• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Keputusan Terapi dan Masalah dala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Proses Keputusan Terapi dan Masalah dala"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1992

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar Isi :

2. Editorial

4. English Summary

5. Pendekatan Diagnostik Penyakit Reumatik – Harry Isbagio

10. Kriteria Diagnostik Penyakit Reumatik – Caecilia R. Padang, AR Nasution, Harry Isbagio

15. Prinsip Dasar Penatalaksanaan Gangguan Reumatik – Harry Isbagio

Karya Sriwidodo

18. Peranan Analisis Cairan Sendi dalam Diagnosis Penyakit Sendi –

HM Adnan

25. Strategi Pengobatan Medikamentosa Penyakit Reumatik – Harry Isbagio

32. Peranan Obat Antiinflamasi Non Steroid terhadap Nyeri dan Infla-masi pada Penyakit Reumatik – Harry Isbagio

36. Efek Samping Obat Antiinflamasi Non Steroid – AR Nasution

40. Sindrom Dermatitis-Artritis Gonoreal Diseminata – Djunaedi Hidajat, Farida Zubier, Adhi Djuanda

43. Perkembangan Penyakit Jantung Koroner pada Anak – Effendy Salim, JMCh Pelupessy

47. Aspek Psikologi Pasca Serangan Jantung – Ratna Dewi S., Iwan N. Boestan

52. Manula dan Olahraga – ditinjau dari Sistem Kardiovaskular –

Hadi Hartono, Iwan N. Boestan

57. Proses Keputusan Terapi dan Masalah dalam Pemakaian Obat –

Abraham Simatupang

(3)

Dengan makin meningkatnya harapan hidup manusia, penyakit-penyakit degeneratif akan bertambah penting peranannya dalam usaha mempertahankan kualitas hidup.

Salah satu penyakit yang sangat berpengaruh terhadap mobilitas manusia ialah penyakit sendi; penyakit ini, kendati dapat ditimbulkan oleh bermacam-macam penyebab, gejala dan keluhan yang diderita tidak banyak berbeda; selain itu kadang-kadang menimbulkan pula gejala/manifestasi ekstraartikuler berupa kelainan di organ-organ lain. Oleh karena itu, pendekatan diagnostik penyakit sendi tidak selalu mudah; riwayat penyakit, sendi (-sendi) yang terkena, perja-lanan penyakitnya harus diketahui dengan tepat, ditunjang dengan pemeriksaan tambahan yang tepat.

Hal-hal itulah yang dibahas oleh para pakar reumatologi dalam Cermin Dunia Kedokteran edisi ini; mulai dari pendekatan klinis dan laboratorium, sampai pada pemilihan obat-obat antiinflamasi yang tepat dengan selalu mempertimbangkan efek samping yang mungkin timbul.

Artikel lain yang juga penting untuk dibaca ialah mengenai Penyakit Jantung Koroner; tiga artikel yang berasal dari Ujungpandang dan Surabaya akan membahas hal tersebut, termasuk efek psikologik yang mungkin timbul.

Sebagai penutup adalah artikel mengenai pengambilan keputusan terapi dan masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat.

Selamat membaca.

(4)

1992

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Drg. I. Sadrach

Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808

Fax. 4893549, 4891502 NOMOR IJIN

151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT

Grup PT Kalbe Farma PENCETAK

PT Midas Surya Grafindo

– DR. B. Setiawan

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:

Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9.

Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.

Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.

Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran

P.O. Box 3105

Jakarta 10002

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

(5)

English Summary

PRINC IPLES O F MA NA G EMENT IN RHEUMA TIC DISEA SES

Ha rry Isb a g io

Rhe uma to lo g y Sub d ivisio n, De p a rtme nt o f Inte rna l Me dic ine , Fa c ulty o f Me dic ine , Unive rsity o f Ind o ne sia /C ip to Ma ng unkusumo G e ne ra l Ho sp ita l, Ja ka rta , Ind o -ne sia .

Altho ug h the re we re mo re tha n 100 d iffe re nt jo int d ise a se s, the g e ne ra l ma na g e me nt in a c ute p ha se is b a sic a lly simila r.

In e a rly sta g e s, the p rinc ip le s o f ma na g e me nt a re to o b ta in p a in re lie f, to p re se rve jo int func tio ns a nd to p re ve nt d isa b ili-tie s. Pa in re lie f c a n b e o b ta ine d thro ug h re st, sp linting , intra a rtc ula r inje rtc tio ns a nd o ra l me d i-c a tio ns; while p hysio the ra p y a nd / o r hyd ro the ra p y sho uld p re ve nt d isa b ilitie s.

Re fe rra l to the rhe uma to lo g ist sho uld b e c o nsid e re d whe n the d ise a se p e rsists fo r mo re tha n thre e mo nths, o r b e c o me c hro ni-c a lly d isa b ling .

C e rmin Dunia Ke d o kt. 1992; 78 :15- 7

b rw

SIDE EFFEC TS O F NO STERO IDA L A NTI INFLA MMA TO RY DRUG S

A R Na sutio n

Rhe uma to lo g y Sub d ivisio n, De p a rtme nt o f Inte rna l Me dic ine , Fa c ulty o f Me dic ine , Unive rsity o f Ind o ne sia /C ip to Ma ng unkusumo G e ne ra l Ho sp ffa l, Ja ka rta , Ind o -ne sia

The use o f no nste ro id a l a nti infla mma to ry d rug s b e c o me s inc re a sing ly mo re c o mmo n.

While the e ffic ie nc y o f d iffe -re nt d rug s is c o mp a ra b le ,the sid e e ffe c ts c o uld b e va ria b le . Tho se sid e e ffe c ts ma inly a ffe c t the g a stro inte stina l tra c ts, ha e mo -p o e tic syste m, urina ry tra c ts, skin a nd the live r.

Sinc e p a rtic ula rly the re is no a b so lute ly sa fe no nste ro id a l a nti infla mma to ry d rug s, it is imp o rta nt to se le c t the mo st a p p ro -pria te d rug s fo r e a c h pa tie nt, a nd to mo nito r c lo se ly the sig ns o f sid e e ffe c ts.

C e rmin Dunia Ke d o kt. 1992 ; 78 : 36-9

b rw

DEVELO PMENT O F C O RO NA RY HEA RT DISEA SE IN C HILDREN

Effe ndy Sa lim , J.M. C h. Pe lupe ssy

De p a rtme nt o f C hild He a lth, Fa c ulty o f Me d ic ine , Ha sa nud d in Unive rsity, Ujung Pa nd a ng , Ind o ne sia .

C o ro na ry he a rt d ise a se is a d ise a se d ue to the na rro wing o f the c o ro na ry a rte ry b y a the - ro sc le ro sis. The p a tho lo g ic a l c ha ng e s whic h le a d to a the -ro sc le -ro sis b e g in in infa nc y a nd p ro g re ss d uring c hild ho o d . The ma in risk fa c to rs le a d ing to a the ro sc le ro sis inc lud e hyp e r-lip id e mia , hyp e rte nsio n a nd c ig a re tte smo king . Athe ro sc le -ro sis is c ha ra c te rize d b y thic ke n-ing o f the intima . At p o stmo rte m e xa mina tio n, the e a rlie st ma c ro -sc o p ic le sio n is the p re se nc e o f the fa tty stre a k, whic h is a n a c -c umula tio n o f lip id - p re d o mina ntly c ho le ste ro l, b o th e xtra -c e llula riy in the intima a nd in-tra c e llula rly in the fo a m c e lls. This fa tty stre a k will d e ve lo p to a the ro ma to us p la q ue whic h c a n na rro w the c o ro na ry a rte ry. The ma jo r hyp o the sis p ro p o se d a s the p a tho g e ne sis o f a the ro sc le -ro sis a re the lip id infiltra tio n a nd the e nd o the lia l injury the o ry.

C e rmin Dunia Ke d o kt. 1992; 78:43-6

(6)

Artikel

Pe nde k a t a n Dia gnost ik

Pe nya k it Re um a t ik

Harry Isbagio

Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi yang seringkali memberikan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan agar di-dapatkan diagnosis yang tepat, sehinggā akhirnya penderita memperoleh penatalaksanaan yang adekuat.

Perlu diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat me-rupakan manifestasi artikuler dari berbagai penyakit dan se-baliknya beberapa penyakit reumatik mempunyai manifestasi ekstra-artikuler pada berbagai organ.

Sebagaimana halnya dengan penyakit lain maim dalam melakukan pendekatan diagnostik hams melalui tahap-tahap anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Pada makalah ini akan dibahas langkah-langkah pendekat-an diagnostik tersebut dengpendekat-an lebih menekpendekat-ankpendekat-an pada kelainpendekat-an sendinya.

TERMINOLOGI

Sebelum melangkah lebih lanjut maka sebaiknya terlebih dahulu mengenal berbagai terminologi yang sering digunakan dalam bidang penyakit reumatik. Hal ini diperlukan untuk ke-samaan pengertian agar kita tidak rancu dalam menggunakan-nya.

Berbagai istilah yang perlu diketahui ialah :

1. Artralgia : merupakan keluhan subyektif berupa rasa nyeri di sekitar sendi, pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan ke-lainan.

2. Artritis : kelainan sendi obyektif, berupa inflamasi sendi disertai tanda inflamasi yang komplit (tumor, rubor, kalor, dolor, gangguan fungsi).

3. Monoartritis : artritis yang hanya mengenai satu sendi saja. 4. Oligoartritis/pausi-artikuler : artritis yang menyerang 2 sampai 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Dalam hal ini sendi

interfalang distal = DIP, sendi interfalang proksimal = PIP, sendi metakarpofalangeal = MCP, sendi karpalis, sendi metatarsofa-langeal = MTP dan sendi tarsalis merupakan kelompok sendi kecil yang dihitung sebagai satu sendi walaupun yang terserang beberapa sendi. Contoh : bila yang diserang sendi PIP II, PIP III, PIP IV dan PIP V baik secara serentak atau berurutan maka dihitung hanya sebagai 1 sendi yang terserang.

5. Poliartritis : artritis yang menyerang lebih dari 4 sendi atau kelompok sendi kecil.

6. Sinovitis : inflamasi sinovia sendi yang klinis nyata. 7. Tenosinovitis : inflamasi sarung tendon.

8. Tendinitis : inflamasi tendon. 9. Bursitis: inflamasi bursa.

10. Entesopati : inflamasi atau kelainan dari entesis (tempat melekatnya ligamen, tendon, atau kapsul sendi ke periosteum tulang).

RIWAYAT PENYAKIT

Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan kronologis; ditanyakan pula faktor yang memper-berat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi keluhan penderita.

a. Umur

(7)

Pada tabel 1 dapat dilihat berbagai penyakit reumatik yang sering ditemukan pada berbagai kelompok umur.

Tabel 1. Frekuensi penyakit reumatik pads berbagai kelompok umur Usia

Artritis pads kolitis ulseratif Artritis septik

Gonokok

Stafilokok dan infeksi lainnya Artritis Gout

Lupus erimatosus sistemik Artritis reumatoid Polimiositis Skleroderma SLE akibat obat Penyakit Paget Osteoartritis Pfllimialgia reumatika

Penyakit deposit Kalsium pirofosfat Osteopenia

Mestastasis karsinoma atau mieloma multipel

Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin ber-beda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tabel 2 dapat dilihat perbedaan tersebut.

Tabel 2. Perbedaan Jenis kelamin pads penyakit reumatik

Artritis reumatoid

Lupus eritematosus sistemik Spondilitis ankilosis Osteoatrosis lutut & Langan

Pria < Wanita (1 : 3) Pria < Wanita Pria > Wanita Pria > Wanita Pria < Wanita Pria = Wanita Pria = Wanita Pria > Wanita Pria = Wanita Pria < Wanita

c. Nyeri sendi

Nyeri sendi merupakan keluhan utama penderita reumatik. Penderita sebaiknya diminta menjelaskan lokasi dari nyeri serta punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri tersebut merupakan penjalaran dari tempat lain. Nyeri tajam yang men-jalar ke tempat jauh merupakan keluhan karakteristik yang di-sebabkan oleh penekanan dari radiks saraf.

Penting untuk membedakan nyeri yang disebabkan per-ubahan mekanikal dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanik.

Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas.

Pada artritis reumatoid nyeri paling berat biasanya pada pagi hari, membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaik pada siang hari. Pada artritis gout nyeri yang terjadi biasanya berupa se-rangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan malam hari sebelumnya penderita tidak merasakan apa-apa, rasa nyeri ini biasanya self limiting dan sangat responsif dengan pengobatan.

Nyeri malam hari terutama bila dirasakan seperti suatu regangan merupakan nyeri akibat peninggian tekanan intra-artikuler akibat dari suatu nekrosis avaskuler atau kolaps tulang akibat artritis yang berat.

Nyeri yang menetap sepanjang hari (siang dan malam) pada tulang merupakan tanda dari proses keganasan.

d. Kaku sendi

Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakkan sendi (worn off). Keadaan ini biasa-nya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia atau bursa).

Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan maka cairan akan menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan (wears off).

Lama dan beratnya kaku sendi pagi hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku sendi pada artritis reumatoid lebih lama dari osteoartritis; kaku sendi pada artritis reumatoid berat lebih lama daripada artritis reumatoid ringan).

e. Bengkak sendi dan deformitas

Pasien sering mengalami bengkak sendi, perubahan wama, perubahan bentuk atau perubahan posisi dari struktur ekstremi-tas. Biasanya yang dimaksud pasien dengan deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau subluksasi.

f. Disabilitas dan handicap

Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau sistem tidak dapat berfungsi secara adekuat.

Handicap terjadi bila disabilitasmengganggu aktivitas seharihari, aktivitas sosial atau mengganggu pekerjaan/jabatan si penderita. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan handicap (seorang yang diamputasi kakinya di atas lutut mung-kin tidak akan mengalami kesukaran bila pekerjaan yang ber-sangkutan dapat dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya disabilitas ringan justru dapat mengakibatkan handicap.

g. Gejala sistemik

(8)

pasien mengeluh hal yang tidak spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia lanjut sering disertai gejala kekacauan mental.

h. Gangguan tidur dan depresi

Faktor yang beiperan dalam gangguan pola tidur antara lain : nyerikronik, terbentuknya fase akut reaktan, obat anti-inflamasi nonsteroid (indometasin). Pada artropati berat ter-utama pada coxae dan lutut akan berakibat gangguan aktifitas seksual yang akhirnya menimbulkan problem perkawinan dan sosial.

Perlu diperhatikan pula adanya gejala depresi terselubung seperti retardasi psikomotor, konstipasi, mudah menangis dan sebagainya.

PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan jasmani khusus pada sistem muskuloskeletal meliputi : Inspeksi pada saat diam/istirahat

Inspeksi pada saat gerak Palpasi

a. Sikap/postur badan

Perlu diperhatikan bagaimana cara penderita mengatur po-sisi dari bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan intraartikuler yang tinggi, oleh karena itu penderita akan berusaha menguranginyadengan mengatur posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal dengan bantal. Pada sendi bahu (glenohumeral) dengan cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan. Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka penderita akan merasa sangat kesakitan karena terjadi peningkatan tekanan intraartikuler. Ditemukannya postur badan yang membongkok ke depan disertai pergerakan vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas dari spondilitis ankilosis. b. Deformitas

Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu di-bedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi (misalnya disebabkan gangguan jaringan lunak) atau tidak dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau kerusakan sendi).

Berbagai dēformitas di lutut dapat terjadi antara lain genu varus, genu valgus, genu rekurvatum, subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian pula deformitas fleksi di siku.

Pada jari tangan antara lain boutonniere finger, swan neck finger, ulnar deviation, subluksasi sendi metakarpal dan per-gelangan tangan. Pada ibu jari tangan ditemukan unstable Z-shaped thumbs.

Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibujari kaki ke atas. Pada pergelangan kaki terjadi valgus ankle.

c. Perubahan kulit

Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik. Kelainan kulit yang sering ditemukan antara psoriasis dan eritema nodo

sum. Kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi periartikuler, yang sering pula merupakan tanda dari artritis septik atau artritis kristal.

d. Kenaikan suhu sekitar sendi

Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan akan dirasakan adanya kenaikan suhu di sekitar sendi yang mengalami inflamasi.

e. Bengkak sendi

Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang.

Cairan sendi yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut, misal-nya :

1) Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan medial dan kantong suprapatelar mengakibatkan pembengkakan di atas dan sekitar patela yang berbentuk seperti ladam kuda.

2) Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pada sisi posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamentum kola-teral bagian lakola-teral.

3) Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di alas otot pektoralis. 4) Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi pembengkak-an pada sisi pembengkak-anterior.

Bulge sign ditemukan pada keadaan efusi sendi dengan jumlah cairan yang sedikit dalam rongga yang terbatas. Misalnya pada efusi sendi lutut bila dilakukan pijatan pada cekungan medial maka cairan akan berpindah ke sisi lateral patela dan kemudian berpindah sendiri ke sisi medial.

Balloon sign ditemukan pada keadaan efusi dengan jumlah cairan yang banyak, bila dilakukan tekanan pada satu titik akan menyebabkan penggelembungan di tempat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi sendi.

Pembengkakan kapsul sendi merupakan tenth spesifik dari sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas dari kapsul sendi yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada pergerakan pasif.

f. Nyeri raba

Menentukan lokasi yang tepat dari nyeri raba merupakan hal yang penting untuk menentukan penyebab dari keluhan pasien.

Nyeri raba kapsuler/artikuler terbatas pada daerah sendi merupakan tanda dari artropati atau penyakit kapsuler.

Nyeri raba periartikuler agak jauh dari bates daerah sendi merupakan tanda dari bursitis atau entesopati.

g. Pergerakan

Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keada-an pasif dkeada-an aktif dkeada-an dibkeada-andingkkeada-an kiri dkeada-an kkeada-ankeada-an.

(9)

gerak-an aktif maka kemungkingerak-an ada ggerak-anggugerak-an pula pada otot atau tendon.

Nyeri gerak merupakan tanda diagnostik yang bermakna. Nyeri ringan hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain pada semua arah gerak, maka keadaan tersebut merupakan tanda khas untuk sinovitis. Stress pain terbatas pada satu arah saja merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari luar sendi (tenosi-novitis). Nyeri yang dirasakan sama kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi.

Resisted active movement merupakan suatu cara pemeriksa-an untuk menemukpemeriksa-an adpemeriksa-anya gpemeriksa-anggupemeriksa-an periartikuler. Pemeriksa-an tersebut dilakukPemeriksa-an dengPemeriksa-an cara pasien melawPemeriksa-an gerakPemeriksa-an yPemeriksa-ang dilakukan oleh tangan pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka hal tersebut berasal dari otot, tendOn atau insersi tendon, misalnya pada :

1) Tahanan pada aduksi sendi coxae yang mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tanda tendititis aduktor.

2) Tahanan pada abduksi glenohumeral yang mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas merupakan tanda ganggu-an otot supraspinatus dganggu-an lesi pada tendon.

3) Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri pada epikondilus lateralis merupakan tanda dari tennis elbow.

Sama halnya dengan di atas maka pada passive stress test, bila pasien mengikuti gerakan dari tangan pemeriksa akan timbul rasa nyeri sebagai akibat dari regangan ligamen atau tendon, misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain (passive stress dari otot abduktor policis longus dan ekstensor policis brevis menimbulkan rasa nyeri).

h. Krepitus

Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang gerakan dari struktur yang terserang.

Fine crepitus (krepitus halus) yang dapat didengar dengan menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang di sekitarnya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung tendon, bursa atau sinovia.

Coarse crepitus (krepitus kasar) dapat terdengar dari jauh tanpa bantuan stetoskop dan dapat diraba sepanjang tulang. Keadaan ini disebabkan kerusakan rawan sendi atau tulang. i. Bunyi lainnya

Ligamentous snaps merupakan suara tersendiri yang keras tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan hal yang biasa ter-dengar sekitar femur bagian atas sebagai clicking hips.

Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan tarikan pada sendi, biasanya pada sendi jari tangan, kcadaan ini disebabkan terbentuknya gelembung gas intraartikuler. Cracking tidak dapat diulang selama bebcrapa menit scbelum gas tersebut habis di-scrap.

Cloncking merupakan suara yang ditimbulkan oleh per-mukaan- yang tidak teratur (irregular), suara ini ditemukan

misalnya pada gesekan antara skapula dengan iga. j. Atrofi dan penurunan kekuatan otot

Atrofi otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Path sinovitis segera terjadi hambatan reflex spinal lokal terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada artropati berat dapat terjadi atrofi periartrikuler yang luas. Sedangkan pada jepitan saraf, gangguan tendon atau otot terjadi atrofi lokal.

Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini lebih penting dari besar otot.

k. Ketidak stabilan/goyah

Sendi yang tidak stabil/goyah dapat terjadi karena proses trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi. Pada artro-pati dapat terjadi sendi goyah sebagai akibat kerusakan rawan sendi atau inflamasi kapsul atau ruptur ligamen. Perlu di-bandingkan sendi yang goyah dengan sendi sisi lainnya. l. Gangguan fungsi

Fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat digunakan untuk menilai sendi coxae, lutut dan kaki. Kekuatan genggam dan ketepatan menjepit benda halus untuk menilai tangan.

Sedangkan aktivitas hidup sehari-hari (Activities of daily living = ADL) seperti menggosok gigi, buang air besar, memasak dan sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan kuestioner daripada diperiksa langsung.

Selain pemeriksaan khusus pada sendi maka perlu dilakukan pemeriksaan jasmani secara umum untuk mencari berbagai manifestasi luar sendi.

a. Nodul

Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umumnya ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan pada artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul reumatoid).

b. Perubahan kuku

Perubahan kuku sering ditēmukan pada penyakit reumatik, antara lain :

1. Jari penabuh (clubbing finger) berhubungan dengan osteo-artropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis fibrotik.

2. Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati psoriatik dan penyakit Reiter kronik.

3. Serpihan berdarah (splinter haemorrhages) pada vaskulitis pembuluh darah kecil.

c. Lesi membrana mukosa

Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau artropati reaktif) atau dengan gejala Oupus eritematosus sis-temik, vaskulitis, Sindrom Behcet). Perlu diperhatikan adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung dan telangiektasia. d. Gangguan mata

Gangguan mata meliputi :

(10)

2. Iritis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter kronik. 2) Iridosiklitis pada artritis juvenil kronik jenis pauciartikuler. 3) Konjungtivitis pada penyakit Reiter akut dan sindrom sika. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PROSEDUR DIAGNOSTIK

Dalam tabel 3 dapat dilihat pemeriksaan yang perlu di-lakukan pada penderita dengan gejala rematik generalisata.

Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium dan prosedur diagnostik pada penyakit muskuloskeletal

Beberapa hal yang perlu diperhatikan :

1) Laju endap darah meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga nilai sekitar 40–50 mm/jam masih dapat ditemukan pada orang usia lanjutyang masih sehat.

2) Kadar fosfatase asam perlu diperiksa pada penderita pria dengan keluhan nyeri pinggang (metastasis karsinoma prostat). 3) Kadar Ca, P dan Fosfatase Alkali untuk membedakan hiperparatiroid dengan artritis generalisata.

4) Elektroforesisprotein untukmembedakandengan mieloma multipel.

5) Kadar asam urat serum untuk mencari kemungkinan penya-kit gout, sedangkan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal. 6) Kadar T3 dan T4 untuk mencari kemungkinan kelainan tiroid.

7) ANA diperiksa pada penderita dengan artritis generalisata yang menyerang sendi kecil disertai nram kulit, gangguan hematologik dan ginjal.

8) Pada pemeriksaan Faktor Reumatoid penderita AR perlu diingat bahwa frekuensi RF (+) meningkat pula dengan ber-tambahnya usia.

9) Foto sinar X dapat membedakan kelainan sistemik atau lokal. Untuk mencegah pemeriksaan yang berlebihan, usaha-kan/pilihlah sendi yang paling perlu dilakukan pemeriksaan tersebut.

10) CT Scan terutama untuk kelainan di vertebra seperti fraktur, kelainan diskus, spinal stenosis dan sebagainya.

11) Scanning tulang (Bone Scan) dengan Technetium dikerja-kan bila ada kecurigaan keganasan tulang primer atau metastasis. 12) Artrografi, terutama pada lutut, dapat menentukan adanya robekan meniskus, nodul sinovia dan kista poplitea. Pada bahu dapat menentukan robekan rotator cuff.

13) Artroskopi, terutama di lutut, dapat melihat penyakit intra-artikuler, sekaligus dapat dilakukan biopsi.

14) Analisis cairan sendi sebagai pembantu diagnostik; dapat dibagi dalam 3 kelompok.

a) Nilai diagnostik yang pasti :

1. Pewarnaan Gram dan kultur bakteriologik memastikan septik artritis.

2. Kristal : menentukan pseudogout dan gout.

b) Nilai diagnostik kurang pasti : yaitu pemeriksaan jumlah dan jenis dari sel, yang dapat membedakan antara keadaan normal-inflamasi-septik, tetapi belum dapat menentukan jenis penyakit. c) Nilai diagnostik masih dipertanyakan seperti viskositas, test bekuan musin, kadar glukosa, faktor reumatoid dan kompleks imun dalam cairan sendi.

A. Selalu atau hampir selalu dikerjakan 1. Pemeriksaan Darah Tepi lengkap. 2. Endap Darah.

3. Kalsium, Fosfor, Fosfatase Alkali serum 4. Aram urat dan kreatinin serum

5. Protein return atau elektroforesis protein.

6. Foto sinar X Langan atau sendi lain, sesuai gambaran klinik. B. Dikerjakan bits diperlukan

1. Faktor reumatoid

2. ANA

3. Triiodotironin (T3) dan Tiroksin (T4) 4. Analisis cairan sendi

5. Prosedur diagnostik lainnya, seperti artrogram.

15) Biopsi sinovia dapat mendiagnosis tumor, keadaan seperti tumor (sinovitis vilonodular), tuberkulosis dan jamur.

16) Biopsi tulang dapat mendiagnosis stadium awal penyakit metabolik tulang. Selain itu pada orang usia lanjut dengan nyeri tulang generalisata dengan/tanpa kompresi fraktur vertebra, biopsi tulang dapat membedakan antara osteoporosis, osteoma-lasia dan hiperparatiroid.

KESIMPULAN

Dengan mengkombinasikan antara umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium dan peme-riksaan penunjang maka kita dapat mempersempit diagnosis.

Pemeriksaan penunjang yang berlebihan tidak diperlukan apabila dari riwayat penyakit, pemeriksaan penunjang dan pe-meriksaan laboratorium yang ditentukan sudah dapat dibuat diagnosis.

Dengan diagnosis yang tepat kita dapat merencanakan pengelolaan pasien dengan lebih baik.

KEPUSTAKAAN

1. Bossingham D, Dun N. Examination and treatment in rheumatic disease. Medicine International 1985; 8: 933.

2. Calkins E, Papademetriou T et al. Muskuloskeletal diseases in the elderly. In: The practice of the geriatrics. Calkins E et al. (eds.). Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo, Hongkong: WB. Saunders Co. 1989. p. 386.

3. Doherty M, Bax DE. Principle of the examination of a patient with rheumatic disease. Medicine International 1990; 3: 3085.

4. Mc. Carty DJ. Differential diagnosis of arthritis; Analysis of signs and symptoms. In: Arthritis and Allied Conditions. McCarty DJ et al (eds.). Tenth ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1985, p. 40.

5. Michet CJ, Hunder GG. Examination of the joints. In: Textbook of Rheuma-tology. Kelley WN et al. (eds.). Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB. Saunders Co. 1989, p. 425.

(11)

K rit e ria Dia gnost ik Pe nya k it Re um a t ik

Cecilia R Padang, A R Nasution, Harry Isbagio

Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Dalam menegakkan diagnosis penyakit Reumatik sering di-temui kesulitan karena tidak adanya panduan yang jclas. Untuk itu para pakar mencoba menyusun bcbcrapa kriteria untuk menyeragamkan diagnosis penyakit Reumatik dari berbagai pusat.

Pengertian kriteria sangat bervariasi. Beberapa istilah yang digunakan adalah diagnostic criteria, criteria for guidance in the diagnosis, dan preliminary criteria for the classification. Sesungguhnya kriteria dibuat agar dapat digunakan sebagai penuntun dalam mengklasifikasi gejala penyakit untuk me-mastikan diagnosis dan juga berperan dalam penemuan klinik tidak hanya untuk mendiagnosis penyakit secara individu. Yang hams diperhatikan adalah ketentuan-ketentuan dari berbagai kriteria berdasarkan teknik analisis yang memerlukan sejumlah variabel untuk mendapatkan suatu perbe0daan kelompok yang baik. Jadi tidak hanya untuk menegakkan diagnosis penderita tanpa memperhatikan jumlah informasi yang diperlukan.

Kriteria yang tercantum di bawah ini telah dikembangkan sesuai dengan beberapa tujuan. Satu kelainan/pcnyakit mem-punyai kriteria untuk :

1. Klasifikasi sekelompok penderita (misalnya dari survai populasi, seleksi untuk studi pengobatan, atau analisis hasil perbandingan penderita antar institusi).

2. Diagnosis penderita secara individu.

3. Perkiraan frekuensi penyakit dan/atau beratnya penyakit (survai epidemiologi) termasuk remisi.

4. Alat bantu dalam menentukan prognosis.

Kriteria yang dibuat bersifat empirik dan tidak bertujuan untuk memasukkan atau menyingkirkan suatu diagnosis yang sesuai pada penderita tertentu. Kriteria ini sangat berarti untuk menentukan standard dalam membandingkan kelompok pen-derita dari pusat yang berbeda termasuk penemuan klinik dan

percobaan pengobatan.

Kriteria yang ideal mutlak sensitif dan mutlak spesifik. Mutlak sensitif yaitu : semua penderita yang mempunyai ke-lainan ditemukan pemeriksaan fisik dan test laboratorium yang sama. Mutlak spesifik yaitu : kelainan yang ditemukan dan test yang positif tidak pernah ditemukan pada penyakit lain. Biasa-nya, makin sensitif suatu pcnemuan, makin kurang spesifisi-tasnya dan sebaliknya. Pada kritcria yang tclah ditcgakkan, dilakukan seleksi atas kemungkinan kombinasi antara sensitivi-tas dan spesifisisensitivi-tas. Diharapkan kriteria dapat dipakai untuk menambah ilmu pengetahuan dan berguna untuk klasifikasi penyakit serta sebagai konsep pada perubahan patofisiologi.

Di bawah ini dikemukakan beberapa kriteria diagnostik yang disusun olch American Rheumatism Association (ARA) yang telah direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu kedokter-an.

KRITERIA DIAGNOSTIK DAN KLASIFIKASI ARTRI-TIS REUMATOID

A. Kriteria Diagnostik (1958) 1) Kaku pagi hari

2) Nyeri pada pergerakan atau nyeri tekan paling sedikit pada satu sendi yang diamati oleh pemeriksa.

3) Pembengkakan yang disebabkan karena penebalan jaringan lunak atau cairan (bukan pembesaran tulang) paling sedikit pada satu sendi yang diamati oleh pemeriksa.

4) Pembengkakan pada paling sedikit satu sendi lain yang diamati oleh pemeriksa dan masa bebas gejala dari kedua sendi yang terkena tidak lebih dari tiga bulan.

(12)

inter-falangeal bilateral, metakarpointer-falangeal metatarsointer-falangeal bi-lateral, simetris mutlak tidak diperlukan. Sendi distal inter-falangeal tidak termasuk dalam kriteria.

6) Nodul subkutan (diamati oleh pemeriksa) pada tonjolan-tonjolan tulang, permukaan extensor atau pada daerah juxta-artikuler.

7) Pemeriksaan radiologi menunjukkan perubahan khas dari artritis reumatoid. Harus didapati dekalsifikasi pada atau dekat dengan sendi yang terkena, tidak hanya perubahan degenerasi. Perubahan-perubahan degenerasi tidak menyingkirkan adanya artritis reumatoid.

8) Test aglutinasi faktor reumatoid positif.

9) Bekuan mucin yang buruk pada cairan sinovia (dengan gumpalan seperti awan). Adanya inflamasi cairan sinovia di-sertai dengan 2000 sel darah putih/mm3 atau lebih tanpa kristal, dapat dimasukkan dalam kriteria ini.

10) Perubahan histologi yang khas pada sinovia dengan tiga atau lebih tanda berikut ini: sedikit hipertrofi villus, proliferasi sel permukaan sinovial, sering disertai palisading, sedikit infiltrasi sel inflamasi kronik (limfosit atau sel plasma) dengan kecenderungan terbentuknya lymphoid nodules; terlepasnya fibrin pada permukaan atau interstitial; nekrosis sentral.

11) Perubahan histologi yang khas pada nodul menunjukkan fokus granulomatous dengan nekrosis scntral, dikelilingi olch suatu palisade yang terdiri dari proliferasi mononuklear, fibrosis perifer dan infiltrasi sel inflamasi kronis.

B. Klasifikasi Artritis Reumatoid 1) Reumatoid Klasik

Harus terdapat 7 dari kriteria tersebut di atas.

Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala sendi harus ber-langsung terus menerus paling sedikit selama 6 minggu. Jika ditemukan salah satu tanda dari daftar yang tidak termasuk artritis reumatoid, maka penderita tidak dapat digolongkan dalam kelompok ini.

2) Reumatoid Definit

Harus terdapat 5 dari kriteria di atas.

Kriteria 1 sampai 5 tanda (Jan gejala sendi harus ber-langsung terus menerus paling sedikit 6 minggu.

3) Probable Rheumatoid Arthritis Kemungkinan artritis reumatoid

Hams terdapat 3 dari kriteria di atas. Paling sedikit satu dari kriteria 1 sampai 5 tanda atau gejala sendi harus bcrlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu.

4) Possible Rheumatoid Arthritis Diduga artritis reumatoid

Harus terdapat 2 dari kriteria berikut ini, dan lamanya gejala sendi paling sedikit 3 bulan.

1. Kaku pagi hari

2. Nyeri tekan atau nyeri gerak (diamati oleh pcmeriksa) dengan riwayat rekurensi atau menetap selama 3 minggu. 3. Riwayat atau didapati adanya pembengkakan sendi. 4. Nodul subkutan (diamati oleh pcmeriksa).

5. Peningkatan Laju Endap Darah atau C-Reaktif Protein. 6. Iritis (diragukan sebagai kriteria l.oxuali pada Juvenile

Arthritis)

5) Yang tidak termasuk RA

1. Butterfly rash yang khas pada Lupus Eritematosus Sistemik. 2. Konsentrasi LE sel tinggi atau jelas mendcrita SLE. 3. Periartritis Nodosa yang jclas pada pemcriksaan terdapat nekrosis arterial.

4. Kelemahan atau bengkak yang menetap pada leher, tubuh, dan otot-otot faring (polimiositis atau dermatomiositis).

5. Skleroderma yang jelas (sklerosis sistemik) tidak hanya terbatas pada jari jari.

6. Gambaran klinis khas dcmam reumatik disertai arlritis migrasi dan adanya endokarditis.

7. Gambaran klinis khas artritis gout, bersifat akut, nycri dan bengkak pada satu sendi atau lebih tcrutama bila membaik dengan kolkhisin.

8. Toil gout.

9. Gambaran klinis khas artritis infektif yang disebabkan olch bakteri atau virus disertai dcmam, menggigil dan artritis akut yang biasanya berpindah-pindah (pada stadium awal).

10. Pemeriksaan baktcriologik dan histologik ditemukan tu-berkulosis pada satu sendi.

11. Gambaran klinis khas Sindrom Reiter discrtai dengan uretritis, konjungtivitis, dan artritis akut yang pada mulanya berpindah-pindah.

12. Gambaran klinis khas shoulder hand syndrome (reflex sympathetic dystrophy syndrome). Bahu dan tangan yang ter-kena unilateral, disertai pembengkakan difus pada tangan yang diikuti dengan atrofi dan kontraktur.

13. Gambaran klinik khas hypertrophir, ostcoarthropathy di-sertai clubbing jari atau hipertrofi periostitis sepanjang tulang-tulang panjang, terutama jika terdapat lesi intrapulmonal atau gangguan lain yang berhubungan.

14. Gambaran klinik khas neuroarthropati (misal: Charcot joint) discrtai kondensasi dan destruksi tulang termasuk sendi dan didapati gangguan neurologik yang sesuai.

15. Asam homogentisik dalam urine (alkaptonuria), terdeteksi jelas dengan alkalinisasi.

16. Gambaran histologik sarkoid atau test Kveim positif. 17. Mieloma multipel, dibuktikan dengan peningkatan plasma sel dalam sumsum tulang atau dengan protein Bence Jones dalam urine.

18. Gambaran kulit khas eritema nodosum.

19. Leukemia atau limfoma dengan sel yang khas dalam darah, sumsum tulang, atau jaringan.

20. Agammaglobulinemia.

KRITERIA DIAGNOSTIK ARTRITIS REUMATOID MENURUT "AMERICAN RHEUMATISM ASSOCIA-TION" (REVISED, 1987)

Untuk mcnegakkan diagnosis Artritis Reumatoid harus didapati 4 atau lebih kriteria berikut ini :

1) Kaku pagi hari selama paling sedikit I jam dan sudah bcrlangsung paling sedikit 6 minggu.

(13)

6 minggu.

3) Pembengkakan pergelangan tangan, sendi metakarpofa-lang, atau interfalang proksimal selama 6 minggu atau lebih. 4) Pembengkakan sendi yang simetris.

5) Pemeriksaan radiologi tangan menunjukkan perubahan khas artritis reumatoid; harus didapati erosi atau dekalsifikasi tulang yang nyata.

6) Nodul reumatoid.

7) Serum faktor Reumatoid positif.

KRITERIA REMISI PADA ARTRITIS REUMATOID Lima atau lebih dari syarat di bawah ini hams dipenuhi dan hams berlangsung paling sedikit 2 bulan.

1) Lamanya kaku pagi hari tidak lebih dari 15 menit. 2) Tidak ada kelelahan.

3) Menumt riwayat tidak ada nyeri sendi. 4) Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak.

5) Tidal( ada pembengkakan jaringan lunak pada sendi atau sarung tendon.

6) Laju Endap Darah (Westergreen) kurang dari 30 mm/jam untuk wanita atau 20 mm/jam untuk pria.

Kriteria ini dapat digunakan baik untuk remisi spontan atau remisi karena obat. Kriteria ini digunakan pada penderita yang telah memenuhi kriteria ARA dan termasuk dalam Artritis Reumatoid definit atau klasik.

KRITERIA DIAGNOSTIK "JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS" (JRA)

Pandangan Umum

Team pcnyusun kriteria JRA pada tahun 1982 memper-baharui (revisi) kriteria tahun 1977 dan menetapkan bahwa Juvelile Rheumatoid Arthritis adalah nama yang digunakan untuk bentuk utama dari artritis kronis pada anak-anak dan dibagi atas 3 onset subtipe yaitu: sistemik, poliartikuler, dan pausiartikuler. Onset subtipe dibagi lagi menjadi beberapa ke-lompok.

Kriteria Umum untuk Diagnosis JRA

A. Artritis pada satu sendi atau lebih yang menetap paling sedikit 6 mineeu.

B. Tidal( ditemukan pcnyebab artritis lain. Onset subtipe JRA

Onset subtipe ditentukan oleh manifestasi penyakit selama 6 bulan dan tetap merupakan klasifikasi utama walaupun manifestasi-manifestasi yang mirip dengan subtipe lain dapat timbul kemudian.

A. JRA onset sistemik : subtipe ini adalah JRA yang disertai dengan demam intermiten yang menetap (suhu intermiten sepanjang hari dapat mcncapai 103°F atnu lebih), disertai atau tidak disertai adanya ruam reumatoid atau gangguan organ lain. Jika ditemukan adanya demam dan ruam yang khas tanpa artritis dapat dipikirkan kemungkinan JRA onset sistemik (probable systemic onset JRA). Sebclum diagnosis pasti ditegakkan, harus ditemukan adanya artritis.

B. JRA onset pausiartikuler : Subtipe ini adalah JRA dengan artritis pada 4 sendi atau kurang selama 6 bulan pertama sakit. Penderita dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam subtipe ini.

C. Poliartikuler JRA : Subtipe ini adalah JRA disertai artritis pada 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit. Penderita dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam subtipe ini. D. Yang termasuk dalam onset subtipe :

1) Systemic onset (SO) a. poliartritis

b. oligoartritis

2) Oligoartritis (00) (pausiartikuler onset)

a. anti.-nuklear antibodi (ANA) positif, uveitis kronik. b. faktor reumatoid positif.

c. HLA B-27 positif.

d. tidak termasuk klasifikasi lain. 3) Poliartritis (PO)

a. faktor reumatoid positif. b. tidak termasuk klasifikasi lain.

Tidak termasuk (Exclusion) A. Penyakit rematik lain 1. Demam Rematik

2. Lupus Eritematosus Sistemik 3. Spondilitis Ankilosis

4. Polimiositis dan dermatomiositis 5. Sindrom Vaskulitik

6. Sklerodcrma 7. Artritis Psoriatik 8. Sindrom Reiter 9. Sindrom Sjogren

10. Mixed Connective Tissue Diseases (MCTD) 11. Sindrom Behcet

B. Artritis Infeksi

C. Inflamasi gastrointestinal (inflammatory bowel disease) D. Penyakit neoplasma termasuk leukemik

E. Kelainan non-rematik pada tulang dan sendi F. Penyakit hematologi

G. Artralgia psikogenik H. Lain-lain :

1. Sarkoidosis

2. Hypertrophic osteoarthropathy 3. Sinovitis Vilonodulcr

4. Hepatitis kronik aktif

5. Familial Mediterranean Fever

Terminologi lain

(14)

KRITERIA JONES SEBAGAI PENUNTUN DIAGNOSIS DEMAM REUMATIK (REVISED)

KRITERIA MAJOR KRITERIA MINOR 1. Karditis 1. Demam

2. Poliartritis 2. Artralgia

3. Chorea 3. Pernah menderita demam rematik atau penyakit jan- tung rematik

4. Eritema marginatum 4. LED meningkat atau CRP positif

5. Nodul subkutan 5. PR interval memanjang Dalam menegakkan diagnosis demam rematik harus ditemukan 2 kriteria major atau 1 kriteria major ditambah 2 kriteria minor, yang masing-masing disokong oleh meningkat-nya kadar ASTO. Pada anamnesis biasameningkat-nya ada riwayat sakit tenggorokan berulang.

KRITERIA UNTUK KLASIFIKASI SLE (REVISED) 1) Malar rash, berupa eritema yang jelas, datar atau menonjol, pada eminentia malar, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial.

2) Discoid rash, bercak-bercak eritema yang menonjol dengan sisik keratotik yang berlapis, dan sumbatan folikel. Parut atrofi dapat terjadi pada lesi lama.

3) Fotosensitivitas, adanya ruam kulit akibat reaksi terhadap sinar matahari yang dilihat oleh pemeriksa atau berdasarkan anamnesa.

4) Ulkus Oral, ulkus yang terdapat di oral atau nasofaring, biasanya tidak terlalu sakit dan terlihat oleh pemeriksa.

5) Artritis, artritis tanpa erosi mengenai 2 atau lebih sendi perifer, ditandai dengan adanya nyeri tekan, bengkak atau ada-nya cairan dalam sendi.

6) Serositis

a) Pleuritis; jelas dalam anamnesis adanya riwayat nyeri pleuritik atau ronkhi yang terdengar oleh pemeriksa atau adanya efusi pleura

atau

b) Perikarditis berdasarkan pemeriksaan EKG atau rub atau adanya pericardial effusion.

7) Gangguan ginjal

a) Proteinuria yang menetap lebih dari 0,5 gram/hari atau lebih dari 3+ pada pemeriksaan kwalitatif

atau

b) Sedimen, dapat bcrupa sel darah merah, hemoglobin, granuler, tubuler atau campuran.

8) Gangguan Neurologis

a) Kejang yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau ke-lainan metabolik seperti : uremia, ketoasidosis, gangguan elektrolit

atau

b) Psikosis, yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau kelainan metabolik.

9) Gangguan Hematologis

a) Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau

b) Leukopenia kurang dari 4000/mm3 total pada 2 atau lebih pemeriksaan

atau

c) Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada 2 atau lebih pemeriksaan

atau

d) Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3 pada 2 atau lebih pemeriksaan.

10) Gangguan Imunologis a) LE sel positif

atau

b) Anti-DNA: abnormal atau

c) Anti-Sm: terdapat antibodi terhadap Sm nuklear antigen atau

d) false positive terhadap test scrologi syphilis selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan Triponema pallidum Immobilization atau Fluorescent treponemal antibody absorption test.

11) Antibodi Anti Nuklear

Titer abnormal pada pemeriksaan sewaktu dengan immu-nofluoresens atau metode yang secara dan pada saat pemeriksaan tidak mendapat pengobatan dengan ohat yang menginduksi terjadinya sindrom lupus.

Klasifikasi berdasarkan 11 kriteria. Dalam studi klinik, untuk menegakkan diagnosis SLE harus didapati 4 atau lebih dari 11 kriteria di atas yang timbulnya berurutan atau serentak selama periode observasi.

KALENDER PERISTIWA

June 28 – July 1, 1992

5th Asean Otorhinolaryngological Head and Neck Congress

Jakarta, INDONESIA

Secr.: Damayanti Soetjipto MD Rumah Sakit THT PERHATI Jl. Proklamasi 42c

Jakarta 10320, INDONESIA December 7–9, 1992

Third Western Pacific Congress on Chemotherapy and Infectious Diseases Nusa Dua, Bali, INDONESIA

Secr.: Clinical Pharmacology Unit Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital/ University of Indonesia

(15)

KRITERIA KLf1SIFIKASI ARTRITIS GOUT A. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi.

B. Tofi yang mengandung kristal urat yang dibuktikan dengan pemeriksaan kimiawi atau mikroskop polarisasi.

C. Ditemukan 6 dari 12 fenomena klinik, laboratorium, dan sinar X yang tercantum di bawah ini :

1) Lebih dari satu kali serangan artritis akut 2) Inflamasi maksimal terjadi dalam s:.ttu hari 3) Serangan artritis pada saw sendi (monoartritis) 4) Terlihat kemerahan pada sendi

5) Sandi Metatarsofalang I nycri dan bc:ngkak 6) Serangan satu sisi termasuk MTP I

7) Serangan satu sisi termasuk sendi tarsal 8) Kecurigaan adanya tofi

9) Hiperurisemia

10) Pembengkakan asimetrik pada satu sendi (dengan sinar X) 11) Kista subkortikal tanpa erosi (sinar X)

12) Tidak ditemukan kuman pada saat serangan dan inflamasi. Dengan adanya berbagai kriteria tersebut diharapkan para dokter dapat mengurangi penyimpangan diagnosis dari berbagai penyakit reumatik sehingga pengobatan dan pencegahan

ter-hadap disabilitas dapat lebih terarah.

KEPUSTAKAAN

1. Ropes MW, Bennett GA, Cobb Set al. 1958 Revision of diagnostic criteria for rheumatoid arthritis. Bull Rheum Dis 1958; 9: 175-6.

2. Blumberg B, Bunim JJ, Calkins et al. ARA nomenclature and classification of arthritis and rheumatism (tentative). Arthritis Rheum 1964; 7: 93-7. 3. Amett FC, Edworthy S, Block DA et al. The 1987 revised ARA criteria for

rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1987; 30: S17.

4. JRA Criteria Subcommittee of the Diagnostic and Therapeutic Criteria Committee of the American Rheumatism Association. Current proposed revisions of the IRA criteria. Arthritis Rheum 1977; 20 (suppl): 195-9. 5. Ansell BW. Chronic arthritis in childhood. Ann Rheum Dis 1978; 37:

107-20.

6. Fink CW. Keynote address: Arhtritis in childhood, Report of the 80th Ross Conference in Pediatric Research. Columbus, Ross Laboratories, 1979, pp 1-2.

7. Stollerman GH, Markowitz M, Taranta A, et al. Jones criteria (revised) for guidance in the diagnosis of rheumatic fever. Circulation 1965; 32: 664-8. 8. Tan EM, Cohen AS, Fries IF, et al. The 1982 revised criteria for the

classification of systemic lupus erythematosus (SLE). Arthritis Rheum 1982; 25: 1271-7.

9. Wallace SL, Robinson H, Masi AT, et al. Preliminary criteria for the classification of the acute arthritis of primary gout. Arthritis Rheum 1977; 20: 895-900.

I don't know who my grandfather was,

(16)

Prinsip Da sa r Pe na t a la k sa na a n

Ga nggua n Re um a t ik

Harry Isbagio

Subbagian Reumatologi Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ R.S. Dr. Ciplomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Walaupun dikenal lebih dari 100 macam penyakit reumatik, secara umum penatalaksanaan untuk mengatasinya hampir sama. Pada keadaan awal penderita dapat ditangani oleh dokter umum, kecuali pada keadaan gawat darurat seperti pada artritis septik. Konsultasi pada seorang ahli diperlukan untuk keadaan inflamasi sendi yang tidak khas diagnosisnya, untuk mendapat suatu second opinion pada keadaan artritis yang menetap lebih dari 3 bulan dan pada keadaan kronik.

Umumnya insidens dari penyakit seperti artritis reumatoid, spondiloartropati seronegatif dan penyakil. jaringan ikat Iainnya tidaklah begitu besar, yang lebih sering ditemukan ialah osteo-artritis, reumatik non-artikuler dan penyakit gout. Dengan demikian pada sebagian besar kasus dapat diobati dengan menggunakan prinsip pengobatan dasar.

LANGKAH PENATALAKSANAAN

Langkah penatalaksanaan gangguan reumatik dapat dibagi dalam 3 tahap, (tabel 1) yaitu :

1) Lesi akut 2) Artritis persiten 3) Destruksi sendi

Sedangkan jenis pengobatan yang diberikan meliputi hal sebagai berikut :

1) Pengobatan medikamentosa 2) Pengobatan bedah

3) Program rchabilitasi

Tujuan dalam pengobatan gangguan reumatik meliputi : 1) Mengurangi nyeri sendi

2) Memelihara fungsi sendi

3) Mencegah terjadinya cacad/disabilitas

Sedangkan pada tabel 2, dapat dilihat cara untuk mencapai tujuan pengobatan gangguan reumatik.

Tabel 1. Langkah Penatalaksanaan Gangguan Reumatik

Tahap Medik Bedah Rehabilitasi

Lesi akut

Artritis persisten

Destruksi sendi

• Analgetik • Obatanti inflamasi non- steroid •Aspirasi cairan sendi • Suntikan intra- artikuler • OAINS • Obat remitif • Suntikan kortikosteroid intraartikuler • Analgetik

• "Drainage" •Traksi

• Sinevcktomi • Reparasi tendon • Eksisi tulang

• Ganti sendi

(joint replacement)

• Istirahat • Bidai,collar • Es

• Latihan sedcrhana

• Alat hantu • Pcnyesuaian pola kerja

•Bidai kerja •Proteksi sendi •Tongkat •Kursi rods •Penyesuaian diri •Bantuan finansial.

1. MENGURANGI NYERI SENDI Istirahat

Makna istirahat tidak boleh dilupakan. Penderita dengan lesi akut harus istirahat total di tempat tidur. Pendcrita dengan lesi kronik hams melakukan penyesuaian diri dalam pekerjaannya sehingga tidak terlalu lelah, cukup istirahat dan tidur nyenyak pada malam hari.

Umumnya penderita patuh selama dirawat di rumah sakit, tetapi mereka perlu mendapat dorongan untuk mempertahankan hal tersebut bila sudah kembali ke masyarakat.

Bidai

(17)

Tabel 2. Cara Mcncapai Tujuan Pengobatan Cangguan Reumatik

Tujuan Cara

1. Menghilangkan rasa nyeri

2. Memelihara fungsi sendi

3. Mencegah cacad/disabilitas

• Istirahat, traksi • Bidai, collar

• Aspirasi cairan sendi

• Suntikan kortikosteroid intraanikuler • Analgetik

• OAINS • Ganti sendi • Es

• Latihan sendi • Bidai, collar, korsct • Ilidroterapi • Kesegaran tubuh • Proteksi

• Identifikasi, penilaian • Alat bantu

• Penyesuaian diri • Iatihan kerja ulang • Bantuan finansial

Penggunaan bidai baku atau simple soft collar dapat diper-timbangkan, walaupun yang paling ideal ialah plaster dari Paris.

Traksi mungkin diperlukan bila ada gangguan panggul, pinggang atau tengkuk.

Aspirasi Sendi dan Suntikan Intraartikuler

Aspirasi pada sendi yang membengkak akut sangat dianjur-kan, selain dapat mengurangi rasa nyeri juga berguna untuk diagnosis.

Suntikan kortikosteroid intraartikuler atau ke jaringan lunak sangat bcrhasil mengurangi rasa nyeri.

Drainage surgikal terutama pada artritis septik sangat membantu pengobatan.

Obat

Pada keadaan inflamasi maka obat antiinflamasi non steroid lebih efektif dari analgetik. Adanya efek samping pada traktus gastrointestinal, ginjal dan kulit perlu dijelaskan pada penderita terutama yang usia lanjut.

Penggunaan obat lokal transdermal mungkin lebih cocok untuk sejumlah penderita, selain itu dapat mengurangi risiko perdarahan gastrointestinal.

Bedah

Bedah ortopedi, baik pada jaringan lunak atau rekonstruksi pada awal artritis atau joint replacement memberikan hasil yang sangat memuaskan dalam menghilangkan rasa nyeri.

2. MELIHARAAN FUNGSI SENDI Fisioterapi

Bahaya dari istirahat jangka pendek terlalu dilebih-lebih-kan; sendi tidak akan menjadi kaku dalam beberapa hari saja, sebaliknya melakukan latihan otot pada keadaan cedera atau inflamasi tidak dianjurkan.

Bila inflamasi sudah recta maka latihan penguat dan per-gerakan sendi perlu segera dilakukan. Pada beberapa kasus maka tcrapi dilakukan dengan menggunakan es, latihan ringan dan

beban ringan. Dokter dapat mengajarkan latihan ringan, sedang-kan fisioterapist melakusedang-kan latihan yang lebih kompleks.

Untuk cedcra jaringan Iunak perlu sekali pengawasan sebe-lum kembali berolah raga atau bekerja, disertai dengan latihan jangka panjang.

Pada keadaan kronik maka latihan untuk kesegaran jasmani dan menjaga ukuran badan (penurunan berat badan) perlu di-lakukan.

Hidroterapi

Latihan di dalam air sangat berguna untuk mengembalikan kekuatan dan stamina. Latihan di bawah pengawasan fisio-tcrapist dalam kolam dengan suhu antara 34°–36°C sangat ideal, terutama untuk anak dan usia lanjut. Di dalam kolam renang, pengaruh gravitasi berkurang sehingga sangat baik untuk menguatkan otot atau bila ada lesi tulang (fraktur atau osteoporosis), serta sangat baik untuk mobilisasi coxae, bahu dan tulang belakang.

Bidai

Bidai, collar dan korset dikombinasi dengan latihan dapat mcncegah deformitas dan menjaga postur tubuh. Perlu dijelas-kan pada penderita cara menggunadijelas-kan bantal, kasur dan kursi yang bcnar, dijelaskan pula tentang posisi badan waktu kerja dan bagaimana cara mengangkat barang yang benar.

3. PENCEGAHAN DISABILITAS

Penyakit reumatik kronik dapat mengakibatkan disabilitas, olch karena itu perlu dijaga agar tidak sampai terjadi handicap. Pencatatan yang baik dari suatu penyakit kronis pada praktek umum sangat membantu dalam mengidentifikasi masalah pen-derita.

Penilaian keadaan di rumah dan tempat kerja sangat panting. Perubahan sederhana pada pola kerja dan perubahan jadwal rutin dapat diberikan balk oleh seorang dokter, maupun oleh fisioterapist dan occupational therapist.

Alat Bantu

Berbagai alat bantu untuk membantu pasien untuk mobili-tas, kegiatan sehari-hari dan bekerja telah dikembangkan. Bebe-rapa pasien kurang menghargai alat bantu tersebut sampai ia mencoba sendiri penggunaan alat tersebut.

Problema Sosial

Disabilitas dapat mengakibatkan problema sosial-ekonomi akibat handicap, berupa mobilitas yang tcrbatas, kontak sosial yang terbatas, gizi yang jelek dan sebagainya. Sebaiknya seorang dokter mengetahui instansi sosial yang dapat mcmbantu me-nangani masalah ini.

PENUTUP

(18)

KEPUSTAKAAN

1. Mowat AG. Management Principles of Rheumatics Disorder. Medicine

3: 3091, 1990.

2. Schumacher HR. Rehabilitative Therapies for Patients with Rheumatic Disease. In: Primer on the Rheumatics Diseases, Schumacher et at (ed.). Ninth ed. Atlanta GA: Arthritis Foundation. 1988, p. 301.

(19)

Pe ra na n Ana lisis Ca ira n Se ndi

da la m Dia gnosis Pe nya k it Se ndi

H. M. Adnan

Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Dr Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Pemeriksaan dan analisis cairan sendi dalam menegakkan diagnosis penyakit sendi amatlah penting. Hal itu sama penting-nya dengan nilai pemeriksaan dan analisis urine pada pepenting-nyakit ginjal.

Bila dijumpai adanya cairan sendi, sebaiknya diperiksa secara sistematis, walaupun jumlah cairan itu hanya sedikit (setelah diaspirasi).Sebagai contoh, misalnya cairan yang berasal dari sendi pangkal ibu jari kaki (metatarso phalangeal digiti I), walau hanya satu atau dua tetes sudah cukup untuk melihat ada atau tidaknya kristal asam urat dalam cairan tersebut. Demikian pula dengan pemeriksaan terhadap adanya kristal kalsium piro-fosfat atau diagnosis terhadap artritis septik,LES dan sebagainya. Dengan memeriksa cairan sendi, diagnosis pasti dapat di-tegakkan secara cepat. Memang, pada beberapa hal, diagnosis sulit ditegakkan hanya dengan analisis cairan sendi saja, tapi sekurang-kurangnya dapat dipakai sebagai diagnosis banding. Pemeriksaan cairan sendi secara rutin dan hitung Ickosit mi-salnya, akan sangat bcrmanfaat untuk mempersempit diagnosis (agar lebih tepat) pada penyakit-penyakit sendi non inllamasi yang disertai dengan efusi, atau cairan sendi yang bersifat infla-matif, termasuk artritis septik dan hemartrosis. Bahkan pada penderita-pcnderita artritis yang sudah ditegakkan diagnosis-nya, pemeriksaan cairan sendi dapat dipakai untuk menilai perkcmbangan pcnyakit-pcnyakit tcrsebut, misalnya pada LES, AR, deposit Kalsium Pirofosfat pada osteoartritis atau crystal induced synovitis (sinovitis yang timbul akibat endapan kristal yang terjadi karena suntikan intraartikuler dengan steroid).

Tabel 1 dan 2 menggambarkan sendi yang non inflamatif (lekosit kurang dari 2000 per mm3) dan yang inflamatif (jumlah lekosit lebih dari 2000 per mm3) pada analisis cairan sendi.

Tabel 1. Efusi sendi yang non innatnatif

Ostcoartritis Traumatik artritis Akromegali Penyakit Gaucher Hemokromatosis Iliperparatiroidisme Okronosis Penyakit Paget

Mechanical derangement

Eritema nodosum Sinovitis vilonodular Nekrosis aseptik Sindrom Ehlers-Danlos Penyakit sickle cell

Amiloidosis

Osteoartropati pulmoner hipertropik Pankreatitis

Osteochondritis dissecans

Sendi Charcot Penyakit Wilson Displasia epifiseal

Tabel 2. Efusi sendi yang Inflamatif

Artritis Reumatoid Artritis Psoriatik Sindrom Reiter Kolitis Ulkeratif Enteritis Regional

Postileal bypass arthritis

Spondilitis Ankilosing Artritis Rcumatoid Juvenil Dcmam Reumatik

Collagen.yascular disease

(20)

Sklerodenma Polimiositis Polikondritis Poliarteritis Polimialgia reumatika

Giant cell arterttis

Sindrom Sjogren Granulomatosis Wagener Sindrom Goodpasture Purpura Henoch-Schonlein

Familial Mediterranean fever

Penyakit Whipple Sindrom Behcet Eritema nodosum Sarkoidosis

Retikulohistiositosis Multisentrik Artritis Postsalmonella, shigella, yersinia Artritis Infcktif

Parasitik

Viral (hepatitis, mumps, rubella, dll.) Jamur

Mikoplasma

Bakteri (stafilokokus, gonokokus, tuberkulosis, dll.) Treponemal

Karsinoid

Endokarditis bakteriel subakut

Crystal-induced arthritis

Gout Pseudogout

Post-infra-articular steroid injection

Artritis Hidroksiapatit Hiperlipoproteinemia

Tabel 3. Haemarthrosis

Trauma with or without fractures Pigmented villonodular synovitis Synovioma, other tumors Hemangioma

Charcot joint or other severe joint destruction hemophilia or other bleeding disorders Von Willebrand's disease

Anticoagulant therapy

Myeloproliferative disease with thrombocytosis Thrombocytopenia

Scurvy

Ruptured aneurysm Art eriovenous fistula Idiophatic

Jadi, hanya dengan pemeriksaan cairan sendi, dapat diperoleh banyak informasi tentang apa yang terjadi pada sendi tersebut (inflamasi, infeksi, deposit kristal dan sebagainya). Sedangkan dengan pemeriksaan RF, antibodi antinuklir (ANA), asam urat dan ASTO kita mungkin dapat terkecoh oleh hasil-hasilnya dan diagnosis pun kadang-kadang masih belum dapat ditegakkan.

Sebenarnya cairan sinovial itu adalah suatu ultra filtrat dari plasma yang disertai dengan sejumlah kecil protein dengan berat

molekul yang lebih besar, misalnya fibrinogen,beta 1 C globulin, serta globulin lain dan protein hialuronat yang dibcntuk dalam membran sinovial.

TEKNIK ARTROSENTESIS

Cara ini dilakukan dengan hati-hati dan steril, serta di tempat yang benar.

Bila setelah dilakukan aspirasi ternyata tak didapati adanya cairan, doronglah penghisap semprit agar darah dan jaringan yang terhisap dapat dikeluarkan dari jarum. Kita dapat melaku-kan pemeriksaan untuk kristal meskipun yang didapat hanya satu tetes, atau untuk pemeriksaan gram maupun kultur(persemaian).

Bila diduga suatu artritis karena infeksi, sedangkan cairan tak didapat, cucilah rongga sendi tersebut dengan larutan garam faal dan kemudian dibuat pemeriksaan kultur (pembiakan atau persemaian kuman) dari cairan pencuci tersebut.

Bila dikehendaki pemeriksaan kadar gula yang akan di-bandingkan dengan kadar gula serum penderita, maka pcnderita sebaiknya puasa dulu.

Sebaiknya direncanakan dulu pemeriksaan apa yang akan dilakukan; belum tentu pemeriksaan-pcmeriksaan cairan yang telah disebutkan di atas, semuanya diperlukan.

PEMERIKSAAN GROSS ("GROSS EXAMINATION") Sulit memilih kata yang tepat untuk gross examination tapi yang dimaksud di sini adalah pemeriksaan tentang volume, viskositas, warna dan kejernihan cairan sinovial yang mungkin bila disebut pemeriksaan makroskopik lebih mudah dipahami, walau makroskopik juga bahasa asing. Pemeriksaan ini dapat dilakukan langsung dan dapat segera diperoleh kesan secara kasar, misalnya bila jernih, tanda tak ada infeksi, bila kcruh berarti ada infeksi dan sebagainya.

Volume

Jumlah cairan sendi ini dapat dipakai untuk membantu menilai berat ringannya artritis. Juga dapat untuk.

membanding-kan jumlah cairan yang kita punksi sekarang lebih kecil jumlah-nya dari yang sebenamya, yang berarti ada perbaikan.

Cairan sendi kadang-kadang sulit diaspirasi karena kental. Misalnya karena mengandung fibrin, rice-bodies, atau serpihan-serpihan yang lain.

Viskositas (kekentalan)

Cara penilaian kekentalan ini dapat dilakukan dengan meneteskan cairan dari semprit (split), apakah tetesannya lam-bat jatuh dan membentuk seperti benang dulu, atau langsung menetes seperti air yang berarti lebih cair. Tapi dapat juga dipegang dengan ibu jari dan tclunjuk, lalu direntangkan. Akan tampak benang dan terasa agak lengket pada jari. Sebelum putus, rentangan cairan tersebut bila diukur lebih kurang 2 – 3 cm. Ini berarti normal, tak ada inflamasi. Bila ada inflamasi, cairan akan menetes seperti air, yang berarti viskositasnya rendah. Bila amat kental biasanya karena adanya hipotiroidi dan pada ganglia.

Gambar

Tabel 2.  Perbedaan Jenis kelamin pads penyakit reumatik
tabel 3 lakukan pada penderita dengan gejala rematik generalisata.
Tabel 1.  Langkah Penatalaksanaan Gangguan Reumatik
Tabel 2.   Cara Mcncapai Tujuan Pengobatan Cangguan Reumatik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana Gejala Dan Obat Penyakit Sipilis ~ Obat sipilis dari pengobatan sipilis de nature adalah pilihan yang sering dikatakan manjur oleh para

Jadi tindakan Pertolongan Pertama (PP) ini bukanlah tindakan pengobatan sesungguhnya dari suatu diagnosa penyakit agar si penderita sembuh dari penyakit yang

Dalam pengamatan selama 3-15 tahun, 9 di antara 21 sindrom nefrotik dependen steroid mengalami remisi meskipun tidak mendapat pengobatan lagi (4 di antaranya tetap remisi lebih dari

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa t esis yang berjudul: “PERB EDAAN KEMATANGAN SOSIAL PADA ANAK PENDERITA EPILEPSI DENGAN TERAPI OBAT ANTI EPILEPSI KURANG DARI 1

Pengobatan yang tidak teratur, penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) tidak adekuat ataupun pengobatan terputus menimbulkan kuman yang resisten.Tujuan dari

Hasil pemeriksaan aktivitas enzim SGOT dan SGPT pada penderita tuberkulosis yang mendapat pengobatan anti tuberkulosis oral dari 30 sampel penderita tuberkulosis

Pengobatan herbal penyakit kelamin dengan paket obat herbal dari de Nature Indonesia yang sudah terbukti ampuh untuk menyembuhkan keluhan penyakit anda seperti kutil kelamin,

Adakah pengaruh bersama antara kadar apolipoprotein B dan C- reactive protein (CRP) dengan kondisi depresi pada penderita epilepsi yang mendapatkan terapi obat