• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI SPIRITUALITAS PARA PENDERITA LUPUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI SPIRITUALITAS PARA PENDERITA LUPUS"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

N A S K A H P U B L I K A S I

S P I R I T U A L I T A S P A R A P E N D E R I T A L U P U S

Oleh:

RIZKA TIARA HATI

HEPI WAHYUNINGSIH, S.Psi., M.Si.

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

(2)

NASKAH PUBLIKASI

SPIRITUALITAS PARA PENDERITA LUPUS

Telah Disetujui Pada Tanggal

________________

Dosen Pembimbing Utama

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PENGESAHAN ………... ii

DAFTAR ISI ………..………... iii

INTISARI ………. ……… iv

PENGANTAR ………... 1

TINJAUAN PUSTAKA ……… 4

A. Pengertian Spiritualitas ……… 4

B. Aspek Spiritualitas ……….. 5

METODE PENELITIAN ……….. 6

HASIL PENELITIAN ………... 7

PEMBAHASAN ……… 11

KESIMPULAN DAN SARAN ………. 19

(4)

SPIRITUALITAS PARA PENDERITA LUPUS

Rizka Tiara Hati

Hepi Wahyuningsih, S. Psi., M.si

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk spiritualitas pada penderita lupus. Banyak orang tidak mengetahui mengenai penyakit lupus atau Systemic Lupus erythematosus (SLE), sehingga cukup banyak juga yang beranggapan lupus merupakan penyakit langka dan jumlah pasiennya sedikit. Faktanya, pasien penyakit lupus cukup banyak dan semakin meningkat. Lupus merupakan penyakit kronik/menahun dan dikenal sebagai penyakit autoimun.

Spiritualitas dapat menjadi sumber utama bagi para penderita lupus untuk dapat membantu meringankan penyakitnya. Walaupun lupus bersifat menahun, dan belum dapat disembuhkan secara total, spiritualitas diharapkan dapat menjadi coping terhadap penyakit tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam sebagai metode untuk mengumpulkan data. Adapun pedoman wawancara mengacu pada sembilan aspek spiritualitas yang dikembangkan oleh Elkins, dkk. Subyek dalam penelitian ini adalah wanita penderita lupus yang berdomisili di Yogyakarta, yang telah menderita lupus minimal 2 tahun, dan sedang mengalami perawatan dengan dokter. Metode analisis data yang digunakan adalah content analysis.

Penelitian ini menemukan tujuh kategori spiritualitas pada penderita lupus, yaitu: 1) transenden, 2) mengambil hikmah dari rasa sakit, 3) sikap terhadap rasa sakit, 4) menciptakan makna dan tujuan hidup, 5) altruisme, 6) tanggung jawab terhadap hidup, 7) dan orientasi pada nilai spiritual.

(5)

SPIRITUALITAS PARA PENDERITA LUPUS

Pengantar

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau dalam bahasa Indonesianya Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit peradangan kronik dimana terbentuk antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang berlainan (Corwin, 1997). Tubuh manusia memiliki sistem kekebalan tubuh, yang terdiri dari zat anti dan sel darah putih. Sistem imun ini bertugas melindungi tubuh manusia dari serangan antigen (musuh berupa bakteri, virus, mikroba lain).

Pada lupus, oleh sebab yang belum diketahui, zat anti sel darah putih tadi justru menjadi liar dan menyerang tubuh yang seharusnya dilindungi. Akibatnya organ-organ tubuh menjadi rusak dan gejala lupus pun muncul. Beberapa gambaran klinis penyakit lupus antara lain: arthritis (nyeri sendi), demam akibat perangan kronik, ruam wajah seperti kupu-kupu di pipi dan hidung, lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik, sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari-jari tangan, anemia dan sebagainya.

(6)

Lupus adalah penyakit menahun, artinya semakin lama semakin bertambah parah. Lupus sampai sekarang belum dapat disembuhkan atau dicegah tetapi hanya sebatas menghilangkan gejalanya. Menghilangkan gejala lupus dapat dilakukan dengan mengonsumsi obat-obatan seumur hidup, menjalani pola hidup tertentu, dan menghindari stress. Menjalani pola hidup tertentu dengan mengkonsumsi obat-obatan seumur hidup bukanlah hal yang mudah.

Beberapa penderita lupus sering mengeluh terhadap rasa sakit yang dirasakan ketika lupus sedang aktif. Jika rasa sakit itu datang, muncul keluhan, perasaan ingin marah atau sekilas keinginan untuk bunuh diri karena tidak sanggup menahan rasa sakit tersebut. Flora Betyana, salah seorang penderita lupus mengaku selama hampir 18 tahun tidak pernah lepas dari masalah kesehatan. Flora sudah empat kali menjalani operasi jantung dan empat bulan menderita pendarahan tanpa henti. Sejak terserang lupus, satu bulan sekali Flora harus memeriksakan diri ke dokter, dan hidupnya pun tergantung pada obat-obatan. Jika tidak mengonsumsi obat, maka akan berakibat fatal bagi Flora (www.liputan6.com, 11/05/2006).

(7)

Memahami gejala tersebut, bagi sebagian besar pasien, hidup dengan ancaman suatu penyakit dapat menjadi katalisator untuk mencari jawaban terhadap tujuan dan makna hidup, mencari jawaban terhadap pertanyaan “ Mengapa? Mengapa aku? Mengapa sekarang?”. Penyembuhan dalam konteks ini lebih dari sekedar teknik menyembuhkan atau menyehatkan tetapi juga meliputi sebuah perjalanan untuk mengintegrasikan pertanyaan ini ke dalam kehidupan manusia.

Sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, spiritualitas begitu kuat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan manusia. Penelitian tentang spiritualitas banyak berhubungan dengan kesehatan fisik, kesehatan psikologis, dan penyesuaian (coping). Beberapa penelitian menemukan hubungan yang positif antara spiritualitas dan kesembuhan kesehatan fisik, kesehatan mental, dan hasil penyalahgunaan obat (Thoresen, 1999). Woods and Ironson (1999) menemukan dampak positif spiritualitas dan religiusitas pada kesehatan penderita kanker, kardioaskular, dan HIV.

(8)

Tinjauan Pustaka

Pengertian Spiritualitas

Spiritualitas berasal dari akar bahasa latin spiritus yang berarti “breath of life” merupakan proses menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran terhadap dimensi transenden dan yang ditandai dengai nilai-nilai tertentu yang dapat dikenali dalam menghargai diri sendiri, individu lain, alam, kehidupan, dan apa pun untuk menjadi maknawi (Elkins, dkk, 1988).

Psikiater John F. Hiatt (Kaye & Raghavan, 2002) mendeskripsikan konsep spiritualitas dalam istilah psikologi dan menghubungkannya dengan perspektif perawatan kesehatan, bahwa spirit tidak hanya merujuk pada dimensi jasmani dan rohani seseorang, yang merupakan sumber makna dan kesatuan. Spiritualitas merujuk pada konsep, sikap, dan tingkah laku yang dihasilkan dari pengalaman seseorang terhadap dimensi tersebut.

(9)

Aspek Spiritualitas

Elkins, dkk (1988) menganggap spiritualitas sebagai kunstruk multidimensi yang terdiri dari sembilan dimensi utama, yaitu:

a. Transcendent Dimension: memiliki pengalaman berdasarkan keyakinan bahwa terdapat dimensi transenden di dalam kehidupan.

b. Meaning and Purpose in Life: percaya bahwa hidup sangat bemakna dan keberadaan seseorang memiliki tujuan.

c. Mission in Life: memiliki tanggung jawab terhadap hidup.

d. Sacredness of Life: meyakini bahwa hidup harus diisi dengan segala sesuatu yang suci.

e. Material Values: menghargai benda-benda materi seperti uang dan hak milik tetapi tidak melihat kepuasan hakiki dari barang tersebut.

f. Altruism: memiliki perasaan yang kuat terhadap keadilan sosial dan berpedoman terhadap perilaku altruistik.

g. Idealism: memiliki kondisi ideal yang harus dicapai dan mengaktualisasikan potensi positif di dalam segala aspek kehidupan. h. Awareness of the Tragic: menyadari realitas menyedihkan terhadap

keberadaan manusia, memahami bagaimana sakit, penderitaan, dan kematian manusia.

i. Fruit of Spirituality: merealisasikan nilai spiritualitas dalam hubungan dengan diri, orang lain, dan alam.

(10)

(1988) mengungkapkan bahwa perkembangan definisi spiritualitas mencakup makna yang luas, spiritualitas dapat meliputi religius dan keyakinan serta ekspresi yang tidak bersifat religius. Elkins, dkk (1988) juga menyebutkan bahwa spiritualitas tidak sama dengan religiusitas, jika religiusitas didefinisikan untuk memaknai partisipasi dalam ritual, kepercayaan, aktivitas yang berbeda dalam agama tradisional. Maka selanjutnya, adalah hal yang mungkin untuk seseorang dapat menjadi spiritual walaupun dengan tidak berafiliasi dengan agama tradisonal.

Metode Penelitian

Populasi subyek penelitian adalah para penderita Lupus yang berdomisili di Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan purposeful sampling, menurut Patton (1990), penelitian kualitatif secara khusus fokus yang mendalam pada sampel kecil, bahkan kasus tunggal (subyek hanya satu orang) dan tujuan purposeful sampling adalah memilih informasi penting untuk menjelaskan pertanyaan penelitian yang diajukan. Subyek dalam penelitian ini dipilih berdasarkan karekteristik sebagai berikut:

1. Subyek didiagnosa menderita penyakit lupus, dan telah menderita lupus minimal 2 tahun.

2. Subyek pernah atau sedang menjalani perawatan atau pengobatan dengan seorang dokter.

(11)

Penelitian ini menggunakan in-depth interview sebagai metode pengumpulan data. Patton (1990) mengemukakan bahwa wawancara diciptakan untuk memperoleh informasi mengenai aspek psikologis yang ada dalam diri seseorang dimana tidak mungkin untuk diobservasi. Selama proses wawancara, peneliti terlibat ke dalam perspektif subyek dan memahami maksud yang disampaikan oleh subyek. Peneliti tidak terpaku pada pedoman wawancara tetapi peneliti berusaha mengarahkan wawancara tersebut agar sesuai dengan tujuannya. Pedoman wawancara hanyalah panduan umum, tidak terdapat rincian setiap pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan.

Data wawancara dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Analisis isi adalah setiap prosedur sistematis yang dirancang untuk mengkaji isi informasi terekam (Walizer & Wienir, 1987). Ide dasar analisis isi adalah pengukuran diam-diam yang tidak akan mengganggu aktivitas subyek yang sedang berlangsung.

Hasil wawancara disalin ke dalam bentuk tulisan (verbatim) kemudian dilakukan pengkodean. Langkah pertama, data akan dilakukan open coding yaitu seluruh teks dikode baris demi baris (setiap konsep atau tema berbeda). Langkah kedua, melakukan axial coding, yaitu kode-kode dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang berwujud seperti sebuah struktur pohon.

Hasil Penelitian

(12)

penderita lupus. Berikut adalah rangkuman tema, subkategori, dan kategori penelitian:

Tabel 1

Rangkuman tema, subkategori, dan kategori spiritualitas

Tema Subkategori Kategori

Percaya pada Tuhan (W1, S1, P, b109-110)

Percaya pada Tuhan (W1, S2, P, b136)

Percaya pada Tuhan (W1, S3, P, b94)

Percaya pada Tuhan (W1, S4, P, b104)

Percaya kepada Tuhan

Tuhan sebagai tempat mengadu (W1, S3, P, b103)

Merasa berkomunikasi dengan Tuhan (W1, S3, P, b146)

Pengalaman transenden Mencintai Tuhan lebih dari apa

pun (W2, S1, P, b55-56) Mencintai Tuhan lebih dari apa pun (W1, S3, P, b495-496)

Cinta pada Tuhan

Berserah diri kepada Tuhan (W1, S1, P, 307)

Berserah diri pada Tuhan (W1, S2, P, b179)

Berserah diri pada Tuhan (W1, S3, P, b507)

Berserah diri pada Tuhan (W1, S4, P, b112)

Berserah diri pada Tuhan

Ingat pada Tuhan (W2, S1, P,

B14) Mengingat Tuhan

Berpuasa (W1, S1, P, b153) Sholat malam dan ikut pengajian (W2, S1, P, b31)

Ikut persekutuan gereja (W1, S2, P, b398-399)

Menjalankan perintah-Nya (W1, S3, P, 395)

Berdoa kepada Tuhan

Transenden

Percaya segala sesuatu ada

(13)

hikmahnya (W1, S3, P, b96-97) Percaya segala sesuatu ada hikmahnya (W1, S4, P, b105-106)

sesuatu ada hikmahnya

Sakit sebagai peringatan dari Tuhan (W2, S1, P, b65) Sakit sebagai peringatan dari Tuhan (W1, S3, P, b327)

Sakit sebagai peringatan dari Tuhan

Percaya bila diberi sakit dosa akan berkurang (W1, S1, P, 301-302)

Percaya bila diberi sakit, dosa akan

berkurang

Mengambil hikmah dari rasa sakit

Pasrah dengan penyakitnya (W1, S1, P, b150)

Pasrah dengan penyakitnya (W1, S3, P, b320)

Pasrah dengan penyakitnya (W1, S4, P, 144)

Pasrah dengan rasa sakit

Percaya kesembuhan (W1, S1, P, b134-135)

Percaya kesembuhan (W1, S3, P, b651)

Percaya kesembuhan (W1, S4, P, b122)

Harapan sembuh (W1, S4, P, b127)

Percaya kesembuhan

Lebih takut sakit daripada mati (W2, S1, P, b291-292)

Takut bila melihat odapus sedang sakit (W1, S2, P, b320)

Takut pada rasa sakit

Ikhlas bila meninggal dunia (W1, S3, P, b168)

Ikhlas meninggal dunia (W1, S1, P, b581-582)

Ikhlas meninggal dunia

Tidak ingin diperlakukan

istimewa (W1, S2, P, b265-268) Tidak ingin diperlakukan

istimewa (W1, S3, P, b638)

Tidak ingin diperlakukan

istimewa

Sikap terhadap rasa sakit

Sebelum meninggal ingin naik haji (W2, S1, P, b70)

Ingin belajar Al-qur’an (W2, S1, P, b584)

Ingin dekat dengan Tuhan (W1, S1, P, b9)

Ingin diri dan keluarga bahagia (W1, S2, P, b188)

Menciptakan tujuan hidup

(14)

Ingin melihat anak sampai besar (W1, S2, P, b211)

Ingin menjalankan Islam secara benar (W1, S3, P, b196)

Ingin menjadi golongan Nabi Muhammad (W1, S3, P, b195) Hidup mengalir (W1, S2, P, b183)

Menjalankan kehidupan (W1, S4, P, b158)

Hidup mengalir tetapi sebisa mungkin tidak mengikuti arusnya (W1, S4, P, 160) Hidup tidak memiliki ambisi tertentu (W1, S2, P, b186) Hidup tidak neko-neko (W1, S2, P, b238)

Menjalani kehidupan (W1, S2, P, b191)

Menciptakan makna hidup

hidup

Menyemangati odapus yang sedang sakit (W1, S2, P, b312-313)

Memberi dan menghibur odapus yang sedang sakit (W1, S3, P, b264)

Menyemangati odapus yang sedang sakit (W1, S4, P, B208)

Memberi semangat odapus yang lain

Hidup harus saling tolong

menolong (W2, S1, P, b108-109) Hidup untuk menolong orang (W1, S2, P, b156)

Membantu teman (W1, S3, P, b213)

Berbagi dengan orang lain (W1, S4, P, b177)

Berbuat kebaikan untuk mengisi sisa hidup (W2, S1, P, b97-98) Berbagi dengan orang lain (W1, S3, P, b159)

Membantu orang lain (W1, S1, P, b151-152)

Menolong sesuai kemampuan (W1, S2, P, b257-259)

Menyadari membutuhkan orang lain disisi kita (W1, S3, P, b256) Sebagai pengurus YLI

Menolong orang lain

(15)

berkewajiban menangkap aspirasi dari teman-teman odapus (W1, S4, P, b197-205) Peduli terhadap orang lain (W1, S3, P, b255)

Mendidik anak bersama suami (W2, S1, P, b134)

Menjaga kesehatan agar tidak kambuh (W1, S3, P, b227)

Tanggung jawab terhadap kehidupan

Tanggung jawab terhadap hidup Harta tidak dibawa mati (W2,

S1, P, b110)

Materi untuk beramal (W2, S1, P, b252-253)

Materi bukan tujuan utama (W1, S2, P, b253)

Materi bisa dicari (W1, S4, P, b212-213)

Materi bukan tujuan utama

Mementingkan nilai spiritualitas (W2, S1, P, b254)

Mengayakan hati (W1, S3, P, b238)

Mementingkan nilai spiritualitas (W1, S4, P, b208)

Mementingkan nilai spiritualitas

Orientasi pada nilai spiritual

Pembahasan

Penelitian ini menemukan tujuh aspek spiritualitas yang dikembangkan oleh subyek sejak pertama kali didiagnosis menderita lupus. Meskipun demikian, setiap subyek memunculkan aspek, ekspresi, dan pengaruh yang berbeda-beda sebagai perwujudan latar belakang subyek yang beragam pula.

(16)

menurut Elkins, dkk (1988) memiliki pengalaman berdasarkan keyakinan bahwa di dalam kehidupan ini terdapat dimensi transenden.

Berkaitan terhadap hubungan dengan Tuhan, salah seorang subyek yaitu Ys menceritakan pengalaman transendennya dengan Tuhan. Ys mengungkapkan dirinya pernah merasa berkomunikasi dengan Tuhan saat mengalami suatu kondisi sakit. Ys mengaku dapat tertidur lelap setelah dirinya mendapat bisikan untuk melepaskan rasa sakit yang mendera dirinya. Reed (Kaye dan Raghavan, 2002) mengungkapkan bahwa spiritualitas adalah indikator nyata transenden diantara individu yang menderita sakit.

Kepercayaan terhadap Tuhan dan kekuasaan-Nya, menyebabkan subyek penelitian berserah diri kepada sang Pencipta tersebut. Subyek meyakini bahwa ada kekuatan lain di luar dirinya yang memiliki kekuatan jauh lebih besar. Hal ini senada seperti yang diungkapkan oleh King, dkk (Chiu, dkk, 2004) bahwa spiritualitas merupakan keyakinan seseorang terhadap kekuatan lain di luar keberadaan dirinya.

(17)

Sebagai bentuk nyata terhadap kepercayaan terhadap Tuhan, kehidupan subyek diisi dengan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh Ys dan Js, bahwa subyek selalu menjalankan ibadah seperti sholat, puasa, dan mengaji. Kondisi berbeda diungkapkan oleh Ar, menjalankan ibadah di gereja menurutnya hanya sebagai rutinitas, karena tidak memberikan pengaruh yang berarti.

Berdoa adalah sebuah sarana untuk dapat menyalurkan keluh kesah dan dapat mengatasi rasa sakit yang diderita oleh subyek penelitian. Ar mengaku hanya berdoa yang bisa dilakukannya ketika ingin mengeluh dan tidak mampu melakukan berbagai kegiatan lainnya. Salah satu cara Tk mendekatkan diri kepada Tuhan adalah dengan berdoa.

Taylor dan Outlaw (Walton dan Sullivan, 2004) mengambarkan bagaimana pasien menggunakan doa untuk mengurangi distress terhadap emosi, spiritual serta fisik. Doa juga digunakan sebagai coping terhadap kanker. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Weaver, Flannelly, dan Flanelly (Walton dan Sullivan, 2004) bahwa pasien dengan penyakit serius secara umum berdoa untuk mengatasi rasa sakit.

(18)

hikmahnya, termasuk sakit yang diberikan. Ys dan Js menganggap bahwa sakit merupakan peringatan dari Tuhan terhadap perbuatan masa lalu mereka.

Aspek ketiga adalah sikap terhadap rasa sakit yang terdiri dari kepercayaan akan sembuh, walaupun menurut seluruh subyek, tidak tahu kapan kesembuhan itu akan datang. Selanjutnya adalah kepasrahan terhadap rasa sakit. Ar mengekspresikan pemahaman yang berbeda tentang kepasrahan. Ar mengaku pasrah dengan sakitnya tetapi memohon kapada Tuhan agar dapat menjalani hidup seperti orang normal, dan selalu diberi rezeki. Ys dan Js mengaku ikhlas bila seandainya meninggal dunia karena menyadari bahwa hidup adalah milik-Nya. Hal lain yang terungkap, bahwa subyek (Ar dan Ys) tidak ingin diperlakukan istimewa, yaitu berbeda dari orang normal walaupun mereka memiliki keterbatasan.

Aspek keempat adalah menciptakan makna dan tujuan hidup. Menderita lupus membuat subyek penelitian dapat menciptakan makna dan tujuan hidup mereka masing-masing, seperti yang diungkapkan oleh Walton dan Sullivan (2002) bahwa proses penemuan makna dan tujuan hidup sering dimulai dengan menghadapi kematian, tragedi atau sakit. Menemukan makna adalah bagian dari proses adaptif positif untuk penyembuhan individu dari penderitaan kanker, serangan jantung, dan hemodialysis.

(19)

umum, makna hidup menurut subyek, adalah dengan menjalankannya dan membiarkannya mengalir.

Salah satu subyek yaitu Js mengungkapkan bahwa dirinya ingin menunaikan ibadah haji sebelum berpulang ke tangan sang Pencipta. Ar mengungkapkan tujuan yang berbeda, bahwa dirinya ingin dapat melihat anak tunggalnya hingga dewasa. Kondisi sakit seperti lupus yang akan menetap selamanya di dalam tubuh penderitanya, serta belum ada penyembuhan total, menciptakan rasa khawatir dan takut tidak dapat menjalankan kehidupan di masa depan yang akan datang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Fryback (Chiu, dkk, 2004), bahwa di dalam menemukan makna dan tujuan hidup tersebut, individu belajar untuk menghadapi kematian, serta ditambahkan oleh Sherman (Chiu, dkk, 2004) bahwa individu juga belajar untuk menghadapi ketakutan.

Tujuan hidup dapat mengarah kepada suatu kondisi ideal yang harus dicapai oleh seseorang. Tujuan hidup tersebut menciptakan individu untuk memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya agar tujuan hidup tersebut dapat tercapai. Elkins, dkk (1988) menyebut aspek ini sebagai idealism, bahwa spirituality person adalah seseorang yang memiliki komitmen untuk menjadi manusia yang lebih baik, dan mengaktualisasikan potensi positif dalam segala aspek kehidupan demi tercapainya komitmen tersebut.

(20)

bahwa dirinya berusaha untuk tidak meninggalkan perintah Tuhan demi menjadi individu yang dapat menjalankan Islam secara benar agar termasuk dalam golongan Nabi Muhammad.

Aspek kelima adalah altruisme yang terdiri dari dua tema yaitu memberi semangat kepada odapus yang lain dan menolong orang lain. Secara umum, semua subyek menganggap bahwa dalam menjalani kehidupan ini, manusia harus saling tolong-menolong dan berbagi dengan orang lain.

Ys menyadari bahwa manusia membutuhkan manusia lain disampingnya, dan ditambahkan oleh Tk bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa berinterkasi dengan orang lain. Pendapat tersebut diistilahkan oleh Elkins, dkk (1988) dengan “no man is an island” dan manusia adalah “part of the continent”, bahwa spirituality person memiliki kesadaran terhadap keadilan sosial dan melandaskan dirinya dengan perilaku altruistic. Menurut Chiu (Chiu, dkk, 2004) bahwa spiritualitas menggambarkan hubungan dengan orang lain yang dimanefestasikan dalam berbagi dan menolong orang lain.

Selanjutnya, aspek keenam adalah tanggung jawab terhadap kehidupan. Tanggung jawab adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Spirituality person memiliki kesadaran akan sebuah “vocation” dan menyadari tanggung jawab terhadap kehidupan (Elkins, dkk, 1988). Menurut Js tanggung jawabnya adalah mendidik anak-anaknya bersama suami, sedangkan menurut Ys, tanggung jawabnya adalah menjaga kesehatan agar tidak kambuh.

(21)

Menurut Js, Ar, dan Tk materi bukanlah tujuan utama karena tidak dapat memberikan kepuasaan secara hakiki. Mementingkan nilai spiritualitas jauh lebih bermakna dari sekedar segala sesuatu yang bersifat materi seperti yang diungkapkan oleh JS, Ys, dan Tk. Elkins, dkk (1988) menyebutkan bahwa spirituality person adalah seseorang yang menyadari menemukan kepuasaan hakiki pada nilai spiritual, bukan pada nilai materi.

Berdasarkan hasil wawancara, subyek mengekspresikan rasa kaget, stres, dan penolakan dari dalam diri ketika pertama kali divonis menderita lupus. Para subyek penelitian mengaku bahwa mereka tidak mengenal penyakit lupus sebelumnya. Situasi ini semakin diperparah dengan penyakit lupus yang belum diketahui penyebabnya, penderita akan mengidap lupus seumur hidup karena memang belum ditemukan metode penyembuhan secara total.

Setelah mengalami masa shok, subyek penelitian menyadari bahwa ada kekuatan lain di luar diri mereka. Subyek percaya terhadap keberadaan Tuhan dan kekuasaaNya, karena kehendak dan kekuasaaNya lah, manusia menyerahkan segala sesuatunya kepada Sang Pencipta, dalam hal ini adalah menderita penyakit. Kepercayaan terhadap dimensi transenden mampu memberikan pemahaman kepada seseorang mengenai sebuah peristiwa.

(22)

Makna dan tujuan hidup ditemukan, melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu subyek ingin hidupnya untuk menolong orang lain, merasa memiliki tanggung jawab dalam kehidupan ini, dan mengorientasikan hidupnya pada sesuatu yang bernilai spiritualitas.

Bagan IV.1:

Model Perkembangan Spiritualitas Penderita Lupus

Menurut Soeken and Carson (Kaye dan Raghavan, 2002) stres terhadap penyakit dan ketidakmampuan fisik sering menyebabkan ketidakseimbangan antara pikiran, tubuh, dan jiwa yang membutuhkan sumber untuk mengatasinya dan spiritualitas merupakan sumber yang berharga untuk mengatasi stres terhadap berbagai penyakit dan ketidakmampuan fisik tersebut. Bargamet (Kaye dan Raghavan, 2002) menambahkan bahwa spiritualitas membantu seseorang

Pasrah terhadap rasa

sakit

Mengambil hikmah dari rasa sakit Kaget; penolakan percaya pada Transenden;

Tuhan Sakit

Menciptakan Makna dan Tujuan hidup

Tanggung jawab terhadap hidup Orientasi pada

(23)

mengatasi situasi stres, khususnya melalui hubungan dengan Tuhan dan komunitas keagamaan.

Lupus tidak mudah didiagnosis, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien lupus tertentu berkonsultasi dengan tiga sampai lima dokter sebelum diagnosis dibuat. Kenyataannya, beberapa penelitian menyatakan bahwa dari awal gejala sampai lupus terdiagnosis memerlukan waktu kira-kira 2 sampai 3 tahun (Wallace, 2007). Demikian halnya dengan subyek penelitian, sebagian diantaranya harus melakukan beberapa kali pengobatan dan gonta-ganti dokter hingga mencapai diagnosis yang tepat yaitu SLE

Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini bertujuan mengungkap model spiritualitas para penderita lupus dan melihat pengaruhnya terhadap kehidupan subyek tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, penelitian ini menemukan tujuh kategori spiritualitas, yaitu: 1) transenden, 2) mengambil hikmah dari rasa sakit, 3) sikap terhadap rasa sakit, 4) menciptakan makna dan tujuan hidup, 5) altruisme, 6) tanggung jawab terhadap hidup, 7) orientasi pada nilai spiritual.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

(24)

mengabaikan semua orang yang peduli. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa odapus disibukkan dengan pikiran-pikiran tertentu tentang kehidupan mereka yang bisa berujung pada stres. Padahal hal-hal ini dapat memicu lupus kambuh.

Boleh saja para odapus marah, takut, gelisah, dan tertekan pada awalnya, namun emosi-emosi tersebut bisa diatasi. Oleh karena itu, kendalikanlah diri masing-masing dan jangan bersedih. Semakin cepat diatasi, membangun dukungan dari keluarga dan teman, dan mulai menjalani hidup yang positif dan realistis, semakin cepat merasa sehat secara fisik dan mental. Mungkin saja, ini bisa meredakan lupus. Hal lain yang juga penting adalah, bantuan dari keluarga odapus, serta pihak-pihak yang peduli dengan lupus, dalam memberikan dukungan baik moril maupun materil demi tercapainya kehidupan odapus yang lebih baik.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzakiey, H. B. 2004. Prophetic Intelligence: Menumbuhkan Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani. Yogyakarta: Islamika. Chiu, L., Emblen, J. D., Howegen, L. V., Sawatzky, R., Meyerhoff, H. 2004. An

Integrative Review of the Concept of Spirituality in the Health Science. Western Journal of Nursing Research. Vol. 26, 405-428.

Cindy, M. 2006. Managing a Medically and Socially Complex life: Women Living With Lupus. Qualitative Health Research. Vol.16, 982-997.

Corwin, E.J. 1997. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC.

Delgado, C. 2005. A Discusion of the Concept Spirituality. Nursing Science Quartely. Vol. 18, 157-162.

Doktersehat.com. 24 September 2007. Apa itu Penyakit Lupus? http://www.doktersehat.com/page/2/.03/05/08.

Elkins, D. N., Hedstrom, L. J., Hughes, L. L., Leaf, J. A., Sauders, C. 1988. Toward A Humanistic-Phenomenological Spirituality: Definition, Description, and Measurement. Journal of Humanistic Psychology.

Holt, C. L., Lukwago, S. N., Kreuter, M. W. 2003. Spirituality, Breast Cancer Beliefs and Mammography Utilization among Urban African American Women. Journal of Psychology. Vol. 8, 383-396.

Liputan6.com. 11 Mei 2006. Ribuan Orang di Indonesia Mengidap Lupus. http://www.liputan6.com/sosbud/?id=122671/06/06/08

(26)

Patton, M. Q. 1990. Qualitative Evaluation and Research Method: 2nd Edition. New York: Sage Publication.

Thoresen, C. E. 1999. Spirituality and Health: Is there a Relatuonship?. Journal of Health Psychology. Vol. 4, 291-300.

Walizer, Michael. H, & Wienir, Paul. L. 1987. Metode dan Analisis Penelitian:Mencari Hubungan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Walton, J. and Sullivan, N. 2004. Men of Prayer: Spirituality of Men with Prostate Cancer, A Grounded Theory Study. Journal of Holistic Nursing. Vol. 22, 133-151.

(27)

IDENTITAS PENULIS

Nama : Rizka Tiara Hati NIM : 04320046

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi sungai Gelis saat ini bisa dibilang sangat memprihatinkan karena air yang berwarna hitam dan memiliki bau tak sedap.. Adanya beragam aktivitas manusia di sekitar Sungai

Untuk menumbuhkan kesadaran akan bahaya pergaulan tidak sehat, remaja perlu diberi pendidikan mengenai dampak pergaulan tidak sehat dan memberi pendidikan

Pening- katan konsentrasi oksigen terlarut di perairan dengan sistem aerasi dapat dilakukan menggunakan kincir yang dapat dipasang di setiap unit KJA atau pada

Keadaan rumah tinggal penambang galian C di Desa Sebudi menurut kriteria bantuan bedah rumah, (Dinas Sosial Kabupaten Karangasem, 2013) sudah memenuhi syarat kesehatan, keamanan,

Jadi kalo dianalisa diiba na Rajo Sontang Rajo Dubalang on inda marpisah tutu dabo (jadi kira-kira hubanganya sekarang ialah sebagai orang sumando-menyumandoi .Buktinya ada

Baham hukum yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini terdiri dari:. Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang – undangan khususnya

Selain koefisien determinasi juga didapat koefisien korelasi yang menunjukkan besarnya hubungan antara variabel bebas yaitu pemahaman peraturan pajak, tarif pajak, lingkungan,