• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADSORBSI LIMBAH ZAT WARNA TEKSTIL JENIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ADSORBSI LIMBAH ZAT WARNA TEKSTIL JENIS"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan industri tekstil yang maju dan berkembang pesat, tentu saja akan diikuti

dengan bertambahnya limbah-limbah yang dihasilkan baik volume maupun jenisnya. Limbah

hasil industri yang sengaja dibuang ke alam menyebabkan alam semakin lama semakin

tercemar. Limbah industri banyak jenisnya tergantung pada bahan baku yang digunakan dalam

proses industri. Secara penampakan fisik air limbah industri tekstil terlihat keruh, berwarna,

panas dan berbusa. Kualitas limbah cair sangat tergantung pada jenis proses yang dilakukan.

Pada umumnya limbah cair bersifat basa dan mengandung bermacam-macam senyawa baik

organik maupun anorganik. Limbah cair tersebut terutama berasal dari cairan bekas proses

pewarnaan dan proses pencelupan serta proses-proses lain yang berhubungan dengan proses

tekstil industri. Cairan bekas pencelupan tersebut mengandung zat warna dan zat pengikat

warna. Dengan adanya bermacam-macam limbah maka diperlukan pemecahan tersendiri untuk

penurunan kadar limbah dalam lingkungan.

Pengolahan limbah zat warna menjadi sulit karena struktur aromatik pada zat warna

yang sulit dibiodegradasi, khususnya zat warna reaktif karena terbentuknya ikatan kovalen

yang kuat antara atom C dari zat warna dengan atom O, N atau S dari gugus hidroksi, amina

atau thiol dari polimer (Christie, 2001 : 135). Zat warna reaktif adalah zat warna yang dapat

mencelup serat selulosa dalam kondisi tertentu dan membentuk reaksi kovalen dengan serat

(Isminingsih, 1982). Pada tahun 1956 telah diperkenalkan zat warna reaktif yang pertama dan

dipasarkan dengan nama Procion, suatu zat warna golongan diklorotriazina, yang dapat

mencelup serat selulosa, zat warna reaktif juga mencelup serat-serat wol, sutera dan poliamida

buatan. Salah satu zat warna reaktif golongan diklorotriazina yang dipakai dalam industri

tekstil adalah Procion Red MX 8B.

Munculnya limbah zat warna reaktif yang berasal dari proses industri tekstil

menyebabkan lingkungan sekitar semakin tercemar sehingga perlu pengolahan lebih lanjut.

Beberapa macam perlakuan yang dilakukan untuk pengolahan air limbah yaitu proses filtrasi,

flokulasi, penghilangan warna (decoloring), dan adsorpsi. Proses adsorpsi dilakukan untuk

proses penyerapan senyawa yang mengganggu dalam analisis, pada umumnya digunakan

untuk proses pengolahan limbah. Beberapa penelitian tentang pengolahan limbah zat warna

(2)

X5B menggunakan tanah alofan teraktivasi NaOH. Aryunani (2003) telah meneliti adsorbsi zat

warna tekstil Remazol Yellow FG pada limbah batik menggunakan enceng gondok teraktivasi

NaOH. Joko (2003) telah meneliti pemanfaatan limbah genteng sebagai adsorben dengan

aktivator NaOH pada limbah zat warna tekstil jenis Celedon Red X5B. Rochanah (2003) telah

meneliti adsorbsi zat warna Procion Red MX 8B pada limbah tekstil oleh batang jagung.

Salah satu alternatif adsorben yang dikembangkan aplikasinya adalah kitosan. Kitosan

bisa diperoleh melalui deasetilasi kitin. Salah satu sumber kitin adalah cangkang bekicot.

Bekicot merupakan hewan lunak (mollusca) dari kelas gastropoda. Bekicot menurut jenisnya

dapat dibedakan menjadi empat yakni; Achatina variegata, Achatina fullica, Helix pomatia

dan Helix aspersa sedangkan dua jenis terakhir tidak ditemukan di Indonesia. Bekicot di

Indonesia telah dibudidayakan sebagai sumber protein dan menjadi komoditas ekspor. Ekspor

bekicot pada tahun 1983 baru mencapai 245.359 kg, sedangkan pada tahun 1987 ekspor

bekicot naik sekitar tujuh kali lipat menjadi 1.490.296 kg. Besarnya pertumbuhan perdagangan

ini menyebabkan timbulnya limbah cangkang bekicot dalam jumlah yang cukup besar. Limbah

cangkang bekicot banyak ditemukan di desa Minggiran kecamatan Papar kabupaten Kediri

sebagai daerah sentra eksport daging bekicot. Selama ini pemanfaatan cangkang bekicot hanya

digunakan sebagai campuran makanan ternak. Cangkang bekicot mengandung senyawa kitin.

Kitin dalam cangkang berikatan dengan protein, lipid, garam-garam anorganik seperti kalsium

karbonat serta pigmen-pigmen. Agar diperoleh produk yang bernilai ekonomis sekaligus dapat

mengatasi penumpukan limbah cangkang bekicot maka harus dilakukan isolasi kitin yang

terdapat pada cangkang bekicot.

Kitin merupakan senyawa karbohidrat yang termasuk dalam polisakarida, tersusun atas

monomer-monomer asetil glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan 1,4 beta

membentuk suatu unit polimer linier yaitu beta-(1,4)-N-asetil-glukosamin (Pujiastuti, 2001:

3). Kitin merupakan bahan organik utama terdapat pada kelompok hewan seperti, crustaceae,

insekta, mollusca dan arthropoda. Kitin diperoleh dengan melakukan sejumlah proses

pemurnian. Proses isolasi kitin terdiri dari dua tahap utama yaitu deproteinasi dan

demineralisasi yang bertujuan menghilangkan protein dan mineral yang terkandung dalam

cangkang.

Kitin hasil deproteinasi dan demineralisasi dapat diubah menjadi kitosan melalui proses

deasetilasi. Tujuan proses deasetilasi adalah untuk menghilangkan gugus asetil dari kitin.

Kitosan (2-asetamida-deoksi--D-glukosa) memiliki gugus amina bebas yang menjadikan

(3)

pengolahan limbah dan obat-obatan hingga pengolahan makanan dan bioteknologi (Savant,

dan Torres, 2000). Biopolimer yang alami dan tidak beracun ini sekarang secara luas

diproduksi secara komersial dari limbah kulit udang dan kepiting (No, Lee, dan Mayers, 2000).

Beberapa penelitian tentang kitosan antara lain, Salami (1998) telah mempelajari aplikasi

kitosan dari bahan kulit udang (phenaus monodon) sebagai bahan koagulasi limbah cair

industri tekstil, Majid, Narsito dan Nuryono (2001) menggunakan kitosan dari bahan kulit

udang (phenaus monodon) sebagai adsorben logam. Kusumaningsih (2004) telah berhasil

mengisolasi kitin cangkang bekicot dengan rendemen sebesar 22,04% dan telah melakukan

deasetilasi kitin menjadi kitosan. Arief (2003) telah meneliti pembuatan kitosan dari kitin

cangkang bekicot dan pemanfaatannya sebagai adsorben logam nikel.

Salah satu turunan kitosan yang telah diteliti adalah kitosan-sulfat. Kitosan-sulfat

merupakan salah satu dari modifikasi atau turunan kitosan yang dibuat dengan cara

menempelkan anion sulfat (SO42-) pada gugus aktif kitosan (NH2). Konversi kitosan menjadi

kitosan-sulfat pada dasarnya adalah pengikatan elektrostatik anion sulfat pada gugus NH2 pada

kitosan menjadi NH3+SO42-. Ion sulfat merupakan donor elektron kuat sehingga dapat

memprotonasi NH2 dari kitosan dan membentuk ikatan NH3+ - SO42-. Hal ini dapat menambah

kereaktifan gugus aktif pada kitosan sehingga dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi dari

kitosan (Mahatmanti, 2001).

Mahatmanti (2001) menggunakan kitosan dan kitosan-sulfat dari cangkang udang

windu (Phenaus monodon) sebagai adsorben ion logam seng(II) dan timbal(II) sementara

Darjito (2001) menggunakan kitosan-sulfat sebagai adsorben logam kobalt(II) dan

tembaga(II). Dalam penelitian Shofiyani dkk (2001) dilaporkan bahwa modifikasi kitosan

menjadi kitosan-sulfat mampu meningkatkan kapasitas maksimum dan laju adsorpsi ion

Cr(IV).

Pada penelitian sebelumnya, Rochanah (2003) telah meneliti adsorbsi zat warna Procion

Red MX 8B pada limbah tekstil oleh batang jagung, dengan pertimbangan bahwa zat warna

tekstil mengandung gugus yang dapat bereaksi dengan gugus hidroksil dari selulosa sehingga

memungkinkan zat warna tersebut dapat terikat pada bubuk batang jagung. Pada penelitian ini

dipilih kitosan sebagai adsorben dengan pertimbangan karena kitosan selain memiliki gugus

hidroksi juga memiliki gugus amino yang menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas yang

tinggi untuk berikatan dengan zat warna Procion Red MX 8B. Sedangkan modifikasi kitosan

(4)

Pada penelitian ini akan meneliti pemanfaatan kitosan dan kitosan-sulfat untuk adsorben

limbah zat warna industri tekstil, khususnya zat warna reaktif jenis Procion Red MX 8B yang

banyak ditemukan di daerah Surakarta dan sekitarnya.

B. Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Kitin adalah biopolimer yang melimpah kedua di alam setelah selulosa. Kitin terdapat

pada jamur, cangkang anthropoda, crustaceae dan mollusca. Cangkang bekicot banyak

ditemukan di desa Minggiran kecamatan Papar kabupaten Kediri.Isolasi kitin dapat dilakukan

dengan metode No. Kitin dapat diubah menjadi kitosan dengan menghilangkan gugus

asetilnya. Kitosan-sulfat dibuat dengan penempelan anion sulfat (SO42-) yang berasal dari

ammonium sufat pada gugus aktif kitosan (NH2). Kitosan yang dihasilkan dari isolasi kitin

diketahui dengan melakukan karakterisasi yang meliputi kadar abu, kadar air, derajat

deasetilasi, berat molekul polimer yang terbentuk, dan analisis gugus fungsi kitosan.

Karakterisasi kitosan-sulfat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, dan penentuan

jumlah ion sulfat yang menempel, dan analisis gugus fungsi pada kitosan-sulfat.

Kitosan memiliki kemampuan untuk menyerap zat warna. Penyerapan zat warna

tersebut akan meningkat dengan mengubah kitosan menjadi kitosan-sulfat. Kemampuan

adsorpsi kitosan dan kitosan-sulfat terhadap zat warna Procion Red MX 8B dapat diketahui

dengan melakukan variasi pH larutan zat warna. Waktu kesetimbangan adsorpsi kitosan dan

kitosan sulfat terhadap zat warna Procion Red MX 8B dapat diketahui dengan melakukan

variasi waktu kontak, sedangkan isoterm adsorpsi yang terjadi dapat diketahui dengan

menvariasi konsentrasi zat warna Procion Red MX 8B. Desorpsi kitosan dan kitosan-sulfat

dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan kitosan dan kitosan sulfat untuk

melepaskan kembali limbah zat warna Procion Red MX 8B yang sudah diserap.

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disebutkan diatas maka batasan masalah

dalam penelitian ini adalah :

a. Sumber kitin berasal dari limbah cangkang bekicot dari Kediri, Jawa Timur.

b. Kitosan diubah menjadi kitosan sulfat dengan penempelan ion sulfat dari larutan

amonium sulfat 0,1 M.

c. Variasi pH larutan Procion Red MX 8B meliputi pH 1,5; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; dan

(5)

d. Variasi waktu kontak meliputi 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit.

e. Variasi konsentrasi zat warna meliputi: 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, dan 50 ppm pada pH

dan waktu kontak optimum.

f. Adsorpsi - desorpsi kitosan dan kitosan sulfat terhadap limbah zat warna Procion Red

MX 8B dilakukan pada kondisi optimum.

3. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah yang telah disebutkan diatas maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah :

a. Apakah kitosan setelah diubah menjadi kitosan sulfat mampu meningkatkan kapasitas

adsorpsi terhadap zat warna Procion Red MX 8B?

b. Pada kondisi optimum berapa kitosan dan kitosan-sulfat mampu menyerap zat warna

Procion Red MX 8B?

c. Apakah jenis isoterm adsorpsi Procion Red MX 8B oleh kitosan dan kitosan sulfat pada

kondisi optimum?

d. Apakah adsorpsi larutan Procion Red MX 8B dan limbah zat warna oleh kitosan dan

kitosan-sulfat bersifat dapat dilepas kembali atau tidak dapat dilepas kembali ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui apakah kitosan setelah diubah menjadi kitosan sulfat mampu memberikan

peningkatan kapasitas adsorpsi terhadap limbah zat warna Procion Red MX 8B.

2. Mengetahui kondisi optimum adsorpsi larutan zat warna Procion Red MX 8B oleh

kitosan dan kitosan-sulfat.

3. Mengetahui jenis isoterm adsorpsi yang terjadi pada proses adsorpsi.

4. Mengetahui sifat adsorpsi Procion Red MX 8B oleh kitosan dan kitosan sulfat.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Meningkatkan pemanfaatan limbah cangkang bekicot.

2. Memberikan alternatif cara pengolahan limbah zat cair khususnya yang mengandung

zat warna reaktif.

(6)

4. Memberikan informasi tentang karakteristik kitosan dan kitosan-sulfat dari cangkang

(7)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Bekicot

Bekicot merupakan golongan hewan lunak (mollusca) yang termasuk dalam kelas

gastropoda. Badannya lunak dan dilindungi oleh cangkang yang keras. Jenis hewan ini

tersebar di laut, air tawar dan daratan yang lembab.

Bekicot berhabitat di tempat-tempat yang lembab terutama di sekitar tumbuh-tumbuhan

sebagai tempat berlindung pada siang hari. Di beberapa wilayah di Eropa, Asia dan Afrika,

bekicot dijadikan sebagai makanan, yang dikenal sebagai escargot di Perancis dan caracois di

Portugal. Spesies bekicot yang banyak terdapat di Eropa adalah Helix pomatia yang disebut

Burgundy snail dan Helix aspersa yang disebut European brown garden snail. Spesies yang

banyak tersebar di Afrika dan Asia, khususnya Indonesia adalah Achatina fullica. Klasifikasi

bekicot sebagai berikut:

- Divisio : Mollusca

- Kelas : Gastropoda

- Ordo : Pulmonata

- Familia : Achatinidae

- Genus : Achatina

- Spesies : Achatina Fullica

Bekicot banyak dimanfaatkan untuk makanan manusia sebagai sumber protein (dikenal

sebagai escargot ) di Eropa, Asia dan Afrika karena mengandung banyak daging dan

mengandung banyak asam amino esensial. Bekicot juga sudah menjadi komoditas ekspor.

Ekspor bekicot pada tahun 1983 baru mencapai 245.359 kg, pada tahun1987 ekspor bekicot

naik sekitar tujuh kali lipat menjadi 1.490.296 kg (Santoso, 1989: 12-13). Besarnya manfaat

dan pertumbuhan perdagangan ini menyebabkan timbulnya limbah cangkang bekicot dalam

jumlah yang cukup besar. Limbah cangkang bekicot banyak ditemukan kabupaten Kediri.

Selain dapat dimanfaatkan untuk makanan tambahan bagi ternak seperti itik dan ayam, bekicot

juga banyak dipakai untuk obat tradisional. Daging dan lendirnya mujarab untuk pengobatan

abortus, sakit saat menstruasi, gatal-gatal, jantung, sakit gigi, dan radang selaput mata.

(8)

mengobati kekejangan, jantung berdebar, insomania, keputihan dan leher bengkak (Prihatman

K., 2000).

Peningkatan ekspor dan juga banyaknya industri pengolahan bekicot menyebabkan

banyaknya limbah cangkang bekicot yang dihasilkan. Selama ini limbah tersebut belum

dimanfaatkan, biasanya hanya dibuang begitu saja atau dimanfaatkan sebagai campuran

makanan ternak.

2. Kitin

Kitin adalah senyawa karbohidrat yang termasuk dalam polisakarida, tersusun atas

monomer-monomer asetil glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan 1,4 beta

membentuk suatu unit polimer linier yaitu beta-(1,4)-2-asetamido-2-deoksi-D-glukosa atau

beta-(1,4)-N-asetil glukosamin. Analisis dengan sinar x mengindikasikan bahwa struktur kitin

mirip dengan selulosa. Perbedaan kitin dan selulosa terletak pada adanya gugus 2-asetil amino

pada unit glukosa (Pujiastuti, 2001). Analisis dengan Spektroskopi Infra Merah menunjukkan

adanya serapan pada 1671 cm-1 yang merupakan serapan dari gugus amina terasetilasi

(Saraswathy, Pal, Rose and Sastry, 2001). Struktur selulosa dan kitin adalah sebagai berikut:

(9)

Struktur kitin tersusun atas 2000-3000 satuan monomer N-asetil D-glukosamin yang

saling berikatan melalui 1,4-glikosidik. Satu diantara enam monosakarida yang menyusun

rantai kitin adalah glukosamin (Suhardi, 1993: 15).

Kitin merupakan bahan organik utama terdapat pada kelompok hewan seperti,

crustaceae, insekta, mollusca dan arthropoda. Dalam cangkang udang yang termasuk

kelompok crustaceae, kitin berikatan dengan protein, garam-garam anorganik seperti kalsium

karbonat dan lipid termasuk pigmen-pigmen. Stephen (1995: 454) menyebutkan kulit kepiting

terdapat 60% kitin, sedangkan dalam lidah, rahang ataupun contoh yang lainnya dari kelas

gastropoda terdapat 20% kandungan kitin. Kitin juga diketahui terdapat pada kulit keong,

kepiting, kerang dan escargot (Stephen, 1995: 454) yaitu suatu masakan dari bahan bekicot.

Bahan-bahan berkitin terutama berada di bagian ektodermal dalam binatang multiseluler dan

membentuk eksoskeleton yang spesifik dari kebanyakan binatang tidak bertulang belakang.

Tidak ada bukti adanya hubungan antara proporsi kitin dengan derajat kalsifikasi, kekerasan

atau fleksibilitas bahan (Suhardi, 1993: 15). Kitin diperoleh dengan melakukan sejumlah

proses pemurnian. Proses isolasi kitin terdiri dari dua tahap utama, yaitu deproteinasi dan

demineralisasi. Deproteinasi betujuan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada

cangkang. Tahap ini dilakukan dengan menambahkan NaOH pada konsentrasi rendah

sehingga terbentuk Na-proteanat yang larut dalam air. Tahap demineralisasi dilakukan untuk

memurnikan kitin dari mineral-mineral yang terkandung dalam cangkang. Tahap ini dilakukan

dengan menambahkan HCl encer. Menurut Beaulieu (2005) protein dihilangkan dengan

menambahkan NaOH (1-10%) pada suhu (85-100ºC), sedangkan demineralisasi dilakukan

dengan menambahkan HCl (1-10%) pada suhu kamar.

Kitin merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui dan banyak dipakai untuk

pengolahan limbah, kosmetik dan obat-obatan. Kitin tidak beracun, dapat dibiodegradasi,

tidak larut dalam air dan alkali, larut dalam asam mineral kuat dan asam formiat anhidrid. Kitin

dapat membentuk kompleks dengan ion logam transisi dan dapat menyerap zat warna terutama

dengan mekanisme pertukaran ion. Kitin juga dapat dimanfaatkan untuk agen chelat yang

banyak dipakai untuk pengolahan air minum dengan memisahkan senyawa organik dan logam

berat (Lee, V.R., 2002).

Kitin memiliki gugus hidroksil dan amina primer yang reaktif. Saat pemanasan, kitin

cenderung untuk terdekomposisi daripada meleleh sehingga polimer ini tidak memiliki titik

leleh. Kitin berbentuk kristal, mudah terdegradasi secara biologis, tidak larut dalam air, larutan

(10)

larutan asam-asam pekat seperti HCl, H2SO4, HNO3 dan HCOOH anhidrat. (Bastaman, 1989

dalam Darjito 2001).

3. Kitosan

Kitosan adalah kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya melalui proses deasetilasi.

Proses deasetilasi kitin diperoleh kitosan yang memenuhi syarat bila waktu yang diperlukan

selama 90-120 menit, dimana pada waktu 90 menit sampai dengan 120 menit diperoleh kitosan

dengan kondisi setengah gel sampai dengan bentuk gel dalam larutan air (Nasution dan

Citorekso, 1999). Kitosan terbentuk saat kitin ditambahkan NaOH (>40%) pada suhu tinggi

(90-120ºC) (Beaulieu, 2005). Kitosan merupakan suatu senyawa polimer dari glukosamina

pada ikatan beta-1,4 atau polimer dari 2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Kitosan adalah kitin yang

terdeasetilasi sebanyak mungkin, tetapi tidak cukup sempurna untuk dinamakan poli

glukosamin (Bastaman 1989 dalam Darjito 2001). Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar

3.

Kebanyakan mutu kitosan komersil mengandung 75-95 % glukosamin dan 5-25 % unit

N-asetilglukosamin (Stephen, 1995: 442). Menurut Pujiastuti (2001), derajat deasetilasi kitin

terhadap kitosan biasanya berkisar antara 70-100% tergantung penggunaannya. Spesifikasi

kitosan untuk kualitas teknis mempunyai derajat deasetilasi sekitar 85%, untuk kualitas

makanan derajat deasetilasinya sekitar 90%, sedangkan untuk kitosan berkualitas farmasetis

derajat deasetilasinya sekitar 95% (Pujiastuti, 2001). Derajat deasetilasi menentukan muatan

Kitosan

(11)

gugus amino bebas dalam polisakarida serta digunakan dalam membedakan antara kitin dan

kitosan (Khan, Peh dan Hung, 2002). Semakin tinggi derajat deasetilasi maka kualitas kitosan

semakin baik.

Biopolimer yang alami dan tidak beracun ini sekarang secara luas diproduksi secara

komersial dari limbah kulit udang dan kepiting (No, Lee, dan Mayers, 2000). Penelitian kitosan

sebagai adsorben telah banyak dilakukan dan kesemuanya menunjukkan karakteristik sifat

pada : (1) kemampuannya yang cukup tinggi dalam mengikat ion logam, (2) kemungkinan

pengambilan kembali yang relatif mudah terhadap ion logam yang terikat pada kitosan dengan

menggunakan pelarut tertentu (Muzzarelli, 1997 dalam Darjito, 2001).

Kitosan bersifat hidrofil yang lebih tinggi dari pada kitin (Salami, 1998). Kitosan

memiliki gugus-gugus amino dan hidroksil yang terikat, adanya gugus-gugus tersebut

menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas yang tinggi. Ketika kitosan dilarutkan kedalam

campuran asam berair, proporsi dari amina primer pada molekul kitosan menjadi terprotonasi

dan memperoleh muatan positif, karena itu molekul kitosan yang terlarut adalah polikationik.

Kitosan tidak larut dalam pelarut alkali, karena pengaruh gugus amina (Kim, Cho and Lee,

2000).

Kitosan dengan sifat penukar ionnya dapat membentuk komplek dengan barbagai logam

transisi, hal ini melibatkan donasi pasangan elektron bebas dari nitrogen dan atau oksigen dari

gugus hidroksil kepada ion logam berat. Tingkat dari formasi dan stabilitas dari komplek

sangat tergantung pada konsentrasi ion logam berat yang bersaing, temperatur, pH larutan,

ukuran partikel, kristalitas dan derajat deasetilasi dari kitosan (Stephen, 1995: 446). Kitosan

dengan sifatnya yang polikationik juga dapat berikatan dengan zat warna. Hal ini dikarenakan

dalam keadaan terprotonasi, gugus amina pada kitosan dapat berikatan dengan gugus sulfonat

dari zat warna (Sakkayawong, et.al., 2005)

Kitosan dengan sifatnya yang non toksik, digunakan dalam berbagai bidang seperti

agrikultur, penjernihan dan pemurnian air dan minuman. Kitosan juga digunakan dalam bidang

farmasi, imobilisasi sel dan enzim, kosmetik (Stephen, 1995: 450-451). Pemanfaatan kitosan

untuk pemurnian air telah dilakukan selama lebih dari tiga puluh tahun. Dengan menyebarkan

kitosan ke permukaan air yang tercemar, zat-zat pencemar (minyak, logam berat dan

makromolekul lain) akan diserap oleh kitosan (Kusumawati, 2006).

4. Kitosan Sulfat

Kitosan sulfat merupakan salah satu dari modifikasi atau turunan kitosan yang dibuat

(12)

menjadi kitosan sulfat pada dasarnya adalah pengikatan elektrostatik anion sulfat pada gugus

NH2 pada kitosan menjadi NH3+SO42-. Ion sulfat merupakan donor elektron kuat sehingga

dapat memprotonasi NH2 dari kitosan dan membentuk ikatan NH3+ - SO42-. Hal ini dapat

menambah kereaktifan gugus aktif pada kitosan sehingga dapat meningkatkan kapasitas

adsorpsi dari kitosan (Mahatmanti, 2001).

Dengan terbentuknya kompleks amin -NH3+ - SO42- maka dimungkinkan terjadi

perubahan mekanisme adsorpsi dari mekanisme pembentukan kompleks menjadi pertukaran

ion. Kemungkinan reaksi yang terjadi dalam suasana asam adalah sebagai berikut :

R-NH2 + H+  R-NH3+ ………...(1)

R- NH3+ + (NH4)2SO4  R-NH3+SO42- + 2 NH4+……….(2)

(Mahatmanti, 2001)

Darjito (2001), Cahyaningrum (2001), dan Mahatmanti (2001) telah menggunakan

kitosan sulfat sebagai adsorben logam. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa

kapasitas adsorpsi kitosan sulfat terhadap ion logam lebih tinggi dibandingkan dengan kitosan.

Dari hasil penelitian tersebut juga dapat disimpulkan bahwa ion sulfat yang terimpregnasi akan

lebih stabil bila berasal dari larutan ammonium sulfat 0,1 M dan kapasitas adsorpsi kitosan

sulfat yang dihasilkan paling tinggi.

Karakterisasi kitosan sulfat dapat dilakukan dengan spektroskopi IR untuk analisa gugus

fungsi, penentuan derajat deasetilasi dan analisis turbidimetri untuk mengetahui banyaknya ion

sulfat yang dapat terikat pada kitosan (Mahatmanti, 2001).

5. Derajat Deasetilasi

Kitosan dibuat dengan melakukan deasetilasi pada kitin, sehingga istilah derajat

deasetilasi digunakan untuk mengkarakterisasi kitosan. Nilai derajat deasetilasi

menggambarkan proporsi unit monomer yang telah dihilangkan gugus asetilnya, dan

mengindikasikan proporsi gugus amina bebas pada kitosan. Derajat deasetilasi kitosan berkisar

70-100% tergantung pada metode pembuatannya. (Beaulieu, 2005).

Derajat deasetilasi tergantung pada metode pemurnian dan kondisi reaksi. Metode yang

dapat dipakai untuk penentuan derajat deasetilasi antara lain ninhydrin tes, titrasi potensiometri

linier, spektroskopi inframerah dekat, titrasi hydrogen bromida, spektroskopi NMR,

(13)

Pengukuran dengan spektroskopi IR menggunakan range frekuensi 4000 – 400 cm-1.

Penghitungan derajat deasetilasi (DD) kitosan menggunakan baseline yang dikemukakan

Baxter dengan persamaan sebagai berikut :

Baseline oleh Baxter et. al.

DD = 100-[(A1655/A3450) X 115]

Dengan menghitung (A1655) amida = Log 10 (DF2 / DE) dan

(A3450) hidroksil = Log 10 (AC / AB)

Dimana :

(A1655) amida = absorbansi pada 1655 cm –1 pada pita amida.

Diartikan sebagai muatan N-asetil.

(A3450) hidroksil = absorbansi pada 3450 cm –1 pada pita hidroksil.

Diartikan sebagai standar internal untuk mengkoreksi ketebalan film atau perbedaan

konsentrasi kitosan dalam bentuk bubuk.

DF2, DE = tinggi absolut pita absorbansi dari gugus fungsi pada masing-masing panjang

gelombangnya.

Pemilihan garis dasar metode base line dapat dilihat pada Gambar 3.

6. Zat Warna Procion Red MX 8B

Zat warna reaktif pertama kali diproduksi tahun 1956. Zat warna jenis ini pada

aplikasinya akan sulit dihilangkan karena adanya ikatan kovalen yang kuat antara atom karbon

dari zat warna dengan atom O, N, atau S dari gugus hidroksi, amino atau thiol dari polimer.

Zat warna reaktif mempunyai berat molekul yang relatif kecil. Keuntungan zat warna reaktif

adalah spektra absorpsinya runcing dan jelas, strukturnya relatif sederhana, dan warnanya lebih

terang (Hunger K, 2003).

(14)

Zat warna reaktif adalah suatu zat warna yang dapat mengadakan reaksi dengan serat,

sehingga zat warna tersebut merupakan bagian dari serat. Oleh karena itu hasil celupan zat

warna reaktif mempunyai ketahanan cuci yang sangat baik (Djufri, 1976). Zat warna reaktif

yang sering digunakan pada industri batik antara lain Procion, Cibracon, Drimaren, dan

Lavafix, yang dapat mengadakan reaksi substitusi dengan serat dan membentuk ikatan ester,

dan zat warna Remazol, Remalan, dan Primazin, yang dapat mengadakan reaksi adisi dengan

serat dan membentuk ikatan eter.

Menurut pemakaiannya zat warna reaktif dapat pula dibagi menjadi :

1. Pemakaian secara dingin, yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan tinggi,

misalnya Procion M dengan sistem dikloro triazin.

2. Pemakaian secara panas, yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan rendah,

misalnya Procion H, Cibacron dengan sistem reaktif monokhloro- triazin, Remazol dengan

sistem reaktif vinil sulfon.

Pada tahun 1940 telah mulai dipelajari sifat zat warna triazin atau yang mengandung

klorida sianurat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Klorida Sianurat.

Dengan senyawa diatas ada kemungkinan untuk mengganti gugusan klorida dengan satu,

dua, atau tiga senyawa yang mengandung gugus hidroksil atau amino yang bergabung pada

molekul zat warna (Isminingsih, 1982). Adapun struktur kimia zat warna ditunjukkan pada

Gambar 6.

(15)

Zat warna procion dibuat dari senyawa zat warna mengandung gugusan amina dalam

suatu kondensasi dengan klorida sianurat, dengan reaksi sebagai berikut :

Gambar 7. Reaksi Pembuatan Zat Warna Procion

Gugus-gugus reaktif merupakan bagian dari zat warna dan mudah lepas, sehingga bagian

zat yang berwarna mudah bereaksi dengan serat. Pada umumnya agar supaya reaksi dapat

berjalan dengan baik maka diperlukan penambahan alkali atau asam sehingga mencapai suatu

pH tertentu (Rasjid D., 1976).

Pada kondisi asam, kitosan dapat berikatan dengan zat warna. Menurut Sakkayawong et.

al. (2005), hal ini dikarenakan dibawah kondisi asam atom-atom hidrogen (H+) pada larutan

dapat memprotonasi gugus amina (-NH2) dari kitosan seperti ditunjukkan pada reaksi (1).

R′-NH2 + H+ R′-NH3+ (1)

Dalam larutan encer, zat warna akan terlarut dan gugus sulfonat pada zat warna Procion Red

MX 8B terdissosiasi dan berubah menjadi ion-ionnya. Reaksinya ditunjukkan pada reaksi (2).

DSO3Na DSO3- + Na+ (2)

Proses adsorpsi kemudian dihasilkan dari interaksi elektrostatik antara dua ion tersebut seperti

ditunjukkan pada reaksi (3).

R′-NH3+ + DSO3- R′-NH3+-O3SD (3)

Menurut Isminingsih (1982), zat warna reaktif Procion Red MX 8B dapat mewarnai serat

selulosa dalam kondisi asam dan membentuk ikatan hidrogen dengan selulosa. Kemungkinan

reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

(16)

Gambar 8. Reaksi antara Procion Red MX 8B dan Selulosa pada Kondisi Asam

Christie (2001) dan Sakkayawong et. al. (2005) menyebutkan bahwa pada proses

pewarnaan, gugus hidroksi dari selulosa (HO–selulosa) terdeprotonasi pada kondisi basa

menjadi ion selulosa (¯O–selulosa) yang kemudian berikatan kovalen dengan zat warna.

Disamping terjadi reaksi antara zat warna dan serat dengan membentuk ikatan primer kovalen

yang merupakan ikatan ester atau eter, molekul airpun dapat juga mengadakan reaksi hidrolisa

dengan molekul zat warna, dengan memberikan komponen zat warna yang tidak reaktif lagi

(17)

Gambar 9. Reaksi antara Zat Warna dan Selulosa pada Kondisi Basa (Christie, 2001)

Struktur kimia dari Procion Red MX 8B dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Struktur Procion Red MX 8B (Isminingsih, 1982)

(18)

Atom-atom di dalam suatu molekul tidak diam melainkan bervibrasi (bergetar). Ikatan

kimia yang menghubungkan dua atom dapat dimisalkan sebagai dua bola yang dihubungkan

oleh suatu pegas.

Bila radiasi infra merah dilewatkan melalui suatu cuplikan, maka molekul-molekulnya

dapat menyerap energi dan terjadilah transisi di antara tingkat vibrasi dasar (ground state) dan

tingkat tereksitasi (exited state).

Daerah dimana vibrasi terjadi dapat diperkirakan berdasarkan hukum Hooke sebagai

berikut:

dalam setiap adsorpsi, gugus fungsional untuk suatu molekul tampak pada daerah-daerah yang

agak spesifik, seperti misalnya ikatan C-C, C-N, dan CO biasanya terletak pada daerah

800-1300 cm-1 , sementara ikatan C=C, C=N, dan C=O biasanya terlatak pada daerah 1500-1900

cm-1. Beberapa harga kira-kira absorbansiinfra merah ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Harga kira-kira Absorbansi Infra Merah

No Ikatan Daerah absorbansi (cm-1)

Daerah antara 1400-4000 cm-1 pada spektra disebut sebagai daerah infra merah. Daerah

sebelah kiri 1400 cm-1 menunjukkan absorpsi oleh modus uluran yang berguna untuk

identifikasi gugus fungsional. Daerah spektra sebelah kanan 1400 cm-1 terjadi karena adanya

modus uluran dan tekukan sehingga gugus fungsional sulit diamati, disebut sebagai daerah

sidik jari (fingerprint). (Pudjaatmaka, 1986).

(19)

8. Spektroskopi UV-Vis

Pada spektrometer UV, sinar kontinyu dihasilkan oleh lampu awan muatan hidrogen atau

deuterium (D2), sedangkan sinar Visibel dihasilkan oleh lampu Wolfram. Panjang gelombang

cahaya UV-Vis jauh lebih pendek daripada panjang gelombang radiasi IR. Panjang gelombang

UV-Vis berada pada kisaran 180-800 nm.

Prinsip dasar spektroskopi UV-Vis adalah terjadinya transisi elektronik yang disebabkan

penyerapan sinar UV-Vis yang mampu mengeksitasi elektron dari orbital yang kosong.

Umumnya, transisi yang paling mungkin adalah transisi pada tingkat energi tertinggi (HOMO)

ke orbital molekul yang kosong pada tingkat terendah (LUMO). Pada sebagian besar molekul,

orbital molekul terisi pada tingkat energi terendah adalah orbital  yang berhubungan dengan

ikatan , sedangkan orbital  berada pada tingkat energi lebih tinggi. Orbital non ikatan (n)

yang mengandung elektron-elektron yang belum berpasangan berada pada tingkat energi yang

lebih tinggi lagi, sedangkan orbital-orbital anti ikatan yang kosong yaitu * dan * menempati

tingkat energi yang tertinggi (Pavia, et. al., 2001).

Absorpsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi

elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital dasar yang berenergi

tinggi. Transisi ini memerlukan 40-300 kkal/mol. Panjang gelombang UV-Vis bergantung

pada mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi

untuk promosi elektron akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul

yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih

panjang. Senyawa yang menyerap cahaya pada daerah tampak (yaitu senyawa yang berwarna)

mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan daripada senyawa yang menyerap pada

panjang gelombang UV yang lebih pendek.

Serapan dinyatakan dengan nilai intensitas absorbsi pada panjang gelombang maksimal.

Absortivitas molar diperoleh dari turunan hukum Lambert-Beer dengan persamaaan sebagai

berikut :

A =  .b. c

Dimana A = intensitas absorbsi

 = koefisien absortivitas molar

b = tebal lintasan

(20)

9.Adsorpsi

Adsorpsi adalah suatu peristiwa fisik yang terjadi pada permukaan suatu padatan.

Adsorpsi terjadi jika gaya tarik menarik antara zat terlarut dengan permukaan penyerap dapat

mengatasi gaya tarik menarik antara pelarut dengan permukaan penyerap (Oscik, 1982). Zat

atau molekul yang terserap ke permukaan disebut adsorbat sedangkan zat atau molekul yang

menyerap disebut adsorben (Sukardjo, 1985).

Jenis adsorpsi yang umum dikenal adalah adsorpsi kimia (kemisorpsi) dan adsorpsi

fisika (fisisorpsi).

a. Adsorpsi Kimia (Kemisorpsi)

Adsorpsi kimia terjadi karena adanya gaya-gaya kimia dan diikuti oleh reaksi kimia.

Pada adsorpsi kimia hanya satu lapisan gaya yang terjadi. Besarnya energi adsorpsi kimia

sekitar 100 kj/mol. Adsorpsi jenis ini menyebabkan terbentuknya ikatan secara kimia sehingga

diikuti dengan reaksi kimia, maka adsorpsi jenis ini akan menghasilkan produksi reaksi berupa

senyawa yang baru. Ikatan kimia yang terjadi pada kemisorpsi sangat kuat mengikat molekul

gas atau cairan dengan permukaan padatan sehingga sangat sulit untuk dilepaskan

kembali. Artinya pelepasan kembali molekul yang terikat di adsorben pada kemisorpsi sangat

kecil (Alberty, 1997).

b. Adsorpsi Fisika (Fisisorpsi)

Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya-gaya fisika. Pada jenis adsorpsi fisika ini,

terjadi beberapa lapisan gas. Besarnya energi adsorpsi fisika sekitar 10 kj/mol.

Molekul-molekul yang diadsorpsi secara fisika tidak terikat kuat pada permukaan, dan biasanya terjadi

proses balik yang cepat, sehingga mudah untuk diganti dengan molekul yang lain. Adsorpsi

fisika didasarkan pada gaya Van Der Waals, dan dapat terjadi pada permukaan yang polar dan

non polar. Adsorpsi juga mungkin terjadi dengan mekanisme pertukaran ion. Permukaan

padatan dapat mengadsorpsi ion-ion dari larutan dengan mekanisme pertukaran ion. Karena

itu ion pada gugus senyawa permukaan padatan adsorbennya dapat bertukar tempat dengan

ion-ion adsorbat. Mekanisme pertukaran ini merupakan penggabungan dari mekanisme

kemisorpsi dan fisisorpsi, karena adsorpsi jenis ini akan mengikat ion-ion yang diadsorpsi

dengan ikatan secara kimia, tetapi ikatan ini mudah dilepas kembali untuk dapat terjadinya

pertukaran ion (Atkin, 1990).

Isoterm adsorpsi adalah adsorpsi yang menggambarkan hubungan antara zat yang

teradsopsi oleh adsorben dengan tekanan atau konsentrasi pada keadaan kesetimbangan dan

temperatur tetap (Barrow, 1988; Alberty dan Daniel, 1983). Ada beberapa jenis isoterm

(21)

1. Isoterm Adsorpsi Langmuir

Isoterm adsorpsi langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap

bahwa hanya sebuah adsorpsi tunggal yang terjadi. Adsorpsi tersebut terlokalisasi,

artinya molekul-molekul zat hanya dapat diserap pada tempat-tempat tertentu dan

panas adsorpsi tidak tergantung pada permukaan yang tertutup oleh adsorben. Isoterm

adsorpsi langmuir digunakan untuk menggambarkan adsorpsi kimia (Alberty, 1997).

Persamaan isoterm adsorpsi langmuir yang merupakan jenis adsorpsi monolayer

dapat dijelaskan sebagai berikut :

dimana : m = massa yang teradsorpsi

b = kapasitas adsorpsi (mg/g)

p = konsentrasi akhir larutan (mg/L)

K = konstanta kesetimbangan adsorpsi

Dengan membuat plot antara 1/m terhadap 1/p maka harga konstanta K dan d dapat

dihitung dari slope dan intercept grafik.

2. Isoterm Adsorpsi Freundlich

Isoterm adsorpsi freundlich menggambarakan adsorpsi yang terjadi pada

beberapa lapis dan ikatannya tidak kuat.

Dengan persamaan Barrow (1988) Jika persamaan Barrow dilogaritmakan akan terbentuk persamaan :

log m = log k +

n

1

log C

dimana : m = berat adsorben (g)

C = konsentrasi sebelum teradsorpsi (mg/L)

K dan n adalah konstanta (Castellan, 1983)

Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi adalah (Pohan dan Tjiptahadi, 1987):

1). Karakteristik fisika dan kimia dari adsorben antara lain luas permukaan, ukuran pori dan

komposisi kimia.

2). Karakteristik kimia dan fisika dari adsorbat antara lain luas permukaan, polaritas molekul,

dan komposisi kimia.

(22)

4). Karakteristik fasa cair antara lain: pH dan temperatur.

5). Sistem waktu adsorpsi.

B. Kerangka Pemikiran

Kitin adalah bahan utama penyusun eksoskeleton invertebrata. Invertebrata yang banyak

mengandung kitin adalah berasal dari kelompok crustaceae, insekta, fungi, mollusca dan

arthropoda. Beberapa bahan yang sering dimanfaatkan sebagai sumber kitin adalah cangkang

udang dan cangkang kepiting. Bahan lain yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber kitin

adalah cangkang bekicot yang merupakan kelompok hewan lunak (mollusca).

Kitin yang berasal dari cangkang bekicot dapat diubah menjadi kitosan melalui proses

deasetilasi. Deasetilasi merupakan proses peghilangan gugus asetil dari kitin. Kitosan memiliki

gugus amina bebas dan hidroksil yang menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas yang

tinggi. Dengan adanya gugus amina bebas tersebut, kitosan dapat digunakan sebagai adsorben

zat warna.

Ion sulfat merupakan donor elektron kuat sehingga dapat memprotonasi gugus amina

dari kitosan membentuk ikatan NH3+ - SO42-. Kapasitas adsorpsi kitosan dapat ditingkatkan

dengan cara mengubah kitosan menjadi kitosan sulfat dengan penempelan ion sulfat dari

larutan amonium sulfat.

Adsorpsi zat warna Procion Red MX 8B oleh kitosan dan kitosan sulfat dipengaruhi oleh

kondisi proses adsorpsi, antara lain pH awal larutan dan waktu kontak. Proses adsorpsi zat

warna Procion Red MX 8B oleh kitosan dan kitosan sulfat dilakukan pada pH asam dan pH

basa karena pada pH asam atom-atom hidrogen (H+) pada larutan dapat memprotonasi gugus

amina (-NH2) dari kitosan dan kitosan sulfat. Pada kondisi asam, gugus reaktif kitosan sulfat

yang telah terprotonasi permanent akan lebih stabil sehingga hasil adsorpsi lebih maksimal.

Sedangkan pada pH basa, gugus hidroksil dari kitosan dan kitosan sulfat menyerang gugus

klorida dari zat warna dan berikatan kovalen dengan zat warna.

Adsorpsi zat warna Procion Red MX 8B oleh kitosan dan kitosan sulfat selain

dipengaruhi oleh pH awal larutan juga dipengaruhi oleh lamanya waktu kontak dan konsentrasi

larutan. Variasi pH dan waktu kontak dilakukan untuk mengetahui kondisi optimum adsorpsi,

sedangkan variasi konsentrasi dilakukan untuk mengetahui jenis isoterm adsorpsi. Desorpsi

kitosan dan kitosan sulfat dengan akuades dilakukan pada kondisi optimum dan dapat dipakai

(23)

Kemungkinan isoterm adsorpsi antara zat warna Procion Red MX 8B dengan kitosan dan

kitosan sufat adalah isoterm Langmuir karena dimungkinkan terjadi ikatan kimia antara zat

warna dengan gugus aktif pada kitosan dan kitosan sulfat.

C. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka dapat diajukan hipotesa sebagai

berikut:

1. Pengubahan kitosan menjadi kitosan-sulfat mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi

terhadap limbah zat warna Procion Red MX 8B.

2. pH optimum adsorpsi zat warna Procion Red MX 8B oleh kitosan dan kitosan sulfat

terjadi pada pH asam.

3. Isoterm adsorpsi Langmuir akan terjadi pada proses adsorpsi.

4. Interaksi kimia antara Procion Red MX 8B dengan kitosan dan kitosan-sulfat akan

Gambar

Gambar 1. Struktur SelulosaCH2OH
Gambar 6.
Gambar 7. Reaksi Pembuatan Zat Warna Procion
Gambar 8. Reaksi antara Procion Red MX 8B dan Selulosa pada Kondisi Asam
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Selain desain yang menarik, multimedia pembelajaran berbasis tutorial ini dilengkapai dengan fasilitas forum on-line yang memungkinkan mahasiswa untuk berinteraksi

Bagi orang lain, asbak-entah terbuat dari bahan apapun--- mungkin hanyalah sebuah tempat abu rokok biasa, tetapi bagi Ivan, asbak tulang ikan paus yang. ditemuinya di

Buatlah dalam notasi aljabar relasi dan query SQl dari skema normalisasi soal 4 diatas untuk mendapatkan informasi :.. Daftar Nilai (Nim,NamaMhs, Nilai) untuk dosen

Berisi tentang Pengertian Pengungsi, Jenis-jenis Pengungsi, Hak dan Kewajiban Pengungsi, Aspek Hak Asasi Manusia dalam Pengungsi, Relasi Hukum Internasional dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari iklim sosial keluarga terhadap orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan dan karir

CAI ( Computer Asisted Inquiry ) adalah pemanfaatan ICT untuk membantu  pengumpulan  informasi  dan  data  dari  berbagai  sumber  untuk  mendukung  penalaran 

[r]