbal?

9. Apakah anak tersebut mengalami kesulitan pada performance non verbal di kelas ?

10. Apakah anak enggan untuk ke sekolah atau menghindari kegiatan sosial yang sesuai dengan usianya?

11. Apakah anak mengalami sakit kepala atau sakit perut saat datang ke sekolah?

12. Apakah anak berbicara di rumah dengan menggunakan suara normal tetapi tidak berkata apapun saat di depan umum?

13. Apakah komunikasi non verbal di sekolah atau tempat umum itu berlangsung lebih dari 1 tahun?

Mutisme Selektif di sekolah

(6)

berkebutuhan khusus dan menyediakan pelayanan untuk setiap anak berkebutuhan khusus tanpa kecuali.

Deklarasi Bandung yang menyatakan bahwa “menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapat kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, dan bidang lainnya sehingga menjadi generasi penerus yang handal”. Berdasarkan keputusan itulah maka setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus seperti gangguan Mutisme Selektif berhak untuk masuk pada sekolah umum. Dikarenakan anak dengan gangguan Mutisme Selektif adalah anak berkebutuhan khusus, maka merekapun patut untuk mendapatkan perhatian khusus.

Walau kasus Mutisme Selektif jarang dijumpai di sekolah reguler, namun bukan berarti tidak ada kasus seperti ini di sekolah reguler. Dalam catatan Standard dan Couteur (2003) hal ini berkaitan dengan “hidden SM” atau SM tersembunyi dimana siswa dalam kasus SM tidak terdeteksi secara klinis saat di sekolah karena mereka bukanlah anak yang memiliki masalah perilaku (seperti agresivitas atau memiliki perilaku menyimpang) saat kegiatan belajar di kelas. Karena itulah data ataupun jurnal mengenai kasus mutisme selektif, terutama di Indonesia, jarang ditemukan.

Wawancara dengan guru Sekolah Umum

Wawancara dilakukan oleh penulis untuk mengetahui sejauh mana pemahaman guru mengenai kasus mutisme selektif. Pada umumnya guru belum familiar dengan kata Selective Mutism karena belum pernah mendengar kasus itu sebelumnya. Jika diberi contoh kasus mengenai mutisme selektif, guru menghubungkan kasus tersebut dengan sifat pemalu, tidak nyambung dengan keadaan (berkaitan dengan kognitif), atau anak tersebut sedang bermasalah. Contoh kasus yang diberikan mengenai anak mutisme selektif umumnya tidak berkaitan dengan gejala yang dimiliki anak mutisme selektif yakni pemalu sehingga bicaranya sedikit, atau karena dia anak baru sedikit bicara atau sebagai akibat karena dia anak baru sehingga butuh penyesuaian. Jika menjumpai kasus anak dengan gangguan mutisme selektif tersebut guru akan mengajak anak tersebut untuk berbicara, menghubungi orangtua dari anak yang bersangkutan, menghubungi pihak yang berwenang di sekolah (dalam hal ini adalah leader) untuk diambil tindakan, memasangkan dengan teman lain (peer system) sampai dia merasa nyaman. Alternatif lainnya adalah dengan mengajaknya berkomunikasi secara non verbal misalnya dengan bahasa tulis.

Intervensi yang dapat dilakukan oleh sekolah

Walau kasus Mutisme Selektif jarang ditemui di sekolah sekolah reguler, namun tidak ada salahnya bagi sekolah untuk menyediakan pelatihan bagi guru mengenai pemahaman anak berkebutuhan khusus di sekolah. Menurut Camposano (2011), guru memainkan peranan yang penting atas proses terapi anak. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa mutisme selektif ini dimulai saat anak mulai bersekolah sehingga guru wajib untuk dapat mengenali gejala yang dimiliki oleh anak.

(7)

bersekolah di sekolah tersebut ataupun mengetahui bagaimana cara memberi penilaian pada anak. Kepekaan untuk mengenali gejala gejala tersebut akan dapat membantu anak yang bersangkutan karena jika hal ini dibiarkan saja, maka akan diterima menjadi kepribadian yang melekat pada anak (Omdal 2008) dan mengganggu perkembangan akademis dan sosial anak (Crundwell, 2006).

Selain memberikan informasi kepada guru mengenai karakteristik anak-anak berkebutuhan khusu, dalam hal ini anak dengan gangguan mutisme selektif, tahap selanjutnya adalah menyediakan informasi mengenai intervensi yang dapat di sekolah. Untuk itu sekolah perlu menyediakan tenaga ahli psikologi untuk dapat membantu mengatasi masalah tersebut. Contoh konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan memberi training kepada guru mengenai strategi berkomunikasi dengan anak Mutisme Selektif, misalnya dengan cara menghindari pertanyaan tertutup (dengan jawaban ya atau tidak), aktif memanggil murid yang bersangkutan untuk menjawab pertanyaan guru daripada sekedar meminta mereka sukarela menjawab pertanyaan secara lisan, bersabar atau menyediakan waktu 3-5 detik agar siswa SM dapat merespon, atau menyediakan aktivitas yang membutuhkan respon secara verbal.

Psikolog sekolah haruslah bekerja sama dengan guru, orangtua, terapis dan staf lain yang berkaitan dengan kasus tersebut. Psikolog sekolah juga wajib membuat laporan mengenai kasus yang terkait dengan Mutisme Selektif.

Sekolah juga harus mengadakan kerjasama dengan orangtua siswa melalui komunikasi yang intens mengenai perkembangan anak terutama pada anak anak yang berkebutuhan khusus (Santrock, 2000). Orangtua akan membantu anak untuk memberikan pemahaman ketika di rumah.

Intervensi Konkrit

Berbagai metode digunakan untuk penyembuhan kasus Mutisme Selektif, namun seperti halnya autis, hasil dari penyembuhan ini berbeda dari satu anak ke anak lain dikarenakan kekhasan kasus dan kepribadian anak. Bagi anak mutisme selektif juga mempertimbangkan tingkat kenyamanan dan rasa percaya diri anak. Berikut disajikan beberapa intervensi konkrit yang pernah dilakukan untuk penyembuhan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jane Giddan dan kawan-kawan pada proses penyembuhan seorang anak bernama Mimi, terapi dilakukan dengan bekerjasama dengan berbagai ahli yakni ahli patologi bahasa dan ahli kesehatan mental. Dalam laporannya, jika anak diam di sekolah selama 2 bulan dan tidak melakukan komunikasi secara verbal maupun non verbal, maka perlu adanya intervensi dari ahli patlogi bahasa. Intervensi dapat diberikan selama 2 bulan. Intervensi yang dilakukan pada sebuah kasus anak penderita mutisme selektif diawali dengan permainan pantomim. Sesudah anak merespon dengan komunikasi non verbal (anggukan ya atau tidak), maka dapat dilanjutkan dengan usaha untuk merekam suara si anak. Terapis bahasa bertindak untuk mengkoreksi artikulasi, morfologi dan error dalam sintaksis. Dalam proses ini, pemberian reward harus diberikan secara konsisten.

(8)

Metode terapi yang dilakukan oleh Netty Herawati adalah dengan menggunakan pendekatan desensitiasi menggunakan fading terapi (membuat situasi yang nyaman bagi anak kemudian memperkenakannya dengan situasi yang lebih sulit), pembiasaan dan positif reinforcement. Hasil dari terapi tersebut adalah adanya perubahan dimana kemampuan anak lebih meningkat dalam hal sosialisasi dan komunikasi verbal (Netty 2006). Terapi yang diberikan oleh Netty ini melibatkan rekan sebaya, teman, guru maupun orangtua dari si anak.

Terapi lain dilakukan dalam penelitian mahasiswa UGM dengan nama terapi Aku Bisa Aku Berani. Eli Puspitasari (2013), seorang mahasiswa fak psikologi Klinis UGM menggunakan terapi dengan teknik pengukuhan positif, stimulus fading dan shaping. Pengukuhan positif diberikan pada respon yang muncul dari anak, sementara stimulus fading adalah prosedur yang diterapkan dengan melakukan kontrol stimulus pada satu perilaku yang diharapkan, dan shaping adalah modifikasi perilaku yang memunculkan perilaku baru dengan memberi pengukuh secara berturut turut dengan menghilangkan perilaku tujuan yang sebelumnya. Proses yang dilakukan dibuat dengan metode permainan agar anak dapat merasa nyaman saat proses terapi. Hasil dari terapi ini adalah meningkatnya komunikasi verbal dan non verbal dari anak.

Dalam jurnal Kehle (2004) disebutkan bahwa terapi yang diberikan pada umumnya berbasis pembelajaran dan terapi perilaku. Terapi perilaku ini termasuk juga pemberian reinforcemen, meniru model, stimulus fading, shaping atau kombinasi dari metode metode tersebut. Salah satu proses terapi yang dilakukan, anak mutisme selektif dapat memilih sebuah reward dan untuk mendapatkan itu, rekannya memberitahukan harapan dari teman sebaya atas kata yang diucapkannya. Terapi lain yang dilakukan melibatkan orangtua dan guru dengan secara berkala berusaha meningkatkan penggunaan kata yang diucapkan dan guru ataupun orangtua akan memberikan pujian atas usahanya tersebut (walau si anak menggunakan bisikan). Contoh fading dapat dilakukan oleh guru misalnya dengan cara memberikan reward kepada anak mutisme selektif hanya jika anak tersebut mengeluarkan suara, dan hanya suara saja. Juga dapat dibentuk dengan gumaman, pengulangan huruf, membaca kalimat singkat dan pada akhirnya ke tahap komunikasi normal.

Terapi juga dapat dilakukan dengan misteri motivator dimana guru memasukkan gambar atau deskripsi sebuah reward pada amplop yang bertuliskan nama anak dan memberikan penanda diluar amplop tersebut. Teman kelas dari anak tesebut juga diberitahu mengenai mistery motivator itu dan mengatakan bahwa itu adalah reward untuk anak mutisme selektif tersebut dan akan diberikan hanya jika anak tersebut berbicara di kelas.

Keterlibatan orangtua dapat dilakukan dengan cara membantu guru di kelas, dengan menghadiri kelas tersebut. Komunikasi non verbal yang dilakukan anak harus diabaikan, dan orangtua juga tidak perlu untuk menterjemahkan keinginan non verbal anak pada temannya. Namun, jika anak mampu berbicara pada saat tertentu atau pada orang tertentu maka komunikasi verbal tersebut patut untuk mendapatkan penghargaan

(9)

Kesimpulan :

Informasi mengenai anak berkebutuhan khusus menjadi penting untuk diketahui. Hal ini disebabkan karena anak berkebutuhan khusus –dalam hal ini adalah kasus selective mutism) berhak mendapat pendidikan yang sama dengan teman teman yang bersekolah di sekolah reguler. Untuk itu pembekalan guru mengenai anak berkebutuhan khusus tidak hanya dibagikan kepada guru sekolah inklusi saja, melainkan perlu dibagikan kepada guru-guru di sekolah reguler. Pemberian informasi ini berguna untuk mengurangi adanya salah diagnosa terhadap sebuah perilaku dengan mereduksinya kepada sifat pemalu ataupun memandang anak sebagai “masalah”. Pada akhirnya, hasil yang diharapkan dari pemberian informasi itu adalah kepekaan guru untuk menilai sebuah situasi dalam diri anak, dan pada akhirnya guru juga dapat membantu untuk memberikan intervensi yang tepat bagi anak.

Kerjasama dengan orangtua juga merupakan salah satu kunci penting keberhasilan dari sebuah terapi. Tanpa adanya kerjasama dengan orangtua, proses penyembuhan tidak akan berhasil. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kita tidak dapat memaksakan lamanya waktu terapi. Jangan berputus asa apabila waktu terapi memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan karena kesembuhan gangguan ini bergantung pada banyak hal, salah satunya adalah tingkat kenyamanan dan rasa percaya diri anak.

Kerjasama orangtua, guru dan pihak sekolah dengan para terapis harus berjalan beriringan karena apabila masing masing memiliki metode yang berbeda, maka proses penyembuhan tidak akan berhasil. Untuk itu diharapkan adanya komunikasi yang baik dan kesamaan tujuan antar pihak yang terkait.

Referensi buku :

American Psychiatric Association (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR 2000), 4th edition, Washington DC,.

Santrock, John W (2002), Life Span Development, Jakarta: Erlangga

Wood, S, Barbara (1981), Children and Communication, Verbal and Non Verbal Languange Development, 2nd Edition, Prenctice Hal,

Mash, Eric. J. Abnormal Child Psychology, 3rd Edition, Thomson Wadsworth USA, 2005

Seligman, Martin E.P, Abnormal Psychology,4th Edition, 2001

Jurnal

(10)

Camposano, Lisa, Silent Suffering : Children with Selective Mutism, The Profesional

Counselor : Research and Practice Vol 1, Issue 1

R.T. Busse and Downey, Jenna (2011), Selective Mutism : A Three-Tiered Approach to Prevention and Intervention, Chapman University

Victoria Roe, B. Phil. (2011), Silent Voices: Listening to Young People with Selective Mutism, Paper presented at the British Educational Research Association Annual Conference, held at the Institute of Education, London,

Manning, Philip and Source, George Ray (1993). Shyness, Self-Confidence, and Social Interaction. Source: Social Psychology Quarterly, Vol. 56, No. 3, American Sociological Association

Giddan, Jane J., Ross J. Gloria, Sechler, Linda L., Becker. Bonneta R. Selective Mutism in Elementary School : Multidisciplinary Intervention, Language, Speech, and Hearing Service in School, vol 28, American Speech Language Hearing Association

Kehle, Thomas J., Bray, Melissa A. & Theodore, Lea A. (2004), Selective Mutism : A Primer for Parents and Educators, National Association of School Psychologists, 4340 East West Highway, Suite 402, Bethesda,

Porter, L. (2008). Selective Mutism, an Extract from Young Children’s Behaviour, 3rd Edition, Sydney, Elsveier.

Sharp, William G., Sheman Colleen, and Gross, Alan M., Selective Mutism and Anxiety: A Review of the Current Conceptualization of the Disorder The University of Mississippi; duPont Hospital for Children

Cheek, Jonathan M. & Watson, Arden K., The Definition of Shyness : Psychological Imperialisn or Construct Validity, Jounal of Social Behavior & Personality 4th volume no 1

Utnick, Graciela Elizalde, Behavioral Intervention with Selective Mute Students : Strategies and Symptom Severity, Brooklyn College, New York

Putri, Dwi Yanti Viona (2012), Proses Pembelajaran Pada Sekolah Dasar Inklusi, Jurnal Ilmiah Pendidikan khusus Vol 1 no 3, September

Tesis :

Herawati, Netty (2006), Penerapan Terapi Perilaku Pada Anak Dengan Gangguan Mutisme Selektio, Post Graduate Universitas Airlangga, 2006

Puspitasari, Eli. (2013), TerapiAku Bisa dan Aku Berani” Untuk Meningkatkan Komunikasi Verbal dan Non Verbal Pada Anak Mutisme Selektif, Program Pasca Sarjana Magister Profesi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Jogyakarta

Pdf Online

(11)

Presentasi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya inkonsistensi serta ketidak sinkronan pengaturan dan penerapan hukum secara vertikal antara UUPA dengan Instruksi Wakil

Pengamatan yang dilakukan pada kegiatan magang di perkebunan kelapa sawit antara lain: kapasitas panen per orang, waktu tunggu TBS di TPH, pengangkutan tandan

Selain itu hasil audit juga akanmenggambarkan tingkat kematangan ( Maturity Level ) , tingkat kelengkapan penerapan SNI ISO/IEC 27001:2009 dan peta area tata kelola

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada penulis sehingga mampu melaksanakan dan menyelesaikan skripsi dengan Perancangan

Uraian di atas memberikan beberapa ke- simpulan yaitu: Pola pertumbuhan ikan tetet bersifat allometrik positif; Ikan betina mempu- nyai kondisi yang terbaik sepanjang tahun dili-

yaitu pengukuran tekanan darah yang pertama dilakukan sebelum intervensi SSBM (P0), pengukuran kedua dilakukan setelah pemberian intervensi yang pertama (P1),

Sebuah toko yang memiliki atribut toko yang baik akan mendorong konsumen untuk tinggal lebih lama di dalam toko dan akan menarik keinginan konsumen untuk mengetahui segala

Produktivitas indukan sapi Simmental pada umur yang berbeda dengan pemeliharaan intensif (studi kasus di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten 50 Kota.. Institut