• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Wilayah untuk Pengantar docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengembangan Wilayah untuk Pengantar docx"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Draft-Tidak untuk Dikutip

Pengembangan Wilayah : Suatu Pengantar

Oleh Oswar Mungkasa

Bab I Pengertian Pengembangan Wilayah dan Perencanaan Wilayah 1.1 Wilayah

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (UU No. 26 Tahun 2007).

Sementara Rustiadi, et al. (2011) menjelaskan wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region).

Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2010) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi: 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

(2)

karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.

Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.

Sementara Wilayah dalam pengertian geografis adalah merupakan kesatuan alam yaitu alam yang serbasama/homogen/seragam dan kesatuan manusia yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama, yang mempunyai ciri (kekhususan) yang khas, yang dapat membedakan dengan wilayah yang lainnya (Johara TY, 1992).

Wilayah geografis dapat mengandung wilayah geologi (geological region), wilayah tubuh tanah (soil region), wilayah vegetasi (vegetation region), wilayah bahasa (distinguistic region), wilayah ekonomi (economic region), wilayah sejarah (historical region) dan sebagainya. Disamping wilayah formal/geografis, terdapat istilah wilayah fungsional, yaitu bagian dari permukaan bumi, tempat dimana beberapa keadaan alam yang berlawanan memungkinkan tumbuhnya bermacam-macam kegiatan yang saling mengisi dalam kehidupan penduduk.

Pengertian wilayah yang mempunyai keseragaman alam dan manusia memiliki beberapa batasan antara lain (Johara T Y, 1992):

 Sebuah daerah berdasar pada keseragaman karakter lahan (R.S Platt)

 Sebuah daerah yang berkembang berdasar karakter pola manusia yang telah beradaptasi terhadap lingkungan (American Society of Planning official)  Sebuah daerah geografis yang menyatu secara budaya, menyatu awalnya

berdasar kepentingan ekonomi, dan selanjutnya berdasar consensus pemikiran, pendidikan, rekreasi dan lainnya, yang berbeda dengan daerah lainnya (K Young).

 Sebuah daerah dengan karakteristik fisik homogen (WLG Joerg).

 Sebuah kesatuan lahan, air, udara, tumbuhan, binatang, dan manusia yang saling terkait membentuk pola tertentu dan jelas dari permukaan bumi (AJ Herberson).

Beberapa batasan untuk wilayah fungsional antara lain (Johara T Y, 1992):  Sebuah daerah budaya yang terbentuk dari saling kebergantungan dan

secara fungsi dapat dibedakan dari daerah lainnya (Cart O Sover);

(3)

 wilayah fungsional terbentuk dari konstelasi komunitas (Dawson and Getty)  sebuah daerah dengan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat dipadukan

dengan pusat administrasi (D. McKenzie);

Pengertian wilayah yang lain dapat berupa suatu kawasan yang dipengaruhi oleh suatu proyek pembangunan. Wilayah dalam pengertian ini wilayah tidak harus merupakan kesatuan alam dan manusia.

1.2 Kategori Wilayah

Dasar dari perwilayahan dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Berdasar wilayah administrasi pemerintahan, seperti Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Dusun/Lingkungan.

b. Berdasarkan kesamaan kondisi, yang paling umum adalah kesamaan kondisi fisik.

c. Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. Perlu ditetapkan terlebih dahulu beberapa pusat pertumbuhan yang kira-kira sama besarnya, kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan. d. Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini, ditetapkan batas-batas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program atau proyek dimana wilayah tersebut termasuk dalam suatu perencanaan untuk tujuan khusus.

1.3 Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah (Regional Development) adalah upaya Untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Secara luas, pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Pengembangan wilayah merupakan strategi memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang merupakan fungsi dari kebutuhan baik secara internal maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan faktor eksternal dapat berupa peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya dengan wilayah lain.

(4)

Pada umumnya pengembangan wilayah mengacu pada perubahan produktivitas wilayah, yang diukur dengan peningkatan populasi penduduk, kesempatan kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah industri pengolahan. Selain definisi ekonomi, pengembangan wilayah mengacu pada pengembangan sosial, berupa aktivitas kesehatan, pendidikan, kualitas lingkungan, kesejahteraan dan lainnya. Pengembangan wilayah lebih menekankan pada adanya perbaikan wilayah secara bertahap dari kondisi yang kurang berkembang menjadi berkembang, dalam hal ini pengembangan wilayah tidak berkaitan dengan eksploitasi wilayah.

Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih ditekankan pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi pengembangan lokal wilayah yang mampu mendukung (menghasilkan) pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat, termasuk pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang ada di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam rencana pembangunan nasional, pengembangan wilayah lebih ditekankan pada penyusunan paket pengembangan wilayah terpadu dengan mengenali sektor strategis (potensial) yang perlu dikembangkan di suatu wilayah (Friedmann & Allonso, 2008).

Sedangkan pengembangan wilayah sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen tertentu seperti (Friedman and Allonso, 2008):

Sumber daya lokal. Merupakan kekuatan alam yang dimiliki wilayah tersebut seperti lahan pertanian, hutan, bahan galian, tambang dan sebagainya. Sumberdaya lokal harus dikembangkan untuk dapat meningkatkan daya saing wilayah tersebut.

Pasar. Merupakan tempat memasarkan produk yang dihasilkan suatu wilayah sehingga wilayah dapat berkembang.

Tenaga kerja. Tenaga kerja berperan dalam pengembangan wilayah sebagai pengolah sumber daya yang ada.

Investasi. Semua kegiatan dalam pengembangan wilayah tidak terlepas dari adanya investasi modal. Investasi akan masuk ke dalam suatu wilayah yang memiliki kondisi kondusif bagi penanaman modal.

Kemampuan pemerintah. Pemerintah merupakan elemen pengarah pengembangan wilayah. Pemerintah yang berkapasitas akan dapat mewujudkan pengembangan wilayah yang efisien karena sifatnya sebagai katalisator pembangunan.

Transportasi dan Komunikasi. Transportasi dan komunikasi berperan sebagai media pendukung yang menghubungkan wilayah satu dengan wilayah lainnya. Interaksi antara wilayah seperti aliran barang, jasa dan informasi akan sangat berpengaruh bagi tumbuh kembangnya suatu wilayah.

(5)

sumber daya wilayah melalui peningkatan output produksi dan keefektifan kinerja sektor-sektor perekonomian wilayah.

Pengembangan wilayah adalah upaya pembangunan dalam suatu wilayah administratif atau kawasan tertentu agar tercapai kesejahteraaan (people property) melalui pemanfaatan peluang-peluang dan pemanfaatan sumber daya secara optimal, efisien, sinergi dan berkelanjutan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi, penciptaan iklim kondusif, perlindungan lingkungan dan penyediaan prasarana dan sarana. Pada dasarnya komponen utama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah adalah kemajuan ekonomi wilayah bersangkutan.

1.4 Perencanaan Wilayah

Perencanaan wilayah adalah penetapan langkah yang digunakan untuk wilayah tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Langkah tersebut antara lain menetapkan tujuan, memperkirakan kondisi masa depan, memperkirakan kemungkinan masalah yang akan terjadi, menetapkan lokasi kegiatan (UU No. 26 Tahun 2007).

Menurut Chaprin, perencanaan wilayah (regional planning) adalah upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan wilayah memiliki tiga tujuan pokok yakni meminimalkan konflik kepentingan antar sektor, meningkatkan kemajuan sektoral dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).

Perencanaan wilayah adalah perencanaan daerah geografis yang melewati batas administrasi pemerintahan tetapi berbagi kesamaan karakteristik sosial, ekonomi, politik, budaya dan sumberdaya alam dan transportasi

Bab 2 Tujuan Pembangunan Wilayah

Tujuan pengembangan wilayah mengandung 2 (dua) sisi yang saling berkaitan yaitu sisi sosial dan ekonomis. Dengan kata lain pengembangan wilayah adalah merupakan upaya memberikan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya (Triutomo, 2001).

(6)

 Memanfaatkan sumberdaya secara optimal sehingga dapat mewujudkan

potensi pembangunan wilayah dalam suatu jangka waktu tertentu dengan dampak minimum dalam mencapai kesetaraan ekonomi

 Menjamin perencanaan dan distribusi penduduk dan sumberdaya

ekonomi yang setara dari sebuah daerah.

 Mengatur lahan yang tersedia dalam pola ruang yang paling

menguntungkan dan produksif bagi wilayah dan negeri dalam skala luas.

 Aloksi sumberdayatertentu untuk menghasilkan kegiatan ekonomi di

wilayah terbelakang untuk menstabilkan ekonominya melalui perencanaan sejumlah kota menengah yang memadai dan untuk menyediakan layanan, pekerjaan, dan fasilitas sosial dan budaya.

 Menghindarkan ekspansi perkotaan yang tidak sehat.

Bab 3 Teori Pengembangan dan Pertumbuhan Wilayah1

3.1 Teori Pengembangan Wilayah

Salah satu teori pembangunan wilayah adalah pertumbuhan tak berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan Myrdal. Pengembangan wilayah merupakan proses perumusan dan pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan dalam skala supra urban. Pembangunan wilayah pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, yaitu berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah.

Teori pertumbuhan tak berimbang memandang bahwa suatu wilayah tidak dapat berkembang bila ada keseimbangan, sehingga harus terjadi ketidakseimbangan. Penanaman investasi tidak mungkin dilakukan pada setiap sektor di suatu wilayah secara merata, tetapi harus dilakukan pada sektor-sektor unggulan yang diharapkan dapat menarik kemajuan sektor lainnya. Sektor yang diunggulkan tersebut dinamakan sebagai leading sektor.

Sesungguhnya teori pembangunan terkait erat dengan strategi pembangunan, yakni perubahan struktur ekonomi dan pranata sosial yang diupayakan untuk menemukan solusi yang konsisten dan langgeng bagi persoalan yang dihadapi. Terdapat berbagai pendekatan menyangkut tema-tema kajian tentang pembangunan. Satu diantaranya adalah mengenai isu pembangunan wilayah. Secara luas, pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri, 2004).

(7)

Hoover dan Giarratani (dalam Nugroho dan Dahuri, 2004), menyimpulkan tiga pilar penting dalam proses pembangunan wilayah, yaitu:

 Keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor). Pilar ini berhubungan dengan keadaan dtemukannya sumber-sumber daya tertentu yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lokal (bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor primer lainnya.

 Aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar aglomerasi merupakan fenomena eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi berupa meningkatnya keuntungan ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya- biaya produksi akibat penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk.

 Biaya transpor (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian. Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek keputusan lokasional, terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme aglomerasi. Istilah pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah sesungguhnya tidak bermakna sama. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah merupakan suatu proses kontiniu hasil dari berbagai pengambilan keputusan di dalam ataupun yang mempengaruhi suatu wilayah.

Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya perubahan struktural. Wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori sektor (sektor theory) dan teori tahapan perkembangan (development stages theory). Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa berkembangnya wilayah, atau perekonomian nasional, dihubungan dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni sektor primer (pertanian, kehutanan dan perikanan), serta sektor tertier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ini ditandai oleh penggunaan sumber daya dan manfaatnya, yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tertier, dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.

(8)

lima tahapan.

 Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan wilayah sangat bergantung pada produk yang dihasilkan oleh industri tersebut, antara lain minyak, hasil perkebunan dan pertanian, dan produk-produk primer lainnya. Industri demikian dimiliki oleh banyak negara dalam awal pertumbuhannya.

 Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah telah mampu mengekpsor selain komoditas dominan juga komoditas kaitannya. Misalnya, komoditas dominan yang diekspor sebelumnya adalah minyak bumi mentah, maka dalam tahapan kedua wilayah juga mengekspor industri (metode) teknologi penambangan (kaitan ke belakang) dan produk-produk turunan dari minyak bumi (kaitan ke depan) misalnya premium, solar dan bahan baku plastik.

 Tahapan kematangan ekonomi. Tahapan ketiga ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi wilayah telah terdiversifikasi dengan munculnya industri substitusi impor, yakni industri yang memproduksi barang dan jasa yang sebelumnya harus diimpor dari luar wilayah. Tahapan ketiga ini juga memberikan tanda kemandirian wilayah dibandingkan wilayah lainnya.

 Tahapan pembentukan metropolis (regional metropolis). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah menjadi pusat kegiatan ekonomi untuk mempengaruhi dan melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah pinggiran. Dalam tahapan ini pengertian wilayah fungsional dapat diartikan bahwa aktivitas ekonomi wilayah lokal berfungsi sebagai pengikat dan pengendali kota-kota lain. Selain itu, volume aktivitas ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan kenaikan impor yang sangat signifikan.

 Tahapan kemajuan teknis dan profesional (technical professional virtuosity). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah memberikan peran yang sangat nyata terhadap perekonomian nasional. Dalam wilayah berkembang produk dan proses-proses produksi yang relatif canggih, baru, efisien dan terspesialisasi. Aktivitas ekonomi telah mengandalkan inovasi, modifikasi, dan imitasi yang mengarah kepada pemenuhan kepuasan individual dibanding kepentingan masyarakat. Sistem ekonomi wilayah menjadi kompleks (economic reciproating system), mengaitkan satu aktivitas dengan aktivitas ekonomi lainnya (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Dalam kerangka pembangunan nasional, perencanaan pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil perbedaan pertumbuhan kemakmuran antarwilayah atau antardaerah. Di samping itu, diusahakan untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara perkotaan dan pedesaan (Jayadinata, 1999).

(9)

wilayah adalah bagaimana memacu pertumbuhan wilayah, dan menyebarkannya (growth with equity) secara lebih merata sehingga dapat mensejahterakan masyarakatnya.

3.2 Teori Pertumbuhan Wilayah

3.2.1 Teori Lokasi Terpusat (Central Place Theory)

Teori ini adalah teori keruangan dalam geografi perkotaan yang berusaha menjelaskan alas an dibalik pola distribusi, ukuran, dan jumlah kota di seluruh dunia. Selain itu, menyediakan kerangka kerja studi suatu lokasi baik berdasar pertimbangan sejarah maupun pola.

Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Walter Christaller pada tahun 1930, seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman, berdasar pada studi empiris di daerah sebelah Selatan Jerman.

Teori ini dirancang untuk menjelaskan ukuran kota yang terspesialisasi dalam perdagangan barag dan jasa. Menurut teori ini, lokasi pusat adalah pusat perdagangan bagi pertukaran barang dan jasa oleh masyarakat yang berasal dari daerah sekitar. Sebagai konsekuensi namanya, lokasi terpusat, berarti tempatnya di tengah-tengah untuk memaksimalkan aksesibilitas penduduk sekitar wilayah.

Lokasi terusat berkompetisi dengan lokasi lain sebagai pasar untuk melayani kebutuhan barang dan jasa. Kompetisi ini menghasilkan pola tertentu permukiman.

Teori didasarkan pada asumsi Christaller bahwa (i) tidak hambatan pergerakan penduduk; (ii) distribusi penduduk merata; (iii) daya beli yang sama. Sebagai asumsi tambahan bahwa manusia akan selalu membeli barang dari tempat terdekat, dan jika permintaan barang tinggi maka akan tersedia sesuai dengan permintaan tersebut.

Teori ini terdiri dari 2 (dua) konsep dasar yaitu (i) Batas ambang (threshold), terdapat jumlah minimum permintaan yang akan menarik minat perusahaan atau kota untuk menawarkan barangnya dan bertahan dalam bisnis tersebut; (ii) jangkauan (range), jarak rata-rata maksimum penduduk akan melakukan perjalanan untuk membeli barang dan jasa. Normalnya, threshold berada dalam jangkauan.

(10)

Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusat-pusat kota atau wilayah-wilayah nodal, tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola geografis tersebut terjadi secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dapat dikatakan tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Dengan demikian teori ini dapat dikatakan bersifat statis. Agar teori tempat sentral mampu menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah. Salah satu diantaranya adalah teori Perroux (kutub pertumbuhan) yang membahas perubahan-perubahan struktural pada tata ruang geografis. Atau dapat dikatakan teori tempat sentral merupakan dasar dari teori kutub pertumbuhan.

Teori tempat sentral tidak memberikan pejelasan secara lengkap mengenai pertumbuhan kota karena teori tersebut diformulasikan berdasarkan pembangunan daerah pertanian yang tersusun secara herarkis dan berpenduduk merata. Dengan tumbuhnya kota-kota maka muncullah jasa-jasa yang tidak berkenaan dengan pasar wilayah belakang. Sebagai contoh kehidupan kota metropolitan dapat mencipakan kebutuhan-kebutuhan sendiri (internal), misalnya peningkatan penyediaan fasilitas penyediaan air minum, listrik, angkutan umum, demikian pula kebutuhan fasilitas parkir. Persoalan-persoalan yang dihadapai dalam pertumbuhan kota ternyata tidak sesederhana seperti persoalan pemasaran barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan oleh tempat sentral.

(11)

pasar-pasar regional. Model tempat sentral ternyata tidak berhasil menjelaskan timbulnya kecendrungan yang kuat dalam masyarakat mengenai pengelompokkan perusahaan-perusahaan karena pertimbangan keuntungan-keuntungan aglomerasi dan ketergantungan.

3.2.2 Pusat Pertumbuhan

Teori Pusat Pertumbuhan (growth poles) adalah salah satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus (Alonso dalam Sirojuzilam dan Mahalli, 2010). Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan tepadu.

Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Francois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut Rondinelli dan Unwin dalam Mercado (2002) bahwa teori pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota. Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke pedesaan. Menurut Stohr dalam Mercado (2002), konsep pusat pertumbuhan mengacu pada pandangan ekonomi neo-klasik. Pembangunan dapat dimulai hanya dalam beberapa sektor yang dinamis, mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim dengan urbanisasi (pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor industri). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (keseimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar.

(12)

untuk melengkapi kepentingan hirarki kota (Mercado, 2002). 3.2.3 Teori Sektor

Teori ini berkaitan erat dengan perubahan relatif pentingnya sektor-sektor ekonomi di mana laju perubahannya dijadikan indikator kemajuan ekonomi suatu wilayah. Adapun dasar bagi terjadinya perubahan, dapat dilihat pada sisi permintaan dan penawaran. Pada sisi permintaan, elastisitas pendapatan dan permintaan bagi barang dan jasa yang ditawarkan oleh industri dan aktivitas jasa adalah lebih tinggi daripada bagi proyek pertanian, sehingga adanya peningkatan pendapatan akan diikuti oleh pengalihan relatif sumber-sumber dari sektor-sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Pada sisi penawaran, pengalihan tenaga kerja dan modal terjadi akibat adanya perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas dalam sektor-sektor ekonomi tersebut.

Jadi teori sektor menekankan pada adanya perubahan internal daripada adanya hubungan atau perubahan eksternal seperti teori basis ekspor. Namun sebagai suatu teori yang menjelaskan pertumbuhan, ia tidak memadai oleh karena tidak menawarkan pemahaman tentang penyebab dari pertambahan itu. 3.2.4 Teori Basis SumberDaya (Resources Endowment atau Resource Base)

Teori ini dikemukakan oleh Harver Perloff dan Lowdon Wingo, Jr. (1961) dalam tulisannya Natural Resources Endowment and Regional Economic Growth mengemukakan perkembangan wilayah di Amerika yang berlangsung 3 tahap, yaitu (1) tahap perkembangan pertanian ( - 1840), daerah berkembang adalah wilayah pertanian dan pelabuhan (pusat); (2) tahap perkembangan pertambangan (1840- 1950), besi dan batubara, memiliki forward linkages yang lebih luas dari sektor pertanian; (3) tahap perkembangan amenity resources atau layanan.

Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dan kemampuannya untuk memproduksinya, untuk keperluan ekonomi nasional dan ekspor. Dengan kata lain wilayah memiliki comparative advantages terhadap wilayah lain (spesialisasi). Kegiatan ekspor akan memperluas permintaan dan efek multiplier yang berpengaruh pada dinamika wilayah.

Sumberdaya yang baik adalah (i) mendukung produksi nasional, (ii) memiliki efek backward and forward linkages yang luas, (iii) efek multiplier, yaitu kemampuan meningkatkan permintaan produksi barang dan jasa wilayah. Permintaan merupakan fungsi dari jumlah penduduk, pendapatan, struktur produksi, pola perdagangan, dan lainnya.

3.2.5 Teori Basis Ekspor (Export Base atau Economic Base)

(13)

teoritik bagi banyak studi multiplier (pengganda) wilayah secara empiris. Asumsi pokok dari teori ini adalah bahwa ekspor merupakan satu-satunya unsur otonom dalam pengeluaran, dan komponen pengeluaran lainnya dianggap sebagai fungsi dari pendapatan (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010)

Teori basis ekspor murni dikembangkan pertama kali oleh Tiebout. Teori ini membagi kegiatan produksi/jenis pekerjaan yang terdapat di dalam satu wilayah atas sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan non basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri. Oleh karena itu, pertumbuhannya tergantung kepada kondisi umum perekonomian wilayah tersebut. Artinya, sektor ini bersifat endogenous (tidak bebas tumbuh). Pertumbuhannya tergantung kepada kondisi perekonomian wilayah secara keseluruhan (Tarigan, 2006).

Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhanan wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional (Adisasmita, 2005).

Sektor basis adalah sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi. Sedangkan sektor non basis adalah sektor-sektor lainnya yang kurang potensial tetapi berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau service industries (Sjafrizal, 2008).

Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (Arsyad, 1999). Asumsi ini memberikan pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor. Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim digunakan adalah kuosien lokasi (Location Quotient, LQ). Location Quotient digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sektors). Dalam teknik LQ berbagai peubah (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah, misalnya kesempatan kerja (tenaga kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah.

(14)

teori sebelumnya lebih berorientasi pada inward looking (strategi ke dalam), maka teori berbasis ekspor mengandalkan pada kekuatan permintaan eksternal (outward looking). Wilayah dengan tingkat permintaan yang tinggi akan menarik investasi (modal) dan tenaga kerja.

Kegiatan ekspor akan mempengaruhi keterkaitan ekonomi ke belakang (kegiatan produksi) dan kedepan pada sektor pelayanan (service). Dengan kata lain, kegiatan ekspor secara langsung meningkatkan pendapatan faktor-faktor produksi dan pendapatan wilayah. Syarat utama bagi pengembangan teori ini adalah sistem wilayah terbuka, ada aliran barang, modal, teknologi antar wilyah, dan antara wilayah dengan negara lain.

3.2.6 Pengembangan Agropolitan

Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Mc.Douglass dan Friedmann sebagai strategi baru pengembangan pedesaan. Meskipun banyak makna yang terkandung di dalamnya, namun pada dasarnya pengembangan agropolitan adalah memberikan pelayanan di kawasan pedesaan atau istilah yang disebut Friedman “kota di ladang”. Dengan kata lain, masyarakat desa atau petani tidak perlu lagi pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik pelayanan yang berhubungan dengan masalah produksi dan pemasaran, maupun masalah yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan sehari-hari (Syahrani, 2001).

Konsep ini pada dasarnya merupakan rancangan pembangunan dari bawah (development from below) sebagai reaksi dari pembangunan top down (development from above). Agropolitan merupakan distrik atau region selektif yang dirancang agar pembangunan digali dari jaringan kekuatan lokal ke dalam yang kuat baru terbuka keluar (Sugiono, 2002).

Agropolitan terdiri dari dua kata; yaitu ‘agro’ yang berarti pertanian. Dan ‘politan’ yang bermakna kota. Jadi, hakikat atau pengertian agropolitan adalah kota yang berbasiskan atau bersumber dari pertanian. Dengan demikian agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Sistem agribisnis merupakan pembangunan pertanian yang dilakukan secara terpadu oleh petani dan pengusaha, baik usaha budidaya dan pembangunan agribisnis hulu, agribisnis hilir serta jasa-jasa pendukungnya (Pindonga, 2003).

3.2.6 Teori Pertumbuhan Neoklasik.

(15)

investasi dan tenaga kerja). Semakin besar kemampuan wilayah dalam penyediaan 3 faktor tersebut, semakin cepat pertumbuhan wilayah.

Selain tiga faktor di atas, teori ini menekankan pentingnya perpindahan (mobilitas) faktor produksi, terutama tenaga kerja dan modal (investasi) antarwilayah, dan antarnegara. Pola pergerakan ini memungkinkan terciptanya keseimbangan pertumbuhan antarwilayah

Sebagai antitesis dari teori Neoklasik yang percaya adanya keseimbangan wilayah, muncul teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah, yang intinya “tidak percaya pada mekanisme pasar, karena akan semakin memperburuk ketimpangan wilayah”. Myrdall adalah tokohnya, melalui Teori Penyebab Kumulatif atau Cummulative Caution Theory yang mengungkapkan 2 kekuatan yang bekerja pada proses pertumbuhan wilayah, yaitu efek sebar (spread effect) yang bersifat positip, dan efek balik yang negatip (backwash effect). Efek kedua lebih besar dibanding yang pertama.

Pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh peningkatan produktivitas (merupakan output dari 3 faktor Neoklasik). Kuncinya adalah produktivitas, selanjutnya berpengaruh terhadap ekspor wilayah. Semakin tinggi produktivitas semakin berkembang, sehingga wilayah lain akan sulit bersaing. Pentingnya produktivitas ini juga digunakan untuk menjelaskan siklus kemiskinan, yang berawal dari (1) produktivitas rendah, ke (2) kemiskinan, (3) pendapatan rendah, (4) tabungan, (5) kekurangan modal (investasi), kembali ke no (1), dan seterusnya.

3.2.7 Teori Baru Pertumbuhan Wilayah

Teori ini percaya pada kekuatan teknologi (sebagai faktor endogen) dan inovasi sebagai faktor dominan pertumbuhan wilayah (untuk meningkatkan produktivitas). Kuncinya adalah investasi dalam pengembangan sumberdaya manusia dan penelitian dan pengembangan (research and development). Teknologi tinggi dan inovasi yang didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan riset dan pengembangan adalah syarat meningkatkan pertumbuhan wilayah. Pengalaman di negara lain (maju) menunjukkan bahwa semakin tinggi faktor di atas, maka perkembangan wilayah semakin cepat.

Termasuk dalam lingkup teori ini adalah dimasukkannya variabel-variabel non ekonomi dalam Model Ekonomi Makro (baca Sadono Sukirno, 1989), dimana dijelaskan bahwa:

Output Regional = f ( K, L, Q, Tr, T, So), dengan

K = Kapital/Modal/Investasi,

L = Tenaga Kerja, Q = Tanah (sumberdaya),

Tr = transportasi, T = Teknologi, So = Sosial Politik.

(16)

alam, (2) akumulasi modal atau investasi, (3) kemajuan teknologi. Faktor non ekonomi meliputi (1) faktor sosial, seperti pendidikan dan budaya, (2) faktor manusia (tenaga kerja), (3) faktor politik dan administrasi.

3.2.9 Teori Pertumbuhan Wilayah Perspektif Geografi

Pertumbuhan wilayah dipengaruhi oleh faktor internal wilayah (sumberdaya) dan faktor eksternal, khususnya hubungan wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah lain.

Unsur Internal (Intraregional) in situ, terdiri dari unsur sumberdaya (alam, manusia, buatan), sejarah, lokasi (letak) site and situation, agen perubahan, pengambilan keputusan.Sementara unsur Exsternal (Interregional) ex situ, terdiri dari interrelasi dengan wilayah lain (interaksi, interdependensi), posisi wilayah tersebut terhadap wilayah lain.

Bab 4 Konsep Perencanaan Wilayah

Secara umum, dikenal beragam konsep perencanaan wilayah, diantaranya:

a. Perencanaan dengan pendekatan sistem

Pendekatan sistem lebih menentukan perbedaan pandangan perencanaan dari sisi keahlian teknis. Misalnya : dalam menganalisis sistem perkotaan, dalam menduga perubahan-perubahan masa akan datang dan dalam menstimulasikan alternatif untuk masa depan.

Sistem ini dicirikan oleh pandangan yang dianut oleh perencana sebagai suatu sistem atau sub sistem dari aktivitas manusia,termasuk manifasi fisik dan hubungan sesamanya. Dengan demikian, sistem yang selalu ditekankan oleh perencana terdiri dari :

 Aktivitas manusia yang dihubungkan oleh pergerakan/perpindahan individu manusia, barang, energy, dan informasi

 Ruang beradaptasi dari bangunan, rumah, ruang terbuka, lahan pertanian, hutan, dan lain-lain

 Jalan Komunikasi berupa jalanraya, jalan Kereta api, jaringan pipa, kawat dan kabel

b. Perencanaan Secara Advokasi

Perencanaan dengan pendekatan advokasi ini, lebih diarahkan pada pertimbangan akibat dari pelaksanaan aksi tertentu, dan pertimbangan kemungkinan hasil yang akan dicapai. Pendekatan seperti ini biasanya digunakan apabila tidak cukupnya alat/metode/personal untuk mengaplikasikan pendekatan lain seperti pendekatan ”Struktur” dan ”Sistem”.

Dikaitkan dengan wilayah formal dan fungsional, dikenal dua pendekatan dalam perencanaan wilayah:

(17)

pendekatan bottom up, karena tujuannya adalah meningkatkan perkembangan wilayah dengan mempertimbangkan aspirasi penduduk;  Pendekatan fungsional yang memperhitungkan lokasi dengan berbagai

kegiatan ekonomi dan pengaturan secara ruang dari sistem perkotaan mengenai berbagai pusat dan jaringan. Hal tersebut banyak berhubungan dengan berbagai model seperti grafitasi, analisis output-input dan sebagainya. Kelompok sosial yang membentuk pendekatan ini khas fungsional-terikat oleh kepentingan kelompok, seperti klas sosial, perserikatan dagang dsb. Dalam perencanaan wilayah, pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan top-down.

Sementara dari sisi teori perencanaan terdapat beberapa tipologi perencanaan wilayah, antara lain (Etzioni, 1967):

 Pendekatan komprehensif (rational planning model).

Merupakan suatu kerangka pendekatan logis dan teratur, mulai dari diagnotis sampai kepada tindakan berdasarkan kepada analisis fakta yang relevan, diagnosis masalah yang dikaji melalui kerangka teori dan nilai-nilai, perumusan tujuan dan sasaran untuk memecahkan masalah, merancang alternatif cara untuk mencapai tujuan, dan pengkajian efektivitas cara-cara tersebut. Pendekatan ini memerlukan survei yang komprehensif pada semua alternatif yang ada untuk mendapatkan informasi yang lengkap dalam pengambilan keputusan yang rasional.

 Pendekatan inkremental (incremental planning model).

Memilih diantara rentang alternatif yang terbatas yang berbeda sedikit dari kebijaksanaan yang ada. Pengambilan keputusan dalam pendekatan ini dibatasi pada kapasitas yang dimiliki oleh pengambil keputusan serta mengurangi lingkup dan biaya dalam pengumpulan informasi. Pengambil keputusan hanya berfokus terhadap kebijaksanaan yang memiliki perbedaan yang inkremental dari kebijaksanaan yang telah ada.

 Pendekatan mixed-scanning (strategic planning model).

Kombinasi dari elemen rasionalistik yang menekankan pada tugas analitik penelitian dan pengumpulan data dengan elemen inkremental yang menitikberatkan pada tugas interaksional untuk mencapai konsensus. Proses yang tercakup dalam mixed scanning ini adalah strength, weakness, opportunity dan threat (SWOT) yang hasilnya adalah berupa strategic planning yaitu proses untuk menentukan komponen-komponen yang dianggap prioritas atau utama dan yang tidak. Kemajuan yang diharapkan dalam proses ini adalah terjadinya efek bergulir (snowballing) dari komponen yang diprioritaskan tersebut.

Pandangan lain seperti Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayah dapat dibagi atas empat komponen yaitu :

(18)

kota dengan jaringan infrastruktur kota menghubungkan antara beberapa titik simpul aktivitas. Teori perencanaan ini telah membahas tentang kota dan sub bagian kota secara komprehensif. Dalam perkembangannya teori ini telah memasukkan kajian tentang aspek lingkungan. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah perencanaan wilayah yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Medan dalam bentuk master plan (tata ruang, lokasi tempat tinggal, aglomerasi, dan penggunaan lahan).

Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro). Dalam perencanaan ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori ekonomi makro yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga kerja, produktivitas, perdagangan, konsumsi dan investasi. Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas lembaga keuangan, kesempatan kerja, tabungan).

Social Planning (Perencanaan Sosial). Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk membuat perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.

Development Planning (Perencanaan Pembangunan). Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan program pembangunan secara komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah.

Fianstein dan Norman (1991) menyatakan tipologi perencanaan dapat dibagi dalam 4 (empat) kategori yang didasarkan pada pemikiran teoritis, sebagai berikut:

Traditional planning (perencanaan tradisional). Pada jenis perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk merubah sebuah sistem kota yang telah rusak. Biasanya pada konsep perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan perbaikan pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional memiliki program inovatif terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan menggunakan standar dan metode yang professional.

User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna). Konsep perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk mengakomodasi pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini masyarakat Kota. Masyarakat yang menentukan produk perencanaan harus dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.

(19)

dalam proses pembangunan kota dalam hal ini adalah masyarakat miskin kota. Pada perencanaan advokasi akan memberikan perhatian khusus terhadap melalui program khusus guna meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.

Incremental Planning (Perencanaan dukungan). Pada perencanaan yang bersifat dukungan terhadap sebuah proses pengambilan keputusan terhadap permasalahan- permasalahan perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam terhadap permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif sebuah kebijakan.

Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe perencanaan terdiri dari; physical planning and economic planning, allocative and innovative planning, multi or single objective planning dan indicative or imperative planning. Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga dikenal jenis top- down and bottom-up planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat sama sekali.

 Perencanaan Fisik Versus Perencanan Ekonomi. Pada dasarnya pembedaan ini didasarkan atas isi atau master dari perencanaan. Namun demikian, orang awam terkadang tidak bisa melihat perbedaan antara perencanaan fisik dengan perencanaan ekonomi. Perencanaan fisik (physical planning) adalah perencanaan untuk mengubah atau memanfaatkan struktur fisik suatu wilayah misalnya perencanaan tata ruang atau tata guna, perencanaan jalur transportasi/komunikasi, penyediaan fasilitas untuk umum, dan lain-lain. Perencanaan ekonomi (economic planning) berkenaan dengan perubahan struktur ekonomi suatu wilayah dan langkah-langkah untuk memperbaiki tingkat kemakmuran suatu wilayah. Perencanaan ekonomi didasarkan atas mekanisme pasar daripada perencanaan fisik yang lebih didasarkan atas kelayakan teknis. Perlu dicatat bahwa apabila perencanaan itu bersifat terpadu, perencanaan fisik berfungsi untuk mewujudkan berbagai sasaran yang ditetapkan di dalam perencanaan ekonomi. Akan tetapi, ada juga keadaan di mana hasil perencanan fisik harus dipertimbangkan perencanaan ekonomi, misalnya dalam hal tata ruang.

(20)

kebebasan, baik dalam menetapkan target maupun cara yang ditempuh untuk mencapai target tersebut. Artinya, mereka dapat menetapkan prosedur atau cara-cara, yang penting target itu dapat dicapai atau dilampaui. Perencanaan inovatif juga berlaku apabila ada kegiatan baru yang perlu dibuat prosedur atau sistem kerjanya, yang selama ini belum ada.

 Perencanaan Bertujuan Jamak versus Perencanaan Bertujuan Tunggal. Pembedaan ini didasarkan atas luas pandang (skop) yang tercakup, yaitu antara perencanaan bertujuan jamak dan perencanaan tunggal. Perencanaan dapat mempunyai dan sasaran tunggal atau jamak. Perencanaan bertujuan tunggal apabila sasaran yang hendak dicapai adalah sesuatu yang dinyatakan dengan tegas dalam perencanaan itu dan bersifat tunggal. Misalnya, rencana pemerintah untuk membangun 100 unit rumah di suatu lokasi tertentu. Perencanaan bertujuan ini tidak mengaitkan pembangunan rumah dengan manfaat lain yang mungkin ditimbulkannya karena tidak menjadi fokus perhatian utama. Perencanaan bertujuan jamak adalah perencanaan yang memiliki beberapa tujuan sekaligus. Misalnya, rencana pelebaran dan peningkatkan kualitas jalan penghubung yang ditujukan untuk memberikan berbagai manfaat sekaligus, yaitu agar perhubungan di daerah semakin lancar, dapat menarik berdirinya permukiman baru dan mendorong bertambahnya aktivitas pasar di daerah tersebut. Terkadang ada juga sasaran lain dengan dibukanya jalan baru yang bisa saja tidak dinyatakan secara tegas dalam rencana itu sendiri. Misalnya, makin lancarnya komunikasi sehingga masyarakat setempat makin terbuka untuk pembaruan dan makin lancarnya perdagangan. Perencanaan ekonomi umumnya bertujuan jamak sedangkan perencanaan fisik ada yang bertujuan tunggal tetapi ada juga yang bertujuan jamak.

 Perencanaan Bertujuan Jelas Versus Perencanaan Bertujuan Laten. Pembedaan ini didasarkan atas konkret atau tidak konkretnya isi rencana tersebut. Perencanaan bertujuan jelas adalah perencanaan yang dengan tegas menyebutkan tujuan dan sasaran dari perencanaan tersebut, yang sasarannya dapat diukur keberhasilannya. Dalam perencanaan, tujuan selalu dibuat lebih bersifat umum dibandingkan dengan sasaran. Tujuan belum tentu dapat diukur walaupun bias dirasakan, sedangkan sasaran biasanya dinyatakan dalam angka konkret sehingga bisa diukur dengan tingkat pencapaiannya. Misalnya, tujuan perencanaan adalah menaikkan taraf hidup rakyat, sasarannya adalah menaikkan pendapatan per kapita dari $ 400 menjadi $ 500 per tahun, dalam jangka waktu tiga tahun yang akan datang. Perencanaan bertujuan laten adalah perencanaan yang tidak menyebutkan sasaran dan bahkan tujuannya pun kurang jelas sehingga sulit untuk dijabarkan. Tujuan perencanaan laten sering dikejar secara tidak sadar, misalnya ingin hidup lebih bahagia, kehidupan dalam masyarakat yang aman, nyaman, dan penuh dengan rasa kekeluargaan.

(21)

didasarkan atas ketegasan dari isi perencanaan dan tingkat kewenangan dari institusi pelaksana. Perencanaan indikatif adalah perencanaan di mana tujuan yang hendak dicapai hanya dinyatakan dalam bentuk indikasi, artinya tidak dipatok dengan tegas. Tujuan bisa juga dinyatakan dalam bentuk indikator tertentu, namun indikator ini sendiri bisa konkret dan bisa hanya perkiraan (indikasi). Tidak diatur bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak diatur prosedur ataupun langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, yang penting indikator yang dicantumkan dapat tercapai. Dalam perencanaan itu mungkin terdapat petunjuk atau pedoman, yaitu semacam nasehat bagaimana sebaiknya rencana itu dijalankan, tetapi pedoman itu sendiri tidak terlalu mengikat. Pelaksana di lapangan masih dapat melakukan perubahan sepanjang tujuan ingin dicapai dapat dicapai atau dilampaui dengan besaran biaya tidak melampaui yang ditentukan. Perencana imperatif adalah perencanaan yang mengatur baik sasaran, prosedur, pelaksana, waktu pelaksanaan, bahan-bahan, serta alat-alat yang dapat dipakai untuk menjalankan rencana tersebut. Itulah sebabnya mengapa perencanaan ini disebut perencanaan komando. Pelaksana di lapangan tidak berhak mengubah apa yang tertera dalam rencana. Hampir mirip dengan tipe perencanaan di atas adalah yang menggunakan bentuk kombinasi lain, yaitu induced planning versus imperative planning. Pembedaan dalam kombinasi terakhir ini lebih didasarkan atas kewenangan dari institusi terlibat. Induced planning adalah perencanaan dengan sistem rangsangan. Perencanaan dengan sistem rangsangan, yaitu apabila pemerintah pada level yang lebih tinggi memberi rangsangan kepada pemerintah yang lebih rendah. Hal ini terjadi jika pemerintah pada level yang lebih rendah mau melaksanakan program yang diinginkan oleh pemerintah pada level yang lebih tinggi.

Top Down Versus Bottom Up Planning. Pembedaan perencanaan jenis ini didasarkan atas kewenangan dari institusi yang terlibat. Perencanaan model top-down dan bottom-up hanya berlaku apabila terdapat beberapa tingkat atau lapisan pemerintahan atau beberapa jenjang jabatan di perusahaan yang masing-masing tingkatan diberi wewenang untuk melakukan perencanaan. Perencanaan model top-down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu berada pada institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencana pada level yang lebih rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi. Rencana dari institusi yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana institusi yang lebih rendah. Umumnya terjadi adalah kombinasi antara kedua model tersebut. Akan tetapi dari rencana yang dihasilkan oleh kedua level institusi perencanaan tersebut, dapat ditentukan model mana yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah top-down maka perencanaan itu disebut sentralistik, sedangkan apabila yang dominan adalah bottom-up maka perencanaan itu disebut desentralistik.

(22)

perbedaan kewenangan antarinstitusi walaupun lebih ditekankan pada perbedaan jalur koordinasi yang diutamakan perencana. Vertical planning adalah perencanaan yang lebih mengutamakan koordinasi antar berbagai jenjang pada sektor yang sama. Model ini mengutamakan keberhasilan sektoral, jadi menekankan pentingnya koordinasi antar berbagai jenjang pada instansi yang sama. Tidak diutamakan keterkaitan antarsektor atau apa yang direncanakan oleh sektor lainnya, melainkan lebih melihat kepada kepentingan sektor itu sendiri itu bagaimana hal ini dapat dilaksanakan oleh berbagai jenjang pada instansi yang sama di berbagai daerah secara baik dan terkoordinasi untuk mencapai sasaran sektoral. Horizontal planning menekankan keterkaitan antarberbagai sektor sehingga berbagai sektor itu dapat berkembang secara bersinergi. Horizontal planning melihat pentingnya koordinasi antar berbagai instansi pada level yang sama, ketika masing-masing instansi menangani kegiatan atau sektor yang berbeda. Horizontal planning menekankan keterpaduan program antar berbagai sektor pada level yang sama. Antara kedua model perencanaan itu harus terdapat arus bolak-balik sehingga dihasilkan rencana yang baik.

(23)

kepentingan masyarakat.

Sementara Jayadinata (1999) mendasari pengategorian perencanaan wilayah berdasar pembelajaran dari berbagai Negara, yang ternyata tidak sama, tergantung kepada kehidupan ekonomi dan masalah yang dihadapi. Secara historis setidaknya terdapat tiga pendekatan perencanaan wilayah, yaitu:

 Perencanaan wilayah yang memusatkan perhatiannya kepada masalah kota yang bersifat sosial.

Pelaksanaannya meliputi perbaikan bagian kota yang dalam keadaan rusak dan tidak memenuhi standar, pemugaran kota, pembuatan kota satelit untuk membantu meringankan kota industri yang terlalu padat penduduknya. Titik berat perencanaan wilayah semacam ini ditujukan pada kota yang besar dan wilayah sekelilingnya (hinterland) yang dapat menunjang kota dalam perencanaan kota dan wilayah.

 Perencanaan wilayah yang memusatkan perhatiannya kepada wilayah yang penduduknya banyak menganggur dan dalam keadaan stagnasi industri (wilayah khusus).

Dalam wilayah seperti ini, pemerintah perlu mengatur intensif pembiayaan, pengaturan rangsangan untuk prasarana industri, pengaturan konsesi pajak dan sebagainya, sehingga industri tertentu dapat berlokasi di wilayah itu.  Perencanaan wilayah yang memperhatikan wilayah pedesaan, dengan

pengembangan tanah bagi sektor pertanian dan rekreasi (perencanaan pedesaan dan wilayah). Hal ini dilakukan untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara pedesaan dan perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA

Jayadinata, Johara T. Tata Guna Lahan dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB. Bandung, 1992

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari pengelolaan lira bentuk padat radiasi tinggi tidak dapat bakar adalah untuk memudahkan pekerja dalam pengelolaan limbah radioaktif padat, sehingga

Pendekatan penelitian yang digunakan ini sangat beragam jenis data dan tujuan dalam penelitian. Pendekatan yang sering digunakan dalam penelitian pada pendidikan Islam

Pada Agustus 2010, penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai masih mendominasi struktur ketenagakerjaan Kepri menurut status pekerjaan utamanya, yaitu

PENYUSUNAN BAHAN AJAR LITERASI PELATIHAN TENAGA KEBAHASAAN UNTUK LITERASI PEMODELAN, PERLUASAN, PENGUATAN GERAKAN LITERASI 8 sumber kearifan lokal, perspektif keragaman

Definisi operasional: telah terintegrasinya data rekam medis antara rumah sakit rujukan nasional dan atau rumah sakit rujukan regional termasuk rumah sakit rujukan

Rumah sakit seyogyanya mempertimbangkan bahwa pelayanan di rumah sakit merupakan bagian dari suatu pelayanan yang terintegrasi dengan para profesional dibidang pelayanan kesehatan

Sesuai dengan ketentuan perpajakan UU KUP No.28 tahun 2007 pasal 17A yaitu Direktorat Jendral pajak, setelah melakukan, menerbitkan surat ketetapan nihil apabila jumlah kredit pajak

Dengan menggunakan aplikasi basis data yang diintegrasikan dalam tampilan berbasis web untuk menyediakan informasi dan layanan reservasi secara online sehingga mempermudah