PENGERTIAN dan DEFINISI DARI PSIKOLINGUISTIK
Secara etimologis, istilah Psikolinguistik berasal dari dua kata, yakni Psikologi dan Linguistik. Seperti kita ketahui kedua kata tersebut masing-masing merujuk pada nama sebuah disiplin ilmu. Secara umum, Psikologi sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dengan cara mengkaji hakikat stimulus, hakikat respon, dan hakikat proses-proses pikiran sebelum stimulus atau respon itu terjadi. Pakar psikologi sekarang ini cenderung menganggap psikologi sebagai ilmu yang mengkaji proses berpikir manusia dan segala manifestasinya yang mengatur perilaku manusia itu. Tujuan mengkaji proses berpikir itu ialah untuk memahami, menjelaskan, dan meramalkan perilaku manusia.
Linguistik secara umum dan luas merupakan satu ilmu yang mengkaji bahasa
(Bloomfield, 1928:1). Bahasa dalam konteks linguistik dipandang sebagai sebuah sistem bunyi yang arbriter, konvensional, dan dipergunakan oleh manusia sebagai sarana komunikasi. Hal ini berarti bahwa linguistik secara umum tidak mengaitkan bahasa dengan fenomena lain. Bahasa dipandang sebagai bahasa yang memiliki struktur yang khas dan unik. Munculnya ilmu yang bernama psikolinguistik tidak luput dari perkembangan kajian linguistik
Pada mulanya istilah yang digunakan untuk psikolinguistik adalah linguistic psychology (psikologi linguistik) dan ada pula yang menyebutnya sebagai psychology of language (psikologi bahasa). Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebih terarah dan sistematis, lahirlah satu ilmu baru yang kemudian disebut sebagai psikolinguistik (psycholinguistic).
Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis yang terjadi apabila
seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia (Simanjuntak, 1987: 1). Aitchison (1984), membatasi psikolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pikiran. Psikolinguistik merupakan bidang studi yang menghubungkan psikologi dengan linguistik. Tujuan utama
seorang psikolinguis ialah menemukan struktur dan proses yang melandasi kemampuan manusia untuk berbicara dan memahami bahasa. Psikolinguis tidak tertarik pada interaksi bahasa di antara para penutur bahasa. Yang mereka kerjakan terutama ialah menggali apa yang terjadi ketika individu yang berbahasa.
seseorang yang mengalami gangguan sistem sarafnya akan berdisintegrasi dalam urutan tertentu, yaitu konstruksi terakhir yang dipelajarinya merupakan unsur yang lenyap paling awal. Kemudian ia akan menguji hipotesisnya itu dengan mengumpulkan data dari orang-orang yang mengalami kerusakan otak. Dalam hal ini seorang ahli psikologi dan linguis agak berbeda. Ahli psikologi menguji hipotesisnya terutama dengan cara eksperimen yang terkontrol secara cermat. Seorang linguis, dalam sisi yang lain, menguji hipotesisnya terutama dengan mengeceknya melalui tuturan spontan. Linguis menganggap bahwa keketatan situasi eksperimen kadang-kadang membuahkan hasil yang palsu.
Psikolinguistik jika diilustrasikan bagaikan seekor bydra, yakni monster dengan jumlah kepala yang tak terhingga. Tampaknya tidak ada batas yang akan dikaji oleh psikolinguistik. Benarkah begitu? Simanjuntak (1987) menyatakan bahwa masalah-masalah yang dikaji oleh psikolinguistik berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini, yakni:
(1) Apakah sebenarnya bahasa itu? Apakah bahasa itu bawaan ataukah hasil belajar? Apakah ciri-ciri bahasa manusia itu? Unsur-unsur apa sajakah yang tercakup dalam bahasa itu?
(2) Bagaimanakah bahasa itu ada dan mengapa ia harus ada? Di manakah bahasa itu berada dan disimpan?
(3) Bagaimanakah bahasa pertama (bahasa ibu) itu diperoleh oleh seorang anak? Bagaimana bahasa itu berkembang? Bagaimana bahasa kedua itu dipelajari? Bagaimana seseorang menguasai dua, tiga bahasa, atau lebih? (4) Bagaimana kalimat dihasilkan dan dipahami? Proses apa yang berlangsung
di dalam otak ketika manusia berbahasa?
(5) Bagaimana bahasa itu tumbuh, berubah, dan mati? Bagaimana suatu dialek muncul dan berubah menjadi bahasa yang baru?
(6) Bagaimana hubungan bahasa dengan pikiran manusia? Bagaimana pengaruh kedwibahasaan terhadap pikiran dan kecerdasan seseorang?
(7) Mengapa seseorang menderita afasia? Bagaimana mengobatinya?
(8) Bagaimana bahasa itu sebaiknya diajarkan agar benar-benar dapat dikuasai dengan baik oleh pembelajar bahasa?
psikolinguistik, yakni (1) masalah pernerolehan bahasa, (2) hubungan antara pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa, dan (3) proses produksi dan pemahaman tuturan.
1) Masalah pemerolehan
Apakah manusia memperoleh bahasa karena dia dilahirkan dengan dilengkapi pengetahuan khusus tentang kebahasaan? Atau mereka dapat belajar bahasa karena mereka adalah binatang yang sangat pintar sehingga mampu memecahkan berbagai macam masalah?
2) Hubungan antara pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa
Linguis sering menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang memerikan representasi bahasa internal seseorang (pengetahuan bahasanya). Ia kurang tertarik untuk memerikan bagaimana penutur menggunakan bahasanya. Kemudian bagaimanakah hubungan antara penggunaan dengan pengetahuan bahasa tersebut? Seseorang yang belajar bahasa melakukan tiga hal:
(a) Memahami kalimat (dekode) >penggunaan bahasa (b) Menghasilkan kalimat
(enkode) >penggunaan bahasa
(c) Menyimpan pengetahuan
bahasa >pengetahuan bahasa
Linguis lebih tertarik pada butir c daripada butir (a) dan (b). Apa yang perlu diketahui seseorang psikolinguis ialah sebagai berikut: benarkah mengasumsikan bahwa tipe tata bahasa yang disampaikan oleh linguis sesungguhnya mencerminkan pengetahuan individual yang terinternalisasikan tentang bahasanya? Bagaimanakah pengetahuan itu digunakan ketika seseorang menghasilkan tuturan (enkode) atau memahami tuturan (dekode)?
3). Menghasilkan dan memahami tuturan
Dengan mengasumsikan bahwa penggunaan bahasa tidak berbeda dengan pengetahuan bahasa, apakah sesungguhnya yang terjadi ketika seseorang itu menghasilkan tuturan (berenkode) atau memahami tuturan (berdekode)?
Tiga pertanyaan itulah yang dikaji dalam psikolinguistik dengan mempertimbangkan empat tipe bukti, yakni:
(a)komunikasi binatang (b) bahasa anak-anak
(d) tuturan disfasik (orang yang terganggu tuturannya).
Perhatikan diagram berikut ini. Kotak-kotak dalam diagram itu tidak merupakan kotak yang tersekat dan terpisah ketat satu dengan yang lainnya. Tetapi, antara kotak-kotak itu ada unsur-unsur yang menghubungkannya. Komunikasi binatang dihubungkan dengan bahasa anak oleh kera yang berbicara. Hubungan antara bahasa anak dan bahasa orang dewasa yang normal dihubungkan oleh tuturan anak usia 8-14 tahun. Bahasa orang dewasa yang normal dengan bahasa orang disfasik dihubungkan oleh “keseleo lidah” (slip of tounge).
Sebelum kita berbicara tentang masalah lain dalam psikolinguistik, kita sebaiknya memahami dulu penggunaan istilah tata bahasa. Kita berasumsi bahwa agar dapat berbicara, setiap orang yang tahu bahasanya memiliki tata bahasa yang telah diinternalisasikan dalam benaknya. Linguis yang menulis tata bahasa membuat hipotesis tentang sistem yang terinternalisasikan itu.
Istilah tata bahasa digunakan secara bergantian untuk maksud representasi internal bahasa dalam benak seseorang dan model linguis atau dugaan atas representasi itu.
Lebih jauh lagi, ketika kita berbicara tentang tata bahasa seseorang yang terinternalisasikan itu, istilah tata bahasa digunakan dalam pengertian yang lebih luas daripada makna tata bahasa yang kita temukan dalam berbagai buku ajar. Tata bahasa itu mengacu pada keseluruhan pengetahuan bahasa seseorang. Tata bahasa tidak hanya menyangkut masalah tata kalimat, tetapi juga fonologi dan semantik.
TATA BAHASA
FONOLOGI SINTAKSIS SEMANTIK
Pola bunyi pola kalimat pola makna
masalah-masalah sosial lain yang menyangkut bahasa seperti bahasa dan pendidikan, bahasa, dan pembangunan bangsa.
BAB I
PENDAHULUAN
Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks manusia, selain berkenaan
dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan
kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung secara makanistik, tetapi juga berlangsung
secara mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan
mental (otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi linguistik
perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara linguistik dan psikologi, yang lazim disebut
psikolinguistik.
A. Psikologi
Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan logos. kata
psyche berarti jiwa, roh, atau sukma, sedangkan kata logos berarti ilmu. Jadi, secara harfiah
berarti ilmu jiwa atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa. dulu ketika psikologi adalah ilmu
yang mengkaji jiwa masih bisa dipertahankan. Dalam kepustakaan pada tahun 50an nama ilmu
jiwa lazim digunakan sebagai padanan kata psikologi. Namun, kini istilah ilmu jiwa tidak
digunakan lagi karena bidang ilmu ini memang tidak meneliti jiwa, roh, atau sukma, sehingga
istilah itu kurang tepat.
Dalam perkembangan lebih lanjut, psikologi lebih membahas atau mengkaji sisi – sisi
manusia dari segi yang bisa diamati. Kareba jiwa itu bersifat abstrak, sehingga tidak dapat
diamati secara empiris, padahal objek kajian setiap ilmu harus dapat diobservasi secara indrawi.
yang sedih akan berlaku murung, dan orang yang gembira tampak dari gerak – geriknya yang
riang atau dari wajahnya yang binar – binar. Meskipun demikian, kita juga sering mendapat
kesulitan untuk mengetahui keadaan jiwa seseorang dengan hanya melihat tingkah lakunya saja.
Tidak jarang kita jumpai seseorang yang sebenarnya sedih tetapi tetap tersenyum. Atau seseorang
yang sebenarnya jengkel atau marah tetapi tetap tenang atau malah tertawa.
Walaupun besar gerak – gerik lahir seseorang belum tentu menggambarkan keadaan jiwa
yang sebanarnya, namun, secara tradisional, psikologi lazim diartikan sebagai satu bidang ilmu
yang mencoba mempelajari perilaku manusia. Caranya adalah dengan mengkaji hakikat
rangsangan, hakikat reaksi terhadap rangsangan itu dan mengkaji hakikat proses – proses akal
yang berlaku sebelum reaksi itu terjadi. Para ahli psikologi belakangan ini juga cenderung untuk
menganggap psikologi sebagai suatu ilmu yang mecoba mengkaji proses akal manusia dan
segala manifestasinya yang mengatur perilaku manusia itu. Tujuan pengkajian akal ini adalah
untuk menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol perilaku manusia.
Dalam perkembangannya, psikologi telah menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham
filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik, yang bahavioristik,
dan yang kognitifistik.
Psikologi yang mentalistik melahirkan aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan
utama psikologi kesadaran adalah mencoba mengkaji proses – proses akal manusia dengan cara
mengintrospeksi atau mengkaji diri. Oleh karena itu, psikologi kesadaran lazim juga disebut
psikologi introspeksionisme. Psikologi ini merupakan suatu proses akal dengan cara melihat
kedalam diri sendiri setelah suatu rangsangan terjadi.
Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran yang disebut psikologi perilaku. Tujuan
apabila suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol
perilaku itu. Para pakar psikologi behavioristik ini tidak berminat mengkaji proses – proses akal
yang membangkitkan perilaku tersebut karena proses – proses akal ini tidak dapat diamati atau
diobservasi secara langsung. Jadi, para pakar psikologi perilaku ini tidak mengkaji ide – ide,
pengertian, kemauan, keinginan, maksud, pengharapan, dan segala mekanisme fisiologi. Yang
dikaji hanyalah peristiwa – peristiwa yang dapat diamati, yang nyata dan konkret, yaitu kelakuan
atau tingkah laku manusia.
Psikologi yang kognitifistik dan lazim disebut psikologi kognitif mencoba mengkaji
proses – proses kognitif manusia secara ilmiah. Yang dimaksud kognitif adalah proses – proses
akal (pikiran, berpikir) manusia yang bertanggung jawab mengatur pengalaman dan perilaku
manusia. Hal utama yang dikaji oleh psikologi kognitif adalah bagaimana cara manusia
memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan, mengeluarkan, dan menggunakan
pengetahuannya, termasuk perkembangan dan penggunaan pengetahuan bahasa. Perbedaannya
dengan psikologi kesadaran adalah bahwa menurut paham mentalisme proses – proses akal itu
berlangsung setelah terjadinya rangsangan. Sedangkan menurut psikologi kognitif proses –
proses akal itu dapat terjadi karena adanya kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan
terlebih dahulu.kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih dahulu. Perilaku yang
muncul sebagai hasil proses akal seperti ini disebut perilaku atau tindakan bertujuan sebagai
hasil kreativitas organisme manusia itu sendiri.
Psikologi sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia dalam segala kegiatannya
yang sangat luas. Oleh karena itu, muncullah berbagai cabang psikologi yang diberi nama sesuai
dengan penarapannya. Diantara cabang – cabang itu adalah psikologi sosial, psikologi
B. Linguistik
Secara umum linguistik lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil
bahasa sebagai objek kajiannya. Pakar linguistik disebut lingui, dalam bahasa inggris juga berarti
orang yang mahir menggunakan beberapa bahasa, selain bermakna pakar linguistik. Seseorang
linguis mempelajari bahasa bukan dengan tujuan utama untuk mahir menggunakan bahasa itu,
melainkan untuk mengetahui secara mendalam mengenai kaidah – kaidah struktur bahasa,
beserta dengan berbagai aspek dan segi yang menyangkut bahasa itu. Andaikata si linguis ingin
memahirkan penggunaan bahasa bahasa itu tentu juga tidak ada salahnya. Bahkan akan menjadi
lebih baik. Sebaiknya, seseorang yang mahir dan lancar dalam menggunakan beberapa bahasa,
belum tentu dia seorang linguis kalau dia tidak mendalami teori tentang bahasa. Orang seperti ini
lebih tepat disebut seorang poliglot ”berbahasa banyak”, sebagai dikotomi dari monoglot
”berbahasa satu”.
Kalau dikatakan bahwa linguistik atu adalah ilmu yang objek kajiannya adalah bahaasa,
sedangkan bahasa itu sendiri merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas kehidupan
manusia, maka linguistik itu pun menjadi sangat luas bidang kajiannya. Oleh karena itu, kita bisa
lihat adanya berbagai cabang linguistik yang dibuat berdasarkan berbagai kriteria atau
pandangan. Secara umum pembidangan linguistik itu adalah sebagai berikut :
1. Menurut objek kajian, linguistik dapat dibagi atas dua cabang besar, yaitu linguistik
mikro dan linguistik makro. Objek kajian linguistik mikro adalah struktur internal bahasa
itu sendiri, mencakup struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Sedangkan
bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi, dan neurologi. Berkaitan dengan
faktor – faktor di luar bahasa itu muncullah bidang – bidang seperti sosiologistik,
psikologistik, neurolinguistik dan etnolinguistik. Disini, linguistik dipandang sebagai
disiplin utama, sedangkan ilmu-ilmu lain sebagai disiplin bawahan.
2. Menurut tujuan kajiannya, linguistik dapat dibedakan atas dua bidang besaar yaitu
linguistik teoteris dan linguistik terapan. Kajian teoteris hanya ditujukan untuk mencari
atau menentukan teori – teori linguistik. Hanya untuk membuat kaidah – kaidah linguistik
secara deskriptif. Sedangkan kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah – kaidah
linguistik dalam kegiatan praktis, seperti dalam pengajaran bahasa, penerjemahan,
penyusunan kamus, dan sebagainya.
3. Adanya yang disebut linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah
mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa atau sejumlah bahasa, baik dengan
diperbandingkan maupun tidak. Sejarah linguiatik mengkaji perkembangan ilmu
linguistik, baik mengenai tokoh – tokohnya, aliran – aliran teorinya, maupun hasil – hasil
kerjanya.
Dalam kaitannya dengan psikologi, linguistik lazim diartikan sebagai ilmu yang muncoba
mempelajari hakikat bahasa, atruktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh, bagaimana bahasa
itu bekerja, dan bagaimana bahasa itu berkembang. Dalam konsep ini tampak bahwa yang
namanya psikolinguistik dianggap sebagai cabang dari linguistik, sedangkan linguistik itu sendiri
C. Psikolinguistik
Psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistic, yakni dua bidang ilmu
yang berbeda, yang masing – masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang
berlainan. Namun, keduanya sama – sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya
materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji
perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuan berbeda, tetapi banyak juga bagian – bagian objeknya yang
dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan.
Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan.
Oleh karena itulah, telah lama dirasakan perlu adanya kerja sama di antara kedua disiplin ini
untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Dengan kerja sama kedua disiplin itu diharapkan
akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Sebagai hasil kerjasama yang baik, lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu
itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antardisiplin antara
psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik itu sendiri baru lahir tahun 1945, yakni tahun
terbitnya buku psycholinguistics : A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh
Charles E. Osgood dan Thomas A. sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat.
Psikolinguistik mencoba menguraikan proses – proses psikologi yang berlangsung jika
seseorang mengucapkan kalimat – kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan
bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama
Cazahu, 1973). Maka secara teoteris tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori
bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat
struktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada
waktu memahami kalimat– kalimat dalam pertuturan itu. Dalam prakteknya psikolinguistik
mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah – masalah seperti
pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut,
kedwibahasaan dan kemultibahasaan, penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya;
serta masalah – masalah sosial lain yang menyangkut bahasa, seperti bahasa dan pendidikan,
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Psikolnguistik
Istilah psikolinguistik baru muncul pada tahun 1954 dalam buku Thomas A. Sebeok dan
Charles E. Osgood yang berjudul Pshycolinguiatics: A Survey of Theory and Research
Problems, namun sebenarnya sejak zaman panini, ahli bahasa dari India, dan Sokrates ahli
filsafat dari Yunani, pengkajian bahasa telah dilakukan orang. Kajian mereka tidak terlepas dari
paham/aliran filsafat yang mereka anut, karena filsafat merupakan induk dari semua disiplin
ilmu.
Pada abad yang lalu terdapat dua aliran filsafat yang saling bertentangan dan saling
mempengaruhi perkembangan linguistik dan psikologi. Yang pertama adalah aliran empirisme
yang erat kaitannya dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme melakukan kajian terhadap data
empiris atau objek yang dapat diobservasi dengan cara menganalisis unsur – unsur
pembentukannya sampai yang sekecil – kecilnya. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat
atomistik, dan lazim dikaitkan dengan asosianisme dan positivisme. Aliran kedua dikenal dengan
faktor – faktor yang ada dalam akal inilah yang patut diteliti untuk bisa memahami perilaku
manusia itu. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat holistik, dan biasa dikaitkan dengan
paham nativisme, idealisme, dan mentalisme.
Psikolinguistik bermula dari adanya pakar linguistik yang berminat pada psikologi, dan
adanya pakar psikologi yang berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya
kerjasama antara pakar linguistik dan pakar psikologi, dan kemudian muncullah pakar – pakar
psikolinguistik sebagai disiplin mandiri.
a. Psikologi dalam Linguistik
Dalam sejarah linguistik ada sejumlah pakar linguistik yang menaruh perhatian besar
pada psikologi. Von Humboldt (1767-1835), pakar linguistik berkebangsaan Jerman telah
mencoba mengkaji hubungan antara bahasa (linguistik) dengan pemikiran manusia (psikologi).
Caranya, dengan membandingkan tata bahasa dari bahasa – bahasa yang berlainan dengan tabiat
– tabiat bangsa – bangsa penutur itu. Von Humboldt sangat dipengaruhi oleh aliran rasionalisme.
Dia menganggap bahasa bukanlah sesuatu yang sudah siap untuk dipotong – potong dan
diklasifikasikan seperti aliran empirisme. Menurut Von Humboldt bahasa itu merupakan satu
kegiatan yang memiliki prinsip – prinsip sendiri.
Ferdinand de Saussure (1858-1913), pakar linguistik berkembangsaan Swiss, telah
berusaha menerangkan apa sebenarnya bahassa itu (linguistik) dan bagaimana keadaan bahasa
itu dalam otak (psikologi). Beliau memperkenalkan tiga istilah tentang bahasa yaitu langage
(bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak), langue (bahasa tertentu yang bersifat abstrak),
dan parole (bahasa sebagai tuturan yang bersifat konkret). Dia menegaskan objek kajian
mengkaji bahasa secara lengkap, maka kedua disiplin, yakni linguistik dan psikologi harus
digunakan. Hal ini dikatakannya karena dia menganggap segala sesuatu yang ada dalam bahasa
itu pada dasarnya bersifat psikologis.
Edward Sapir (1884-1939), pakar linguistik dan antropologi bangsa Amerika, telah
mengikutsertakan psikologi dalam pengkajian bahasa. Menurut Sapir, psikologi dapat
memberikan dasar ilmiah yang kuat dalam pengkajian bahasa. Beliau juga mencoba mengkaji
hubungan bahasa (linguistik) dengan pemikiran (psikologi). Dari kajian itu beliau berkesimpulan
bahwa bahasa, terutama strukturnya, merupakan unsur yang menentukan struktur pemikiran
manusia. Beliau juga menekankan bahwa linguistik dapat memberikan sumbangan yang penting
kepada psikologi Gestalt, dan sebaliknya psikologi Gestalt dapat membantu disiplin linguistik.
Linguistik dalam Psikologi
Dalam sejarah perkembangan psikologi ada sejumlah pakar psikologi yang menaruh
perhatian pada linguistik. John Dewey (1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika,
seorang empirisme murni. Beliau telah mengkaji bahasa dan perkembangannya dengan cara
menafsirkan analisis linguistik bahasa kanak – kanak berdasarkan prinsip – prinsip psikologi.
Umpamanya, beliau menyarankan agar penggolongan psikologi akan kata – kata yang diucapkan
kanak – kanak dilakukan berdasarkan makna seperti yang dipahami kanak – kanak, dan bukan
seperti yang dipahami orang dewasa dengan bentuk – bentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan
cara ini, maka berdassarkan prinsip – prinsip psikologi akan dapat ditentukan hubungan antara
kata – kata berkelas adverbia dan preposisi disatu pihak dengan kata – kata berkelas nomina dan
adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata berdasarkan pemahaman kanak –
dihubungkan dengan perbedaan – perbedaan linguistik. Pengkajian seperti ini, menurut Dewey,
akan memberi bantuan yang besar kepaada psikologi bahasa pada umumnya.
Watson (1878-1958), ahli psikologi behaviorisme berkebangsaan Amerika. Beliau
menempatkan perilaku atau kegiatan berbahasa sama dengan perilaku atau kegiatan lainnya,
seperti makan, berjalan, dan melompat. Pada mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku
berbahasa yang implisit, yakni yang terjadi didalam pikiran, dengan yang eksplisit, yakni yang
berupa tuturan. Namun, kemudian dia menyamakan perilaku berbahasa itu dengan teori
stimulus-respons yang dikembangkan oleh Povlov. Maka, penyamaan ini memperlakukan kata –
kata sama dengan benda – benda lain sebagai respons dari suatu stimulus.
Weiss, ahli psikolodi behaviorisme Amerika. Beliau mengakui adanya aspek mental dalm
bahasa. Namun, karena wujudnya tidak memiliki kekuatan bentuk fisik, maka wujudnya itu
sukar dikaji atau ditunjukkan. Oleh karena itu, Weiss lebih cenderung mengatakan bahwa bahasa
itu sebagai satu bentuk perilaku apabila seseorang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan
sosialnya. Weiss adalah salah seorang tokoh yang terkemuka yang telah merintis jalan kearah
lahirnya psikolinguistik. Karena dialah yang telah berhasil mengubah Bloomfield dari penganut
aliran mentalistik menjadi penganut aliran behaviorisme. Weiss juga telah mengemukakan
sejumlah masalah yang harus dipecahkan oleh linguistik dan psikologi yang dilihat dari sudut
behaviorisme. Di antara masalah – masalah itu adalah sebagai berikut :
1. Bahasa merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu
stimulus.
2. Pada dasarnya perilaku bahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke alam organisasi
3. Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragam-ragamkan kegiatan
seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan.
4. Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap satu respons, atau merupakan satu respons
terhadap satu stimulus.
5. Respons bahasa sebagai satu stimul pengganti untuk benda dan keadaan yang sebenarnya
memungkinkan kita untuk memunculksn kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan
menganalisis kejadian ini dalam bagian – bagiannya.
c. Kerjasama Psikologi dan Linguistik
Kerjasama secara langsung antara linguistik dan psikologi sebanarnya sudah dimulai
sejak 1860 yaitu, oleh Heyman Steintthal, seorang ahli psikologi yang beralih menjadi ahli
linguistik, dan Moriz Lazarus seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi dengan
menrbitkan sebuah jurnal yang khusus membicarakan masalh psikologi bahasa dari sudut
linguistik dan psikologi.
Dasar – dasar psikolinguistik menurut beberapa pakar didalam buku yang disunting oleh
Osgood dan Sebeok diatas adalah berikut ini :
1. Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai
2. Psokolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut teori behaviorisme) berdasarkan
bahasa yang dianggapnsebagainsatu sistem tabiat dan kemampuan yang menghubungkan
isyarat dengan perilaku.
3. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat
untuk menyampaikan suatu benda.
Tiga Generasi dalam Psikolinguistik
1. Psikolinguistik Generasi pertama
Psikolinguistik generasi pertama adalah psikolinguistik dengan para pakar yang
menulis artikel dalam kumpulan karangan berjudul psycholinguistics : A Survey of Theory and
Reserch Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok. Titik pandang
Osgood dan Sebeok berkaitan erat dengan aliran behaviorisme (aliran perilaku) atau lebih tepat
lagi aliran neobehaviorisme. Teori – teori ini mengidentifikasikan bahasa sebagai stu sistem
respon yang langsung dan tidak langsung terhadap stimulus verbal dan nonverbal. Orientasi
stimulus respons ini adalah orientasi psikologi.
Tokoh lain dari generasi pertama ini adalah L. Bloomfield. Beliau adalah tokoh
linguistik Amerika yang menerima dan menerapkan teori – teori behaviorisme dalam analisis
bahaa. Teknik analisis bahasa dan pandangannya tentang hakikat bahasa sama dengan pandangan
dan teori psikolinguistik perilaku.
Manusia yang normal sejak lahir telah dilengkapi dengan kemampuan belajar. Oleh sebab
bahwa itu harus dipelajari. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa adalah satu kemampuan
hasil belajar, dan bukan sebagai sesuatu yang diwarisi.
Tokoh lain dari psikolinguistik generasi pertama, dan yang dianggap sebagai tokoh utama
adalah B. F. Skonner. Beliau menjadi tokoh yang kemudian ditentang oleh Noam Chomsky yang
menganut aliran kognitif dalam proses berbahasa. Namun, teori – teori Skinner inilah yang
dianut oleh teori – teori linguistik aliran Bloomfield.
2. Psikolinguistik Generasi Kedua
Karena pada psikolinguiatik generasi pertama tidak menjawab banyak masalah proses
berbahasa, dan teori – teori itu kekurangan daya penjelas, maka diperlukan teori yang lain dalam
psikolinguistik. Lahirlah teori –teori psikolinguiatik generasi kedua, dengan dua tokoh utamanya
yakni Noam Chomsky dan George Miller.
Menurut Mehler dan Noizet, psikolinguistik generasi kedua telah dapat mengatasi ciri – ciri
atomistik dari psikolinguistik Osgood-Sebeok. Psikolinguistik generasi kedua berpendapat
bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir – butir bahasa yang diperoleh, melainkan kaidah
dan sistem kaidahlah yang diperoleh.
3. Psikolinguistik Generasi Ketiga
Kelahiran psikolinguistik generasi ketiga ini oleh G. Werstch dalam bukunya Two
Problems for the New Psycholinguistics diberi nama New Psycholinguistics. Ciri – ciri
psikolinguistik generasi ketiga ini adalah sebagai berikut :
Pertama, orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. Mereka
dan mungkin juga kepada psikologi aktivitas dari Uni Sovyet atau seperti ditekankan oleh G.
Werstch bahwa terjadi proses yang serempak dari informasi linguistik dan psikologi.
Kedua, keterlepasan mereka dari kerangka psikolinguistik kalimat dan keterlibatan
dalam psikolinguistik yang berdasarkan situasi dan konteks. Ini berarti, analisis psikolinguistik
bbukan lagi menentukan kalimat hubungan antara struktur gramatikal dan kaidah semantik
model Noam Chomsky dengan teori generatif transformasinya, tetapi hubungan ini diperluas
dengan memperhitungkan situasi dan konteks.
Ketiga, adanya satu pergeseran dari analisis mengenai proses ujaran yang abstrak ke
satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran. Pergeseran dari ujaran yang abstrak ke
komunikasi dan pikiran ini dikemukakan oleh J. S. Bruner dalam artikelnya berjudul Frol
Communication to Language yang dimuat dalam Cognition tahun 1974-5.
Ketiga ciri utama dari psikolinguistik generasi ketiga ini menunjukkan telah
terjadinya satu peningkatan kualitatif dalam perkembangan psikolinguistik di negara – negara
Barat. Namun, menurut Leontive (1981) dibandingkan dengan perkembangan linguistik di
Eropa, maka osikolinguistik di Rusia sudah lebih dulu berkembang karena sejak awal
psikolinguistik di Rusia telah memperhitungkan jurus komunikasi dan pikiran dalam analisas
psikolinguistik.
B. Bahasa dan Berbahasa
Bahasa dan berbahasa, adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah alat verbal yang
digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa adalah proses penyampaian informasi
dalam berkomunikasi itu. Pada bagian awal telah dikatakan bahwa bahasa adalah objek kajian
Para pakar linguistik deskriptif biasanya mendenifisikan bahasa sebagai satu sistem
lambang bunyi yang bersisaf arbitrer. Yang kemudian lazim ditambah dengan yang digunakan
oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan menidentifikasikan diri.
(Chaer,1994).
Bagian pertama definisi diatas menyatakan bahwa bahasa itu adalah satu sistem, sama
dengan sistem – sistem lain, yang sekaligus berifat sistematis dan bersifat sistemis. Jadi, bahasa
itu bukan merupakan satu sistem tunggal melainkan dibangun oleh sejumlah subsistem
(subsistem fonologi, sintaksis, leksikon). Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang, sama
dengan sistem lambang lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya, sistem lambang bahasa
ini adalah bunyi, bukan gambar atau tanda lain, dan bunyi adalah bunyi bahasa yang dilahirkan
oleh alat ucap manusia. Sama dengan lambang lain. Sistem lambang bahasa ini juga bersifat
atbitrer. Artinya, antara lambang yang berupa bunyi itu tidak memiliki hubungan wajib dengan
konsep yang dilambangkannya.
Bahasa dilihat dari segi sosial yaitu, bahwa bahasa itu adalah alat interaksi atau alat
komunikasi didalam masyarakat. Tentu saja konsep linguiatik ddeskriptif tentang bahasa itu tidak
lengkap, sebab bahasa bukan hanya alat interaksi sosial, melainkan juga memiliki fungsi dalam
berbagai bidang lain. Oleh karena itu psikologi, antripologi, etnologi, neurologi, dan filologi juga
menjadikan bahasa sebagai salah satu objek kajiannya dari sudut atau segi yang berbeda – beda.
a. Gangguan Berbahasa
Manusia yang normal fungsi otak dan alt bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik.
kesulitan dalam berbahasa, baik produktif mauoun reseptif. Jadi, kemempuan berbahasanya
terganggu.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gangguan akibat faktor medis, adalah gangguan baik akibat gangguan otak maupun akibat
kelainan alat – alat bicara.
2. Gangguan akibat faktor lingkungan sosial, adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah
manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang
sewajarnya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa dapat dibedakan atas tiga golongan,
yaitu :
− Gangguan berbicara
− Gangguan berbahasa
− Gangguan berpikir
Ketiga gangguan ini masih dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar
yang normal, bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.
b. Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena
itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu :
1. Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adlah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan
terpadu dari pita suara, lidah, otot – otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan
gangguan berbicara akibat kelainan pada paru – paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada
lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
− Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru – paru. Para penderita penyakit
paru – paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh
nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan berputus – putus, meskipun dari
semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
− Gangguan Akibat Faktor Laringal
Gangguan pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali.
Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa
kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa
diterima.
− Gangguan akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah
timbulnya rasa padih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara
semaunya. Dalam keadaan sepperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak
sempurna. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah maka lidahnya pu
lmpauk sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu menjadi pelo atau
cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti tergangguanya artikulasi).
− Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau.
Pada orang sumbing, misalnya, suaranya menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan
(palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal ini trjadi juga pada orang
yang mengalami kelumpuhan pada langit – langit lunak (velum). Rongga langit – langit itu tidak
memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suarnya menjadi besengau. Penderita penyakit
miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering
dikenali secara langsung karena kengauan ini.
2. Gangguan Akibat Multifaktorial
Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa mnyebabkan terjadinya berbagai
gangguan berbicara. Antara lain adalah :
− Berbicara Serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara denga cepat sekali, dengan artikulasi
yang rusak, ditambah dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga apa yang di ucapkan sukar
dipahami. Dalam kehidupan sehari – hari kasus ini memang jarang dijumpai, tetapi di dalam
praktek kedokteran sering ditemui. Umpamanya kalimat ”kemarin pagi saya sudah beberapa kali
ke sini ” diucapkan dengan cepat menjadi ”kemary sdada brali ksni”. Berbicara serampangan ini
karena kerusakan di serebelum atau bisa jug terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah
badan.
− Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biassanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson
(kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah). Para penderita
penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan geraka – gerakan. Mereka sukar sekali untuk
memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus – menerus tanpa henti.
Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagaian
besar lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya mula
– mula tersendat – sendat, kemudian terus – menerus, dan akhirnya tersendat – sendat kembali.
Oleh karena itu, cara berbicara seperti ini disebut prupilsif.
− Berbicara Mutis (Mutisme)
Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari meraka mungkin
dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya
bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tiak dapat berkomunikasi
secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak – gerik dan sebagainya.
Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi dengan bisu – tuli. Dalam hal kebisuan
ini sebenarnya perlu dibedakan adnya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena
kerusakan ataua kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa,
tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat mendengar suara-bahasa orang lain. Kedua,
orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga
dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa dan juga tidak bisa mendengar ujaran-bahasa orang
lain. Ketiga, orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan, tetapi alat
pendengarannya rusak atau ada kelainan. Orang golongan ketiga iini menjadi bisu karena dia
tidak pernah mendengar bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan
ujaran-bahasa itu.
3. Gangguan Psikogenik
Ganguan berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu
tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang
terungkap oleh cara berbicara sebagaian besar ditentukan oleh nada, inotonassi, dan intensitas
suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yanng berirama lancar atau tersendat –sendat dapat juga
mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan berbicara psikogenetik ini antara lain
sebagai berikut :
Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melkaukanya meminta
perhatian untuk dimanja. Umpamanya kanak yang baru terjatu, terluka, atau mendapat
kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya. Fonem atau bunyi [s] dilafalkan
sebagai bunyi [c] sehinga kalimat ”saya sakit, jadi tidak suka makan, sudah saja ya” akan
diucapkan menjadi ”caya cakit, jadi tidak cuka makan, cudah saja ya”. Dengan berbicara
demikian dia mengungkapkan keinginannya untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati juga
pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita). Gejala ini memberikan kesan bahwa struktur
bahasa memiliki substrat serebral. Namun, bagaimana struktur organisasinya belum diketahui
dengan jelas. Masih dalam penelitian.
Berbicara Kemayu
Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang
pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimaksudkan oleh istilah
tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal
yang dilakukan secara ekstra menonjok atau ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang.
Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang
sebagai sindrom fonologik yang mengungkapakan gangguan identitas kelamin terutama jika
Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat – sendat, mendadak berhenti,
lalu mengulang – ulang suku kata pertama, kata – kata berikutnya, dan setelah berhasil
mengucapkan kata – kata itu kalimat dapat diselesaikan. Acapkali si pembicara tidak berhasil
mengucapkan suku kata awal, hanya dengan susah payah berhasil mengucapkan konsonan atau
vokal awalnya saja. Lalu dia memilih kata lain, dan berhasil menyelesaikan kalimat tersebut
meskipun dengan susah payah juga. Dalam usahanya mengucapkan kata pertama yang
barangkali gagal, si pembicara menampakkan rasa letih dan rasa kecewanya. Beberapa hal
dianggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan, yaitu :
Faktor – faktor stres dalam kehidupan berkeluarga
Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak, serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
Adanya faktor kerusakan pada belahan otak yang dominan Faktor neurotik famial
Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo atau menirukan apa
yang dikatakan orang lain, tetapi sebenarnya latah adalah sindrom yang terdiri atas curah verbal
repetitif yang bersifat jorok (kaprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.
Kaprolalla pada latah ini beroriantaasi pada alat kelaminlaki – laki. Yang sering dihinggapi
penyakit latah adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah ini,
besar dan sepanjang belut. Latah ini punya cuse atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah
laku porno, yang hakikatnya berimplikasi invitasi seksual.
Gangguan Berbahasa
Berbahasa, berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat
berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata – kata. Ini berarti, daerah Broca dan
Wernicke harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya
menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia.
a. Afasia Motorik Kortikal
Tempat menyimpan sandi – sandi perkataan adalah di korteks daerah Broca. Maka apabila
gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan. Jadi,
afasia motorik kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi
verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi visual masih dilakukan.
b. Afasia Motorik Subkortikal
Sandi – sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan daerah Broca, maka apabila
kerusakan terjadi pada bagian bawahnya semua perkataan masih tersimpan utuh di dalam
gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena hubungan terputus, sehingga
perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui jalur lain tampaknya
perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan
perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan mengeluarkan isi
pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan dengan
cara membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi
visual pun berjalan normal.
Afasia motorik trankortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca
dan Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu.
Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian
daerah Broca. Jadi, penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang
singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya.
Semua penderita afasia motorik jenis apapun bersikap tidak berdaya, karena keinginan
untuk mengutarakan isi pikirannya besar sekali, tetapi kemampuan untuk melakukannya tidak
ada sama sekali. Mereka pun sering jengkel karena apa yang diekspressikantidak dipahami sama
sekali oleh orang disekelilingnya, padahal untuk menghasilkan curah verbal yang tidak dipahami
itu, mereka sudah berusaha keras.
d. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal
didaerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu terletak di kawasan asosiatif
antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Keruskan di
daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang dilihatikut terganggu.
Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun,
diamasih memiliiki curah verbal meskipun hal ini tidak dipahami oleh dirinya sendiri, maupun
oleh orang lain.
Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipakami oleh
dengan perkataan suatu bahasa., tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan
bahasa apa pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan
bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar – wajar saja, seakan – akan dia berdialog dalam
bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresi.
Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali
tidak dipahaminya.
4. Gangguan Berpikir
Dalam sosiolinguistik ada dikatakan bahwa setisp orang mempunyai kecenderungan
untuk menggunakan perkataan – perkataan yang disukainya sehingga corak bahasanya adalah
khas bagi dirinya. Hal ini dalam sosiolinguistik disebut idiolek, atau ragam bahasa perseorangan.
Dalam memilih dan menggunakan unsur leksikal, sintaksis, dan semantik tertentu seseotang
menyiratkan afeksi dan nilai pribadinya pada kata – kata dan kalimat – kalimat yang dibuatnya.
Hal ini berarti, setiap orang memproyeksikan kepribadiannya pada gaya bahasanya. Lalu kalau
diingat bahwa ekspresi verbal merupakan pengutaraan isi pikiran, maka yang tersirat dalam gaya
bahasa tentu adalah isi pikiran itu. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang
terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu pikiran berupa hal – hal
berikut :
a. Pikun (Demensia)
Orang yang pikun menunjukkan bnyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia,
fungsi intelektual. Semua gangguan itu menyebabkan kurangnya berfikir, sehingga ekspresi
verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata – kata yang tepat. Kalimat seringkali
terputus karena arah pembicaraan tidak teringat atau tidak diketahui lagi, sehingga berpindah ke
topik lain.
Dr. Martina Wiwie S. Nasrun mengtakan bahwa kepikunan atau demensia adalah suatu
penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin
buruk. Gangguan kognitif ini meliputi tergangguanya ingatan jangka pendek, kekeliruan
mengetahui tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan kelancaran bicara.
Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar,
termasuk menurunnya jumlah zat – zat kimia dalam otak. Biasanya volime otak akan mengecil
atau menyusut, sehingga rongga – rongga dalam otak melebar. Selai itu dapat pula disebabkan
oleh penyakit seperti stroke, tumor otak, depresi dan gangguam sistemik. Pikun yang disebabkan
oleh depresi dan gangguan sistemik dapat pulih kembali, tetapi kebanyakan kasus demensia
lainnya tidak dapat kembali ke kondisi sebelumnya.
b. Sisofrenik
Sisofrrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Dulu pada para
penderita sisofrenik kronik juga dikenal istilah schizophrenik word salad. Para penderita ini
dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar. Dengan volume yang cukup, ataupun lemeh
sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata – kata neologisme. Irama serta intonasinya
Penderita sisifrenia dapat berbicara terus – menerus. Ocehanya hanya merupakan ulangan
curah verbal semula dengan tambahan sedikit – sedikit atau dikurangi beberapa kalimat. Gya
bahasa sisifren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria. Yang utama
adalah diferensiasi dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pasca halusinasi.
Sebelum diganggu halisinasi, bahasa para penderita sisofrenik ini tampak terganggu.
Pada tahap awal penderita sisofrenia ini mengisolasi pikirannya. Tidak banyak berkomunikasi
dengan dunia luar, tetapi banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas, tetapi
kegiatan dalam dunia bahasa internal (berbahasa dalam pikiran diri sendiri)sangat ramai. Oleh
karena itu, gangguan ekspresi verbal sisofrenia tahap awal ini menyerupai mutisme efektif.
c. Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya dan
makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus –
putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu.
Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan napas keluar yang
panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal
yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri,
kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah
cenderung mengakhirinya.
d. Gangguan Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia, yang
disebabkan karena diperlakkukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup
bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh binatang serigala, seperti
kasus Kamala dan Mougli.
Anak terasing tidak sama dengan kasus anak tuli. Anak tuli masih hidup dalam
masyarakat manusia. Maka, meskipun dia terassing dari kontak bahasa, tetapi dia masih dapat
berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa
berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara-ujaran manusia. Beda
antara anak terasing yang tidak pernah mendengar suara orang dan anak tuli adalah bahwa anak
tuli dirugikan karena tidak bisa mendengar suaranya sendiri maupun suara orang lain. Suara –
suaranya sendiri hanya bisa dirasakan sebagai gerak – gerak urat dan otot ddaging mulut. Suara
anak tuli tidak seberapa kuat jika dibandingkan dengan anak yang tidak tuli. Suara – suara anak
tuli lekas sekali berhenti, meskipun ia tetap mampu merasakan gerakan mulut dan suara –
suaranya waktu sedang mengeluarkan suara itu. Dia merassakan gerak mulut itu karena adanya
rasa akan getaran – getaran organ – organ pembentuk suara, atau karena dia melihat gerak mulut
oranng lain dan lalu dia menirukannya. Pada anak tuli ini tidak ada cukup motivasi agar suara –
suaranya bisa berkembang. Hal ini berbeda dengan anak normal yang tercerai dari masyarakat.
Dia dapat mengeluarkan suaranya, tetapi ia tidak pernah mendengar suara 9perkataan) orang dari
sekeliling anak itu sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan berbicara. Tanpa
mendengar suara-bahasa orang sekeliling tidak mungkin kemampuan berbahasa dapat
berkembang. Jadi anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara,
tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sodial
masyarakat, maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa. Otaknya menjadi
memungkinkannya berfungsi demikian. Maka, sebenarnya anak terasing, yang tidak punya
kontak dengan manusia, bukan lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk
sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi dia tidak bermatabat sebagai manusia.
Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan
akhirnya menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak
sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun
taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial. Kanak – kanak
mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya selama masa kanak – kanak,
selepas umur tujuh tahun anak itu tak dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih
tinggi.
Dalam sejarah tercatat sejumlah kasus anak terasing, baik yang diasuh oleh hewan
(serigala) maupun yang teraasingkan oleh keluarganya, berikut akan dikemukakan dua contoh
kasus:
1. Kasus Kamala
Ketika baru ditemukan Kamala diperkirakan berumur 8 tahun, dan adiknya berumur 2
tahun. Kamala masih hidup sampai 9 tahun kemudian sedangkan adiknya tak lama ditemukan
meninggal. Karena hidup di tengah serigala, ia sangat mirip dengan serigala. Ia berlari cepat
sekali dengan kedua kaki dan tangan, mengaum-aum, lebih sering bergaul dengan serigala, tidak
bercakap satu patah kata pun, dan tidak terlihat adanya mimik emosi di wajahnya. Sangat sukar
untuk mengajar dia berdiri, berjalan, menggunakan tangan, apalagi bercakap – cakap. Dia
mencium – cium, dan mengendus – endus makanan. Dia memeriksa segala sesuatu dengan alat
penciuman, mempunyai penglihatan malam yang tajam, dan memiliki pendengaran yang tajam
Hidup ditengah binatang membuat manusia bukan manusia lagi. Namun, hal ini
membuktikan kemampuan anak manusia dapat menyelaraskan diri hidup dengan serigala secara
mengagumkan. Berbeda halnya dengan binatang yang dijinakkan dan dimanusiakan, binatang
tetap tidak dapat mempelajari bahasa yang sebenarnya.
Tingkat kecerdasan Kamala tidak diketahui hingga dia meninggal, sebab dia tidak pernah
dites dengan tes – tes objektif yang memungkinkan kita mengetahui apakah kecerdasan praktis
Kamala yang terbahasakan itu lebih tinggi atau tidak dari kecerdasan seorang anak yang tidak
bercakap atau dari seekor kera. Namun, bagaimana pun Kamala tidak lagi mempunyai pikiran
yang sebenarnya, pikiran yang reflektif.
2. Kasus Genie
Kalau Kamala terasing dari masyarakat manusia, dan lalu dipelihara atau dibesarkan di
tengah – tengah serigala, maka Genie tetap berada dalam asuhan orang tuanya, tetapi dengan cra
yang terlepas dari kehidupan manusia yang wajar. Sejak berusis 20 bulan sampai berusia 13
tahun 9 bulan Genie hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan
kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu tebal. Tidak ada radio atau
televisi dirumah itu, dan ayahnya membenci suara apapun. Ayahnya tidak mengizinkannya
mendengar suara apa pun, dia akan dihukum secara fisik bila membuat suara. Satu –saatunya
orang yang sering ditemuinya adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang untuk tinggal lama –
lama dengan Genie saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa – apa si ibu memberi makan
Genie dengan selalu tergesa – gesa.
Ketika ditemukan tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat secara
rumah anak – anak Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai anak yang menderita kurang gizi
yang parah.
Pertama kali mendapat perawatan Genie tidak mampu menggunakan bahasa. Namun, dari
evaluasi perawatan bulan – bulan pertama didapat kesimpulan bahwa Genie adalah anak yang
terbelakang, tetapi perilakunya tidak seperti anak lemah mental. Meskipun dia mengalami
gangguan secara emisional, tetapi dia tidak mengalami gangguan fisik atau mental yang dapat
memperkuat ketrbelakangannya. Jadi, keterbelakangannya adalah karena lamanya tekanan
psikososial dan fisik yang dialaminya.
Kemampuan berbahasa Genie, yang jelas ketika ditemukan dia tidak dapat berbicara,
meskipun telah berumur hampir 14 tahun. Untuk mengetahui apakah dia sudah mengenal bahasa
Inggris sebelum dikucilkan, kepadanya diberikan sebagian tes. Dari tes awal diketahui bahwa
Genie memahami sejumlah kata – kata lepas yang diucapkan orang lain, tetapi dia hanya
memahami sedikit sekali gramatika. Maka dalam hal ini tampaknya dia mendapat tugas yang
sulit dan rumit, yakni memperoleh bahasa pertama dengan otak yang sudah masa puber. Namun,
kenyataan menunjukkan bahwa Genie mampu memperoleh bahasa itu meski dalam usia yang
sudah melewati masa kritis pemerolehan bahasa.
Seperti teori sebelumnya mengatakan bahwa otak berada dalam kondisi paling siap untuk
mempelajari bahasa tertentu adalah selama masa kanak – kanak hingga masa puber, atau seperti
kata Lenneberg antara usia dua tahun sampai masa akil balig. Namun, disini Genie yang baru
belajar bahasa pertama, setelah masa kritisnya dilalui ternyata dapat memperoleh kemampuan
berbahasa itu. Dalam banyak hal perkembangan bahasa Genie sama dengan pemerolehan bahasa
Dari sejumlah tes diperoleh informasi bahwa Genie tidak mamiliki fasilitas bahasa pada
hemisfer kiri melainkan menggunakan hemisfer kanan, baik untuk fungsi bahasa maupun fungsi
nonbahasa. Dalam tes menyimak rangkap dia mempunyai keunggulan telinga kiri yang sangat
kuat untuk isyarat – isyarat verbal maupun nonverbal. Hasil tes menyimak rangkap ini
memperkuat hipotesis bahwa Genie menggunakan hemisfer kanan untuk berbahasa. Temuan ini
juga memperkuat hipotesis mengenai adanya hemisfer yang dominan dan yang tidak dominan.
Dari kasus Kamala dan Genie sebagai contoh kanak – kanak yang mendapat kesulitan
berbahasa karena terasingkan dari lingkungannya, memang bisa dilihat adanya satu hal yang
sangat berbeda. Kamala terasing dari lingkungan sosial manusia sejak bayi, sehingga dia tidak
lagi mempunyai kemampuan untuk berbahasa. Sedangkan Genie memang terasing tetapi masih
berada dalam lingkungan sosial manusia, maka meskipun dengan sangat sukar dia kemudian
masih memiliki kemampuan berbahasa meskipun sebagai kemampuan permulaan.
C. Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak
seseorang kanak – kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Ada dua
proses yang terjadi ketika seorang kanak – kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu,
Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses
kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performasi yang terdiri dari dua buah
proses, yakni :
− Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan
− Penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat – kalimat sendiri.
Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan dan apabila telah dikuasai kanak –
kanak akan menjadi kemampuan linguistik kanak – kanak itu. Jadi, kemampuan linguistik terdiri
dari kemampuan memahami dan kemampuanmelahirkan atau menerbitkan kalimat – kalimat
baru yang dalam linguistik transpormasi generatis disebut perlakuan, atau pelaksanaan bahasa,
atau performasi.
Sejalan dengan teori Chomsky, kompetensi itu mencakup tiga buah komponen tata bahasa,
yaitu :
a. Komponen Sintaksis, merupakan komponen sentral dalam pembentukan kalimat. Sintaksis
adalah urutan dan organisasi kata – kata (leksikon) yang membentuk frase atau kalimat dalam
suatu bahasa.tugas utama komponen ini adalah menentukan hubungan antara pola – pola bunyi
bahasa itu dengan makna – maknanya dengan cara mengatur urutan kata – kata yang membentuk
frase atau kalimat itu agar sesuai dengan makna yang diinginan oleh penuturnya,
b. Komponen Semantik, sebagai komponen dalam otak yang terpisah dari komponen sintaksis
dengan garis yang tegas. Namun, sejumlah pakar pengikut generatif transformasi yang lain
menganggap kedua komponen itu, sintaksis dan semantik, tidak mempunyai garis pemisah yang
tegas.
c. Komponen Fonologi, adalah sistem bunyi suatu bahasa. Komponen fonologi ini, sebagai
komponen ketiga dalam tata bahasa generatif transformasi memiliki rumus – rumus fonologi
yang bertugas mengubah struktur luar sintaksis menjadi representasi fonetik yaitu bunyi – bunyi
bahasa yang kita dengar yang diucapkan oleh seorang penutur.
Oleh karena itu, pemerolehan bahasa ini lazim juga dibagi menjadi pemerolehan
1. Hipotesis Nurani
Hipotesis nurani dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan
bahasa kanak – kanak (Lenneberg, 1967, Chomsky, 1970). Diantara pengamatan itu adalah :
− Semua kanak – kanak yang normak akan memperoleh bahasa ibunya asal saja ”diperkenalkan”
pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).
− Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan keceerdasan kanak – kanak. Artinya, baik
anak yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.
− Kalimat – kalimat yang diajarkan kanak – kanak seringkali tidak lengkap, dan jumlahnya
sedikit.
− Bahasa tidak dapat diajarkan kepada mekhluk lain, hanya manusia yang dapat berbahasa.
− Proses pemerolehan bahasa oleh kanak – kanak di mana pun sesuai dengan jadwal yang erat
kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak – kanak.
− Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai kanak –
kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga atau empat tahun saja.
Berdasarkan pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia berbahasa dengan
mudah dan cepat. Mengenai hipotesis nurani bahasa, Chomsky dan Miller (1957) mengatakan
adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak – kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu
namanya language acquisition device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan seorang
kanak – kanak memperoleh bahasa ibunya.
2. Hipotesis Tabularasa
Tabularas secara harfiah berarti ”kertas kosong”, dalam arti belum diisi apa – apa. Lalu,
hipotesis tabularas ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas
dengan pada mulanya dikemukakan oleh Jhon Locke seorang tokom empiris yang sangat
terkenal, kemudian dianut dan disebarluskan oleh Jhon Watson seorang tokoh terkemuka aliran
behaviorisme dalam psikologi.
Dalam hal ini, menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia
yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa –
peristiwa linguiatik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini,
behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguitik terdiri hanya dari rangkaian hubungan –
hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran stimulus – respons.
3. Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Dalam kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenalkan oleh Piaget telah
digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses – proses pemerolehan bahasa kanak – kanak.
Piaget sendiri sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan satu teori mengenai
pemerolehan bahasa karena beliau menganggap bahasa merupakan satu bagian dari
perkembangan kognitif (intelek)secara umum.
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan
struktur – struktur kognitif deriamor. Struktur – struktur ini diperoleh kanak – kanak melalui
interaksi dengan benda – benda atau orang – orang di sekitarnya.
D. Pembelajaran Bahasa
Digunakannya istilah pembelajaran bahasa karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat
dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan
penguasaan bahasa pertama atau bahasa ibu yang diperoleh secara alamiah, secara tidak sadar
yang dapat diperoleh, baik secara formal dalam pendidikan formal, maupun informal dalam
lingkungan kehidupan.
a. Dua tipe pembelajaran bahasa
Ellis (1986:215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahsa yaitu:
− Tipe Naturalistik, bersifat alamiah tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung
didalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual
tipe naturalistik banyak dijumpai.seorang kanak – kanak yang didalam lingkungan keluarganya
menggunakan B1, misalnya bahasa X, begitu keluar dari rumah berjumpa dengan teman – teman
lain yang berbahasa lain, misalnya bahasa Y, akan mencoba dan berusaha menggunakan bahsaa
Y.
− Tipe formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat – alat bantu belajar yang
sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang diperoleh secara formal dalam kelas ini jauh lebih
baik daripada hasil secara naturalistik.
b. Hipotesis – hipotesis pembelajaran bahasa
Hasil yang telah dicapai oleh para pakar pembelajaran bahasa sampai saat ini belum
secara mantap bisa disebut sebagai teori karena belum teruji dengan mantap. Oleh karena itu,
masih lebih umum disebut sebagai suatu hipotesis. Diantara hipotesis – hipotesia yang
diketengahkan adalah :