• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 88 “KAJIAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”. Oleh

Juju Samsudin Saputra Abstrak

Masalah korban dalam suatu tindak pidana mengandung masalah hukum yang tidak selalu mudah dipecahkan dari sudut hukum, oleh karenanya seorang korban tindak pidana dapat mengalami korban berikutnya, disebabkan adanya penolakan secara sistematis oleh Sistem Peradilan Pidana. Masalah kepentingan korban untuk mendapat perlindungan hukum sara khusus hampir sama sekali tidak mendapatkan perlindungan hukum dari aparat pemerintahpun kurang mendapat perhatian, tetapi obyek perhatian ternyata masih lebih terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana, dan hal ini masih melekat dari fenomena pembalasan belaka. Sebagaimana tampak dalam sejarah hukum Hamurabi, perhatiannya lebih terfokus pada masalah aspek penologist dari hukum pidana, yakni bagaimana supaya pelaku tindak pidana dapat dihukum sesuai dengan tindak pidana yang terbukti dilakukannya, akibatnya masalah-masalah mengenai korban terluput dari perhatian

(2)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 89 Menurut Bambang Poernomo sebagaimana dikutip oleh Parman Soperman, bahwa dalam hukum Hamurabi, hubungan antara korban dengan pelaku beserta keluarganya sangat dominan dalam proses penyelenggaraan hukum balas dendam. Pelaksanaan hukum Hamurabi kemudian menghadapi kendala si pelaku atau keluarganya mempunyai kedudukan tinggi dan berkekuatan mempertahankan diri, maka pembalasan dendam tidak menjadi perlawanan oleh pelaku terhadap si korban. Di sini kedudukan korban menjadi tidak mendapat perlindungan hukum dan keadilan yang semestinya, maka dicarikan jalan ke luar sebagai alternatif dengan restitusi jika sifatnya ke arah privat atau kompensasi jika sifatnya ke arah publik.1

Selanjutnya Bambang Poernomo menyatakan pandangan masyarakat terhadap korban yang mengarah kepada dalil bahwa pembuat dan korban bisa saja sama-sama mempercepat terjadinya “peristiwa tercela” yang satu berperan aktif dan korban berperan pasif, dimana korban menjadi “korban yang bersalah” dalam terjadinya tindak pidana, dan hal ini mengakibatkan keadaan : pembuat menjadi fokus perhatian reaksi sosial (peradilan) dan korban mengalami hal kurang perhatian dan akhirnya dianggap kurang penting dalam proses reaksi sosial, kecuali hanya sekedar obyek bukti dan bukan subyek.2

Dilihat dari sudut ideologi negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum, Indonesia memandang komitmen bahwa setiap orang harus diperlakukan baik dan adil, apakah seorang tersangka atau korban tindak pidana. Perikemanusiaan sebagai salah satu sendi nilai falsafah negara Pancasila menjiwai seluruh keberadaan hukum di Indonesia dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hingga kepada perundang-undangan ke bawahnya..3

1

Bambang Poernomo, Dalam H. Parman Soeparman, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, Propatria, Jurnal Hukum, (Jakarta Pusat Kajian Hukum Ekonomi Syariah Program Magister Hukum Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Vol. 1 No. 1, Maret-Agustus 2007), hlm. 66-67.

2

Idem, hlm. 67. 3

Arif Gosita, Viktimologi dan KUHAP, (Jakarta : Penerbit Akademika Presindo, 1983), hlm. 14.

(3)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 90 Sejalan dengan hal tersebut diatas, apakah seluruh sistem penyelenggaraan hukum melalui produk peraturan perundang-undangan sudah benar-benar melakukan hal yang demikian, hal inilah yang masih perlu untuk diteliti kembali, khususnya terhadap Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang dimaksud secara politi hukum terhadap anak dari seluruh sisi kehidupan dan lingkungan dari anak Indonesia, termasuk memberikan perlindungan terhadap anak korban kejahatan, dengan memberikan ancaman pidana yang cukup berat dan adanya ketentuan minimal pidana perampasan kemerdekaan, termasuk di dalam minimal pidana denda. Namun di balik semua itu perlu dikaji ulang tentang ketentuan pidana denda yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa yang terbukti telah melakukan tindak pidana dengan anak sebagai korbannya.

Pidana denda yang ditentukan dan ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jika dibayar oleh pelaku, maka hak untuk menerima denda tersebut adalah negara. Bukan anak yang menjadi korban. Korban hanyalah diperlukan sewaktu diminta kesaksiannya dalam persidangan, setelah itu adalah sebagai korban yang terlupakan. Artinya politik hukum dari Undang-Undang Perlindungan Anak untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana, belum sampai dilindungi kalau tidak dapat dikatakan justru dengan ketentuan pasal-pasal tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan Anak seolah menjadi eksploitasi negara.

A. POKOK MASALAH

Untuk mendalami masalah yang telah dipaparkan sebelumnya untuk mengarahkan pengkajian, maka kajian diarahkan kepada pertanyaanm yaitu Untuk mengetahui bagaimanakah kepentingan-kepentingan korban dilihat dari aspek-aspek Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”. telah direalisasikan dalam kerangka penegakan hukum.

(4)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 91 B. PEMBAHASAN

a. Hak-Hak Korban

Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut diantaranya termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan bahwa korban berhak untuk :

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan

dan dukungan keamanan;

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan; 4. Mendapat penerjemah;

5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

9. Mendapat identitas baru;

10. Mendapatkan tempat kediaman baru;

11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

12. Mendapat nasehat; dan/atau

13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Adapun hak-hak para korban menurut van Boven adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan dan hak atas reparasi (pemilihan), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemilihan baik material maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia.

(5)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 92 a. Mendapatkan ganti kerugian atau penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan memberi ganti kerugian pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut.

b. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukannya).

c. Mendapatkan restitusi / kompensasi untuk ahli warisnya bila oihak korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.

d. Mendapat pembinaan dan rehabilitasi. e. Mendapat hak miliknya kembali.

f. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi saksi.

g. Mendapatkan bantuan penasehat hukum. h. Mempergunakan upaya hukum (rechmidden).

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor : 40/A/Res/34 tahun 1985 juga menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah.

Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka / terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan. Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.

Asas-asas hukum acara pidana yang dianut oleh KUHAP pun hampir semua mengedepankan hak-hak tersangka. Paling tidak terdapat sepuluh asas yang dianut oleh KUHAP dengan maksud untuk melindungi hak warganegara dalam proses hukum yang adil, yaitu :

1. Perlakuan yang sama dimuka hukum tanpa diskriminasi apapun; 2. Praduga tidak bersalah;

3. Pelanggaran atas hak-hak individu warganya (yaitu dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah;

(6)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 93 4. Seorang tersangka hendak diberitahu tentang persangkaan dan

pendakwaan terhadapnya;

5. Seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan penasehat hukum;

6. Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan;

7. Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta sederhana;

8. Peradilan harus terbuka untuk umum;

9. Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; serta

10. Adalah kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.

Melihat sepuluh asas diatas, secara normatif KUHAP hanya memperhatikan hak-hak pelaku kejahatan, tanpa memberi ruang kepada korban untuk memperjuangkan hak-haknya. Sebagaimana dikemukakan pada bab-bab terdahulu, korban dalam KUHAP hanya diatur dalam beberapa pasal saja yaitu Pasal 98-101.

b. Pelayanan Terhadap Korban Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum

Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya. Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap para korban kejahatan merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat.

Dalam hal pelayanan dan perlakuan terhadap korban kejahatan secara formal sering dituntut, karena merupakan salah satu bentuk perlindungan dan konsekuensi hukum.

Sebelumnya tidak ada ketentuan yang terperinci mengenai bentuk perlindungan korban sehingga menyebabkan ketidak-seimbangan dalam pengayoman hukum antara korban dan pelaku kejahatan yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan. Dengan kurangnya perlindungan hukum terhadap korban dapat menyebabkan korban bersikap pasif dan cenderung non-kooperatif dengan petugas, bahkan terdapat korelasi antara kurangnya perlindungan dengan keengganan

(7)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 94 korban untuk melapor kepada aparat, terlebih lagi setelah korban melapor, peran dan kedudukannya bergeser sedemikian rupa sehingga aparat peradilan merasa satu-satunya pihak yang dapat mewakili semua kepentingan korban.

Perlu diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius.

Dalam deklarasi PBB tersebut telah dirumuskan bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban, yaitu :

1. acces to justice and fair treatment 2. restitution

3. compensation 4. assistance

Perlindungan menurut UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memeriksa rasa aman kepada korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan ini diberikan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.

Dalam penegakan hukum pidana nasional (baik KUHP maupun KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan hukum pidana nasional tersebut, yang telah diatur secara tegas tanpa memperhatikan kedudukan dan kepentingan korban ternyata hingga sekarang hanyalah sebuah regularitas yang bersifat rutin namun makna ketika harus berhadapan dengan pentingnya perlindungan hukum korban kejahatan.

Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan.

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.

Beberapa bentuk perlindungan terhadap korban, yaitu : a. Ganti Rugi

(8)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 95 Istilah ganti kerugian digunakan oleh KUHAP dalam Pasal 99 ayat (1) dan (2) dengan penekanan pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban.

Dilihat dari kepentingan korban, dalam konsep ganti kerugian terkandung dua manfaat yaitu pertama, untuk memenuhi kerugian material dan segala biaya yang telah dikeluarkan, dan kedua merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu :

1. Meringankan penderitaan korban.

2. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan.

3. Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana. 4. Mempermudah proses peradilan.

5. Dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.

Dari tujuan yang dirumuskan Gelaway diatas, bahwa pemberian ganti kerugian harus dilakukan secara terencana dan terpadu. Artinya, tidak semua korban patut diberikan ganti kerugian karena adapula korban, baik langsung maupun tidak langsung turut terlibat dalam suatu kejahatan. Yang perlu dilayani dan diayomi adalah korban dari golongan masyarakat kurang mampu, baik secara finansial maupun sosial.

Tujuan inti dari pemberian ganti kerugian tidak lain untuk mengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota masyarakat, dan tolok ukur pelaksanaannya adalah dengan diberikannya kesempatan kepada korban untuk mengembangkan hak dan kewajibannya sebagai manusia. Atas dasar itu, program pemberian ganti kerugian kepada korban seharusnya merupakan perpaduan usaha dari berbagai pendekatan, baik pendekatan dalam bidang kesejahteraan sosial,

(9)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 96 pendekatan kemanusiaan dan pendekatan sistem peradilan pidana.

b. Restitusi (Restitution)

Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolok ukur yang digunakan dalam menentukan jumlah restitusi yang diberikan tidak mudah dalam merumuskannya. Hal ini tergantung pada status sosial pelaku dan korban. Dalam hal korban dengan status sosial lebih rendah dari pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk materi, dan sebaliknya jika status korban lebih tinggi dari pelaku maka pemilihan harkat serta nama baik akan lebih diutamakan.

c. Kompensasi

Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Adanya gagasan mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat dengan berlandaskan pada komitmen kontrak sosial dan solidaritas sosial menjadikan masyarakat dan negara bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya, khususnya mereka yang mengalami musibah sebagai korban kejahatan. Kompensasi sebagai bentuk santunan yang sama sekali tidak tergantung bagaimana berjalannya proses peradilan dan putusan yang dijatuhkan, bahkan sumber dana untuk itu diperoleh dari pemerintah atau dana umum.

Adanya pemikiran mengenai alternatif penyelesaian sengketa di bidang pidana dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan / reformalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya mencari alternatif lain dari pidana penjara dan lain sebagainya.

Perlindungan terhadap korban kejahatan merupakan salah satu tujuan dari bekerjanya sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan

(10)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 97 pidana terdapat dua model sistem peradilan pidana yaitu Due Process

Model (DPM) dan Crime Control Model (CCM). Model sistem

peradilan pidana di Indonesia dengan fokus kepada kriminal prosedur baik jaman HIR maupun KUHAP, maka bisa diuraikan model-model yang dianut kedua hukum acara tersebut.

HIR mendekati konsep Crime Control Model (CCM) yang memiliki ciri-ciri :

1. Fungsi yang terpenting dari proses pidana adalah memberantas adanya tindak pidana.

2. Proses pidana diharapkan menjadi proses yang efektif dalam memilih tersangka, menentukan kesalahannya dan menjamin para kriminal itu disingkirkan dari kehidupan masyarakat secepatnya.

3. Dengan efisiensi dimaksudkan bahwa dalam proses pidana itu memiliki kemampuan untuk dengan cepat menangkap penjahat, mengadilinya, menghukumnya dan memenjarakan mereka dalam jumlah yang besar.

4. Crime Control Model harus dapat bekerja dengan kecepatan penuh dan hasilnya adalah final (speed and final). Seperti proses produksi di pabrik, dengan demikian maka sekali seseorang dinyatakan sebagai penjahat dalam proses penyidikan maka nasibnya sudah jelas dan akan cepat sampai penghukuman.

Crime Control Model mulai bekerja dengan adanya dugaan

bersalah (presumption of guilt)

C. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan

1. Perlindungan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan kepada korban kejahatan, untuk memberikan rasa aman kepada korban. Perlindungan ini diberikan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.

(11)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 98 Perlindungan hukum bagi masyarakat seperti anak-anak adalah sebagai bagian dari perlindungan kepentingan-kepentingan yang ada pada korban, hal ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui : pemberian restitusi (ganti rugi), dan kompensasi, pelayanan medis dan bantuan hukum.

b. Saran

1. Disarankan agar lembaga legislatif dapat secara tegas merumuskan ketentuan secara konkrit atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban, karena pengaturan KUHP berorientasi terhadap pelaku, bahkan korban cenderung dilupakan, padahal korban merupakan salah satu aspek yang benar-benar mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Achmad Fauzan, Instrumen Internasional Bidang Konvensil ILO

Yang Berlaku di dan Mengikat Indonesia, Bandung :

Penerbit Yrama Widya, 2005.

Adi Priyatno, Aspek-Aspek Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Kejahatan, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2003

Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana

(Pendekatan Viktimologi Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan), Disertasi, Universitas Diponegoro

Semarang, 2004.

Arif Gosita, Viktimologi dan KUHAP, Jakarta : Penerbit Akademika Presindo, 1983.

(12)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 99 ---, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan),

Jakarta: Penerbit PT Buana Ilmu Populer, 2004.

Bambang Poernomo, Dalam H. Parman Soeparman, Kepentingan

Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi,

Propatria, Jurnal Hukum, Jakarta Pusat Kajian Hukum Ekonomi Syariah Program Magister Hukum Pascasarjana Unversitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Vol. 1 No. 1, Maret - Agustus 2007.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kewajiban

Penanggulangan Kejahatan, Bandung : PT. Citra

Aditya Bakti, 2001.

Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam

Proses Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Pidana dan

Kriminologi, Volume 1.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta : Penerbit Balai

Pustaka, 2003.

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum

Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung :

PT. Alumni, 2002.

Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia : Teori Praktik Dan

Permasalahannya, Bandung : Penerbit Mandar Maju,

(13)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 100 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan

Rehabilitasi dalam Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali

Pers, 1996.

Moch. Faisal Salam, Peradilan HAM di Indonesia, Bandung : Penerbit Pustaka, 2002.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Penerbit Bina Aksara, 1987.

Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem

Peradilan Pidana, Rakuman Disertasi, Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 2001.

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi Pertama, Jakarta : Granit, 2004.

Romli Atmasasmita, Perlindungan Saksi dan Korban Pada

Pengadilan HAM, Bandung : PT. Alumni, 2000.

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : Penerbit PT Refika Aditama, 2006.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

(14)

Al- Akhbar : Vol. 5 No.2 Desember 2013 101 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat.

R. Soesilo, Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Penerbit Politeia, 1981.

R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara mean arterial pressure dengan peristiwa kematian pada stroke perdarahan intraserebral di RS Dr.

From the phenomenon above the writer is interested in conducting a research entitled, “Descriptive Study on English Speaking Teaching-Learning Process at the First Year of Junior

Bagi pembangunan pertanian, sistem-sistem agroforestri menyediakan model pertanian komersil, menguntungkan dan berkesinambungan dan sesuai dengan keadaan petani,

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component

Hasil konsolidasi kali ini dengan kontribusi terbesar berasal dari kelompok Jasa Hilir Migas (Downstream Oil & Gas Services) sebesar Rp 1,68 T, lalu disusul

hukum dalam memperoleh organ gigi manusia untuk kepentingan Pendidikan. Masyarakat mengetahui adanya hukum yang mengatur tentang jual beli organ. untuk kepentingan pendidikan.

We then run a regression of log Q on our independent variables (i.e., board size, the num- ber of board meetings, the proportion of inde- pendent commissioners on the board,

Dengan melihat kondisi angin yang seperti ini bisa dikatakan pada tanggal 9 November 2017 hujan berpotensi turun dalam waktu yang cukup lama sebab pergerakan angin seperti mendapat