• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komodifikasi Anas Urbaningrum di Televis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Komodifikasi Anas Urbaningrum di Televis"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Komodifikasi Anas Urbaningrum di

Televisi

omodifikasi menghampar di seluruh program televisi. Ia menjelma dalam berbagai bentuk program televisi, baik program hiburan maupun program berita. Termasuk, dalam pengerangkaan realitas kasus korupsi yang melibatkan mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum?

K

Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan Karl Marx sebagai “ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata itu bisa dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain [Burton: 2008]. “Dalam studi media, determinasi ekonomi mewujud dalam perspektif yang melihat media semata-mata sebagai capitalist venture. Fungsi-fungsi ideologi di balik beroperasinya sebuah media hanya dilihat sebagai faktor sekunder,” tegas Oscar H. Gandy Jr [1997].

(2)

guna menjadi nilai tukar, sedangkan spasialisasi mengarah pada persoalan teknologi sebagai infrastruktur untuk mengatasi kendala geografis dan strukturisasi mempertegas keberadaan proses hubungan sosial di antara kelas sosial, gender, dan ras.

Baran dan Davis [2009] juga menyinggung persoalan fetisme komoditas atau pemujaan terhadap komoditas—istilah yang dikemukakan Karl Marx, yang menunjukkan keterkaitan produk buruh dengan produk komoditas—dalam konteks komodifikasi. Proses komodifikasi didefinisikan sebagai proses transformasi menggunakan nilai-nilai hidup yang digunakan manusia—menjadi nilai yang bisa ditukarkan, seperti nilai tukar mata uang Dollar. Transformasi nilai produk ditentukan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan individu dan sosial. Komodifikasi menghilangkan produk dari konteks sosial yang lebih bermakna menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dalam segi bisnis dan ideologi nilai “pasar bebas”.

(3)

aktivitas pertukaran nilai uang yang secara objektif menimbulkan keterasingan hidup. Proses ini disebut komodifikasi.

Dalam konteks industri komunikasi, Mosco menunjukkan tiga aspek konsentrasi komodifikasi, yakni isi media, khalayak, dan pekerja. Menurut saya, tiga aspek yang ditawarkan Mosco itu merupakan “kendaraan” untuk mendekati dan memahami perspektif komodifikasi dalam industri media. Transformasi pesan menjadi produk yang bisa diterima pasar menjadi konsep kunci Mosco. Dalam bahasa yang lebih sederhana, konsep kunci itu bisa diartikan sebagai perlakuan atas isi media sebagai komoditas yang bisa diterima pasar.

Graeme Burton mengartikan interaksi media dan khalayak sebagai hubungan pedagang dan pembeli. Media adalah pedagang yang juga memproduksi dan mendistribusikan produk bernama pesan, sedangkan khalayak merupakan pembeli dan penikmat produk itu.

(4)

tersebut.”

Semua kritik itu bersumber dari satu masalah, pesan ditransformasikan sebagai komoditas atau produk. Bahkan, pesan itu harus bisa memenuhi hasrat dan mengatasi permasalahan “pembeli”nya. Dan, Idi Subandy Ibrahim [2011] memastikan bahwa logika komersialisme dan komodifikasi itu telah menjadi cara berpikir para pengelola pers dalam kegiatan jurnalistiknya. “Pers diarahkan sebagai mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan pemburu rating. Dalam logika budaya seperti ini jelas sulit kita menempatkan kepentingan publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan kuasa,” keluhnya.

Tentang komodifikasi khalayak, Mosco mendasarkannya pada pengujian yang dilakukan oleh Nicholas Garnham atas prinsif komodifikasi media, yakni produksi langsung produk media dan penggunaan media untuk menyempurnakan proses komodifikasi. Dari arah berbeda, Dallas Smythe (1977) mengadopsi batasan itu untuk menunjukkan bahwa khalayak merupakan komoditas utama media massa.

(5)

Smythe, itu lebih dari sekadar "makan siang gratis". Karena pada intinya, para programmer mengikat penonton untuk bertahan di kanalnya sambil menikmati iklan-iklan yang dihidangkan. Pada akhirnya, keberadaan para penonton itu menjadi komoditas yang ditawarkan kepada pengiklan. Karena keberadaan penonton itu memperlihatkan segmentasi, target, dan positioning sebuah kegiatan pemasaran. Dan para pengiklan membeli dan mengisi jeda iklan dengan iklan-iklan produk didasarkan pada perhitungan segmentasi, target, dan positioning pemasaran tadi. Berdasarkan asumsi tersebut, sesungguhnya khalayak juga merupakan “pekerja” dan kiprahnya menjadi bagian dari kegiatan “produksi” isi media. Ia dikondisikan agar senantiasa menjadi bagian dari komoditas media, karena ia menjadi penentu lahirnya rating dan share bagi televisi.

Dalam kondisi seperti itu, menurut Philip Smith, khalayak—Karl Marx menyebutnya masyarakat—tidak lagi dipandang sebagai kehidupan bersama yang berciri sosial, melainkan dilihat semata-mata sebagai modal bisnis, yaitu aset pasar yang dapat menyerap produk-produk yang dihasilkan industri-industri mereka. Dan situasi itu sangat memungkinkan, karena menurut Baudrillard dalam Consumer Society

(6)

kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya sebagai “kode” (the code).

Dalam kaitan pengujian komodifikasi isi media dan komodifikasi khalayak, menurut Mosco, ada kecerderungan mengabaikan aspek komodifikasi pekerja dan proses produksi. Mosco menunjukkan pemikiran Vraverman (1974) yang berupaya mengakhiri pemarjinalan itu. Pekerja diasumsikan bukan lagi bagian dari kesatuan konsep. Ia juga bukan perancang karya. Bahkan, ia bukan tenaga pelaksana. Dalam proses komodifikasi, konsep dipisahkan dari eksekusi dan keahlian dipisahkan dari kemampuan melaksanakan pekerjaan. Komodifikasi terkonsentrasi pada kekuatan konseptual di kelas manajerial sebagai perwakilan pemodal. Pada akhirnya, komodifikasi menjadikan pekerja sekadar koresponden, dengan distribusi baru dari keahlian dan kekuatannya dalam berproduksi. Lebih ekstrim lagi, pekerja diasumsikan layaknya penonton.

Pemaparan Mosco tentang komodifikasi pekerja mengingatkan saya pada pemikiran Karl Marx dalam Das Kapital (volume pertama, 1867)—seperti dikutip Bima Saptawasana dan Haryanto Cahyadi dalam

(7)

yang lebih parah: manusia sekadar menjadi buruh pabrik (proletar) yang tidak lagi semata-mata terasing dari dunia keberadaan dirinya sebagai manusia, melainkan sekadar menjadi alat produksi kapitalisme. Georg Lukács menyebutkan kondisi itu sebagai reifikasi,

yakni proses merosotnya dimensi manusia yang utuh menjadi benda belaka: manusia kehilangan jati dirinya sebagai subjek pelaku (agent) bagi dirinya sendiri karena lenyapnya kreativitas—konsep itu dikembangkan Lukács dengan mengaitkan konsep rasionalisasi Max Weber dan konsep fetisisme komoditi Karl Marx.

antas, bagaimana dengan perayaan kasus korupsi yang melibatkan Anas Urbaningrum di televisi?

L

Tak bisa dipungkiri, pekan-pekan terakhir ini nama Anas Urbaningrum menjadi “mitos” yang tengah dilanggenkan ranah jurnalisme televisi di Tanah Air. Nama itu nyaris setiap jam mengisi

rundown program-program teresterial di seluruh stasiun televisi swasta nasional, dengan berbagai framing dan pengemasan.

(8)

pasca-mundur sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat dan intro-intro “nyanyian”nya yang menggoda iman para pengelola media. Dalam sekejap, media pun menghembuskan persoalan baru di luar konteks Koruspsi Hambalang.

Di luar itu semua, media (atas nama khalayak) sangat berharap banyak, ia bisa menjadi kunci untuk mengungkap selubung korupsi di partainya, orang-orang kuat di partainya, bahkan tokoh-tokoh kuat di pemerintahan. Plus, kalau boleh berhitung-hitungan politis, ada juga jawaban soal nasib Partai Demokrat dan calon presiden yangbakal diusung pada pemilu mendatang. Karena itu, ia dan orang-orang di sekelilingnya, kawan atau lawannya, atas nama framing, mendapatkan kesempatan lebih untuk dikutip seluruh opininya dalam wawancara secara doorstep atau acara-acara talkshow.

(9)

Dalam bahasa berbeda, pemikir postmodernis Jean Baudrillard menyebutnya sebagai transparansi kejahatan (transparency of evil) di era media, yakni situasi ketika para aktor yang diduga kuat sebagai bagian dari pelaku konspirasi itu justru diberi ruang bersuara lantang pada jam-jam tayang utama (prime time) dan mengisi waktu luang dalam ruang keluarga. Dan Idi Subandy Ibrahim mendeskripsikan situasi itu sebagai sebuah potret absurd bagaimana logika drama dan informasi politik telah berbaur di dalam logika industri infotainment

yang membuat tayangan dan kejahatan harus dikemas dalam format hiburan agar menarik pemirsa, dan dengan demikian berarti pula meningkatkan rating dan menambah pemasukan iklan.

(10)

“Pemberitaan di seputar perseteruan hukum dan skandal politik tingkat tinggi adalah pemberitaan yang sarat sensasi dan kontroversi. Media televisi akan berupaya melakukan politik sensasi ini dengan harapan khalayak semakin tertarik dan pada gilirannya rating meningkat,” sindir Idi Subandy Ibrahim.

Bahwa situasi sosiokultural yang menghimpun metafora media, sejarah media, sistem politik, regulasi pemerintah, dan kondisi sosial masyarakat, menjadi asupan-asupan utama bagi kelompok-kelompok usaha pemilik media yang tergabung dalam sebuah konglomerasi, juga pada industri media dan khalayak. Pada praktiknya, visi dan kekuatan konglomerasi menjadi invicible hand di balik seluruh kegiatan industri media. Pada akhirnya, hegemoni yang dimetamorfosiskan dalam bentuk ekonomi politik media itu diimplementasikan dalam bentuk target perusahaan (baca: peraihan keuntungan). Dalam bahasa yang lebih sederhana, hal itu diterjemahkan media sebagai orientasi kepada khalayak (konsumen). Berdasarkan pijakan pemikiran itu, media pun harus membuka ruang selebar-lebarnya pada strategi komodifikasi, dimulai dari khalayak, organisasi (ruang redaksi), pekerja (para jurnalis), dan teks televisi (kasus-kasus korupsi), untuk ditawarkan kepada khalayak.

(11)

bukan sebagai akibat dari intervensi langsung oleh pemilik atau bahkan bukan suatu usaha manipulasi secara sadar oleh para wartawan, melainkan akibat dari sikap rutin dan praktik kerja para staf. Wartawan berita mempelajari konvensi-konvensi dan kode-kode tentang “bagaimana harus melakukan”, mereproduksi ideologi sebagai suatu pendapat umum (common sense).

Pada akhirnya, strategi komodifikasi terkait kasus-kasus korupsi itu pun menjelmakan hiperealitas dan deaktualisasi. Atau, lebih tepatnya deaktualisasi di seluruh elemen: khalayak yang kritis, lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, para jurnalis televisi, dan teks televisi itu sendiri (hiperrealitas). Artinya, perayaan realitas-realitas antikorupsi di televisi itu harus ditulis dengan tanda petik, “antikorupsi”, karena hal sesungguhnya sekadar drama dan tebaran hiburan berselubung program berita. Artinya lagi, khalayak tidak akan memperoleh kejelasan yang sejelas-jelasnya, apalagi seobjektif-objektifnya, dari kasus-kasus korupsi melalui penayangan berita-berita di televisi. Karena, televisi adalah ruang hampa yang sekadar memperkenalkan mitos-mitos, yang akan sangat jauh membawa khalayak ke alam yang tercerahkan.

(12)

dan sering kali ditakuti, terhadap kehidupan publik. Di sisi lain, berita dianggapnya bukan lagi “jendela dunia” yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk “realitas”.

Dalam situasi seperti itu, menurut John McManus dalam Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware? (1994), tekanan pasar yang menggerakkan seluruh logika praktik berita mendesak idealisme profesi jurnalisme ke pinggir perbincangan dan etika jurnalistik disorot hanya ketika ada kasus-kasus besar seperti yang melibatkan kalangan pejabat di seputar kekuasaan. Artinya, perayaan realitas kasus koruopsi yang melibatkan Anas Urbaningrum di televisi adalah paradoks dalam dunia jurnalisme dan sekaligus memarjinalkan kesakralan idealisme profesi jurnalis televisi ke tepian tanpa kharisma. Dan, hal itu sangat terkait dengan satu kata kunci: komodifikasi.[]

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Baran, Stanley J. and Davis, Dennis K. Davis. 2009. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. Bonton: Wadsworth Cangange Learning.

Barker, Chris. 2011. Cultural Studies: Teori & Praktik. Bantul: Kreasi Wacana.

Boyd, Andrew. 1988. Broadcast Journalism: Techniques of Radio and Television News. London: Focal Press.

Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Bandung: Jalasutra.

__________. 2008. Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Eriyanto. 2007. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik

Media. Yogyakarta: LKiS.

Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Edward Arnold. Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah

Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

__________. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. Halim, Syaiful. 2009. Gado-gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan

Ecek-ecek. Jakarta: Gramata Publishing.

(14)

Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertarutan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas. Jakarta: Penerbit Kanisius.

Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarata: Penerbit Kanisius.

Ibrahim, Idi Subandy. 2011. Kritik Budaya Komunikasi; Budaya, Media dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

Kitley, Philip. 2000. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Jakarta: Lembaga Studi Pers Pembangunan dan Institut Studi Arus Informasi.

McQuail, Dennis. 1987. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Morissan. 2009. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio & Televisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mosco, Vincent. 2009. The Policial Economy of Communication. London: Sage Publication.

Piliang, Yasraf Amir. 2010. Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post-Metafisika. Yogyakarta: Jalasutra.

Storey, John. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS.

__________. 2009. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS.

Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Kanisius.

(15)

PENULIS

syaiful HALIM. Lahir di Jakarta pada 11 Desember 1967, dan

menempuh pendidikan sejak SD hingga perguruan tinggi di Jakarta. Terakhir, menuntaskan pendidikan formal di Kampus Tercinta Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Ilmu Jurnalistik dan Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta Program Studi Media and Politic Communication.

Sejak di bangku kuliah aktif menulis puisi, cerpen, artikel, dan kolom, dan dimuat di sejumlah media massa. Semasa kuliah, ia sempat bekerja sebagai jurnalis di sebuah tabloid wanita. Setelah selesai kuliah, ia bekerja sebagai copywriter di sebuah perusahaan farmasi multinasional. Setahun kemudian pindah ke lingkungan sebuah industri media televisi di Jakarta.

Pada 2003, ia mendapatkan grant dari Internews, In-Docs, dan

(16)

Menebar Mimpi yang diputar di layar Jakarta International Film Festival

(Jiffest) 2004. Tahun berikutnya, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti Long Documentary Scriptwritting Workshop Jiffest 2005. Di saat bersamaan, film dokumenter Atjeh Lon Sayang yang diproduksi bersama teman-temannya di komunitas Matahati Production diputar di layar Jiffest 2005. Di luar kedua film itu, ia telah membuat beberapa film dokumenter bertemakan masalah sosial dan budaya: Petualang Cilik, Selamanya Mutiara, Cokek, The Legend of Pang Tjin Nio, Kita selalu Bersama, Masyarakat nan Sakato, dan Dua Perempuan. Pada 1995, ia pernah membuat skenario sinetron Deru Debu yang ditayangkan stasiun SCTV.

Selain sebagai praktisi televisi, ia juga mengajar di perguruan tinggi swasta di Bandung dan Jakarta. Kerap, ia juga memenuhi undangan untuk berbicara seputar jurnalisme televisi atau film dokumenter. Buku yang telah diterbitkan: Gado-gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-ecek (Gramata Publishing, November 2009);

Memotret Khatulistiwa: Panduan Praktis Produksi Dokumenter Televisi

Referensi

Dokumen terkait

Fokus dari penelitian adalah untuk melihat bagaimana detik.com dan tribunnews.com dalam membingkai kasus Meliana melalui pemberitaan yang sudah dimuat pada kedua

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Departemen Studi Ilmu Keolahragaan. Fakultas Pendidikan Olahraga

omongannya makin jorok saja. Pedang-pedang dihunus, golok dikeluarkan dari sarungnya, ancaman telah dinyatakan. Di setiap perkataan atau perbuatan yang dipenuhi oleh amarah, bahkan

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata lingkar dada induk domba tidak berbeda nyata antar tipe kelahiran induk domba beranak kembar lebih dari dua

Dari hasil suntingan teks yang dipaparkan penulis dapat diambil kesimpulan bahwa dalam naskah tersebut mengandung cerita tentang sejarah Nabi, Ali, Hasan dan Husain, dan Muhammad

4.6.3 Membuat program untuk menginisialisasi fungsi pointer pada aplikasi 4.6.4 Membuat program untuk mengubah isi pointer dalam program aplikasi 4.6.5 Menguji skrip

Dari aspek ekonomi, permasalahan yang muncul adalah tingginya pertumbuhan industri yang kurang bersinergi dengan berbagai kepentingan stakeholders dan terjadinya

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang hanya kepada- Nya kita menyembah dan kepada-Nya pula kita memohon pertolongan, atas limpahan taufiq, rahmat