BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepuasan kerja merupakan kepuasan yang dirasakan seorang pekerja secara
individual melalui perbandingan antara masukan yang digunakan dan hasil yang
diperoleh apakah sesuai dengan yang diharapkan. Semakin mendekati tingkat harapan
terhadap hasil yang diperoleh, kepuasan kerja seorang pekerja juga akan semakin
tinggi. Hal ini juga tidak terlepas dari berbagai faktor dari dalam maupun dari luar
pekerja.
Kepuasan kerja merupakan dampak atau hasil dari keefektifan performance
dan kesuksesan dalam bekerja. Kepuasan kerja yang rendah pada organisasi adalah
rangkaian dari 1) menurunnya pelaksanaan tugas, 2) meningkatnya absensi, dan
3) penurunan moral organisasi. Sedangkan pada tingkat individu, ketidakpuasan
kerja, berkaitan dengan 1) keinginan untuk keluar dari organisasi kerja,
2) meningkatnya stres kerja, dan 3) munculnya berbagai masalah psikologis dan fisik
(Yulk, 1994).
Kepuasan kerja karyawan berhubungan dengan harapan pegawai terhadap
atasan (pimpinan), rekan kerja dan pekerjaan itu sendiri. Sedangkan kinerja adalah
kekuatan dan kemampuan karyawan untuk melakukan tugas. Jadi jika kepemimpinan
atasan baik dalam melaksanakan tugas maka, karyawan akan termotivasi untuk
dilakukan oleh Smith et al. (2000) menemukan bahwa motivasi mempunyai hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja.
Sebagaimana didefinisikan, kepuasan kerja adalah terpenuhi atau tidaknya
keinginan terhadap pekerjaan (Amstrong dan Murlis, 2004). Kepuasan kerja
karyawan berhubungan dengan harapan pegawai terhadap atasan, rekan kerja, dan
terhadap pekerjaan itu sendiri. Bila dalam lingkungan kerja, karyawan tidak
mendapatkan apa yang diharapkan seperti peluang promosi yang adil, pendapatan
yang baik, rekan kerja dan atasan yang menyenangkan, serta kepuasan terhadap
pekerjaan itu sendiri, maka kinerja karyawan akan buruk.
Penjelasan Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum tersurat bahwa di lingkungan pemerintah terdapat
banyak satuan kegiatan ynag berpotensi dikelola lebih efektif melalui pola Badan
Layanan Umum. Diantara mereka ada yang memperoleh imbalan dari masyarakat
dalam proporsi signifikan sehubungan dengan layanan yang diberikan. Badan
Layanan Umum diberi kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non
PNS serta kesempatan memberikan imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan
kontribusinya.
Handoko (2001) menyatakan bahwa bagi mayoritas karyawan, uang masih
tetap merupakan motivator kuat bahkan paling kuat dalam bekerja. Sedangkan
menurut Schuler dalam Nofrinaldi dkk. (2006), uang akan menimbulkan kepuasan
dan motivasi apabila memenuhi kriteria: adil pembayarannya; wajar dalam
senantiasa berkelanjutan (konsisten) dan diperbaharui. Tidak disangkal bahwa
motivasi seseorang bekerja adalah untuk mencari nafkah dan mengharapkan
menerima imbalan tertentu. Imbalan merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh
pihak manajemen suatu organisasi, karena imbalan kepada para pekerja hanya
dipandang sebagai alat pemuasan kebutuhan materialnya, tetapi sudah dikaitkan
dengan harkat dan martabat sebagai manusia. Jika ada ketidakpuasan atas kompensasi
yang diterimanya serta tidak ada penyelesaian yang baik, maka akan timbul prestasi
kerja yang menurun.
Jasa medik merupakan penghargaan atau rewards yang diterima karyawan rumah sakit sebagai balas jasa untuk pekerjaan yang karyawan lakukan. Jasa medik
yang langsung terkait dengan kinerja seperti jasa pelayanan, dapat memotivasi
perbaikan kinerja individu, akan tetapi juga dapat merusak motivasi apabila sistem
yang diterapkan tidak sesuai. Tingkat kepuasan jasa pelayanan adalah derajat tinggi
rendahnya persepsi perawat terhadap kesesuaian jasa medik yang diharapkan dengan
yang diterima atau yang seharusnya diterima (Depkes RI, 2001).
Pemberian jasa medik kepada karyawan rumah sakit bersumber dari tarif
pelayanan yang dibebankan kepada pasien yang memanfaatkan pelayanan rumah
sakit. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 582/Menkes/Kes/SK/VI/1997
disebutkan bahwa tarif rumah sakit diperhitungkan atas dasar unit cost dari setiap jenis pelayanan dan kelas perawatan dengan memperhatikan kemampuan ekonomi
Menurut Sulaeman (1996) menyatakan bahwa prinsip pembagian jasa
pelayanan adalah merata dan adil. Merata yaitu semua karyawan mendapat
pembagian jasa pelayanan dan adil jika karyawan yang produktivitasnya tinggi harus
mendapat jasa pelayanan yang lebih besar. Pengembangan sistem pembagian jasa
pelayanan menurut Maas (1996) dilakukan melalui proses pengelompokan unsur
penerima jasa pelayanan, penentuan besaran dan cara pembagiannya.
Menurut Wibowo (2009) kebijakan kompensasi harus memperhatikan
berbagai hal terkait, misalnya kultur kerja organisasi, strategi rumah sakit, hingga ke
masa depan rumah sakit. Perbedaan kompensasi yang terlalu besar antara jenis tenaga
medis dapat merusak kultur kerja sumber daya manusia. Pemberian kompensasi yang
terlalu besar untuk kelompok tenaga medis tertentu (misalnya dokter spesialis) dapat
memicu perawat meminta kompensasi yang lebih besar dari yang ada. Hal ini pada
akhirnya dapat mengancam kelangsungan hidup rumah sakit. Di dalam sektor
pemerintah, kompensasi yang besar untuk dokter dapat menimbulkan kecemburuan
bagi tenaga di sektor pemerintah lainnya, misalnya Pegawai Pemerintah Daerah,
bahkan kepala daerahnya sendiri. Sementara itu, kompensasi yang terlalu rendah
dapat pula mengurangi semangat kerja dokter spesialis sehingga mengurangi
produktivitasnya.
Menurut penelitian Darmawan (2008), deskripsi tugas pokok dan fungsi
masing-masing perawat yang belum ditetapkan mengakibatkan setiap bagian
menjalankan fungsinya sesuai dengan persepsinya yang mereka bentuk sendiri tanpa
dan tidak sesuai dengan tugas prioritasnya. Konsekuensi dari perkembangan itu harus
ada jenjang karier dan pengembangan staf yang tertata baik, imbalan jasa, insentif
serta sistem penghargaan yang memadai, rendahnya imbalan jasa bagi perawat
selama ini memengaruhi kinerja perawat. Isu hangat keperawatan baik regional
maupun nasional adalah isu tentang jasa keperawatan. Isu ini jika tidak ditanggapi
dengan benar dan profesional dikhawatirkan dapat menghambat upaya kepentingan
pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, menghambat
upaya pengembangan rumah sakit serta menghambat upaya pengembangan dari
keperawatan sebagai profesi.
Hasil penelitian Setyono (2002) tentang Analisis pengelolaan jasa medis di
Rumah Sakit Umum Kabupaten Daerah Tingkat II Subang, menemukan bahwa
terjadi keterlambatan pembayaran dari waktu yang seharusnya dibayar dan adanya
perbedaan besarnya jasa medis yang seharusnya dibayar dengan kenyataan yang
diterima.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan
merupakan Rumah Sakit Pemerintah di Kabupaten Aceh Selatan. Berdasarkan data
dari bagian kepegawaian diperoleh tingkat absensi/mangkir dalam 2 tahun terakhir
(Tahun 2009-2010), umumnya terjadi pada kelompok perawat pelaksana mencapai
angka 2-4 % perbulan, sedangkan kemangkiran pada kelompok manajemen relatif
lebih rendah yaitu kurang dari 1 %. Secara kuantitatif, tingginya tingkat absensi
perawat pelaksana dalam kurun 2 tahun terakhir menunjukkan indikasi rendahnya
Menurut pimpinan rumah sakit, tingkat kemangkiran lebih dari 3% perlu
dihindari karena dapat mengganggu kelancaran pelayanan kepada pasien, oleh karena
itu pimpinan menerapkan pemberian sanksi bagi karyawan mangkir dengan
memotong insentif sebesar 5% setiap satu kali mangkir (RSUD dr. H. Yuliddin Away
Tapaktuan, 2011). Absensi/kemangkiran dalam perusahaan merupakan masalah
karena kemangkiran berarti kerugian akibat terhambatnya penyelesaian pekerjaan dan
penurunan kinerja. Hal ini juga merupakan indikasi adanya ketidakpuasan kerja
karyawan yang dapat merugikan perusahaan (Robbin, 2003).
Menurut Burton et al. (2002) banyak organisasi terlihat bahwa terdapat korelasi kuat antara kepuasan kerja dengan tingkat kemangkiran, artinya telah
terbukti bahwa karyawan yang tinggi kepuasan kerjanya akan rendah tingkat
kemangkirannya. Sebaliknya karyawan yang rendah tingkat kepuasan akan cenderung
tinggi tingkat kemangkirannya.
Peraturan Daerah atau Qanun Kabupaten Aceh Selatan Nomor 1 Tahun 2003 tentang Restribusi Pelayanan Kesehatan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jasa
medik adalah imbalan yang diterima oleh pelaksana pelayanan atas jasa yang
diberikan kepada pasien dalam rangka observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan,
konsultasi, visite, rehabilitasi medik dan atau jasa pelayanan lainya termasuk jasa
manajemen. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jasa pelayanan adalah hak
yang harus diterima oleh pelaksanan atas jasa yang diberikan kepada pasien.
Pembagian jasa pelayanan perlu dilakukan secara hati-hati, teliti, cermat,
(misalnya: kecemburuan, ketidak percayaan/kecurigaan dan kekecewaan) serta dapat
berpengaruh pada penurunan kinerja dan suasana kerja yang tidak kondusif serta
dapat mengakibatkan munculnya krisis kepercayaan. Pada tahun 2010-2011 terjadi
masalah ketidakharmonisan antara petugas kesehatan di RSUD dr. H. Yuliddin Away
Tapaktuan yang diawali dengan ketidakpuasan di dalam sistem pembagian jasa
pelayanan yang diberikan kepada dokter maupun perawat. Keadaan tersebut
menciptakan disharmoni dalam kinerja Rumah Sakit sehingga timbul perasaan tidak
puas yang dalam kalangan paramedik karena penerimaan jasa pelayanan yang
diterima dirasa belum adil dibanding beban tugas yang dilaksanakan. Hal tersebut
selalu menjadi bahan diskusi maupun rapat-rapat bulanan komite keperawatan yang
hingga sekarang belum menghasilkan sebuah rumusan pembagian jasa pelayanan
yang dirasa bisa diterima oleh semua tenaga keperawatan di rumah sakit. Untuk
menghindari dan meminimalisir permasalahan yang mungkin timbul maka hendaknya
pembagian jasa pelayanan diberikan secara utuh, transparan, prosporsional dan sesuai
dengan tanggungjawabnya.
Sistem pembagian jasa medik di RSUD dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan
mengacu kepada Qanun Nomor 1 Tahun 2003 bahwa penerimaan jasa yang didapat dari jasa pelayanan medik diperuntukkan dengan proporsi yaitu 56 % untuk bahan
habis pakai dan jasa sarana rumah sakit yang disetorkan ke Pemerintah Daerah
sedangkan 44 % untuk jasa pelayanan. Jasa Pelayanan medik ini dibagi lagi
berdasarkan jenis ketenagaan serta unit kerja, yaitu 50% untuk tenaga medis, 30%
seperti menghadiri seminar, lokakarya dan lain-lain. Pembagian jasa medik bagi
tenaga medis, para medis perawatan, para medis non perawatan serta tenaga non
medis, diatur dalam surat keputusan direktur yang proporsinya sudah disepakati
Tim/Panitia pembagi jasa pelayananan yang dibentuk oleh direktur rumah sakit.
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti tentang penetapan jasa medik
pelayanan tenaga perawat pelaksana di RSUD dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan pada
awal tahun 2012 adalah ditemukannya kenyataan bahwa ada perbedaan yang cukup
segnifikan dalam penerimaan jasa pelayanan tenaga keperawatan pada
masing-masing ruang pelayanan. Perbedaan jumlah jasa medik yang dirasakan perawat
pelaksana karena sistem pembagian ada yang hanya berdasarkan kepada tataran
bangsal perawatan, penetapan perhitungan skor hanya berdasarkan kepantasan,
sehingga masih dirasakan kurang adil terutama oleh perawat.
Keluhan yang sering dirasakan sebagaian besar perawat pelaksana seperti
pembagian jasa medik yang kurang adil, pimpinan kurang mendengarkan aspirasi
perawat pelaksana tentang jasa medik. Pembagian jasa medik pada setiap unit
pelayanan ditentukan oleh manajemen rumah sakit secara merata, selanjutnya pada
setiap unit kerja dilakukan pembagian oleh pimpinan unit kerja secara merata untuk
setiap petugas pada unit kerjanya. Kurangnya sosialisasi dari pimpinan rumah sakit
kepada pimpinan unit kerja serta petugas setiap unit kerja menyebabkan tidak adanya
. Perlu adanya perhatian manajemen RSUD dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan,
tentang kepuasan kerja perawat pelaksana, sehingga diharapankan kinerja perawat
pelaksana tercapai dengan baik.
Sistem pembagian jasa pelayanan kepada perawat yang belum
memperhatikan bobot kerja yang disumbangkan oleh perawat dalam melaksanakan
pelayanan atau asuhan keperawatan yang profesional. Sistem pembagian berdasarkan
jabatan dan penetapan skor tidak ada dasarnya, kondisi statis, tetap, transparan hanya
berdasarkan pada kepantasan sehingga diperlukan perbaikan. Ketimpangan
penerimaan insentif pelayanan tenaga keperawatan ini disebabkan karena sistem
pembagian insentif yang bagi masing-masing perawat..
Ketidakadilan pembagian jasa medik yang diterima masih belum sesuai
dengan hasil kerja yang dicapai masing-masing perawat. Jasa medik yang diterima
akan sangat memengaruhi status, harga diri, dan perasaan-perasaan mereka terhadap
rumah sakit. Hal ini berdampak terhadap moral kerja, kepuasan dan produktivitas
perawat karena jasa medik merupakan salah satu bentuk insentif sehingga termasuk
dari paket kompensasi.
Fenomena rendahnya kepuasan kerja ini diduga terkait dengan belum baik
atau sesuainya sistem pembagian jasa medik bagi perawat pelaksana di RSUD
dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. Berdasarkan teori dan beberapa penelitian
terdahulu yang telah disebutkan di atas, dan permasalahan yang ditemui pada di
”Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Medik terhadap Kepuasan Kerja Perawat
Pelaksana di RSUD dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan”.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah: bagaimana pengaruh sistem pembagian jasa medik (keadilan,
kewajaran, transparansi dan konsistensi) terhadap kepuasan kerja perawat pelaksana
di RSUD dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan?.
1.3 Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh sistem pembagian jasa medik (keadilan, kewajaran,
transparansi dan konsistensi) terhadap kepuasan kerja perawat pelaksana di RSUD
dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
1.4 Hipotesis
Sistem pembagian jasa medik (keadilan, kewajaran, transparansi dan
konsistensi) berpengaruh terhadap kepuasan kerja perawat pelaksana di RSUD
dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi manajemen RSUD dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan
tentang kebijakan pemberian jasa medik di rumah sakit.
2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan sistem