• Tidak ada hasil yang ditemukan

E koteologi Menurut Denis Edwards BAB I PENDAHULUAN - Ekoteologi Menurut Denis Edwards Materi Tugas Kuliah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "E koteologi Menurut Denis Edwards BAB I PENDAHULUAN - Ekoteologi Menurut Denis Edwards Materi Tugas Kuliah"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Ekoteologi

Menurut Denis Edwards

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Di abad XXI ini, kerusakan lingkungan, baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik, semakin marak terjadi. Beberapa dari kerusakan ekologis itu disebabkan oleh faktor alam. Namun, fakta memperlihatkan bahwa manusialah yang menjadi penyebab utama kerusakan itu. Sebagai gambaran mengenai keadaan lingkungan hidup kita, berikut ini dipaparkan sebuah prediksi yang pernah dibuat oleh U.S. Worldwatch Institute pada tahun 1984. Menurut prediksi lembaga ini:

“Kalau kita tidak serius memperhatikan pencemaran lingkungan, maka pada tahun 1990 ada 10 spesies dalam sehari akan hilang. Pada tahun 2000, ada satu spesies hilang setiap jam. Sejak tahun 1950, kita kehilangan 5% per tahun lahan untuk bercocok tanam dan hutan tropis untuk menarik hujan. Setiap tahun kita kehilangan 20-25 juta ton humus melalui erosi, penggaraman, dan menjadi gurun. Setiap tahun, 20 milyard hektar hutan hilang” [1]

Seandainya prediksi mengenai kerusakan ekologis di atas benar-benar terjadi, maka manusia dan

komunitas kehidupan lain akan mengalami krisis ekologis yang serius. Krisis ini tentunya akan semakin parah, jika manusia sebagai makhluk yang memiliki intelegensi dan kehendak bebas tidak melakukan upaya-upaya perbaikan dan pencegahan.

Berhadapan dengan persoalan ekologis, berbagai bidang ilmu berupaya memberikan kontribusi

positifnya dalam upaya perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Salah satu bidang ilmu yang dapat berkontribusi bagi “pertobatan ekologis” (ecological conversion) [2] adalah teologi. Teologi masing-masing agama tentunya memiliki jawaban sendiri atas persoalan ekologis. Tulisan ini secara khusus akan membahas pandangan kekristenan, khususnya Gereja Katolik, mengenai lingkungan hidup dan segala kompleksitasnya. Kajian teologis ini didasarkan atas gagasan teologis seorang imam Katolik dan teolog berkebangsaan Australia, yaitu Denis Edwards, yang termuat di dalam buku Ecology at The Heart of Faith - The Change of Heart that leads to A New Way of Living on Earth (selanjutnya disingkat EHF). Secara pribadi, penulis merasa bahwa gagasan teologis Denis Edwards tentang ekologi ini sangat relevan untuk diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai cara alternatif untuk membebaskan manusia dari persoalan ekologis yang dihadapinya.

BAB II

GENESIS MANUSIA

Menurut Denis Edwards, salah satu isu kunci bagi teologi ekologis adalah pemahaman mengenai manusia sebagai bagian dari ciptaan Allah. Ia mengatakan:

“Teologi kontemporer manapun yang menyebut dirinya sebagai bersifat ekologis perlu menempatkan manusia di tengah komunitas kehidupan. Teologi itu haruslah merupakan teologi tentang manusia-dalam-relasinya-dengan-yang-lain.” [3]

Kutipan di atas mengungkapkan pandangan Edwards mengenai teologi ekologis yang benar. Teologi ekologis tersebut haruslah sebuah teologi yang tidak human-centered atau yang menempatkan manusia “di atas” ciptaan Allah lainnya, melainkan teologi yang menempatkan manusia “di tengah-tengah” komunitas kehidupan.

(2)

berharga bagi pembentukan sebuah teologi ekologis dalam hubungannya dengan manusia. Kedua bidang ilmu ini menempatkan manusia dalam relasinya dengan sejarah alam semesta dan sejarah kehidupan di bumi. Edwards berargumentasi bahwa sebuah teologi mengenai manusia tidak dibangun semata-mata atas dasar ilmu pengetahuan, tetapi juga dibangun atas dasar sumber-sumber Tradisi Kristen, khususnya pandangannya mengenai tempat manusia di hadapan Allah. Edwards bermaksud membangun sebuah teologi yang merupakan perpaduan antara ilmu pengetahuan dan agama. Demi maksud ini, ia mulai menelusuri sejarah manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Edwards kemudian menggali lebih dalam ungkapan Tradisi Kristen mengenai manusia sebagai Citra Allah (Imago Dei).

1. Manusia Berasal dari Alam Semesta

Berikut ini saya memaparkan kajian Denis Edwards mengenai genesis atau asal-usul manusia dari sudut pandang sains. Untuk menelusuri asal-usul manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan, Edwards menggunakan beberapa teori yang menjelaskan asal-usul manusia.

1.1. Manusia Dilahirkan Dari “Dentuman Besar” (Big Bang)

Salah satu pencapaian besar di abad XX adalah gagasan yang menyatakan bahwa alam semesta kita tidak bersifat statis, melainkan secara dinamis terus berkembang dan meluas. Ketika alam semesta mengembang dan meluas, galaksi-galaksi saling menjauh satu sama lain secara cepat. Pada masa

sekarang, para kosmologis berupaya menyelidiki alam semesta dengan cara kembali ke masa sekitar 1,5 miliar tahun yang lalu ketika alam semesta ini masih berbentuk sederhana, padat dan panas. Mereka menyebut teori mengenai asal mula alam semesta yang dihasilkan dari pecahan pertama (first fraction) dari detik pertama setelah terlahirnya alam semesta sebagai Big Bang (Dentuman Besar). Menurut teori-teori kosmologi berpengaruh, di dalam pecahan pertama pada detik pertama, alam semesta mengalami pengembangan (inflation) atau suatu ekspansi yang sangat cepat.

Para ilmuwan semakin yakin untuk menggambarkan apa yang terjadi selanjutnya setelah detik pertama itu. Kosmolog seperti Martin Rees menekankan bahwa kosmologi dapat memberikan sebuah cacatan yang masuk akal mengenai alam semesta yang mengembang sejak akhir dari detik pertama. [4] Dalam kurun waktu ini, partikel-partikel biasa seperti proton, neutron dan elektron sudah ada. Ketika alam semesta berhenti berekspansi dan menjadi dingin, inti dari elemen yang paling sederhana seperti hidrogen dan sebagian helium mulai terbentuk. Hidrogen merupakan elemen pertama yang terbentuk, dan juga merupakan elemen yang mendominasi alam semesta. Pada tahap ini, masih terlalu panas bagi inti hidrogen dan helium untuk menjadi atom. Terdapat transformasi energi yang sangat cepat antara zat (matter) dan radiasi (radiation). Segera sesudahnya, partikel-partikel dan radiasi bergabung. Pada akhir tiga menit yang pertama, terbentuklah observable universe [5] sebagai bola api (fireball) yang terus berekspansi, kemudian menjadi dingin. Bola api ini terbentuk dari inti hidrogen dan helium.

Ketika alam semesta kita berusia sekitar 400.000 tahun, sudah cukup dingin bagi inti (nuclei) untuk mengikat diri dengan elektron guna membentuk atom hidrogen dan helium. Pada proses ini, zat (matter) dipisahkan dari radiasi (radiation). Alam semesta menjadi transparan oleh karena besarnya radiasi yang melingkupinya. Radiasi ini adalah radiasi gelombang mikro kosmos (cosmic microwave radiation). Penyebab radiasi gelombang mikro kosmos ini ditemukan oleh Arno Penzias dan Martin Wilson pada tahun 1965, sekitar 13,5 miliar tahun setelah terjadinya radiasi gelombang mikro kosmos. Sekarang para ilmuwan yang mempelajari radiasi ini menemukan bahwa radiasi gelombang mikro kosmos memberikan sebuah gambaran tentang alam semesta awal kepada mereka. Radiasi ini merupakan sisa dari “bola api purba” (primordial fireball).

Konsekuensi lebih jauh dari pandangan di atas adalah bahwa manusia merupakan sisa-sisa dari bola api purba. Manusia adalah warisan dari Dentuman Besar yang terjadi sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Hidrogen merupakan elemen pokok bagi struktur sel segenap makhluk hidup; dan ketika digabungkan dengan oksigen, terbentuklah air yang mendukung dan mempertahankan kehidupan. Tak dapat

(3)

dari peristiwa alam semesta awal. Sejarah alam semesta adalah sejarah kita. Dengan demikian maka kita adalah anak-anak alam semesta awal.

Komunitas manusia di bumi dan spesies bumi lainnya berasal dari bola api purba. Di dalam bola api purba ini, terkandunglah potensi-potensi yang memungkinkan terjadinya alam semesta seperti yang terlihat sekarang ini. Di dalamnya, terkandung kemungkinan (possibility) semua yang pernah

bertumbuh, antara lain, sistem tata surya kita (Galaksi Bima Sakti), bumi dan beragam ciptaan yang ada di dalamnya. Manusia, dan ciptaan lain di dalam komunitas kehidupan di bumi, adalah potensi yang terbuka yang sudah terkandung di dalam pancaran energi purba yang mahabesar.

Edwards memiliki keyakinan bahwa alam semesta ini ada hanya karena ia diciptakan Allah secara terus menerus. Iman Kristiani memang tidak menyampaikan detil peristiwa pertumbuhan dan perkembangan alam semesta. Untuk menemukan jawabannya, teologi perlu berdialog dengan sains. Teologi semacam ini akan melihat Allah sebagai pemberi kekuatan bagi perkembangan alam semesta. Dengan kata lain, alam semesta yang terus berkembang ini berasal dari kejadian-kejadian purba yang diciptakan oleh Allah. Pandangan semacam ini, menurut Edwards, menuntun kita kepada suatu pemahaman mengenai sifat Allah yang mencipta secara evolusioner (evolutionary) dan terus berkembang (emergent). Dengan demikian maka manusia pun diciptakan Allah sebagai ciptaan yang terus berkembang.

1.2. Manusia Berasal Dari “Debu Bintang” (Stardust)

Molekul tubuh manusia terdiri dari atom karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sejumlah kecil elemen lainnya. Sementara atom Karbon terbentuk dari alam semesta awal; karbon, oksigen, dan

nitrogen berasal dari bintang-bintang. Sejarah perkembangan bintang-bintang adalah bagian penting dari sejarah manusia.

Ketika alam semesta berekspansi dan menjadi dingin, terdapat beberapa lokasi yang merupakan tempat terakumulasinya awan hidrogen dalam jumlah yang besar. Awan gas ini merupakan awal mula galaksi alam semesta kita. Di bawah pengaruh gravitasi, kantung-kantung gas (baca: tempat akumulasi

hidrogen) menjadi sempit dan panas, sampai pada tingkat yang memungkinkan terjadinya reaksi fusi. Selanjutnya, terjadilah bintang-bintang awal yang menerangi alam semesta kita.

Bintang merupakan tungku termonuklir yang menyebabkan perubahan hidrogen menjadi helium. Ketika hidrogen habis, reaksi nuklir selanjutnya mengubah helium menjadi elemen yang lebih berat, di

antaranya: karbon, nitrogen, dan oksigen yang membentuk tubuh manusia. Bintang-bintang yang sangat besar berakhir dengan meledaknya supernova yang kemudian menghasilkan elemen-elemen yang lebih berat, yang berfungsi sebagai benih bagi pembentukan bintang-bintang baru dan planet-planetnya. John Barrow, seorang ahli bintang mengatakan bahwa dibutuhkan sekitar 10 miliar tahun pembakaran bintang untuk menghasilkan karbon dan elemen lain yang membentuk tubuh kita. [6] Setiap atom yang

terkandung di dalam elemen-elemen yang ditemukan secara alami di bumi, selain hidrogen purba, berasal dari sebuah bintang.

Dalam sebuah buku terbarunya, ahli bintang George Coyne dan Alessandro Omizzolo berbicara mengenai karakter “sosial” dari alam semesta.[7] Mereka tidak hanya menekankan bahwa limpahan elemen kimia di dalam tubuh kita berasal dari tiga generasi bintang, tetapi juga bahwa sejumlah kecil elemen mungkin berasal dari jutaan galaksi yang jauh. Secara radikal kita terhubungkan dengan alam semesta. Martin Rees berbicara tentang “ekologi galaktis” (galactic ecology) [8] dari galaksi kita, Galaksi Bima Sakti (Milky Way Galaxy). Galaksi ini merupakan gudang penyimpanan limpahan bahan mentah yang penting bagi kehidupan. Rees mengatakan bahwa sebuah atom karbon di dalam satu sel otak seorang manusia memiliki asal-usul (pedigree) yang ada sebelum kelahiran sistem tata surya pada 4,5 miliar tahun yang lalu. Atom-atom yang sekarang tergabung di dalam suatu hamparan DNA

manusia, pada miliaran tahun yang lalu sudah terhampar secara luas di dalam bintang-bintang di dalam Galaksi Bima Sakti atau di dalam ruang antar bintang.

(4)

menjelaskan bagaimana molekul organis yang kompleks dan asam amino mencapai bumi:

”Bahan-bahan mentah yang daripadanya molekul hidup pertama ada di permukaan bumi, dibawa ke permukaan bumi dalam bentuk biji-bijian kecil yang merupakan material antar planet. Bahan-bahan ini terlindung di dalam inti komet yang membeku, yang berasal dari puing awan molekul yang amat besar yang daripadanya terbentuklah Sistem Tata Surya.” [9]

Kehidupan di bumi dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan material organis yang berasal dari bintang, dan yang dibawa ke bumi melalui komet yang bertubrukan dengan planet yang sedang mengalami proses pembentukan.

1.3. Manusia Berkembang di Dalam Sejarah Evolusioner

Bumi dan planet-planet lain terbentuk di sekitar matahari muda kurang lebih 4,5 miliar tahun yang lalu. Dalam kurun waktu sekitar satu miliar tahun, terbentuklah kehidupan di bumi dalam rupa sel-sel

bakterial. Ini merupakan struktur ringkas tanpa sebuah nukleus/inti sel (prokariota). Munculnya kehidupan bakterial dan penggandaan diri DNA molekul merupakan suatu langkah penting di dalam sejarah kita. Rincian peristiwa ini tidak dapat dijelaskan oleh sains. Kemajuan selanjutnya terjadi ketika suatu organisme tunggal yang berinti mulai terbentuk (eukariota). Ahli Biologi bernama Ernst Mayr berargumentasi bahwa Eukariota (organisma dengan sel kompleks) terbentuk sekitar 2,7 miliar tahun yang lalu. [10]

Berdasarkan perhitungan ahli biologi molekular, nenek moyang terakhir manusia dan simpanse modern hidup di antara kurun waktu tujuh sampai lima juta tahun yang lalu. Berbagai spesies manusia purba (hominid) berkembang antara empat sampai dua miliar tahun yang lalu. Beberapa spesies yang telah mengalami kemajuan dalam ukuran otak disebut sebagai homo, misalnya homo rudolphensis.

Homo erectus yang memiliki ukuran otak yang besar dan tubuh yang atletis berkembang sekitar dua juta tahun yang lalu, mulai dari Afrika, lalu berpindah ke belahan bumi lainnya. Mereka dapat menggunakan api, alat-alat batu, dan dapat berlari seperti manusia modern. Tipe manusia purba lain adalah Neanderthalensis yang diperkirakan berkembang sekitar 250.000 hingga 30.000 tahun yang lalu. Bobotnya lebih ringan daripada Homo Erectus, tetapi memiliki kapasitas otak yang lebih besar. Sama seperti Homo erectus, mereka berkembang dari Afrika, lalu berpindah ke belahan bumi lainnya. Edwards mengungkapkan bahwa manusia modern memiliki sejarah yang sama dengan makluk hidup bumi lainnya. Sejarah manusia modern merupakan bagian dari kisah yang lebih besar mengenai alam semesta. Komunitas manusia terlahir dari dentuman besar, terbuat dari debu bintang, dan merupakan bagian dari sejarah kehidupan evolusioner di bumi. Kisah ini membentuk suatu dasar bagi sebuah teologi yang membahas tentang manusia. Edwards menambahkan bahwa dasar pokok lain bagi sebuah teologi Kristen mengenai manusia di tengah ciptaan lainnya adalah Tradisi Kristen itu sendiri.

2. Manusia Sebagai Citra Allah

Menurut Edwards, salah satu warisan penting dari Tradisi Judeo-Kristen adalah gagasan mengenai manusia, laki-laki dan perempuan, sebagai ciptaan Allah yang diciptakan menurut “Citra Allah” (Imago Dei) sendiri (bdk. Kej. 1:27). Gagasan ini memberikan landasan bagi kekristenan mengenai nilai pokok manusia di hadapan Allah. Ia merupakan dasar bagi komitmen segenap jemaat Kristiani dalam

perjuangannya untuk membangun kemitraan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, menimbang persoalan ekonomi dan sosial, dan memperjuangkan resolusi damai terhadap konflik-konflik

internasional. Edwards berargumentasi bahwa sebuah teologi ekologis seharusnya menjadi teologi tentang keadilan antar manusia.

Selain melihat adanya sisi positif dari gagasan mengenai manusia sebagai Imago Dei, Edwards juga melihat sisi negatif dari gagasan tersebut. Menurutnya:

“Konsep mengenai manusia sebagai Citra Allah menjadi sangat berbahaya ketika ia digunakan untuk menempatkan manusia di atas ciptaan lainnya, terutama sekali ketika ia mengusulkan bahwa manusia memiliki hak yang mutlak dan tak terbatas atas spesies-spesies lain.” [11]

(5)

mengarah kepada kehancuran. Sebuah teologi ekologis kritis yang menggunakan pandangan biblis mengenai manusia sebagai Imago Dei harus menempatkan manusia dalam relasinya dengan ciptaan lain, dan memahami bahwa ciptaan lain pun, dengan caranya yang unik, menampakkan dirinya sebagai Citra Allah.

Edwards menggunakan beberapa kutipan Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB) untuk menegaskan identitas Yesus Kristus sebagai Citra Allah (Icon, Yun.). Paulus menyatakan bahwa Yesus adalah Citra Allah (bdk. 2 Kor. 4:4) dan melihat bahwa yang lain, oleh karena Rahmat, berpartisipasi di dalam Citra ini (bdk. Rom. 8:29; 1 Kor. 15:49; 2 Kor. 3:18). Surat Paulus kepada jemaat di Kolose mengidungkan Yesus Kristus sebagai “gambar Allah yang tak kelihatan” (bdk. Kol. 1:15). Yesus, Gambar Allah yang sesungguhnya, merupakan yang sulung dari segala ciptaan. Konsep Imago Dei melampaui manusia. Ia terarah pada Yesus yang bangkit, sebagai Gambar Allah yang sesungguhnya, yang di dalam Dia segenap ciptaan menemukan penyelamatan dan hidup baru. Yesus Kristus bukanlah Gambar Allah bagi manusia saja tetapi juga bagi semua ciptaan. Di dalam Dia, dimulailah rekonsiliasi segala sesuatu.

Selain mengungkapkan universalitas peran Kristus sebagai Gambar Allah, komunitas Kristen selalu menggunakan bahasa gambar (image language) [12] untuk mengungkapkan keunikan manusia di hadapan Allah. Berkaitan dengan hal ini, Edwards mengutip pandangan beberapa teolog Gereja perdana, misalnya Ireneaus, yang membedakan konsep tentang “gambar” (image) dan “kemiripan” (likeness). Bagi para teolog ini, “gambar” menunjukkan kemanusiaan (humanity) yang dibentuk oleh Allah, sedangkan “kemiripan” menunjuk sesuatu yang bakal terjadi manakala manusia dipersatukan dengan Kristus melalui rahmat. Teolog lain, misalnya Athanasius, berbicara mengenai Yesus sebagai satu-satunya “gambar”, sedangkan yang lain, atas dasar rahmat, tergantung pada Yesus Kristus.

Berkaitan dengan konsep tentang manusia sebagai Citra Allah, Edwards bertanya: “Apakah manusia sehingga ia disebut sebagai Gambar Allah?” [13] Ia melihat adanya kecenderungan di antara kelompok Kristen yang menempatkan gagasan Citra Allah pada kekhasan manusiawi yang tidak dimiliki makhluk lain. Dengan kata lain, oleh karena manusia memiliki akal budi dan kehendak bebas maka ia layak disebut sebagai Citra Allah. Dengan demikian, ia lebih berkualitas daripada makhluk hidup lain. Edwards sendiri mengakui bahwa dirinya terpengaruh oleh konsep Karl Rahner mengenai manusia sebagai ciptaan Allah yang mampu sampai pada kesadaran diri (self consciousness), yang

memungkinkan dia memberikan tanggapan terhadap Penciptanya di dalam kebebasan dan cinta. Kemampuan ini secara nyata merupakan kekhasan manusia dan salah satu hal yang membedakan manusia dari ciptaan Allah lainnya. Kendatipun demikian, Edwards melihat bahwa pandangan yang semata-mata terfokus kepada kesadaran diri pun mengadung bahaya. Menurutnya, jika kesadaran diri dijadikan sebagai patokan untuk mendefinisikan manusia di hadapan Allah, maka mereka yang mengalami gangguan psikologis sama sekali tidak memiliki unsur kemanusiaan. Jika demikian, apa yang membuat manusia unik di hadapan Allah?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Edwards mengatakan bahwa keunikan manusia tidak ditentukan oleh kemampuan tertentu yang dimilikinya. Setiap manusia diciptakan sebagai pribadi yang unik dan diharapkan mampu menjalin relasi yang baik dengan pribadi lain (interpersonal). Allah tentunya merangkul mereka yang kemampuannya terbatas oleh karena sakit atau cacat. Edwards mengutip

pandangan seorang ahli biologi, Claus Watermann [14], yang menafsirkan konsep “Imago Dei” di dalam Perjanjian Lama sebagai konsep yang menjelaskan manusia sebagai ciptaan yang dengannya Allah dapat berelasi secara pribadi (bdk. Kej. 1:28, 29-30).

(6)

rahmat, tetapi juga sekaligus sejarah dosa, yaitu ketika manusia, dengan kebebasan yang dimilikinya, menolak Allah. Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia dapat mendominasi dan mengeksploitasi ciptaan lainnya. Segala “penindasan” manusia atas alam semesta membutuhkan penyembuhan,

pembebasan, dan pengampunan, yang di dalam komunitas Kristen, ditemukan di dalam Yesus Kristus. Di dalam ulasannya mengenai manusia sebagai Citra Allah, Edwards memberikan tekanan khusus pada hubungan antara manusia dan ciptaan Allah lainnya. Bagi Edwards, kitab Kejadian memberikan

informasi penting tentang apa yang mesti dilakukan manusia terhadap ciptaan Allah lainnya. Di dalam Kej. 1:31dikatakan bahwa pada hari keenam setelah Allah menciptakan manusia, Allah melihat bahwa apa yang sudah diciptakan-Nya itu baik adanya. Lebih lanjut di dalam Kej. 2:15, Allah memberikan tugas kepada manusia yang baru saja diciptakan-Nya untuk mengusahakan dan memelihara apa yang sudah diberikan-Nya. Teks-teks Kitab Suci ini menunjukkan sebuah visi tentang realitas yang teosentris, bukan antroposentris.

Secara pribadi, Edwards melihat adanya kecenderungan di antara orang Kristen tertentu yang merasa dirinya diberi hak penuh oleh Allah untuk “memanfaatkan” alam sesukanya. Orang-orang ini

menggunakan Kitab Suci untuk melegitimasi tindakan pendominasian dan pengerukan alam (bdk. Kej 1:28). Oleh karena adanya ayat-ayat Kitab Suci yang agaknya pro-eksploitasi ini, pada tahun 1967, Lynn White menuduh kekristenan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kerusakan ekologis. Bagi White, etika Kristen yang terlalu menekankan superioritas manusia atas alam memiliki dampak destruktif terhadap ekologi. [15] Edwards secara pribadi tidak menafikan adanya sikap orang Kristen yang tidak respek terhadap alam, dan ketidakkritisan mereka terhadap pengerusakan alam. Namun, ia menegaskan bahwa kerusakan alam tidak semata-mata merupakan ulah orang Kristen. Penyebab kerusakan lingkungan lain yang disebutkan Edwards antara lain: adanya pandangan Pencerahan

(7)

BAB III

MAKNA TEOLOGIS ROH PENCIPTA DAN PERISTIWA-KRISTUS BAGI KEPEDULIAN EKOLOGIS

Bab ketiga dari tulisan ini memaparkan pandangan Denis Edwards mengenai makna teologis Roh Pencipta dan Peristiwa-Kristus (Christ-Event) serta relevansi kedua gagasan tersebut dengan persoalan ekologis yang kita hadapi saat ini. Edwards merasa perlu memberikan penekanan khusus terhadap kedua gagasan teologis tersebut sebab kekayaan makna teologis kedua gagasan tersebut, khususnya

keterkaitannya dengan persoalan ekologis, belum mendapatkan perhatian yang cukup. Berikut ini penulis akan menjabarkan gagasan-gagasan teologis Edwards di atas dalam suatu susunan yang sistematis.

1. Makna Teologis Roh Pencipta

Dalam buku EHF, Edwards memaparkan pandangan teologisnya mengenai Roh Pencipta dalam empat bagian besar. Berikut ini adalah pemaparan penulis mengenai keempat bagian dimaksud.

1. 1. Roh Kudus Sebagai Nafas Allah

Menurut Edwards, di samping gambaran biblis mengenai Roh Kudus sebagai “Roh Allah”, terdapat juga gambaran mengenai “Nafas Allah.” [16] Untuk memperjelas konsep mengenai Nafas Allah, Edwards mengutip beberapa dasar biblis yang diambil baik dari Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) maupun dari Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB).

Di dalam KSPL terdapat beberapa dasar biblis yang berhubungan dengan Nafas Allah. Kejadian 2:7 mengatakan bahwa setelah Allah menciptakan manusia dari debu tanah, Ia menghembusinya dengan “nafas kehidupan” yang menjadikan manusia tersebut sebagai “makhluk yang hidup.” Dalam kisah mengenai air bah, dikatakan bahwa “dari segala yang hidup dan bernyawa datanglah sepasang mendapatkan Nuh ke dalam bahtera itu” (bdk. Kej. 7:15). Selain itu di dalam Kitab Ayub, Elihu Berkata: “Roh Allah telah membuat aku, dan nafas Yang Mahakuasa membuat aku hidup” (bdk. Ayub 33:4). Nafas Allah, sebagaimana yang digambarkan di dalam Kitab Yehezkiel, berdaya menghidupkan: “Bernubuatlah kepada nafas hidup itu, bernubuatlah, hai anak manusia, dan katakanlah kepada nafas hidup itu: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Hai nafas hidup, datanglah dari keempat penjuru angin, dan berembuslah ke dalam orang-orang yang terbunuh ini, supaya mereka hidup kembali” (bdk. Yeh. 37:9). Di dalam Kitab Mazmur ada sebuah kidung yang mengungkapkan: “Apabila Engkau menyembunyikan wajah-Mu, mereka terkejut; apabila Engkau mengambil roh mereka, mereka mati binasa dan kembali menjadi debu. Apabila Engkau mengirim Roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi” (bdk. Mzm 104: 29-30). Berdasarkan tradisi biblis, khususnya KSPL, gambaran mengenai “nafas” berkaitan erat dengan “sabda”. Kisah penciptaan dipahami sebagai Sabda Allah yang berdaya cipta dan Nafas-Nya yang mampu memberikan kehidupan. Mazmur 33 menyatakan: “Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya” (ayt. 6). Paralelisme teks di atas dapat ditemukan dalam Yudit 16:14: “Kepada-Mu mengabdilah segala ciptaan, sebab Engkau berfirman, maka semuanya terjadi; Kau kirimkan Roh-Mu yang lalu membangun dan tiada sesuatu pun yang melawan suara-Mu.”

Di dalam KSPB ditemukan ayat yang memuat gambaran mengenai Nafas Allah. Bagi komunitas Kristen Perdana, Roh Kudus yang sama, yaitu Nafas Kehidupan, menaungi Maria ketika ia mengandung Yesus (bdk. Mat. 1:18), mengurapi Yesus pada saat pembaptisan-Nya (bdk. Mark. 1:10), dan dicurahkan kepada para murid pada hari pentekosta (bdk. Kis. 2:4). Di dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran” (bdk.Yoh. 14:16).

(8)

terdapat banyak kisah dan kutipan Kitab Suci yang menampilkan Roh Allah sebagai “pemberi kehidupan.” Tulisan-tulisan jemaat Kristen awal memuat pengertian yang baru mengenai Roh Allah, yaitu sebagai “pembawa kebangkitan hidup”: ”Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu” (bdk. Rom. 8:11). Rasul Paulus menyebut Yesus sebagai Adam baru yang “menjadi Roh pemberi hidup” (bdk. 1 Kor. 15:45).

Baik di dalam penciptaan pertama maupun penciptaan baru di dalam Kristus, Roh Allah adalah pemberi hidup. Teolog Timur terkemuka seperti Ireneaus, Athanasius, dan Basilius melihat bahwa Sabda Allah dan Roh Allah “bersama-sama” berkarya di dalam penciptaan dan penebusan. Sedangkan teolog Barat, seperti Ambrosius dari Milan mengembangkan teologi “Roh Pencipta” untuk memberikan gambaran bahwa Roh Kudus pun menjadikan segala sesuatu harmonis dan indah.

1.2. Kisah Besar Mengenai Roh Kudus

Denis Edwards melihat adanya ketimpangan dalam pemahaman mengenai Roh Kudus. Menurutnya: “Banyak orang Kristen berpikir bahwa Roh Kudus hanya datang pada saat pentekosta saja, sehingga perhatian terhadap karya Roh Kudus di dalam penciptaan, rahmat, dan inkarnasi menjadi sangat sedikit. Perhatian yang berlebihan terhadap pentekosta membuat kisah Roh Kudus di dalam peristiwa lainnya terlupakan.” [17]

Edwards menyadari kekurangan tersebut di atas dan berusaha mengisahkan kembali Roh Kudus dalam kisah yang lebih besar dan lengkap. Dia menyebutkan empat episode penting keterlibatan Roh Kudus di dalam dunia, antara lain: penciptaan, rahmat, peristiwa-Kristus, dan pentekosta. Berikut ini penulis memaparkan garis besar pemikiran Edwards mengenai keempat episode kisah keterlibatan Roh Kudus di dunia.

Pertama, berkaitan dengan “penciptaan”, Edwards mengungkapkan bahwa peran Roh Kudus

menjangkau kisah terbentuknya alam semesta pada sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Dengan kata lain, karya Roh Kudus sudah berlangsung jauh sebelum pentekosta, jauh sebelum Musa membebaskan Israel dari perbudakan Mesir, jauh sebelum Abraham dan Sarai meninggalkan Ur-Kasdim ke tempat yang ditunjukkan Allah kepada mereka, dan jauh sebelum manusia purba muncul pertama kali di Afrika. Edwards sangat tertarik dengan pertanyaan yang diberikan Stephen Hawkings di dalam bukunya Brief History of Time, yang mempertanyakan penyebab munculnya alam semesta dan yang memberikan bentuk terhadapnya. [18] Terhadap pertanyaan tersebut, Edwards menyatakan bahwa Roh Pencipta, Sang Nafas Kehidupanlah yang menyebabkan munculnya alam semesta dan memberi bentuk terhadapnya. Dalam pandangan teologis ini, Roh Kudus yang sama memiliki andil dalam peristiwa munculnya bintang awal yang menyinari alam semesta sekitar 13 miliar tahun yang lalu, dan

pembentukan sistem Tata Surya kita pada sekitar 4, 5 miliar tahun yang lalu. Ia memberikan kekuatan bagi terbentuknya alam semesta sebelum adanya kehidupan di muka bumi. Lebih daripada itu, Roh Kudus pun berperan “menghembuskan kehidupan” bagi bakteri, eukariota, organisme multisel, binatang, tumbuhan, manusia purba, dan manusia modern.

(9)

Edwards juga menegaskan bahwa keberadaan manusia selalu merupakan sejarah rahmat—sekurang-kurangnya dalam pengertian bahwa rahmat itu selalu ditawarkan. Sekalipun Roh Kudus, dalam cinta, ada di dalam diri manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa kebebasan manusia memungkinkan dirinya menolak rahmat. Sekalipun dilahirkan di dalam dunia yang penuh rahmat, manusia juga didorong kepada kekurangcintaan (lovelessness), kekejaman (ruthlessness), dan kekerasan (violence). Dalam dunia semacam ini, Roh Kudus hadir dan menawarkan pembebasan dan penyelamatan yang menjadi nyata dalam peristiwa-Kristus (Christ-event).

Ketiga, Edwards menegaskan adanya intimitas mendalam antara Yesus Kristus dan Roh Kudus. Menurutnya:

“Di dalam Peristiwa Yesus, Roh Kudus yang sama menyebabkan inkarnasi, menguduskan dan

mengubah kemanusiaan Yesus, sehingga Ia dapat disebut sebagai Sabda Allah; wajah manusiawi Allah di tengah ciptaan-Nya.[19]

Di dalam Kitab Suci, khususnya KSPB terdapat banyak kisah yang mengungkapkan intimitas Yesus dan Roh Kudus. Injil Markus memulai kisahnya dengan peristiwa pembabtisan Yesus. Dalam peristiwa itu, Roh Kudus mengurapi Yesus, lalu terdengarlah suara dari surga “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan ” (bdk. Mark. 1: 11). Di dalam Injil Matius, ada dua ayat yang

menyebutkan bahwa Maria ibu Yesus: “mengandung dari Roh Kudus” (bdk. Mat. 1:18, 20). Di dalam Injil Lukas, malaikat berkata kepada Maria: ”Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (bdk. Luk. 1:35). Selain itu, ungkapan iman Gereja Perdana menempatkan peran Roh Kudus dalam peristiwa inkarnasi. Di dalam Syahadat Para Rasul terdapat kalimat yang berbunyi: “Dia dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Perawan Maria.” Syahadat Nikea-Konstantinopel menyatakan: ”Ia menjadi daging dengan kuasa Roh Kudus.”

Edwards menyadari bahwa sekalipun peran Roh Kudus di dalam peristiwa-Kristus begitu jelas, teologi Kristen belum memberikan perhatian yang cukup terhadapnya. Usaha untuk menghidupkan kembali teologi yang memberikan perhatian khusus pada peran Roh Kudus di dalam diri Yesus baru muncul lagi belakangan ini, setelah Ambrosius yang pada abad IV mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah “The Author of the Lord’s incarnation”. Walter Casper [20], misalnya, melihat Roh Kudus sebagai sosok yang menguduskan kemanusiaan Yesus dan membuat-Nya layak disebut sebagai pribadi yang melalui-Nya Allah mengkomunikasikan diri-melalui-Nya dalam cinta. Peran Roh Kudus yang begitu besar di dalam diri Yesus antara lain diungkapkan juga oleh Yves Congar. Menurut Congar [21], kisah yang benar

mengenai Roh Kudus dapat ditemukan di dalam kehidupan Yesus. Roh Kudus senantiasa menyertai Yesus dalam peristiwa salib. Roh Kudus ini mengubah derita salib menjadi kasih yang penuh

penebusan. Kristus yang telah bangkit ini kemudian menganugerahkan Roh Kudus kepada Gereja pada peristiwa Pentekosta.

Keempat, dalam pembahasannya mengenai pentekosta, Edwards mengikuti gagasan Yves Congar yang melihat bahwa Kristus dan Roh Kudus sebagai pembentuk Gereja. [22] Roh Kudus yang dicurahkan kepada para murid Yesus, mempersatukan umat-Nya itu sebagai jemaat Yesus Kristus. Sebagaimana Yesus yang senantiasa dibimbing oleh Roh Kudus, demikian pula Gereja harus senantiasa dibimbing oleh Roh Kudus. Melalui Roh Kudus, Gereja dapat membuka diri terhadap hal-hal baru yang ada di luar dirinya.

(10)

1.3. Roh Kudus di Dalam Dunia Evolusioner Yang Terus Berkembang

Edwards sangat bersimpati terhadap pentingnya peran Roh Kudus dalam sejarah alam semesta yang terus berkembang ini. Jika sains dapat memberikan penjelasan mengenai munculnya alam semesta pada tataran empiris, maka teologi pun memiliki perannya sendiri. Menurut Edwards peran teologi dalam hal ini yaitu bertanya tentang Allah dan peran-Nya dalam penciptaan dunia yang evolusioner dan terus berkembang.

Untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana alam semesta ini diciptakan, Edwards sangat terinspirasi oleh pandangan Karl Rahner mengenai transendensi diri ciptaan. [24] Menurut Rahner, Allah telah memberikan kemampuan kepada setiap ciptaan-Nya untuk “melampaui dirinya” dan

senantiasa menjadi ciptaan yang baru. Di dalam transendensi diri ciptaan inilah, karya penciptaan Allah menjadi kelihatan.

Berkaitan dengan transendensi diri, Edwards menyatakan pandangannya mengenai Roh Pencipta. Baginya, Roh Pencipta merupakan kehadiran Allah di tengah-tengah ciptaan-Nya yang memperkuat proses transendensi-diri ciptaan dan menyebabkan munculnya alam semesta yang memuat kehidupan. [25] Roh Kudus merupakan kehadiran Allah secara dinamis kepada ciptaan-Nya, yang memungkinkan segenap ciptaan-Nya untuk ada, dan berkembang di dalam relasinya dengan persekutuan ilahi, dan mengarahkan ciptaan-Nya ini kepada masa depannya di dalam Allah. Roh Kudus memungkinkan segenap ciptaan untuk mentransendensi dirinya menjadi sesuatu atau seseorang yang benar-benar baru.

1.4. Roh Kudus di Tengah Ciptaan Yang Menderita

Sejarah alam semesta tidak semata-mata dipenuhi dengan kebaikan dan keindahan, tetapi juga kerusakan dan ketidakharmonisan. Menurut Edwards, kerusakan dan ketidakharmonisan ini juga merupakan akibat dari evolusi yang berlangsung di alam semesta. Bagi orang-orang yang percaya akan adanya sosok Pencipta (Creator), kesimpulannya jelas, yaitu bahwa Allah telah memilih untuk

menciptakan alam semesta yang terus berkembang dan senantiasa baru dengan segala resiko baik dan buruk yang dihasilkannya. Kendatipun demikian, muncul sebuah pertanyaan: “Jika Allah itu baik dan mahakuasa, mengapa Allah menciptakan dengan cara demikian?” Harusnya, jika Allah adalah

mahakuasa maka Ia tidak akan membiarkan penderitaan melingkupi bumi. Edwards mengakui bahwa teologi tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan ini. Teologi hanya berusaha untuk mengartikulasikan apa yang dapat dikatakannya tentang Allah. Kendatipun teologi pada umumnya tidak memberikan jawaban yang memuaskan, teologi Kristen mengimani bahwa Allah yang melampaui pemahaman manusia telah hadir ke dunia dalam diri Yesus. Melihat hidup dan karya Yesus berarti melihat Allah yang penuh cinta dan melalui salib, masuk dan mengalami dunia yang menderita dan memberikan jaminan akan adanya hidup kekal.

Edwards memiliki argumentasi sendiri mengenai peran yang dimainkan Roh Kudus di dalam dunia yang menderita. Berkaitan dengan hal ini, Edwards memberikan penegasan pada beberapa hal.

(11)

menegaskan bahwa kekuatan ilahi sebagai kekuatan dalam cinta ini bersifat relasional. Artinya, kekuatan ilahi memungkinkan pihak yang dikuasai berkembang dalam segala integritasnya. Kekuatan ilahi tidak mendominasi, melainkan memberikan ruang bagi “yang lain”-nya.

Bagi Edwards, peran Roh Kudus dalam penciptaan alam semesta tidak dapat disingkirkan. Ia menegaskan bahwa segala sesuatu yang berwujud dan yang ada di dunia ini ada, hanya karena ia dirangkul oleh Roh Pencipta, dan rangkulan ini adalah sebuah tindakan cinta. [27] Roh Kudus

merupakan kekuatan Allah yang memungkinkan munculnya kehidupan. Oleh karena Allah mencintai ciptaan-Nya, Roh-Nya yang kudus senantiasa tinggal di dalam ciptaan-Nya, menempatkannya di dalam komunitas ciptaan, dan menghantarnya kepada masa depan yang cerah di dalam Allah. Masa depan inilah yang oleh Paulus disebut sebagai “pemuliaan anak-anak Allah” (bdk. Rom. 8:19-23). Edwards juga mengikuti pandangan Ruth Page yang mengatakan:

”Jika Allah mengetahui dan peduli dengan pengalaman ciptaan, maka Allah juga mengetahui dan peduli dengan habitat masing-masing ciptaan.” [28]

Dengan demikian, tindakan manusia yang menghancurkan habitatnya sendiri akan menjadi “dukacita bagi Roh Kudus” (bdk. Ef. 4:30).

2. Makna Teologis Peristiwa-Kristus (Christ-Event)

Edwards menekankan betapa pentingnya menghubungkan peristiwa-Kristus dengan persoalan ekologis yang sedang dihadapi komunitas global. Bahkan, menghubungkan komitmen ekologis dengan Yesus dari Nazaret merupakan salah satu inti dari teologi ekologis Kristen. [29] Menurutnya, hubungan antara peristiwa-Kristus dengan tindakan ekologis tidak semata-mata merupakan alasan etis, melainkan

merupakan hakekat kekristenan.

Kitab Suci memberikan gambaran bahwa pribadi, perkataan, dan tindakan Yesus adalah perwujudan cinta kasih Allah. Cinta kasih ini tidak berbatas, bahkan menjangkau apa yang kita tidak sukai dan apa yang kita musuhi. Cinta Kasih Allah dalam diri Yesus mencapai puncaknya di dalam kematian-Nya yang mencekam dan kebangkitan-Nya yang mulia. Dalam perjumpaannya dengan Yesus yang sudah bangkit, para murid menemukan bahwa cinta kasih Allah yang tampak dalam diri Yesus tidak “terkunci” dalam kubur, tetapi “keluar” sebagai kekuatan pembebasan dan harapan yang dasyat. Cinta kasih ini tidak hanya terbatas pada manusia saja, melainkan menjangkau semua ciptaan “sebab semua makhluk menantikan dengan rindu penebusannya di dalam Kristus” (Bdk. Rom. 8:19-24).

2. 1. Ciptaan di Dalam Hidup dan Karya Yesus

Dalam ingatan Gereja Perdana, sebelum kisah mengenai Yesus dibukukan, selain bahwa Yesus dikenal sebagai “Mesias, Putera Allah,” Ia juga dikenal sebagai “Nabi Agung” dan “Guru Kebijaksanaan.” Sebagai pengajar kebijaksanaan, Ia menggambarkan Allah dan kemahakuasaan-Nya dengan

menggunakan perumpamaan berupa gambar dan cerita yang biasa digunakan masyarakat di sekitarnya untuk menggambarkan kemahakuasaan Allah. Perumpamaan menampakkan sebuah pengamatan yang dekat mengenai dunia sebagai tempat Allah. Sebagaimana dikatakan C. H. Dodd, demikian pula Edwards:

”Perumpamaan –perumpamaan mengungkapkan bahwa bagi Yesus ada kelekatan dari dalam antara keteraturan alam dengan keteraturan spiritual.” [30]

Perumpamaan Yesus mengenai Kerajaan Allah merupakan “produk” yang dihasilkan oleh seseorang yang memandang ciptaan sebagai pemberian Allah dan tempat kehadiran Allah.

Tindakan Yesus berdoa dalam keheningan di tempat-tempat sunyi, misalnya padang gurun, bukit

(12)

memberikan makanan dan pakaian kepada burung udara dan bunga bakung di ladang (Bdk. Mat 6:28; Luk 12:27). Kasih Yesus kepada semua ciptaan sangat besar, sampai-sampai “rambut di kepalamu pun terhitung semuanya” (bdk. Mat. 10:30).

2. 2. Yesus Kristus Sebagai Kebijaksanaan Allah

Peristiwa kebangkitan Yesus bagi jemaat Kristen awal merupakan suatu kekuatan istimewa, sebab dengan peristiwa iman ini mereka diyakinkan bahwa peristiwa salib bukanlah akhir dari segala sesuatu. Mereka merefleksikan bahwa sosok yang sangat istimewa itu adalah sungguh-sungguh Allah. Bagi jemaat Kristen awal, peristiwa-Kristus memiliki makna universal, maka Ia layak untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas. Mereka mewartakan bahwa Yesus Kristus adalah “Allah Beserta Kita” (Mat. 1:23).

Bagi Rasul Paulus, Yesus memiliki peran kosmis: “namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (bdk. 1 Kor 8:6). Jelaslah bagi Paulus bahwa “segala sesuatu” yang ada di alam semesta ini mendapatkan esksistensinya melalui Yesus. Jika dikatakan bahwa Yesus memiliki peran kosmis, muncul pertanyaan: ”darimanakah peran kosmis yang dimiliki Yesus ini muncul?”

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Edwards mengatakan bahwa salah satu faktor yang turut melahirkan anggapan bahwa Yesus memiliki peran kosmis, lahir dari sebuah teologi mengenai “Kebijaksanaan Allah.” Dalam surat-surat Kebijaksanaan yang ditemukan di dalam Kitab Suci,

komunikasi Allah dipersonifikasikan sebagai “Perempuan Kebijaksanaan.” [31] Menurut Edwards ada dua karakteristik pokok dari istilah perempuan kebijaksanaan. Pertama, “dia terlibat secara intim dengan segenap ciptaan.” Pernyataan ini memberi arti bahwa perempuan kebijaksanaan itu adalah co-creator Allah; ada bersama Allah dalam peristiwa penciptaan pertama (bdk. Amsal 8:22-31; Sir. 24:3-7). Kebijaksanaan ini adalah “pohon kehidupan” (bdk. Amsal 3:18), dengannya “Allah telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian ditetapkan-Nya langit, dengan pengetahuan-Nya air samudera raya berpencaran dan awan menitikkan embun” (bdk. Amsal 3:19-20). Kedua, “dia datang untuk tinggal di tengah-tengah kita.” Pernyataan tersebut menampakkan bahwa perempuan kebijaksanaan itu seumpama orang yang tinggal di tengah kita, mengadakan perjamuan dengan kita, dan mengundang orang miskin dan yang membutuhkan untuk makan dan minum, menikmati apa yang sudah dipersiapkannya (bdk. Amsal 9:1-6; Sir. 24:8-22). Kebijaksanaan ini adalah sosok yang di dalamnya kita semua diciptakan. Sekarang ini ia ada dan tinggal di antara kita.

Berbeda dengan orang Yahudi yang menganggap Torah sebagai Kebijaksanaan Allah, jemaat Kristen Awal menjadikan Yesus Kristus sebagai Kebijaksanaan Allah. Sebagai Kebijaksanaan Allah, Yesus adalah Sang Sabda yang menjadi daging (bdk. Yoh. 1:1-18) yang membawa penyembuhan dan pembebasan: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (bdk. Mat. 11:28). Ia ditampilkan sebagai orang yang mengundang kaum miskin dan yang membutuhkan untuk datang ke meja perjamuan yang telah disiapkan-Nya dan memberikan diri-Nya sebagai “Roti Kehidupan” (bdk. Yoh. 6).

Di dalam beberapa teks KSPB, ditampilkanlah peran kosmis yang dimiliki Yesus Sang Kebijaksanaan Allah. Di dalam sebuah pujian singkat di dalam surat kepada jemaat Ibrani, Yesus ditampilkan sebagai sosok yang melalui-Nya Allah menciptakan segala sesuatu (bdk. Ibr. 1:2). Lebih lanjut dikatakan bahwa Kristus itulah: “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang ‘segala sesuatu’ dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan” (Ibr. 1:3). Penggambaran Yesus sebagai “Gambar Wujud Allah” sejajar dengan pernyataan Kitab Kebijaksanaan yang mengungkapkan Sophia sebagai “Gambar Allah” (bdk. Keb. Sal. 7:26).

(13)

Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya (bdk. Yoh. 1:1-5).

Dari kutipan Injil di atas, terungkaplah bahwa kisah mengenai Sabda tidak dimulai dengan hidup Yesus. Sabda itu ada bersama Allah sejak awal mula dan memiliki peran aktif dalam penciptaan “segala

sesuatu.” Sang Sabda yang berdaya mencipta ini kemudian menjadi daging di dalam diri Yesus. Edwards juga mengutip kata-kata Kebijaksanaan dari Surat Paulus kepada jemaat di Kolose untuk menggambarkan peran kosmis Yesus:

“Kristus adalah gambar yang nyata dari diri Allah yang tidak kelihatan; Kristus adalah anak yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan. Sebab melalui Dialah Allah menciptakan segala sesuatu di surga dan di atas bumi, segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, termasuk juga segala roh yang berkuasa dan yang memerintah. Seluruh alam ini diciptakan melalui Kristus dan untuk Kristus. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.” (bdk. Kol 1:15-17). Menurut Edwards, kutipan di atas mengandung arti bahwa Kristus kosmis dirayakan sebagai sumber dan tujuan segenap ciptaan. Selain itu pujian Kolose di atas menekankan bahwa di dalam Kristus dan salib-Nya, Allah telah mendamaikan segala sesuatu ke dalam diri-Nya. Segala ciptaan diciptakan di dalam Kristus, didukung oleh-Nya, dan diperdamaikan di dalam Dia. Pujian di atas memberikan

gambaran bahwa kematian dan kebangkitan Yesus merupakan permulaan transformasi segala ciptaan. Ia adalah Alpha dan Omega (bdk. Why. 22:13).

Edwards mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini, banyak kaum feminis memperjuangkan pembentukan teologi baru mengenai Yesus sebagai Kebijaksanaan Allah. Elisabeth Johson [32] misalnya, membangun suatu Kristologi mengenai Yesus sebagai kebijaksanaan Allah. Di dalam gagasan teologis ini, Yesus disimbolisasikan sebagai wanita Kebijaksanaan (sophia) yang menginspirasi kaum perempuan untuk berjuang memperoleh kesejajaran haknya dengan kaum pria. Terhadap pandangan teologis ini, Edwards mempertegas posisinya bahwa Yesus sang Kebijaksanaan Allah secara inklusif meliputi baik wanita dan pria, baik manusia maupun bukan manusia. Edwards menambahkan pula bahwa Sang Kebijaksanaan ilahi mengekspresikan diri-Nya tidak hanya dalam sosok manusiawi. Ekspresi-Nya menjangkau segenap ciptaan. Untuk memperkuat argumen di atas, Edwards mempergunakan pemikiran dua teolog. Teolog pertama adalah Neil Darragh, seorang teolog Selandia Baru. Neil Darragh berujar demikian:

“Mengatakan bahwa Allah menjadi daging tidak semata-mata hanya mengatakan bahwa Allah menjadi manusia saja, tetapi juga mengatakan bahwa Allah menjadi sosok “Ada” yang peduli; menjadi “Ada” yang hidup (bersama dengan “ada”yang hidup lainnya); menjadi unit mineral dan cairan bumi yang kompleks; menjadi suatu unsur di dalam siklus karbon dan nitrogen.” [33]

Teolog kedua adalah Niels Gregersen, seorang teolog Denmark yang memperkenalkan istilah Deep Incarnation. [34] Deep Incarnation menegaskan bahwa penjelmaan Allah menjangkau setiap ciptaan dalam untung dan malangnya. Makna inkarnasi (=menjadi daging) tidak terbatas pada manusia. Ia meliputi semua yang terhubungkan dengan kehidupan kedagingan. Dengan kata lain, inkarnasi

menjangkau seluruh alam semesta yang memungkinkan daging dapat berelasi dan bergantung. Dengan konsep deep incarnation ini, ditegaskanlah bahwa manusia selalu berada di dalam relasi yang mutlak dengan ciptaan lainnya. Ia tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan ciptaan Allah.

2. 3. Yesus Kristus di Dalam Dunia Yang Terus Berubah

Untuk menemukan relasi antara peristiwa-Kristus dengan dunia yang terus berubah, Edwards mengikuti pandangan Karl Rahner. Rahner bergerak dari gagasan mengenai kesatuan ciptaan. Kesatuan ini

pertama-pertama ditemukan dalam kenyataan bahwa segala sesuatu “mengalir’ dari satu Pencipta. Selanjutnya, segenap ciptaan dipersatukan dalam suatu dunia yang mutlak relasional. Selain itu, segenap ciptaan akan dipersatukan di dalam Allah. Persatuan ini sudah merupakan tujuan Allah untuk

(14)

manusia melalui peristiwa Yesus dan penganugerahan Roh Kudus. Penganugerahan diri ini tidak semata-mata tertuju kepada manusia, melainkan kepada semua ciptaan.

Pandangan Rahner mengenai inkarnasi dipengaruhi oleh pandangan teolog Fransiskan seperti Raymond Lull dan Duns Scotus. Sejajar dengan kedua teolog itu, Rahner menyatakan bahwa inkarnasi merupakan rencana Allah sejak semula. Alam semesta ini diciptakan karena Allah berkehendak memberikan diri-Nya dalam cinta kepada segenap ciptaan-diri-Nya. Inkarnasi tidak terjadi karena ada dosa, tetapi karena Allah sudah merencanakannya sejak semula.

Rahner memandang bahwa muculnya kehidupan merupakan bagian yang sangat penting dari sejarah umat manusia. Tentunya ilmu pengetahuan memiliki jawaban tertentu mengenai bagaimana kehidupan ini muncul. Kendatipun demikian teologi memiliki peran khusus, yaitu mencatat peristiwa ini sebagai tindakan penciptaan yang dilakukan oleh Allah. Allah dimengerti sebagai sosok yang memberikan kekuatan sedemikian rupa sehingga kebaruan (novelty) dapat terjadi. Kapasitas ciptaan untuk tumbuh dan berkembang oleh Rahner disebut sebagai kapasitas untuk men-transendensi diri. Karena kekuatan Allah, zat (matter) dapat berubah menjadi hidup (life); hidup men-transendensi dirinya menjadi manusia yang sadar; manusia men-transendensi dirinya sedemikian sehingga, melalui rahmat, ia dapat bersatu dengan Allah; dan melalui Yesus semua proses evolusioner akan men-transendensi diri, dan menjadi satu dengan Allah.

(15)

BAB IV

MAKNA TRINITAS, MASA DEPAN CIPTAAN DI DALAM ALLAH, DAN PRAKSIS HIDUP KRISTIANI DALAM RANGKA PEMBANGUNAN RUMAH BERSAMA SEMUA CIPTAAN

Kerusakan yang terjadi atas ligkungan hidup selama ini telah menarik perhatian banyak orang. Bagi para penganut paham monotheistik seperti kaum Yahudi, Kristen, dan Islam, upaya perbaikan lingkungan hidup dirasa kian mendesak untuk segera diupayakan. Mereka beranggapan bahwa keanekaragaman yang ada di alam berakar pada Allah yang Esa. Allah adalah peletak dasar kehidupan dan sosok yang memungkinkan kehidupan itu berkembang dalam kesuburan dan kelimpahannya (bdk. Kej. 1:20-31). Oleh karena segenap ciptaan adalah karya Tuhan, maka pengerusakan dan pemunahan spesies dan habitatnya adalah dosa berat melawan Allah.

Pada bab ini penulis akan mengupas pembahasan teologis Denis Edwards dalam tiga bagian besar, antara lain: 1) Allah sebagai persekutuan, 2) Masa depan ciptaan di dalam Allah, dan 3) Penyembahan dan praksis hidup yang berwawasan lingkungan.

1. Allah Sebagai Persekutuan

Konsep mengenai “Trinitas” muncul pada sekitar akhir abad II. Kendatipun demikian, keyakinan orang Kristen awal sudah bersifat triniter. Di dalam diri Yesus mereka mengalami penyembuhan, pembebasan, dan penyelamatan Allah. Yesus diyakini sebagai sosok yang berasal dari Allah, diutus oleh Allah bagi manusia, dan merupakan Allah-beserta-kita (God-with-us). Yesus adalah utusan Allah yang penuh dengan Roh Kudus. Ia adalah sesosok manusia yang sudah wafat namun dibangkitkan Allah. Setelah kebangkitan-Nya, Ia mengirimkan Roh Kudus kepada para murid-Nya. Roh Kudus ini dialami sebagai kehadiran Allah yang membawa hidup dan kekuatan. Kehadiran-Nya memungkinkan para murid Yesus menyatukan diri sebagai Gereja Yesus Kristus yang terus mewartakan karya Allah yang nyata di dalam Kristus yang sudah dibangkitkan-Nya.

Jemaat Kristen awal sudah meyakini bahwa Yesus Kristus dan Roh Kudus sungguh-sungguh berasal dari satu Allah, yang Yesus sebut sebagai abba (bdk. Gal. 4:6). Sang Sabda dan Roh Kudus berasal dari Sang Pengasal Segala Sesuatu. Jemaat Kristen ini mengalami bahwa seluruh pengalaman hidupnya merupakan tindakan penyelamatan Allah. Penyelamatan yang dialami jemaat ini bersifat triniter karena berasal dari Allah melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus Pemberi Hidup. Keyakinan ini bukannya tidak menimbulkan kontroversi. Banyak pertanyaan diarahkan terhadap sosok ilahi yang mereka yakini, misalnya: jika Yesus adalah anak Allah, apakah Ia sungguh-sungguh ilahi dan kekal, atau hanya ciptaan belaka? Atau, apakah Roh Kudus yang dicurahkan kepada manusia sungguh-sungguh ilahi, atau hanya ciptaan Allah saja? Jika dikatakan bahwa Yesus dan Roh Kudus memiliki unsur keilahian, lantas bagaimanakah hal itu dapat diperdamaikan dengan monotheisme yang terdapat di dalam Kitab Suci? Berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan ini, jemaat Kristen awal tetap berpegang pada kepercayaan Allah (God’s fidelity). Mereka yakin bahwa pewahyuan diri Allah di dalam Yesus Kristus dan

(16)

1. 1. Trinitas Dalam Tradisi Kekristenan Timur

Dari dunia kekristenan timur, gagasan teologis mengenai Roh Kudus dan Trinitas dikembangkan oleh tiga uskup Kapadokia, yaitu Basilius dari Caesarea (330-379), Gregorius dari Nyssa (330-395), dan Gregorius Nazianzus (330-389). Para uskup ini mengembangkan lebih jauh apa yang sudah pernah dibahas oleh Athanasius (296-377), patriark Aleksandria, di dalam teologi keselamatannya yang mengungkapkan bahwa di dalam Yesus, manusia diilahikan. Melalui rahmat, manusia ditransformasi dan dimungkinkan untuk mengambil bagian di dalam kehidupan Allah. [36] Dari ketiga Bapa

Kapadokia, Edwards mengambil pemikiran Basilius untuk menggambarkan garis besar pemikiran dunia kekristenan timur mengenai Trinitas.

Basilius pernah menggunakan rumusan khusus di dalam doa pujian/doxologi yang berbunyi:

”kemuliaan kepada Bapa dengan (with) Putera, bersama dengan (together with) Roh Kudus.” Rumusan doa Basilius ini mengundang kontroversi. Pokok persoalannya terletak pada gagasan bahwa Putera dan Roh Kudus “ada bersama” dengan Bapa sebab rumusan “ada bersama” mengungkapkan kesetaraan (equality) dan kesalingan (mutuality) Sang Putera dan Roh Kudus dengan Bapa. Bagi Basilius, Sabda dan Roh Kudus secara kekal berasal dari Allah dan ketiganya berada di dalam kesatuan yang mendalam sedemikian sehingga tidak terdapat subordinasi di antara ketiganya. Rumusan “ada dengan”

dipertahankan Basilius karena mengandung dua makna penting yaitu, 1) ketiga pribadi ilahi itu berbeda satu sama lain, tetapi 2) berada di dalam suatu persekutuan (communion) yang mendalam dan tak terpisahkan.

Basilius dan para Bapa Gereja Kapadokia berusaha merumuskan apa yang khas pada masing-masing pribadi ilahi. Pada tahap ini, baik pada Gereja Latin maupun Gereja Yunani, belum ditemukan kata yang tepat untuk menyebut kata Pribadi (person) bagi ketiga Pribadi Ilahi. Kata Yunani yang tersedia untuk menyebut person adalah prosophon (=Ind. “topeng”). Para Bapa Kapadokia ingin mengungkapkan sesuatu yang lebih mendalam sebab prosophon hanya menggambarkan peran yang dimainkan seseorang, maka digunakanlah kata hypostasis [37] (menunjuk pada perwujudan konkret, individual). Pribadi triniter selalu merupakan Pribadi-dalam-persekutuan (persons-in-communion). Melalui pemikiran teolog seperti Basilius, dibayangkanlah bahwa ketiga pribadi ilahi ada di dalam sebuah persekutuan yang penuh dengan kesalingan (mutuality), kesamaan (equality) dan kesatuan (unity). Dengan demikian Allah adalah Allah yang relasional secara radikal, dan “Ada”-Nya adalah “Ada-dalam-relasi-kesalingan” (being-in-mutual-relations).

1.2. Trinitas Dalam Tradisi Kekristenan Barat

Dalam Tradisi kekristenan Barat, gagasan mengenai Trinitas dikembangkan oleh Agustinus (354-430) melalui karyanya yang berjudul De Trinitate. Dia berusaha menemukan tempat seseorang di dalam Allah dan Allah di dalam diri seseorang. Kitab Suci dan sejarah keselamatan menjadi titik tolak

pencariannya, kemudian ia mulai merefleksikan Allah di dalam diri manusia, yang tidak lain, merupakan citra Allah. Agustinus memberikan gambaran mengenai pencinta, yang dicinta, dan cinta di antara keduanya. Kendati demikian dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap ketiga gambaran tersebut. Dalam pencariannya akan Allah dia lebih memperhatikan usaha batin manusia untuk

menemukan Allah, Allah yang tercermin di dalam tindakan batin (inner self/mens), yaitu ketika batin mengenangkan dirinya, memahami dirinya, dan mencintai dirinya. Gambaran pokok Agustinus mengenai Trinitas adalah batin yang mengenangkan, memahami, dan mencintai Allah.

Gagasan Agustinus mengenai Trinitas dikembangkan lebih lanjut oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Melalui Aquinas, Trinitas yang oleh Agustinus ditemukan di kedalaman diri manusia (human interiority) dibawa ke tataran metafisis. Menurut Aquinas, ada dua aktivitas pikiran manusia yaitu mengetahui dan mencintai. “Ada” (being) Allah adalah tindakan murni (pure action), yang mencakup tindakan

(17)

dalam Allah, yaitu Roh Kudus, yang selalu ada di dalam kedua pribadi lainnya sebagai pribadi yang utuh.

Dalam pemahaman Edwards, hubungan sirkuler antara tiga pribadi Allah berkaitan erat dengan ciptaan. Hubungan yang diletakkan Edwards ini didasarkan pada pandangannya bahwa Allah adalah tindakan komunikasi diri dan kebebasan yang dinamis. Lingkaran kehidupan Allah merupakan lingkaran yang terbuka, dalam mana segala sesuatu diciptakan dalam Allah dan dipersatukan oleh Roh Kudus. Edwards memperhatikan bahwa Aquinas mengambil posisi yang berbeda dengan pandangan Gereja Timur, khususnya mengenai radikalitas relasi Allah Trinitas. Perbedaan relasi di dalam Allah tidak bersifat ekstrinsik. Hubungan di dalam Allah identik dengan sifat ilahi (divine nature), yang disebut Aquinas sebagai relasi “subsisten” karena merupakan bagian dari Substansi Allah. Relasi tersebut merupakan bagian dari “Ada” Allah yang sesungguhnya. Relasi itulah Allah.

Edwards juga memaparkan pandangan Bonaventura (1221-1274), biarawan Fransiskan, mengenai teologi Trinitas. Bonaventura mengambil pandangan tradisi kekristenan Timur mengenai kepenuhan dinamis dari kebaikan ilahi (fruitfulness of divine goodness) untuk memaparkan pandangannya mengenai Trinitas. Menurutnya, kesuburan (fecundity) ciptaan berasal dari kelimpahan Sang Sumber Kepenuhan yang tak terbatas (fontalis plenitudo), yang tidak lain adalah Allah Trinitas. Contoh

(exemplar) dari fontalis plenitudo adalah Sang Sabda Kebijaksanaan Allah yang kekal (eternal Word of Wisdom of God). Ketika Allah mencipta, kepenuhan kehidupan Trinitas mendapatkan ekspresi

kepenuhannya di dalam keberagaman ciptaan. Setiap ciptaan merupakan refleksi dan gambar Sang Sabda yang kekal.

1. 3. Perichoresis

Untuk mendukung penjelasannya mengenai Trinitas, Edwards merasa perlu memaparkan pandangannya mengenai “kesatuan hidup” (mutual indwelling). Gagasan mengenai kesatuan hidup dalam konteks pembicaraan teologis mengenai Trinitas, sudah berakar di dalam Kitab Suci, antara lain di dalam Injil Yohanes. Yesus pernah mengatakan: “Aku di dalam Bapa-Ku, dan Bapa-Ku di dalam aku” (bdk. ayt. 10-11). Selain itu Yesus menjanjikan para murid-Nya sosok Roh Kudus Pembela (Advocate Spirit) yang akan tinggal selamanya bersama mereka (bdk. ayt. 15-17). Yesus bahkan memberikan jaminan bahwa Bapa pun akan tinggal di dalam diri manusia tetapi dengan syarat bahwa manusia tersebut harus menuruti Firman Bapa dan Putera, serta mengasihi keduanya. Di bagian Injil Yohanes lainnya, Yesus berdoa kepada Bapa-Nya demikian:”Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (bdk. 17-21).

Dalam pembahasan mengenai Trinitas, konsep “ada-bersama-satu-sama-lain” (perichoresis) [38] merupakan konsep yang sangat penting karena konsep ini: 1) menjaga perbedaan dan keunikan ketiga pribadi ilahi, dan 2) menjaga agar Trinitas tidak disalahartikan sebagai kumpulan individu yang terpisah-pisah, tiga Allah (triteisme). “Ada-bersama-satu-sama-lain” merupakan gagasan yang terbuka,

mencakup dunia ciptaan (world of creatures). Gagasan ini menekankan persatuan di dalam perbedaan. Persatuan dan perbedaan bukanlah konsep yang saling bertentangan. Perichoresis mengungkapkan intimitas ketiga pribadi ilahi dalam keunikan (distinctiveness) dan kebebasan (freedom) tertinggi. Tipe kesatuan ini mengungkapkan bahwa masing-masing pribadi dimungkinkan untuk berkembang, pertama-tama hanya jika masing-masingnya berada dalam persatuan dengan yang lainnya.

(18)

Memasuki abad XXI, tuntutan untuk menerima perbedaan dirasakan semakin besar. Sebuah kesatuan yang menafikan perbedaan segera akan terjatuh ke dalam totalitarisme yang ditandai dengan superioritas kehendak dan paham tertentu atas kehendak dan paham lain. Dalam konteks ini, Trinitas memberi ruang bagi adanya perbedaan di dalam kesatuan.

Edwards merasa perlu untuk menegaskan bahwa doktrin teologis mengenai Trinitas bukanlah sebuah doktrin yang kaku dan tertutup, melainkan sebuah doktrin yang memiliki dampak praktis. Ia

mengungkapkan bahwa gagasan mengenai “Ada” Allah menyediakan sebuah pandangan mengenai kesalingberhubungan (interelational) dan ketergantungan (interdependent) yang berlaku di alam semesta. Teologi Trinitas mengungkapkan bahwa keanekaragaman yang ada di alam semesta mengalir dari keanekaragaman dan kelimpahan Allah. Hal ini dipertegas lagi oleh ilmu pengetahuan yang menyatakan bahwa relasi menandai setiap tahap perkembangan alam semesta kita, termasuk

perkembangan makhluk hidup. Munculnya entitas-entitas baru dimungkinkan karena adanya entitas lain yang mendahuluinya atau yang mendukungnya. Entitas baru ini ada, hanya jika ia berada di dalam suatu komunitas tertentu yang mendukungnya.

2. Transformasi segala Sesuatu Dalam Allah

Menurut Edwards, kekristenan memiliki visi eskatologisnya sendiri, sebab ia merupakan agama janji dan pengharapan. Para penganutnya diarahkan kepada masa depannya di dalam Allah. [39] Kendatipun demikian, Edwards memperhatikan adanya kecenderungan yang berlebihan di antara orang Kristen dalam melihat masa depannya di dalam Allah. Bagi orang-orang ini, kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini jauh lebih baik. Edwards menegaskan bahwa meninggalkan dunia ini dan semata-mata hanya memikirkan surga merupakan degradasi nilai bagi dunia sebab tindakan spiritual hanyalah langkah kecil menuju Tujuan Tertinggi (Ultimate Goal). Pandangan yang terlalu melebih-lebihkan surga acapkali sangat berbahaya, sebab pesona surga telah melemahkan usaha manusia di dunia. Jika cara pandang semacam ini tetap dipertahankan maka akan ada banyak orang yang mencemooh agama, misalnya seperti Karl Marx yang menyebut agama sebagai “candu” masyarakat. Orang di-“ninaboboh”-kan oleh masa depan yang penuh kebahagiaan.

Jemaat Kristiani menyadari bahwa Allah yang menjelma menjadi daging telah menjanjikan masa depan bagi manusia, terutama kepada segala sesuatu melalui kebangkitan Yesus. Dalam memberikan

penjelasan mengenai masa depan manusia dan alam semesta di dalam Allah, Edwards mempergunakan pemikiran dua teolog ternama, yaitu: Pierre Teilhard de Chardin dan Karl Rahner. Berikut penulis memaparkan pemahaman Edwards dan komentarnya terhadap pandangan kedua teolog tersebut.

2 .1 Kritus Sang Omega: Pierre Teilhard de Chardin [40] (1881-1955)

Teilhard de Chardin, sebagai seorang teolog dan paleontolog, berusaha menghubungkan sejarah

evolusioner dengan iman kristiani terhadap Yesus. Menurutnya, materi yang ada di alam semesta dapat memberikan kehidupan kepada manusia. Ia juga memprediksikan adanya sebuah tahap dalam evolusi kosmis, dalam mana manusia akan masuk ke dalam suatu persatuan kesadaran yang baru (a new unity of consciousness). Persatuan ini merupakan persatuan atas dasar kasih dan berpusat pada Yesus Kristus. Berdasarkan teks-teks biblis dari Surat-surat Paulus kepada jemaat di Roma, Kolose, Efesus, dan juga Injil Yohanes, Teilhard de Chardin melihat Yesus yang bangkit sebagai “Kristus Kosmos”. Dengan gagasan ini maka Kristus merupakan tujuan dan pemenuhan seluruh proses. Kristus, Sang Omega, memancarkan cinta-Nya sedemikian sehingga semua energi alam semesta teraktualisasi dan bergerak menuju masa depannya di dalam Allah.

(19)

kebangkitan, Yesus yang bangkit hadir kepada segala sesuatu. Karena penjelmaan, kehadiran universal Allah “sudah mentransformasi dirinya bagi kita ke dalam kristifikasi yang berlangsung di mana-mana (the omnipresence of christification). The Divine Milieu merupakan refleksi lebih lanjut terhadap kehidupan spiritual (interior life). Dalam buku ini Edwards menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai “aktivitas” dan “pasifitas”; di dalam keduanya kita dipersatukan dan diilahikan di dalam Allah. Allah itu hadir di dalam kebahagiaan dan penderitaan kita, serta membentuk dan mentransformasi kita di dalam Kristus. Segala sesuatu yang kita lakukan dan yang kita tanggung dalam iman, termasuk setiap derita dan kematian, memiliki makna yang abadi di hadapan Allah.

Di dalam buku The Human Phenomenon, Teilhard de Chardin melacak kembali pergerakan evolusi dari atom sampai terbentuknya manusia. Pelacakkan ini merupakan sebuah pergerakan kompleksitas yang terus berkembang (a movement of increasing complexity). Kompleksitas yang terus berkembang ini diikuti dengan perkembangan interiori-sasi (interiorization) pada tataran kesadaran. Di dalam perkem-bangan kompleksitas ini, Teilhard de Chardin menemukan bukti-bukti bagi sejarah evolusioner. Tipe perkembangan yang selalu menuju kompleksitas, bagi Teilhard, merupakan hukum universal (universal law). Hukum ini disebutnya sebagai hukum kompleksitas-kesadaran (the law of

complexity-consciousness). Menurut Teilhard de Chardin, perkembangan kompleksitas pada akhirnya sampai pada tataran interaksi pikiran manusia (Yun. Noos) dan perkembangan kebudayaannya. Dia menamakan evolusi yang terjadi di dalam interaksi sosial di antara manusia sebagai noosphere (lapisan pikiran). Teilhard de Chardin lantas membuat beberapa lapis perkembangan alam semesta, yaitu lapisan zat (geosphere), lapisan kehidupan (biospehere), dan lapisan pikiran (noosphere). Di dalam lapisan pikiran inilah terdapat masa depan evolusi.

Ada banyak kritik yang diarahkan kepada pandangan teologis Teilhard de Chardin. Kebanyakan kritikus ini adalah pakar ilmu alam yang merasa terusik dengan pandangannya mengenai masa depan evolusi. Ia dikritik karena mencampuradukkan sains dan keyakinan agama. Dalam konteks abad XXI, jelas terlihat bahwa Teilhard de Chardin tidak merefleksikan krisis ekologis. Meskipun demikian, bagi Edwards, “komitmennya terhadap dunia, khususnya perihal zat (matter), memiliki kata penting bagi zaman yang sedang berjuang mendapatkan pandangan yang tepat mengenai realitas.” [41] Usaha untuk mempertemukan iman kristiani akan Yesus Kristus dan masa depan alam material selanjutnya

diusahakan oleh Karl Rahner.

2. 2 Transformasi Alam Semesta: Karl Rahner [42] (1904-1984)

Rahner mengangkat kembali gagasan yang sudah dirintis oleh Teilhard de Chardin mengenai masa depan alam semesta di dalam Allah, dan membahasnya dalam perspektifnya sendiri. Ia sangat dipengaruhi oleh tradisi kekristenan Timur yang memandang inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus sebagai kejadian yang transformatif di dalam sejarah alam semesta. Rahner sangat tertarik dengan peristiwa kebangkitan Yesus. Baginya kebangkitan merupakan dasar terdalam bagi segala entitas di alam semesta. Ia menyebut kebangkitan sebagai “perubahan ontologis” (ontological change) atau perubahan pada level “ada”. Kebangkitan Yesus bukan semata-mata peristiwa yang terjadi setelah kematian-Nya. Lebih dari itu, kebangkitan memberikan makna bahwa realitas kebertubuhan Yesus diangkat kepada Allah. Rahner menyebut kebangkitan sebagai permulaan pengilahian seluruh realitas dalam Allah.

Menurut Rahner, dalam segala hal Yesus adalah jalan, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut: ”Sifat (nature) dasar manusia yang terciptakan ini merupakan pintu gerbang yang tetap dan tak

tergantikan; segala sesuatu yang terciptakan harus melalui-Nya jika ingin menemukan penyempurnaan kebenaran abadinya di hadapan Allah.” [43]

Melalui Yesus yang bangkit, Rahmat Allah dan tanggapan manusia atasnya dapat termediasikan. Realitas manusiawi Yesus sangat berarti bagi kehidupan kekal manusia di dalam Allah dan bagi transformasi akhir segala ciptaan.

(20)

Kendatipun demikian, ia tidak dapat memastikan bagaimana persisnya bentuk dari ciptaan yang sudah ditransformasi ini (transformated creation). Sebagaimana Allah adalah realitas yang tak dapat kita dipahami (incomprehensible reality), demikian pula janji akan masa depan manusia dan alam semesta di dalam diri-Nya juga melampaui pemahaman dan imajinasi kita. Dengan kata lain, masa depan kita dan masa depan alam semesta di dalam Allah mengambil bagian di dalam ke-tak-ter-paham-an Allah (incomprehensibility of God). Rahner menyadari adanya keragu-raguan di kalangan umat kristiani terhadap masa depan ini. Tetapi ia menegaskan kepada kita bahwa “yang cukup” bagi kita adalah keyakinan yang kuat akan pemenuhan diri kita di dalam misteri cinta kasih Allah.

Dari teks-teks biblis, kita tidak menemukan gambaran spesifik mengenai masa depan alam semesta di dalam Allah. Menurut Rahner, melalui pengalaman iman terhadap Yesus dan Roh Kuduslah masa depan ini dapat kita ketahui. [44] Menurut Rahner, salah satu tugas teologi adalah membiarkan pertanyaan mengenai masa depan tetap terbuka. Dengan demikian mereka yang menolak berbicara mengenai masa depan dan mereka yang secara berlebihan mengklaim pengetahuan mengenai masa depan dapat

dipertemukan.

Rahner melihat bahwa alam semesta kita sejak semula disokong oleh semacam rangsangan yang berdaya cipta (creative impulse), yang memungkinkan alam semesta ini mentransformasi diri. Rangsangan ini sesungguhnya berasal dari cinta Allah yang memberikan diri. Rangsangan ini sejak semula sudah memuat inkarnasi Sang Sabda. Allah senantiasa bermaksud merangkul dunia material ke dalam inkarnasi dan mengantarnya kepada pemenuhannya di dalam Kristus. Dunia material tidak bisa dipisahkan dari perjalanan Roh. [45] Orang Kristen tidak bisa memisahkan dirinya dari dunia material karena Roh Kudus, Sang Sabda yang menjadi daging, dan kebangkitan Kristus memiliki arti yang mendalam bagi dunia material.

Edwards memberikan sejumlah penilaian terhadap teologi Rahner. Menurutnya, teologi Rahner mengenai transformasi segala sesuatu di dalam Kristus berhasil membawa alam material ke pusat eskatologis Kristen. Kendatipun demikian, gagasan ini ditentang dari sudut pandang sains, khususnya kosmologi. Gagasan Rahner yang mengatakan bahwa alam semesta pada akhirnya berakhir di dalam Allah, sulit diperdamaikan dengan gagasan sains mengenai kontinuitas mutlak ekspansi alam semesta. Kendati demikian, Edwards tidak memberikan perhatian serius pada persoalan ini, sebab yang menjadi pusat per-hatiannya adalah masa depan makhluk hidup non-insani di dalam Allah.

Menurut Edwards, pandangan teologis Teilhard dan Rahner memberikan dasar bagi teologi ekologis mengenai pemenuhan ciptaan (fulfillment of creation). Kedua teolog ini tertarik untuk membahas relasi antara zat (matter) dan Allah. Kendati demikian, menurut Edwards, keduanya cenderung kurang

memperhatikan relasi makhluk hidup non-insani dengan Allah. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan masa depan organisme non-insani di dalam Allah, antara lain: Apakah organisme ini juga ditebus oleh Allah melalui Yesus? Apakah mereka juga secara kekal mengambil bagian di dalam kehidupan Allah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak secara lugas dan tegas dinyatakan oleh Teilhard dan Rahner. Kendati demikian, Edwards justru sepakat dengan argumen Rahner bahwa kita memang sama sekali tidak mengetahui masa depan kita dan masa depan ciptaan lainnya di dalam Allah. Tetapi sebagai orang Kristen, kita memliki “kebangkitan” sebagai janji dan jaminan bahwa Allah senantiasa mencintai kita dan pada saatnya akan mempersatukan kita dan segenap ciptaan di dalam Kristus.

Edwards memiliki kepedulian yang tinggi terhadap nasib makhluk hidup non-human, khususnya masa depannya di dalam Allah. Dengan beberapa argumennya, ia berusaha memberikan tempat yang layak bagi makhluk non-insani di dalam Allah.

Edwards menegaskan bahwa Allah tidak dikhususkan bagi manusia saja, melainkan juga bagi makhluk-makhluk non-insani. Roh Kudus merupakan kehadiran Allah kepada setiap ciptaan-Nya, dalam suka maupun duka, dalam hidup maupun matinya. Allah Mahapengasih yang nyata di dalam diri Yesus adalah Allah yang memperhatikan setiap ciptaan-Nya dalam keadaan apa pun.

(21)

Rom. 8:11). Roh Kudus yang sama bekerja pula di dalam ciptaan lain yang sedang menderita dan yang sedang menantikan dengan rindu pemenuhannya di dalam Allah (bdk. Rom. 8:19-23). Edwards

berpendapat, oleh karena Roh Kudus adalah kekuatan dari dalam yang mendekati ciptaan dengan cinta dan menyalurkan kekuatan kebangkitan hidup, maka dapat dikatakan bahwa melalui Roh Kudus pulalah, semua ciptaan “tertulis” (inscribed) di dalam Allah. [46]

Pada akhirnya Edwards menegaskan dengan penuh keyakinan bahwa setiap binatang dan burung akan dibawa kepada kehidupan ilahi yang kekal. Allah Sumber Kebangkitan Hidup adalah Allah yang dengan caranya sendiri memungkinkan setiap ciptaan turut serta di dalam persekutuan hidup ilahi yang dinamis dan kekal. Edwards menegaskan sekali lagi bahwa cara yang memungkinkan setiap ciptaan dapat bersatu dengan Allah sama sekali melampaui pencerapan inderawi manusia.

3. Penyembahan dan Praksis Hidup Yang Pro-Ekologi

Penyembahan dan praksis hidup merupakan dua hal yang ditekankan secara khusus oleh Edwards pada bagian akhir buku EHF. Berikut ini penulis akan memaparkan penjabaran Edwards mengenai dua pokok ini secara sistematis.

3. 1. Penyembahan

Berkaitan dengan penyembahan, Edwards memusatkan refleksi teologisnya pada ekaristi yang dianggapnya sebagai pemberi motivasi bagi pembentukan ethos dan budaya hidup ekologis.

3. 1. 1. Makna Ekaristi

Bagi Edwards, ekaristi memiliki beberapa makna penting, antara lain:

Pertama, ekaristi sebagai “pengangkatan” (lifting up/anaphora) segenap ciptaan kepada Allah. Berkaitan dengan topik ini, Edwards mengikuti pemikiran teologis John Zizioulas, seorang Patriark Ekumenis Gereja Ortodoks. Bagi Zizioulas, ethos liturgis (liturgical ethos), tepatnya spiritualitas yang ekaristis, merupakan dasar bagi sebuah ethos ekologis. Asumsi teologis Ziziolas adalah bahwa setiap orang yang sudah dibaptis merupakan pribadi (person) yang utuh. Pribadi-pribadi ini adalah pribadi yang ek-stasis; keluar dari dirinya sendiri, dan terbuka bagi orang lain. Kepenuhan kepribadian (personhood) hanya bisa dicapai kalau ia berada di dalam persekutuan dengan yang lain.

Zizioulas menegaskan bahwa manusia adalah “imam ciptaan” (priests of creation). Di dalam ekaristi, khususnya pada persembahan (offering) dan ucapan syukur (thanksgiving), ciptaan diangkat kepada Allah. Persembahan yang dibawa oleh ciptaan, “diangkat” kepada Allah, dan Roh Kudus dimohonkan untuk mentransformasi persembahan dan komunitas yang berkumpul ke dalam tubuh Kristus. Anaphora tidak semata-mata merupakan tindakan liturgis. Lebih daripada itu, ia berlangsung dalam seluruh hidup manusia. Anaphora merupakan cinta tulus manusia terhadap ciptaan lainnya. Zizioulas menegaskan bahwa ekaristi memang tidak memberikan petunjuk praktis bagi penanggulangan persoalan ekologis, tetapi ia menawarkan sebuah motivasi dan ethos yang sungguh-sungguh ekologis.

Kedua, ekaristi sebagai kenangan yang hidup (anamnesis) terhadap penciptaan dan penebusan. Menurut Edwards, di dalam ekaristi kita mengenangkan peristiwa penyelamatan Allah di dalam diri Yesus yang dihadirkan “di sini dan sekarang” (hic et nunc). Kenangan ini tidak hanya dihadirkan kembali, tetapi juga terarah kepada masa depan Allah, manakala segala sesuatu dipersatukan dengan Kristus. Ekaristi bukan semata-mata kenangan akan wafat dan kebangkitan Yesus, tetapi juga kenangan akan penciptaan dan penebusan yang telah dikerjakan Allah. Mengikuti pendapat Zizioulas, Edwards mengatakan bahwa semua perayaan ekaristi kuno dimulai dengan ungkapan syukur terhadap karya penciptaan, dilanjutkan dengan syukur atas penebusan di dalam Kristus, dan berpuncak pada pengangkatan persembahan segenap ciptaan kepada pencipta-Nya. Urut-urutan ini, menurut Edwards, masih dapat ditemukan di dalam teks liturgis sekarang ini. Setiap kali menghadiri ekaristi, manusia membawa serta bumi dan alam semesta beserta segala persoalan yang dihadapinya ke hadapan Allah. Semuanya dipersatukan dengan misteri Kristus yang dirayakan di dalam ekaristi.

Ketiga, visi teologis Edwards menyatakan bahwa ketika kita mengenangkan wafat Kristus, kita

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengangkat permasalahan untuk dijadikan karya tulis dengan judul “Hubungan Antara Industri Rumah Tangga Kerajinan Payet

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan desa serta pengawasan yang dilakukan

dapat diketahui bahwa 3 kriteria penilaian dalam prinsip pemilihan bahan baku makanan memenu- hi syarat kesehatan, dan hanya 1 kriteria penilaian tidak memenuhi

Biaya yang digunakan adalah biaya langsung, yaitu biaya yang terdapat pada aktivitas yang berhubungan langsung dengan pelayanan appendiktomi baik secara laparotomi

Permasalahannya adalah keyakinan setiap hakim tidak ada tolak ukur yang jelas dan selain itu tidak adanya pola pemidanaan yang jelas juga bagi para hakim untuk menjatuhkan

Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan, komunikasi dan latar belakang pendidikan terhadap implementasi akuntansi akrual yang

Kemudian pernyataan yang disetujui oleh kedua pihak antara coder 1 dan coder 2 dengan coder 1 dan coder 3 terdapat sebanyak 10 poin (M) yang masuk dalam

Menurut Soewarso (2000:11-13) dalam bukunya yang berjudul Cara-cara Penyampaian Pendidikan Sejarah Untuk Membangkitkan Minat Peserta Didik Mempelajari Bangsanya “kurang