• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS QUO MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM IND (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STATUS QUO MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM IND (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS QUO; MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM 

INDONESIA

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Justifikasi   TNI  sebagai  institusi   yang   memiliki   kekhususan   pola pembinaan dalam menjaga naluri tempur prajuritnya, menjadi semangat munculnya  pengkhususan   hukum   militer  yang  membedakan   dirinya dengan   masyarakat   pada   umumnya.   Pembebanan   tugas  dalam melaksanakan   fungsi   pertahanan   negara  digunakan   untuk   melakukan diskriminasi   terhadap   pembentukan   dan   pemberlakuan   hukum  pada personil  militer di Indonesia.  Hingga saat ini, segala tindak pidana yang dilakukan seorang personil militer, baik pidana umum maupun pidana militer,   diadili   lewat   suatu  tribunal  khusus   militer.  Tribunal   tersebut diberlakukan   terhadap  personil  militer   tanpa   memperhitungkan   delik kesalahan   serta   yurisdiksi   atas   kesalahan   tersebut.1  Artinya   bisa   saja, jika   seorang   personil   militer   melakukan   kesalahan   atas   delik   pidana umum,   pada   akhirnya   akan   tetap   diadili   dalam   peradilan   militer. Inkonsistensi,   adalah   kata   pertama   yang   harus   disampaikan   terhadap tribunal   ini.   Yurisdiksi   peradilan   umum   sudah   sangat   jelas   mengikat setiap   Warga   Negara   Indonesia   maupun   Warga   Negara   Asing   yang melakukan   tindak   pidana   umum   di   wilayah   negara   Indonesia.   Namun dalam   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997   terdapat   ketidak harmonisan   dimana   peradilan   militer   diberikan   wewenang   untuk melaksanakan hukum formil pada sekelompok golongan penduduk yang tersusun secara organis dalam TNI apapun tindak pidananya.

Mekanisme   peradilan   militer   yang   berlaku   saat   ini   dianggap bermasalah karena tidak mencerminkan prinsip fair trial, imparsial  dan independensi peradilan. Diskriminasi yang diatur dalam Undang­Undang

(2)

Nomor  31 Tahun 1997 adalah tidak diaturnya kewenangan (yurisdiksi) berdasarkan   delik   yang   terjadi.   Wewenang   Undang­Undang   Nomor   31 Tahun   1997   justru   berbasis   pada   subjek   atau   pada   siapa   yang melakukan pelanggaran  sebagaimana  dijelaskan dalam Pasal  9 ayat 1. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebuah tindak pidana yang sama akan disidik, dituntut, dan diadili secara berbeda hanya karena tersangka atau terdakwa   merupakan  personil  militer.  Evolusi   peradilan   militer melingkupi persoalan sejarah militer Indonesia yang sangat dominan di masa   Orde   Baru   sehingga   aturan­aturan   hukum   yang   terkait   dengan militer sangat eksklusif dan diskriminatif terhadap kelompok masyarakat sipil. Serta persoalan dominasi institusi atau pimpinan TNI dalam sistem peradilan   militer   Indonesia   dapat   dikatakan   sebagai   ruang   penciptaan impunitas (ketiadaan hukuman atas sebuah kejahatan).

(3)

Hal   ini   menimbulkan   pro   dan   kontra   serta   polemik   yang berkepanjangan   atas   pelaksanaan   amanat   Undang­Undang   tersebut karena bertolak belakang dengan Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Tarik menarik pasal dalam usaha penyusunan revisi Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer pun terjadi ketika pembahasan dalam pansus.2  Kesulitan terbesar yang dihadapi merevisi peraturan tersebut adalah belum adanya kesepakatan antara   DPR   dengan   Pemerintah   yang   dalam   hal   ini   lebih   cenderung dengan   sikap   tetap   mempertahankan   status   quo   penundukan   personil militer   terhadap   peradilan   militer   yang   bahkan   kemudian   terjadi deadlock.

Dari   berbagai   masalah   tentang   kusutnya   peradilan   militer   diatas dapat   dikatakan   masyarakat   militer   seolah­olah   mendapatkan keistimewaan di hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah masyarakat yang memiliki keistimewaan  dan  berdasarkan regulasi yang ada  (hampir)  tidak   pernah   tersentuh   oleh   hukum   terutama   di   kasus­ kasus yang terkait dengan isu Hak Asasi Manusia dan Korupsi.  Dengan berlatar belakang masalah tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Status Quo; Masyarakat Istimewa Hukum Indonesia” dalam penulisan makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Perkembangan serta hal­hal yang menjadi akibat dari implementasi peradilan   militer   seperti   diatas   yang   menyebabkan   menarik   untuk diangkat   dan   dibahas,   maka   dari   itu   dalam   makalah   ini   dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :

1. Apa penyebab terjadinya Masyarakat Istimewa Hukum Indonesia? 2. Bagaimana Urgensi Reformasi Peradilan Militer?

(4)

C. METODOLOGI

Dalam   rangka   penulisan   makalah   ini   metode   pendekatan   yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu melakukan penelitian dengan berbasis pada analisis terhadap norma  hukum.  Sasaran  kajian yuridis normatif   diarahkan   untuk   menganalisis   hubungan­hubungan   hukum antar   satu   peraturan   dengan   peraturan   lainnya,   tingkat   sinkronisasi hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asas­asas hukum.3 Kajian hukum normatif mengambil sikap kritis­normatif bertolak dari   wawasan   atas   keberadaan   manusia   dalam   masyarakat   serta melancarkan kritik terhadap praktek hukum maupun dogmatik hukum.4

Disiplin kajian hukum normatif menghasilkan hasil kajian preskriptif yaitu   merumuskan   dan   mengajukan   pedoman­pedoman   dan   kaidah­ kaidah yang harus dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum, dan bersifat kritis.5 Kajian ini dilandasi pandangan relasi subyek­subyek, sehingga   hasil   kajiannya   bersifat   intersubyektif.  Kajian   ini   dilandasi perspektif   internal,   sehingga   Peneliti   bersikap  sebagai partisipan/pengamat   terlibat,  dan   hasilnya   adalah   pengetahuan   yang inter­subyektif.6

D. PENYEBAB TERJADINYA MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM  INDONESIA

Salah satu landasan hukum utama peradilan militer di Indonesia adalah   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997   dan   Undang­Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peradilan militer

3 Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan  Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.

4 Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, (Jakarta: FH  UI, 2010) hlm.7. sebagaimana dikutip dari Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum  dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Pergulatan Ideologis dalam Methodologi Kajian  Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FH­UI, 2005) hlm.2.

Ibid.

(5)

merupakan   badan   pelaksana   kekuasaan   kehakiman   di   lingkungan angkatan bersenjata yang secara organisatoris administrasi dan finansial berada   di   bawah   Panglima.  Seperti   diketahui   dalam   Undang­Undang Peradilan   Militer   peran   Panglima   sangat   kuat   pengaruhnya.   Dalam peraturan tersebut juga memuat ketentuan­ketentuan yang sangat rentan terhadap konflik kepentingan. Perwira yang berada dalam jalur komando dalam Undang­Undang tersebut memiliki wewenang yang memungkinkan untuk   mempengaruhi   berbagai   tahap   peradilan   mulai   dari   penyidikan hingga   proses   persidangan.   Pada   tahap   penyidikan   dilaksanakan   oleh suatu tim yang terdiri dari anggota polisi militer, oditur, serta atasan yang berhak   menghukum   (Ankum),   dimana   Ankum   menjadi   penentu   dan memiliki   peluang   mengendalikan   penyidik   lainnya   pada   proses penyidikan.   Disamping   itu   keberadaan   mekanisme   Perwira   Penyerah Perkara atau Papera yang berwenang menentukan apakah suatu perkara akan diteruskan ke ranah pengadilan atau tidak, dapat mempengaruhi independensi   pengadilan   militer.   Wewenang   tersebut   berada   pada Panglima   TNI   dan   Kepala   Staf   Angkatan   Bersenjata   yang   merupakan atasan seorang terdakwa prajurit, dan mereka diijinkan mendelegasikan wewenang tersebut kepada perwira komando dibawahnya. Peraturan ini secara jelas mengijinkan Panglima TNI untuk mengeluarkan keputusan guna menutup suatu penyelidikan demi kepentingan hukum, publik atau militer layaknya deponeering yang dimiliki Jaksa Agung. Selain itu hakim pengadilan militer merupakan perwira aktif dan dapat diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Militer yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima TNI. Dominasi   institusi   atau   pimpinan   TNI   dalam   sistem   peradilan   militer Indonesia bisa dikatakan sebagai ruang penciptaan impunitas (ketiadaan hukuman atas sebuah kejahatan).  

(6)

bahwa pengadilan ini memiliki wewenang untuk mengadili semua tindak kejahatan yang dilakukan oleh personil militer. Lebih dari itu, undang­ undang   tersebut   menyatakan   bahwa   pengadilan   militer   dapat menerapkan satu dari dua hukum yang berlaku, Hukum Pidana Militer dan  Hukum   Pidana   Umum.   Hal   ini   dapat  diartikan   bahwa   warga  sipil terkungkung oleh resiko tindak kriminal dibawah berbagai hukum pidana diluar KUHP, sementara personil militer justru tidak.

Persilangan   mandat  dari  konstitusi   dengan  doktrin  militer  dalam implementasi aturan hukum terhadap militer pada akhirnya hanya akan mengakibatkan   penerapan   hukum   yang   tidak   sejajar.   Hal   ini   justru bertentangan dengan nilai hukum; equality before the law (semua orang dianggap sama di depan hukum) dan melanggar prinsip non­diskriminasi yang dijamin dalam konstitusi. Dalam peraturan ini terdapat diskriminasi berupa yurisdiksi subjektif, dimana peradilan militer sebagaimana yang diatur   dalam   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997   tidak   mengatur kewenangan   (yurisdiksi)   berdasarkan   delik   yang   terjadi.7  Tidak   seperti, misalnya,   UU   No   26   Tahun   2000   tentang   Pengadilan   HAM,   yang   jelas mengatur relevansi delik pelanggaran HAM yang berat untuk diadili di Pengadilan   HAM   ad   hoc.   Wewenang   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun 1997   justru   berbasis   pada   subjek   atau   pada   siapa   yang   melakukan kejahatan   atau   pelanggaran.   Subjek   yang   dimaksud   adalah   prajurit militer   TNI.   Kewenangan   ini   dijelaskan   dalam   Pasal   9   ayat   1.   Hal   ini menunjukkan   bahwa   sebuah   tindak   pidana   yang   sama   akan   disidik, dituntut,   dan   diadili   secara   berbeda   hanya   karena   tersangka   atau terdakwa merupakan anggota militer. Selain itu, penggunaan pengadilan militer tidak hanya untuk kalangan prajurit. Pengadilan militer tersebut juga potensial digunakan terhadap warga negara lain yang bukan personil militer di Indonesia, sebagaimana pada pasal 9 ayat 1 poin d. Dengan

(7)

kata   lain,   sangat   memungkinkan   terjadi   militerisasi   penghukuman (secara   militer)   ke   warga   sipil   lewat   pengadilan   militer.  Disisi   lain Subyektifitas peradilan militer dirasakan saat terdapat beberapa personil militer   melakukan   tindak   pidana   bersama­sama,   maka   mekanisme persidangan   pertamanya   dibedakan   atas   dasar   kepangkatan.   Dengan kata   lain   peradilan   militer   tidak   mengadili   “apa   yang   dilanggar   oleh sesorang?”   melainkan   “siapa   yang   melakukan   pelanggaran?”.   Hal   ini sangat   kontradiktif   dengan   konstitusi   negara   Indonesia   sangat menjunjung tinggi persamaan hak dihadapan hukum (equality before the law).

(8)

mengendalikan   penyelidikan,   penyidikan,   dan   penuntutan   koneksitas tindak pidana korupsi.

Berbagai   permasalahan   dalam   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun 1997   tidak   terlepas   oleh   aturan   hukum   tersebut   merupakan   produk perundang­undangan yang dibangun oleh rezim Orde Baru (ORBA) yang didominasi militer.8  Pandangan militarism sangat meng­influence  dalam memposisikan   militer   itu   sendiri.  Sebagaimana   dinyatakan   oleh   tim penulis   buku   dari   Departemen   Pertahanan   dan   Keamanan   RI,   Brigjen Soegiri   dkk   (1976),   perlu   kearifan   dalam   menyikapi   dan   menanggapi dalam   memahami   hukum   militer,   mengingat   TNI   merupakan   institusi yang memiliki kekhususan dalam pola pembinaan prajurit guna menjaga naluri   tempur   prajurit   yang   memiliki   tugas   melaksanakan   fungsi pertahanan   negara.9  Berdasarkan   pernyataan   di   atas   terlihat   bahwa semangat   pengkhususan   hukum   militer   dalam   rangka   membebankan peran individu­individu militer untuk menjaga integritas militer. Dengan semangat   pentingnya   tugas­tugas   militer   inilah   maka   militer membedakan dirinya dengan masyarakat pada umumnya. Pembebanan tugas   negara   secara   terang­terangan   digunakan   untuk   melakukan tindakan diskriminasi terhadap pembentukan dan pemberlakuan hukum terhadap   militer  di   Indonesia.  Jadi   dapat   disimpulkan   dalam implementasinya Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997 masih terbentur dengan kuatnya status quo logika militer di tengah arus utama demokrasi yang   mengutamakan   supremasi   hukum   dan   penghormatan   terhadap HAM.

Jika   menganut   pada  stufenbau   theory  dimana   terdapat   rantai validitas yang dapat mempresuposisikan valid dari peraturan diatasnya pada   peraturan   dibawahnya,   maka   undang­undang   Peradilan   militer

8 http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letter­chairman­stamboel­indonesias­military­ court­system/Surat kepada Ketua Stamboel tentang Sistem Peradilan Militer Indonesia

(9)

sangat   tidak   memenuhi   persyaratan   valid   untuk   berlaku   karena   tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan TAP MPR. Selain itu peraturan yang merupakan produk dari orde baru dianggap sudah tidak relevan dengan dinamika dan kebutuhan hukum saat ini. Mekanisme judicial review pun sangat   kecil   kemungkinannya   untuk   mendesak   proses   revisi   Undang­ Undang tersebut. Hal ini dikarenakan subyek hukum yang berhak untuk melakukan  legal standing  adalah para personil  militer itu  sendiri yang sampai sekarang tidak pernah merasa peradilan militer itu tidak selaras dengan prinsip­prinsip penyelenggaraan peradilan.

Dari   berbagai   masalah   tentang   kusutnya   peradilan   militer   diatas dapat   dikatakan   masyarakat   militer   seolah­olah   mendapatkan keistimewaan di hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah masyarakat   yang   memiliki   keistimewaan   dimana   kelompok   ini berdasarkan   regulasi   yang   ada   tidak   pernah   tersentuh   oleh   hukum terutama di kasus­kasus yang terkait dengan isu Hak Asasi Manusia dan Korupsi. Personil militer haruslah tunduk pada peradilan umum ketika melakukan   tindak   pidana   umum,   dengan   kewajiban   ini   status   militer tidaklah istimewa di depan hukum, karena status militer sebagai warga negara istimewa hanya ada di negara­negara yang menganut kediktatoran militer.

(10)

E. PANDANGAN TERHADAP URGENSI REFORMASI PERADILAN MILITER

Urgensi   reformasi   terhadap   peradilan   militer   sangat   relevan ditempatkan pada komitmen terhadap reformasi dan perlindungan hak sipil   dan  politik.   Salah  satu  dokumen  politik  kenegaraan  yang  penting buah reformasi adalah TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI. DPR­RI sebagai salah suatu lembaga yang menjiwai semangat dan spirit reformasi tersebut, perlu secara konsisten melanjutkan amanat TAP MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI. Keputusan politik tersebut, telah membagi peran TNI dan POLRI dan telah meletakan dasar  penundukan  prajurit   TNI  dalam  peradilan   militer   umum  apabila melakukan tindak pidana umum. Walaupun keputusan ini telah ditindak lanjuti dalam Pasal 65 ayat (2) Undang­Undang Nomor 34 Tahun 2004, namun   belum   cukup   apabila   perubahan   tersebut   tidak   menyentuh langsung pada undang­undang yang khusus mengatur Peradilan Militer, yaitu   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997.  Padahal   reformasi Peradilan   Militer   adalah   bagian   dari   reformasi   TNI   yang   seharusnya menjadi  concern  utama   Pemerintah   dalam   agenda   besar   reformasi nasional. Namun harus diakui bahwa dalam kenyataannya, harapan ini masih jauh panggang dari api. Reformasi peradilan militer masih belum sinergis   dan   reformasi   TNI   masihlah   normatif,   parsial   dan   belum menyentuh   titik­titik   krusial.  Pembenahan   peradilan   militer   yang   tak kunjung   tuntas   menunjukkan   bahwa   komitmen   reformasi   tidaklah sepenuh hati, bahkan tak didukung kuat oleh pemerintah.

(11)

dalam Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997 harus dapat mengadopsi Pasal   14   Kovenan   Sipol   yang   menganut   prinsip   persamaan   di   muka hukum  (equality   before   the   law)  dalam   administrasi   peradilan

(administration of justice)  tentang prinsip­prinsip utama suatu peradilan, khususnya  soal   independensi   institusi   peradilan   dan  jaminan  fair trial

bagi mereka yang menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana.

Pasal 14 Kovenan Sipol ini dapat menggugat keberadaan praktek peradilan   militer   yang   menyangkut   asas   non­diskriminasi.   Penafsiran pasal ini secara implisit tidak membenarkan suatu peradilan khusus bagi kelompok khusus berdasarkan suatu perbedaan; ras, warna kulit, jenis kelamin,   bahasa,   agama,   politik   atau   pendapat   lain,   asal­usul kebangsaan   atau   sosial,   kekayaan,   kelahiran,   atau   status   lainnya. Selanjutnya,   penafsiran   Pasal   26   Kovenan   Sipol   tentang   prinsip persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai makna   bahwa   semua   orang   harus   diperlakukan   sama   dalam   suatu produk   hukum   dan   legislasi.   Sementara   itu,   perlakuan   sama   bukan berarti bentuk perlakuannya harus identik. Makna dari prinsip ini adalah suatu perlakuan yang sama harus diterapkan kepada suatu fakta yang polanya sama dan perlakuan yang berbeda harus diterapkan pada suatu fakta yang polanya berbeda.

Reformasi   peradilan   militer   juga   harus   memperkuat   secara kelembagaan   jaminan   indepedensi   dan   imparsialitas   sistem   peradilan militer dengan memperkuat hak dari tersangka dan hak­hak korban dan dapat diajukan banding terhadap putusan ke peradilan sipil yang lebih tinggi, misalnya ke Mahkamah Agung (MA).

(12)

peradilan   militer   sampai   akhir   masa   periode   DPR­RI   2004–2009.   Kini perubahan tersebut mendapat dukungan yang kuat dari DPR­RI, tidak saja dari Anggota Komisi I, tetapi juga dari Komisi III. Anggota Komisi III DPR­RI   Deding   Ishak   misalnya   prihatin   terhadap   terjadinya   kasus Cebongan dan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh personil militer dalam kasus tersebut. Pendirian Deding Ishak didasarkan pada pertimbangan   aspek   sosiologis   dan   yuridis   merevisi   Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997.

Dari   aspek   sosiologis,   maraknya   tindak   pidana   yang   dilakukan personil   militer   menjadi   kekhawatiran   tersendiri   bagi   masyarakat,   jika penanganannya   masih   dilakukan   oleh   pengadilan   militer   dan   bukan pengadilan   umum.   Bahkan   fenomena   masyarakat   “istimewa”   hukum Indonesia   ditakutkan   dapat   menjadi   kultur   yang   mendarah   daging. Sedangkan dari aspek yuridis, Undang­Undang peradilan militer dinilai sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian serta tidak konsisten dengan syarat   maupun   hirarki   peraturan   perundang­undangan   sebagaimana diamanatkan   pada   Undang­Undang   Nomor   12   Tahun   2011   Tentang Pembentukan   Peraturan   Perundang­Undangan.   Selain   itu   dari   aspek filosofis, pidana merupakan hukum publik yang esensi dari pidana itu sendiri adalah sebagai alat pencegahan terjadinya konflik di masyarakat. Dengan adanya peradilan pidana diharapkan dapat memulihkan konflik pelaku tidak pidana dengan masyarakat. Maka jika dikembalikan pada tataran   filosofisnya   masyarakat   umum   atau   militer   kah   yang   terjadi konflik disitulah pemulihan konflik melalui peradilan pidana dilakukan.

(13)

profesionalisme   TNI   yang   seiring   dengan  semangat   reformasi   dan demokrasi negara ini. 

F. KESIMPULAN

Dengan   adanya   UU   No   31/1997   tentang   Peradilan   Militer   dapat dikatakan masyarakat militer seolah­olah mendapatkan keistimewaan di hadapan   hukum.   Militer   telah   menjelma   menjadi   sebuah   masyarakat yang memiliki keistimewaan dimana kelompok ini berdasarkan regulasi yang   ada   mendapat   tindakan   diskriminasi   terhadap   pembentukan   dan pemberlakuan hukum pidana.

Perbedaan   pandangan   politik   hukum   atas   tindak   pidana   umum yang dilakukan oleh personil militer merupakan suatu bentuk perbedaan antara   pandangan   yang   konsisten   dan   yang   tidak   konsisten   untuk melanjutkan reformasi nasional yang dimulai dari tahun 1998. Substansi dari   agenda   perubahan   atau   reformasi   peradilan   militer   adalah memastikan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan prinsip­ prinsip HAM serta tidak ada perlakuan khusus terhadap personil militer yang   melakukan   tindak   pidana   umum   atas   warga   negara   lain   dalam bentuk kompetensi peradilan militer.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, FH UI, Jakarta, 2010

Brigjen. Jend. TNI Soegiri SH dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, Dephankam, 1976

http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan   Sipil   Mesti   Memproses Tindak Kriminal Tentara

http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letter­chairman­stamboel­

Referensi

Dokumen terkait

Terjadinya kasus membantu melakukan dalam tindak pidana ini bermula pada hari Kamis 18 September 2014 sekira pukul 23.30 WIB pada saat terdakwa Rengga Kinentaka bin

ROSLINDA LIMBONG Grafik Perolehan Setiap Calon dari Partai NasDem Dapil Samosir 3. Suara Calon 0 500 1.000 1.500 ROMAULI

Hal ini menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah dan pendidikan ayah yang rendah merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kota

Pada contoh Gambar 3.9 file data raster memiliki ekstensi .asc dan telah tergeoreferensi sehingga akan menempati lokasi yang benar dalam peta QGIS.. Apabila data raster

Metode yang digunakan adalah pra-observasi dan observasi (survei lapangan). Pra-observasi dilakukan dengan pembuatan peta tentatif dengan memanfaatkan data Peta RBI

Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu guru mengumpulkan informasi

Abstrak: Diproyeksikan pada tahun 2025, Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah lansia terbesar di dunia. Gigi memiliki fungsi untuk pengunyahan, berbicara, dan

Sampel dipilih secara consecutive sampling dari semua orangtua pasien anak selain pasien anak dengan PJB yang datang ke pusat pelayanan kesehatan primer (Puskesmas