KEBERGANTUNGAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA DUNIA
KETIGA TERHADAP BANTUAN DANA INSTITUSI KEUANGAN
INTERNASIONAL
Menjelang akhir tahun 1990, tepatnya pada tahun 1997-1998, Indonesia mengalami guncangan ekonomi yang hebat. Pada saat itu, keyakinan yang dominan adalah, bahwa negara Asia harus mengintegrasikan diri ke pasar global.1 Maka atas
dasar keyakinan itu, Indonesia melakukan deregulasi dan debirokratisasi agar integrasi ke dalam pasar global berjalan dengan lancar dan lebih baik. Alhasil, gejolak pasar keuangan global tiba-tiba menghantam perekonomian Indonesia, dengan biaya pemulihan lebih dari 1000 triliun rupiah.2 Kondisi ini tentu saja
menyeret perekonomian Indonesia ke dalam krisis moneter. Indonesia kekurangan akan devisa, sehingga meminta bantuan kepada IMF (International Monetary Fund) dan pada saat itu IMF seakan menjadi pahlawan perekonomian di Indonesia. Benarkah tindakan IMF menguntungkan bagi Indonesia?
Pada studi kasus di Indonesia, IMF memberikan solusi berupa sebuah SAP (Structural Adjustment Program) atau yang lebih dikenal sebagai Letter of Intend di Indonesia yang isinya mendorong secara penuh liberalisasi dan deregulasi keuangan dan badan usaha pemerintah. Hal yang paling kontroversial yang dilakukan IMF pada Indonesia adalah dengan menginstruksikan beberapa banknya, dengan alasan pengetatan fiskal. Hal ini justru membuat keadaan menjadi lebih hancur daripada sebelumnya. Awalnya memang IMF dibentuk untuk meningkatkan kerjasama moneter internasional serta memelihara dan meningkatkan keseimbangan lalu lintas pembayaran di antara negara anggota. Dalam kasus Indonesia, selain liberalisasi, IMF juga menghendaki adanya privatisasi dan pengurangan subsidi dari pemerintah yang tertuang dalam Letter of Intend (LoI) Indonesia-IMF. 3 Disini terlihat, bahwa IMF
hanya melihat dari sisi makro saja. Keadaan ini justru membuat keadaan semakin
1 Aleksius Jemadu. 2014. Politik Global: Dalam Teori dan Praktik Edisi 2. Yogyakarta: Graha
Ilmu. hal. 305.
2Ibid.
3 Syamsul Hadi dkk. 2004. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta: Granit.
terpuruk. Ibarat semua masalah tiap negara dapat diatasi dengan cara yang sama, padahal setiap negara berbeda-beda masalah dan kebijakannya. Setelah ditelusuri secara lebih mendalam, ternyata perihal liberalisasi, deregulasi ekonomi Indonesia, serta privatisasi yang dipaksakan oleh IMF dimaksudkan untuk mempromosikan
commercial interest, membuat perusahaan-perusahaan Indonesia dikuasai oleh kaum kapitalis asing
Marxisme merupakan pembaharuan pemikiran daripada Marxisme. Neo-marxisme muncul dengan melihat pemikiran awal Marx dengan menyerap ide-ide yang dirasa hilang atau diabaikan kaum Marxist karena adanya misinterpretasi.4 Jika
Marxisme menekankan kepada struktur kelas dan sistem produksi, maka Neo-Marxisme menekankan kepada sistem internasional. Terdapat dua jenis teori dalam Neo-Marxisme, yang pertama yaitu berdasarkan pada World System Theory dan yang kedua yaitu berdasarkan Dependency Theory. Menurut Wallerstein, World System
dibagi menjadi tiga, yaitu negara core, semi-periphery, dan periphery.5World System
terdapat 2 tipe, yaitu world empires dan world economy. World empires adalah sistem ekonomi yang terpusat yang menggunakan kekuatannya untuk meredistribusikan sumber daya dari negara periphery ke negara core. Sedangkan
World economy melihat bahwa tidak ada otoritas tunggal, dan semua hal diserahkan kepada pasar.6 World economy merupakan mekanisme dari World Empires. Lalu dependency theory merupakan konsep inti bagi kaum Neo-Marxisme. Mereka menyatakan bahwa negara periphery itu miskin bukan karena adanya keterbelakangan ekonomi, tetapi karena kehidupan mereka terabaikan dan terlantarkan oleh karena negara-negara core.7 Dalam hal ini, Indonesia yang
4 Stephen Hobden & Richard W. Jones. 2001. “International History” dalam John Baylis &
Steve Smith (eds.). The Globalization of World Politics 2nd Edition. Oxford: Oxford University Press.
5 Ibid. 6 Ibid.
7 Robert Jackson & Georg Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. Oxford:
Oxford University Press Inc.
bergantung pada IMF dan membuatnya terus ketergantungan akan suntikan dana bantuan.
Berdasarkan pemaparan akan teori neo-marxisme dan kilasan mengenai ketergantungan negara dunia ketiga dengan fokus Indonesia sebagai studi kasusnya, dapat dijelaskan dengan teori dependensia, bahwa negara core memanfaatkan negara
periphery dengan tujuan untuk commercial interest-nya. Pada awalnya memang terlihat sebagai simbiosis mutualisme, namun sebenarnya hal ini merugikan negara
periphery. Bantuan IMF yang seperti ‘angin surga’ bagi Indonesia terus digunakan Indonesia, karena Indonesia memang membutuhkan modal untuk memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia. Bantuan dari IMF dianggap membuat pertumbuhan ekonomi negara menjadi berkembang dan Indonesia menjadi semakin tergantung dengan IMF itu sendiri, dan mau menerima berbagai persyaratan yang diajukan oleh IMF. Yang terjadi adalah, bukannya memperbaiki, namun IMF malah justru terlalu mencampuri dan intervensi urusan kebijakan Indonesia. Akibatnya krisis Indonesia semakin parah. Indonesia juga harus menanggung bunga pinjaman dari surplus ekonomi yang sudah didapat. Hal ini sesuai dengan konsep Neo-marxisme, yaitu pemanfaatan negara dunia ketiga oleh negara kapitalis dengan kekuatan hegemon untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Selama masih adanya sistem kapitalis, makan negara periphery akan terus terbelakang. Lapisan sosial atau kelas-kelas sosial tetaplah ada, namun bukan masalah perbedaan kelas-kelas yang menjadi sorotan sekarang, melainkan tindakan eksploitasi dan pemanfaatan secara berlebihan yang harus dihapuskan. Adanya ketergantungan antara negara core, semi-periphery,
dan periphery menyebabkan sistem kapitalis global ini terus berlanjut. . Indonesia, sebagai negara berkembang, tidak luput dari ketergantungannya terhadap negara maju. Namun tingkat ketergantungan suatu negara berkembang terhadap negara maju turut menentukan nasib negara itu selanjutnya, apakah selamanya akan terus ketergantungan dan ditekan oleh kekuatan hegemon, ataukah mau berusaha bangkit dari keterpurukan dan tidak bergantung lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Jemadu, Aleksius. 2014. Politik Global: Dalam Teori dan Praktik Edisi 2.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hadi, Syamsul dkk. 2004. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta: Granit.
Hobden, Stephen & Richard W. Jones. 2001. “International History” dalam John Baylis & Steve Smith (eds.). The Globalization of World Politics 2nd Edition.
Oxford: Oxford University Press.
Jackson, Robert & Georg Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press Inc.