• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah PERAN ETIKA DALAM MEMBENTUK PRIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "makalah PERAN ETIKA DALAM MEMBENTUK PRIL"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN ETIKA DALAM MEMBENTUK

PRILAKU ORGANISASI

Mata Kuliah : Etika Pelayanan Publik

Disusun Oleh : \

NAMA

NPM

Siti Tansiha : 051 424 222

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

PROGRAM PASCASARJANA

STISIPOL CANDRADIMUKA

PALEMBANG

2015

BAB I

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia, sebagai bangsa yang mempunyai cita – cita untuk mewujudkan

(2)

Undang Dasar 1945 yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur,

merata dan berkesinambungan antara materiil dan spirituil yang berdasarkan pada

Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia maka diperlukan

adanya pembangunan yang bertahap, berencana, dan berkesinambungan.

Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan

panjang dan tak kenal lelah. Setelah kemerdekaan diperoleh, tentu saja harus diisi

dengan pembangunan di semua bidang dengan semangat dan kemauan yang kuat

dan pantang menyerah.

Setelah Negara Republik Indonesia didirikan tanggal 18 Agustus

1945 pasca Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Negara/pemerintahan

Indonesia memerlukan pegawai-pegawai Administrasi yang memiliki jiwa

kebangsaan dan kemerdekaan dan yang tidak akan menghianati

Perjuangan Kemerdekaan.

Dengan sendirinya yang terpilih menjadi Pegawai Negeri Republik

Indonesia adalah perintis-perintis “kemerdekaan” itu, yang sudah

membuktikan kesadaran berbangsa tanpa pamrih selama bertahun-tahun,

tanpa mengharapkan maupun memperoleh imbalan sepeser pun dari

pemimpin-pemimpinnya, Bung Karno dan Bung Hatta. Walaupun masih

tersisa pegawai yang selama ini bekerja dalam administrasi pemerintah

Belanda.

Setelah terbentuk negara Republik Indonesia Serikat, kedua

kelompok penyelenggara pemerintahan itu dengan susah payah dilebur

menjadi satu. Tetapi hal itu terjadi dengan berbagai pertentangan antara

(3)

timbulnya kelompok Pegawai Negeri Sipil yang terlalu besar, karena baik

para pejuang Kemerdekaan maupun Pegawai Negeri Sipil yang diangkat

oleh NICA, terpaksa harus ditampung oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam kenyataannya, yang diangkat oleh Pemerintah Republik

Indonesia bersikap nasionalis, namun sayangnya mereka tidak atau kurang

profesional, karena tidak pernah bekerja sebagai pegawai negeri. Di lain

pihak, kebanyakan pegawai negeri Hindia-Belanda adalah pegawai

profesional, tetapi tidak berjiwa nasionalis, sehingga seringkali justru

menggagalkan tujuan puncak Pemerintah Republik Indonesia.

Tampaklah bahwa dikotomi di bidang politik akhirnya sangat

mempengaruhi kinerja aparat negara di bidang Administrasi Pemerintahan dan

Pembangunan Negara; bahkan sampai kini.

Namun demikian, perlu diketahui bahwa pada saat itu sebenarnya

sudah ada pegawai-pegawai negeri yang diangkat oleh Pemerintah

Hindia-Belanda dan Jepang yang menjadi aparat penjajah dan karena itu tidak

dipercayai oleh pejuang-pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia.

Dari saat itulah suasana pertentangan antara Pegawai Negeri

”Cooperator” dan “non cooperator” semakin menajam. Sebab, kalau

sebelum tahun 1945 pertentangan antara “Cooperator” (yaitu orang bumi

putera yang bekerja sama atau yang menjadi pegawai pemerintah (Hindia

Belanda) dan “non cooperator”, baru merupakan pertentangan sikap di

bidang politik dan semangat nasionalisme. Sesudah tahun 1945, menjadi

pegawai negeri Pemerintah pendudukan Belanda (NICA) dianggap sebagai

“Cooperator” bahkan penghianat bangsa dan kaki tangan Belanda, atau

(4)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku

aparatur negara, kompendium tentang Perilaku Aparatur Negara bermaksud

mendiskripsikan keterkaitan antara kebijakan politik dengan perilaku

aparatur. Sejauhmana kebijakan politik yang diwadahi dalam peraturan

perundang-undangan menginternalisasi maupun mempengaruhi atau

membentuk watak atau karakter Aparatur.

Hal yang dikemukakan adalah menjawab sejauh mana hubungan

atau simpul keterkaitan antara “sistem” yang menjadi acuan

penyelenggaraan pemerintahan mampu mempengaruhi dan membentuk

sikap atau perilaku aparatur. Interaksi antara birokrasi dengan “sistem”

yang menjadi keharusan dilaksanakan dan dilakukan berulang-ulang dalam

jangka waktu lama, dan tiada pilihan lain sebagai pengganti, mempengaruhi

pola pikir, sikap dan perilaku.

Suatu peraturan perundang-undangan yang senantiasa menjadi pedoman

bekerja aparatur dan begitu sebaliknya aparatur harus senantiasa berada

dalam koridor hukum. Guna membatasi ruang lingkup, dalam penenelitian

ini dibatasi, bahwa “sistem” yang dimaksud dalam uraian ini adalah

sistem yang diwadahi oleh produk hukum, peraturan perundang-undangan,

sehingga akan diungkapkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang

selama ini diterapkan, mempunyai pengaruh terhadap jiwa, sikap dan perilaku

aparatur Korps Pegawai Negeri.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan

Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, di atur bagaimana seorang PNS

(5)

bermasyarakat, etika terhadap diri sendiri, dan etika terhadap sesama PNS.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dijelaskan bahwa:

“Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil adalah rasa Kesatuan dan persatuan,

kebersamaan, kerja sama, tanggung jawab, dedikasi, disiplin, kreativitas,

kebanggaan dan rasa memiliki organisasi Pegawai Negeri Sipil dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia”.

“Kode Etik Pegawai Negeri Sipil adalah pedoman sikap, tingkah laku,

dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dan

pergaulan hidup sehari hari.”

Untuk menjamin agar setiap Pegawai Negeri Sipil selalu berupaya

terus meningkatkan kesetiaan ketaatan, dan pengabdiannya tersebut, ditetapkan

ketentuan perundang-undangan yang mengatur sikap, tingkah laku, dan

perbuatan Pegawai Negeri Sipil, baik di dalam maupun di luar dinas. Untuk

memperoleh Pegawai Negeri Sipil yang kuat, kompak dan bersatu padu,

memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki kesetiakawanan yang tinggi,

berdisiplin, serta sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara

dan abdi masyarakat diperlukan pembinaan jiwa korps dan kode etik Pegawai

Negeri Sipil. Pembinaan jiwa korps dimaksudkan untuk meningkatkan

semangat juang, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan Pegawai Negeri Sipil

kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

 Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional, diperlukan

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang netral, mampu menjaga persatuan dan

kesatuan bangsa, profesional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan

(6)

Dasar 1945, Negara dan Pemerintah Republik Indonesia. Agar PNS mampu

melaksanakan tugasnya sebagaimana tersebut di atas secara berdaya guna dan

berhasil guna, diperlukan pembinaan secara terus menerus dan

berkesinambungan. Pembinaan jiwa korps akan berhasil dengan baik apabila

diikuti dengan pelaksanaan dan penerapan kode etik dalam kehidupan

sehari-hari PNS, Salah satunya Program Peningkatan Kapasitas sumberdaya Aparatur

dengan Pengiriman Pegawai Pada Diklat Tehknis/ Fungsional dan Program

peningkatan Disiplin Aparatur dengan pengadaan pakaian seragam. Dengan

adanya kode etik bagi PNS dimaksudkan sebagai bagian dari upaya

meningkatkan kualitas PNS dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Untuk mewujudkan pembinaan jiwa korps PNS dan menjunjung tinggi

kehormatan serta keteladanan sikap, tingkah laku dan perbuatan PNS dalam

melaksanakan tugas kedinasan dan pergaulan hidup sehari-hari, Kode Etik

dipandang merupakan landasan yang dapat mewujudkan hal tersebut.

Nilai-nilai dasar yang tercantum dalam dalam PP No. 42 tahun 2004 tentang

Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil merupakan

pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan yang berlaku bagi seluruh PNS

tanpa membedakan di mana yang bersangkutan bekerja. Nilai-nilai dasar ini

wajib dijunjung tinggi karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya

merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam kehidupan

masyarakat, bangsa, negara dan Pemerintah.

Sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dibahas, difokuskan

terhadap sistem politik yang diatur dalam berbagai peraturan

(7)

karena aspek penyebab yang menjadikan perilaku aparatur seperti yang

terjadi saat ini, dapat dilihat dari berbagai sisi, seperti sosiologi.

Sistem sebagaimana dimaksudkan adalah sistem yang secara

langsung atau kebijakan politik yang menginternalisasi perilaku birokrasi,

karena keberadaannya tidak dapat dipisahkan, dan birokrasi tidak

mempunyai pilihan lain bertindak di luar sistem tersebut. Secara garis

besar, dikelompokkan dalam 2 (dua) bagian yaitu (a). Sistem yang menjadi

anutan bekerja birokrasi; dan (b) sistem yang mampu menentukan hak-hak

kepegawaian seorang aparatur. Kedua sistem ini secara sah berlaku,

karena diletakkan dalam undang-undang sebagai keputusan politik yang

wajib dilaksanakan birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Persoalan yang akan mengemuka adalah, menjawab pertanyaan

mengapa sistem yang diwadahi dalam produk hukum tersebut, mempunyai

peran yang menghasilkan mental model aparatur. Bilamana dikemudian

hari, hal tersebut diakui kebenarannya, mungkin yang dapat dilakukan

adalah mencarikan solusi perbaikan mental model aparatur, melalui

penggantian sistem. Demikian seterusnya, yang pula harus diganti adalah

bingkai hukumnya. Hukum, bukan satu-satunya yang dapat dijadikan

acuan, karena aspek lain, tentu mempunyai peran.

Namun demikian, upaya mencoba mengurai masalah yang menyelimuti

penyakit birokrat ini, dapat dilakukan melalui aspek hukum dengan

melaksanakan Program Pembinaan dan Bantuan Hukum Anggota seperti

Penyuluhan Hukum bagi PNS dan Anggota . Demikian pula solusinya juga

(8)

pegawai negeri agar lebih efisien dan efektif mengisi kemerdekaan dan

pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pegawai Republik

Indonesia harus dibina sebaik-baiknya. Efektifitas dan efisiensi setiap pegawai

negeri harus selalu berhasil melaksanakan tugas secara berdaya dan berhasil guna

dengan mengedepankan pelayanan kepada masyarakat yang pada gilirannya

meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraannya. Maka, dibentuklah Korps

Pegawai Republik Indonesia pada 29 November 1971 sesuai dengan Keputusan

Presiden Nomor 82 Tahun 1971 sebagai satu-satunya wadah untuk menghimpun

dan membina seluruh pegawai Republik Indonesia di luar kedinasan, guna lebih

meningkatkan pengabdian dalam mengisi kemerdekaan dan melaksanakan

pembangunan. Anggota adalah pegawai negeri meliputi pegawai negeri sipil,

pegawai BUMN, BUMD dan anak perusahaannya, serta petugas yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan desa. Dalam menjalankan fungsi dan

tugas sebagai organisasi pegawai Republik Indonesia, mengalami

perubahan-perubahan orientasi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.

Peneliti juga memperhatikan bahwa para pegawai banyak yang keluar

masuk kantor pada jam kerja bahkan ada yang hadir tidak tepat waktu. Melihat

dan menimbang masalah yang terjadi di harapkan adanya perubahan yang

semakin baik, supaya kualitas pelayanan publik bagi para pegawai di instansi

pemerintah memberikan kualitas pelayanan yang baik.

Dengan demikian perlu ditegakkan dan ditingkatkan kualitas pembinaan nstansi

(9)

meningkatkan produktifitas dan kwalitas kerja dan lain sebagainya,

Mangkunegara (2003 : 52)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KONSEP ETIKA PELAYANAN PUBLIK

Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti,

salah satudiantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau

akhlak dan watak. Filsufbesar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata

etika ini dalam menggambarkanfilsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa

dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan memperhatikan beberapa

sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu

etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yangmenjadi pegangan

bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, ataudisebut

dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering

dikenaldengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk,

(10)

yang ditulis dalam TheEncyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika

sebagai (1) way of life; (2) moral codeatau rules of conduct; dan (3) penelitian

tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihatDenhardt, 1988: 28).

Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah

suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah

dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung

maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan

intensitas kebutuhan masyarakat,kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini

lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu

delivery system yang sehat. Pelayanan publik inidapat dilihat sehari-hari di bidang

administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih,

telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan pelayanan publik adalah

menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang

terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh

masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang

memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.

Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan

sebagaifilsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules

of conduct (aturanberperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi

pelayanan publik atauadministrator publik (lihat Denhardt, 1988).

Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang

dimaksudkandengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi

(11)

atas serangkaian tuntunan perilaku (rulesof conduct) atau kode etik yang mengatur

hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atausebaliknya yang “tidak baik” agar

dihindarkan.

B. Konsep Umum Etika Organisasi

Etika diartikan sebagai nilai-nilai normatif atau pola perilaku seseorang

atau badan/lembaga/organisasi sebagai suatu kelaziman yang dapat diterima

umum dalam interaksi dengan lingkungannya.etika dalam organisasi tidak

mungkin lagi dapat dibesar-besarkan. Organisasi tidak mungkin berfungsi secara

bertanggung jawab tanpa memiliki etika ketika menjalankan urusan kesehariannya

setiap organisasi,baik publik maupun swasta, Etika berkaitan dengan baik dan

buruk, benar dan salah, betul dan tidak, bohong dan jujur. Dalam berinteraksi

dengan lingkungannya orang-orang dapat menunjukkan perilaku yang dinilai baik

atau buruk, benar atau salah ketika melakukan suatu tindakan. Hal tersebut sangat

bergantung kepada nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan di mana

orang-orang berfungsi. Tidak jarang terdapat penilaian yang berbeda terhadap suatu

perilaku dalam lingkungan yang berbeda.

C. Hakikat etika dan moralitas

Etika menggambarkan suatu kode perilaku yang berkaitan dengan nilai

tentang mana yang benar dan mana yang salah yang berlaku secara obyektif

dalam masyarakat. Dengan demikian, etika dapat diartikan sebagai perilaku

individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.sedangkan diartikan sebagai

dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

(12)

diyakini oleh seseorang atau organisasi tertentu sebagai sesuatu yang baik atau

buruk, sehingga bisa membedakan mana yang patut dilakukan dan mana yang

tidak sepatutnya dilakukan.

BAB III PEMBAHASAN

Karena menyadari pentingnya diterapkan pembinaan dalam peningkatan

jiwa Korps Pegawai Negeri maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana

Efektivitas Pembinaan Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.

Yang perlu dilakukan untuk membentuk prilaku pegawai instansi

pemerintah,sebagai berikut :

A. Larangan PNS

1. Menyalahgunakan wewenang;

2. Menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang

lain dengan menggunakan kewenangan orang lain;

3. Tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain

(13)

4. Bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya

masyarakat asing;

5. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau

meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen

atau surat berharga milik negara secara tidak sah;

6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau

orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan

untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung

atau tidak langsung merugikan negara;

7. Memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik

secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk

diangkat dalam jabatan;

8. Menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang

berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;

9. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;

10. Melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat

menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga

mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;

11. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan;

12. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dengan cara:

(14)

b) Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau

atribut PNS;

c) Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau

d) Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;

B. Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik

Alasan yang melandasi mengapa Pembinaan Mental Pegawai Negeri Sipil

(PNS) penting adalah, karena ada tuntutan nasional dan tantangan global agar

meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah sebagai pelayan publik yang

sampai saat ini masyarakat masih belum merasakan tugas dan fungsi pelayanan

sebagaimana yang diharapkan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pada aspek mental

Pegawai Negeri Sipil (PNS) sering menuai kritik dari masyarakat dikarenakan

oleh perilaku menyimpang, baik pada tataran perundang-undangan, agama

maupun budaya.

Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS tertuang dalam PP. Nomor 42

Tahun 2004 tanggal 18 Oktober 2004.

Pembinaan jiwa korps PNS mutlak diperlukan untuk meningkatkan

perjuangan, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada NKRI serta

Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945. Karena PNS yang kuat, kompak, dan bersatu padu, memiliki kepekaan,

tanggap, dan memilki kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan

tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat hanya

akan terwujud apabila kepada PNS tersebut terus-menerus diberikan pembinaan

(15)

Oleh karena itu menurut pasal 3 PP No. 42 Tahun 2004, ada tiga tujuan

pembinaan jiwa korps PNS, yaitu untuk : a). Membina watak, memelihara rasa

persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan guna mewujudkan kerja sama,

semangat pengabdian kepada masyarakat, meningkatkan kemampuan, dan

keteladanan PNS. b). Mendorong etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang

bermutu tinggi dan sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur Aparatur negara,

dan abdi masyarakat. c). Menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran,

dan wawasan kebangsaan sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa

dalam wadah NKRI.

Di dalam pasal 8-12 PP No. 42/2004 disebutkan bahwa Kode Etik PNS

meliputi 5 (lima) Kode Etik.

a) Etika Bernegara. Hal ini mengandung arti bahwa seorang PNS harus:

Melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan UUD 1945; Mengangkat harkat dan

martabat bangsa dan negara; Menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam

NKRI; Menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang

bersih dan berwibawa; Tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu

dalam melaksanakan setiap kebijan dan program pemerintah; Menggunakan

atau memanfaatkan semua sumber daya negara secara efisien dan efektif;

Tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar.

b) Etika Berorganisasi. Maksudnya adalah bahwa seorang PNS harus:

Melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan yang berlaku; Menjaga

(16)

oleh pejabat yang berwenang; Membangun etos kerja untuk meningkatkan

kinerja organisasi; Menjalin kerjasama secara kooperatif dengan unit kerja

lain yang terkait; Memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas; Patuh dan

taat terhadap standar operasional dan tata kerja; Mengembangkan pemikiran

secara kreatif dan inovatif; Berorientasi pada upaya peningkatan kualitas

kerja.

c) Etika Bermasyarakat. Pengertiannya adalah bahwa setiap PNS harus :

Mewujudkan pola hidup sederhana; Memberikan pelayanan dengan empati,

hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur pemaksaan; Memberika

pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil, serta tidak diskriminatif;

Tanggap terhadap kedaan lingkungan masyarakat; Berorientasi kepada

peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas.

d) Etika terhadap Diri Sendiri, yang meliputi arti sebagai berikut: Jujur dan

terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar; Bertindak dengan

penuh kesungguhan dan ketulusan; Menghindari konflik kepentingan pribadi,

kelompok, maupun golongan; Berinisiatif untuk meningkatkan kualitas

pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, dan sikap; Memiliki daya juang yang

tinggi; Memelihara kesehatan jasmani dan rohani; Menjaga keutuhan dan

keharmonisan keluarga; Berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.

e) Etika Terhadap Sesama PNS. Maksudnya adalah, bahwa seorang PNS harus:

Saling menghormati sesama warga negara yang memeluk agama/kepercayaan

yang berlainan; Memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama PNS; Saling

(17)

dalam unit kerja, instansi maupun antar instansi; Menghargai perbedaan

pendapat; Menjunjung tinggi harkat dan martabat PNS; Menjaga dan

menjalin kerja sama yang kooperatif sesama PNS; Berhimpun dalam satu

wadah KORPRI yang menjamin terwujud solidaritas dan soliditas semua

PNS dalam memperjuangkan hak-haknya.

Untuk menegakkan kode etik PNS tersebut, maka di setiap instansi

dibentuk Majelis Kode Etik yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian

yang bersangkutan.Keanggotan Majelis Kode Etik jumlahnya harus ganjil dan

sekurang-kurangnya terdiri dari 5 orang, meliputi: 1 ( satu orang Ketua

merangkap Anggota; 1 (satu) orang Sekretaris merangkap Anggota; dan

sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggota. Mereka yang menjadi Anggota Majelis Kode

Etik harus memiliki jabatan dan pangkat yang lebih tinggi dari jabatan dan

pangkat PNS yang diperiksa karena disangka melanggar kode etik.

Dalam pasal 19 PP No. 42/2004 disebutkan: kepada PNS yang diperiksa diberi

kesempatan untuk membela diri sebelum Majelis mengambil keputusan. Adapun

keputusan yang diambil sedapat mungkin dilakukan secara musyawarah mufakat,

dan keputusannya bersifat final.

Secara riil PP No 42/2004 juga mengatur mengenai wahana pembinaan

jiwa korps. Di dalam pasal 12 huruf “g” secara tegas disebutkan bahwa: (PNS)

“berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI)

yang menjamin terwujudnya solidaritas dan soliditas semua PNS dalam

(18)

Dengan demikian KORPRI adalah wahana pembinaan jiwa korps yang

diakui oleh pemerintah dalam rangka membangun sikap, tingkah laku, etos kerja,

dan perbuatan terpuji yang harus dilakukan oleh setiap PNS dalam kedinasan dan

kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu KORPRI ditetapkan dengan PP. No. 42 Tahun 2004

sebagai wadah pembinaan jiwa korps dan organisasi dalam kedinasan maupun

dalam kehidupan sehari-hari, maka kode etik anggota KORPRI juga merupakan

kode etik bagi setiap PNS. Kode Etik anggota KORPRI terdapat dalam Panca

Prasetya KORPRI serta Deklarasi Hasta Dharma KORPRI.

C. Pendekatan Pembinaan PNS

a. Pendekatan Yuridis

Dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia

dewasa ini telah terjadi krisis moral. Hal itu ditandai oleh sikap dan perilaku yang

cenderung mengabaikan penghargaan dan ketaatan terhadap norma-norma moral

dan nilai-nilai etika dalam pola interaksi kemasyarakatan maupun dalam

penyelenggaraan negara.

Moral dan etika yang lemah dalam proses penyelenggaraan negara

tercermin dari berbagai pernyataan dan kebijakan aparatur negara yang

bertentangan satu sama lain, bahkan mengindikasikan terjadi kebohongan publik,

inkonsistensi dalam melaksanakan ketentuan hukum, dedikasi yang rendah,

bertindak sewenang-wenang, kurang memberikan teladan dan bersikap

(19)

Pola sikap dan perilaku aparatur negara yang demikian pada akhirnya akan

menimbulkan gangguan sosial dan ketidakpercayaan, bahkan resistensi

masyarakat terhadap aparatur negara, sehingga mengganggu keharmonisan,

kedamaian, dan keserasian dalam pola hubungan publik dengan unsur aparatur

negara.

Di sisi lain, dinamika perkembangan masyarakat menunjukkan tuntutan

kepedulian yang tinggi terhadap public accountability sebagai dampak

internasilsasi nilai-nilai global di masyarakat. Dalam konteks ini, pelayanan yang

diharapkan oleh masyarakat dari PNS dalam kapasitasnya sebagai abdi negara dan

abdi masyarakat adalah pelayanan yang semakin prima, cepat, dan paripurna serta

tidak diskriminatif.

Berdasarkan situasi dan kondisi itulah maka kemudian muncul suatu

paradigma baru tentang nilai-nilai moral dan etika sebagai standard operating

procedure bagi PNS, secara formal dalam UU No. 43 tahun 1999, pasal 3 ayat (1)

disebutkan; “Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang

bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional,

jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan

penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan pembangunan”. Sikap profesional,

jujur, adil, dan merata ini adalah nilai-nilai yang dijadikan ukuran apakah seorang

aparatur bermoral baik atau tidak.

Sedangkan Etika merupakan pola tata nilai dan sebagai indikator ukuran

(20)

sudah lama diterapkan secara global sebagai sesuatu yang melekat pada peran

suatu profesi, seperti : kode etik kedokteran, kode etik pengacara, dan sebagainya.

Dalam konteks inilah maka norma etika PNS diperlukan, yaitu sebagai

sistem yang mengikat sekaligus menjadi aturan main ( the rule of game), yang

disepakati dan diterima oleh semua PNS seperti profesi-profesi lainnya.

Untuk menyikapi hal-hal tersebut, maka setiap CPNS pada saat

pengangkatannya menjadi PNS wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut

agama atau keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah disamping

pengucapan sumpah janji bagi para PNS juga diajarkan pula mengenai pembinaan

jiwa korps, kode etik dan peraturan disiplin yang tidak boleh bertentangan dengan

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 UUD 1945, dasar hukum yang menjadi rujukan

untuk pembinaan jiwa korps, kode etik dan peraturan disiplin ini adalah PP. No.

42/2004. Adapun Jiwa Korps PNS itu isinya adalah suatu rasa kesatuan dan

persatuan, kebersamaan, kerjasama, tanggungjawab, dedikasi, disiplin, kreativitas,

kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS dalam bingkai NKRI dan Kode

Etik PNS ini merupakan suatu pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS

di dalam melaksanakan tugas dan bergaul dalam kehidupan sehari-hari,

Pembinaan Jiwa Korps PNS bertujuan untuk:

1. Membina watak, membina rasa persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan

guna mewujudkan kerjasama dan semangat pengabdian kepada masyarakat

(21)

2. Mendorong etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang bermutu tinggi

dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara, dan abdi

masyarakat;

3. Menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran, dan wawasan

kebangsaan sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam

NKRI. bahkan secara khusus mengatur perilaku PNS sudah ada PP No.

30/1980 dengan menggunakan istilah “Kewajiban dan Larangan“ pada pasal

2 dan 3 pada PP dijelaskan 26 butir kewajiban dan 18 butir larangan bagi

PNS.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 42/2004 selain mengatur Kode Etik

PNS juga mengatur pula Kode Etik Pejabat Pembina Kepegawaian, kode etik

instansi dan organisasi profesi yang berada di lingkungan PNS.

Untuk penegakkan kode etik sebagaimana disebutkan di atas, PNS yang

melakukan pelanggaran dikenakan sanksi moral yang dibuat secara tertulis dan

dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dari masing-masing instansi

sanksi berupa pernyataan secara tertutup atau terbuka dan harus disebutkan jenis

pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS oleh pejabat yang berwenang

dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pejabat lain sekurang-kurangnya

pejabat struktural eselon IV.

Selain sangsi moral, PNS yang melakukan pelanggaran juga dapat

dikenakan tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, atas rekomendasi Majelis Kode Etik, yang pembentukannya

(22)

b. Pendekatan Keagamaan

Agama mengajarkan nilai-nilai luhur, yang bila dilaksanakan, akan

menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, baik sebagai individu,

maupun masyarakat, bangsa, atau manusia. Pegawai Negeri Sipil sebagai abdi

Negara yang berasaskan Pancasila, wajib menjalankan nilai-nilai yang diajarkan

agamanya. Oleh karena itu pembinaan mental PNS melalui pendekatan

keagamaan sangat penting artinya dan sangat strategis peranannya.

Nilai-nilai yang diajarkan agama banyak, tetapi dalam pembinaan mental

PNS ini nilai-nilai yang diperioritaskan agar dimiliki dan dijalankan oleh PNS

adalah:

1. Nilai Keimanan dan Ketaqwaan

Keimanan meliputi tiga unsur: mempercayai, mengikrarkan, dan menjalankan

kebenaran. Mempercayai suatu kebenaran adalah meyakininya. Keyakinan itu

perlu diungkapkan dalam ucapan. Dan keyakinan dan ucapan itu harus

dibuktikan dalam perbuatan. Meyakini dan mengucapkan suatu kebenaran,

tetapi tidak menjalankannya, itu adalah kebohongan. Dan menjalankan suatu

kebenaran tetapi tidak meyakininya, itu adalah munafik. 2. Nilai Keikhlasan

Keikhlasan adalah ketulusan dalam bekerja, yaitu bekerja semata-mata hanya

untuk pengabdian karena Allah. Keikhlasan tertinggi adalah ketulusan Allah

dalam menciptakan dan memelihara alam ini untuk keperluan manusia tanpa

mengharapkan balasan dari mereka. Bahkan manusia yang menikmati

karunia-Nya itu, bila mematuhi dengan tulus aturan-aturan yang

(23)

Seorang yang ikhlas dengan demikian adalah juga seorang yang baik.

Seorang yang baik adalah yang bekerja dengan baik dan tidak

mencita-citakan apalagi mengambil sesuatu yang merupakan haknya. Seorang yang

baik adalah yang mengambil kurang dari haknya dan memberikan lebih dari

kewajibannya.

PNS sudah memilih jalan hidupnya sebagai abdi Negara. Ia perlu bekerja

dengan tulus dan penuh dedikasi. Seorang pengabdi Negara tidak boleh

menyalahgunakan wewenangnya. Ia hanya akan mengambil haknya, bahkan

kurang dari haknya itu. Dan sebaliknya ia akan melaksanakan kewajibannya

sebagaimana mestinya, bahkan berusaha memberikan lebih dari

kewajibannya itu. 3. Nilai Keadilan

Keadilan adalah kesamaan, yaitu memperlakukan sesuatu

sebagaimana mestinya, keseimbangan, yaitu memberikan kepada sesuatu apa

yang menjadi haknya, dan kebenaran, yaitu berpihak kepada kebenaran. Memperlakukan sesuatu sebagaimana mestinya adalah memperlakukan

sesuatu tidak berat sebelah. Perlakuan ini dilaksanakan dalam bidang hukum.

Memberikan kepada sesuatu apa yang menjadi haknya adalah

memperlakukan secara sepatutnya, artinya tidak sewenang-wenang.

Perlakuan ini diberikan dalam bidang pelayanan. Dan berpihak kepada

kebenaran adalah menjadikan kebenaran sebagai tolok ukur dalam bersikap

dan bertindak. Manusia memiliki hak-hak asasi yang harus diberikan secara

seimbang dan tidak diskriminatif. Manusia juga berhak atas perlakuan yang

adil baik dalam bentuk pelayanan maupun perlakuan. Dan manusia

(24)

manusia. Manusia perlu menyesuaikan sikap dan tindakannya itu berdasar

hukum tersebut.

Seorang PNS perlu menanamkan dalam dirinya bahwa ia adalah abdi

Negara dan pelayan masyarakat. Ia perlu memberi lebih banyak

daripada mengambil. Ia perlu melayani bukan minta dilayani. Ia perlu

bersikap proporsional, tidak sewenang-wenang, dan objektif.

4. Nilai Kesabaran

Sabar adalah 1) tahan dan tabah, dan 2) tenang. Sabar adalah tahan

menderita, tidak lekas patah hati, dan tidak lekas putus asa.

Bentuk-bentuk kesabaran adalah:

a. Sabar menghadapi penderitaan, seperti kemiskinan, krisis ekonomi,

dsb.

b. Sabar menghadapi instabilitas, seperti gangguan keamanan,

peperangan, dsb.

c. Sabar menghadapi bencana, seperti musibah, penyakit, dsb. d. Sabar dalam memperlakukan orang lain, yaitu dapat memberikan

pelayanan dengan baik, menahan diri bila diperlakukan tidak baik

oleh orang lain, dsb. 5. Nilai Kerjasama

Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh dua

atau lebih orang atau pihak untuk mencapai tujuan bersama.

Namun kerjasama itu tidak menutup kemungkinan adanya konflik

antara pihak-pihak yang bekerjasama itu, terutama ketika

kepentngan pribadi atau golongan lebih ditonjolkan dalam

mencapai tujuan bersama.

Kerjasama diperlukan karena tujuan yang ingin dicapai tidak

(25)

kemampuan manusia terbatas. Kerjasama diperlukan supaya tujuan itu dapat

dicapai dan persoalan dapat diatasi.

Agama mengajarkan agar manusia bekerjasama. Kerjasama itu harus

hanya pada perbuatan-perbuatan baik dan mendorong kepatuhan berbuat baik.

Agama melarang manusia bekerjasama dalam melakukan perbuatan jahat dan

mendorong orang berbuat jahat.

PNS sebagai aparat negara memiliki tujuan yang sama yaitu

menyelenggarakan pemerintahan dan memajukan bangsa dan Negara. Mereka

juga menghadapi musuh yang sama, yaitu ketertinggalan bangsa dan negara

di berbagai bidang pada saat ini. PNS karena itu harus bekerjasama dan

menghindari konflik. Oleh karena itu nasionalisme, semangat pengabdian,

kesetiaan, kerja keras, dsb. harus ditingkatkan. PNS perlu memiliki semangat

'memberi" bukan semangat "menerima", apalagi semangat "Mengambil".

6. Nilai Kesyukuran

Syukur adalah mengakui nikmat dari pemberi nikmat itu yaitu Allah. Juga

mengakui kebaikan dari orang yang sangat baik yaitu orang tua (ayah-ibu). Syukur diungkapkan dengan tiga cara:

a. Menyadari dan mengakui di dalam hati tentang nikmat atau

kebaikan yang telah diterima.

b. Mengungkapkan syukur atau terima kasih kepada yang telah

memberi nikmat atau kebaikan.

c. Membalasi nikmat atau kebaikan yang diterima dengan

perbuatan baik. Membalasi nikmat dari Allah adalah

menggunakan nikmat itu sesuai kehendak-Nya, yaitu

menggunakannya untuk kebaikan. Membalasi kebaikan orang

(26)

Allah memiliki sifat Syakur 'Amat Bersyukur', yaitu menghargai sekali

perbuatan baik manusia, dan membalasi berlipat ganda perbuatan baiknya itu.

Allah menjanjikan bahwa bila manusia bersyukur Ia akan menambah nikmat-Nya

kepada orang itu. Tetapi bila ia mengingkarinya, Allah akan menghukumnya. Hal

itu menunjukkan bahwa manusia sangat perlu menanamkan sifat syukur itu di

dalam dirinya. Syukur akan menjauhkan manusia dari kesyirikan, kesombongan,

takabur, lupa daratan, dan sebagainya

PNS harus memiliki sifat syukur itu secara utuh. Mereka perlu menyadari

bahwa kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia adalah karunia Allah, yaitu

"berkat rahmat Allah Yang maha Kuasa", sebagaimana dinyatakan oleh para

pendiri negara ini (founding fathers). PNS harus mampu mengisi kemerdekaan itu

dengan pengabdian dan kerja keras dalam membangun bangsa dan negara. Dan

rasa syukur dengan semangat pengabdian dan kerja keras itu perlu mereka

wariskan kepada generasi demi generasi. c. Pendekatan Psikologik

Istilah “Psikologi“ dalam bahasa Jepang adalah Shinrigaku (Ilmu tentang

hati dan emosi), maka pintu Pembinaan Mental secara psikologi adalah hati, dan

emosi sebagai jendelanya. Jika ditinjau dari daerah kawasan yang menjadi wadah

dan wahana Pembinaan Mental itu digodok serta diolah berada di kawasan rasa

(affective domain) melebihi kawasan cipta (cognitive domain); sedangkan

muaranya berada di kawasan karsa (conative domain). Adapun alur tahapan

masuk ke kawasan rasa itu sebagai berikut:

1. Penerimaan nilai-nilai secara sadar, sebagai ijab kabulnya; 2. Bertanggungjawab terhadap apa yang telah diterimanya; 3. Pengambilan hikmah (arti dan manfaat nilai-nilai itu);

(27)

Oleh sebab itu siapa yang menjadi narasumber dalam Pembinaan Mental

PNS itu perlu:

1. Kehadirannya diterima oleh audien;

2. Dikenal sebagai pribadi yang bertanggungjawab; 3. Apa yang disampaikan penuh dengan hikmah manfaat; 4. Mudah dan enak dicerna secara sistematik dan sistemik;

5. Keunikan karakter kepribadiannya terbaca secara signifikan sehingga kewibawaan jati dirinya utuh.

Untuk mepercepat dan menjamin mutu proses Pembinaan Mental

diperlukan mekanisme internalisasi:

1. Penyiangan, pembersihan beban batin;

2. Revitalisasi potensi diri baik minus dan plusnya; 3. Intervensi nilai-nilai luhur via sensitivity training; 4. Dibangun kemandiriannya;

5. Ditata etos kerjanya secara prima;

6.Dibiasakan memantau dan mengevaluasi kemajuan dirinya. d. Pendekatan Sosial Budaya

Di dalam mencapai suatu generasi tauladan diperlukan tidak hanya

memiliki komitmen terhadap moral dan etika serta kompetensi saja, tetapi juga

memiliki karakter, dan mempunyai tekad untuk mencerdaskan dirinya.

Guna mencapai kualitas aparatur yang baik dapat dicapai jika upaya

pemberdayaan segenap Aparatur pemerintah diimbangi dengan upaya aktualisasi

nilai-nilai kepemimpinan, keteladanan, integritas moral dan etika segenap

pimpinan baik dari tingkat bawah sampai pada tingkat pimpinan puncak nasional. Oleh karena itu dalam Pembinaan Mental PNS perlu melakukan

pendekatan pada sosial budaya antara lain dengan cara:

1. Di lingkungan DIKLAT sering kali ditempuh dengan pendekatan 3 SA yaitu:

Silih Asah, Silih Asih dan Silih Asuh (Jawa Barat) dan Hasta Karma Pratama

(delapan laku utama=mpu purwo) antara lain Pandangan yang benar; Pikiran

yang benar; Bicara yang benar; Tingkah laku yang benar; Kehidupan yang

benar; Usaha yang benar; Ingatan yang benar dan sembahyang yang benar.

(bahasa Sansekerta)

(28)

a. “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”(Melayu). b. “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat”. c. “adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah”.

d. “tiga tungku sejarangan (ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama)”.

e. “tigo tali sapilin (hukum adat, hukum agama, hukum negara,)(Minangkabau)”. f. ”sai bumi khua jurai (satu bumi bagi pribumi dan pendatang, Lampung)”. g. .“mangan ora mangan awewaton kumpul (menderita sekalipun asasnya

kompak/bersatu, Jawa)”.

h. “baku sayang, baku ingat, baku tolong (saling menyayangi, saling

mengingatkan dan saling membantu (Minahasa)”.

(29)

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Etika diartikan sebagai nilai-nilai normatif atau pola perilaku seseorang

atau badan/lembaga/organisasi sebagai suatu kelaziman yang dapat diterima

umum dalam interaksi dengan lingkungannya.sedangkan Moral dalam bahasa

Inggris dapat diartikan sebagai dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan

atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan etika.

Maka dari uraian di atas dapat dibedakan antara etika dan moralitas sebagai suatu

sistem nilai dalam diri seseorang atau organisasi. Moralitas merujuk kepada

nilai-nilai yang diyakini dan menjadi semangat dalam diri seseorang atau suatu

organisasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan etika

merupakan nilai-nilai perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang atau organisasi

ketika berinteraksi dengan lingkungannya.

B. Saran-saran

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis mengemukakan

saran-saran sebagai berikut :

1. Hendaknya para seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

yang berkaitan dengan etika. Moralitas harus dilandasi oleh nilai-nilai tertentu

yang diyakini oleh seseorang atau organisasi tertentu sebagai sesuatu yang

baik atau buruk, sehingga bisa membedakan mana yang patut dilakukan dan

(30)

2. Dalam organisasi, peran individu sangat penting, karena organisasi terbentuk

dengan adanya sekelompok orang yang saling berinteraksi dalam

mewujudkan tujuan tertentu.dengandi dasari oleh Nilai-nilai yang diyakini

oleh individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan/perilaku

3. Dalam melaksanakan akvititasnya,seseorang harus mengetahui

prinsip-prinsip etika,nilai-nilai, Moral, dan Budaya Organisasi.

(31)

Atmo Soeprapto, Kisdarto, (1999), Menuju SDM Berdaya, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuar Inner Journey Melalui Al-Ihsan, Penerbit Arga Jakarta, 2003.

Bachtiar Effendy, 2001. Politisasi Birokrasi Sesuatu yang Tak Terelakkan, Seri Kertas Kerja 05/2001, Pusat penelitian Pengembangan Kepegawaian Negara, Jakarta.

Chaplin, James P., (2000), Dictionary of Psychology, New York: Dell Publising Co.,Inc.

Dadi J. Iskandar, 11996. Birokrasi Indonesia Kontemporer”, Algaprint, Jatinangor,.

Departemen Agama RI., (2003), KMA No. 1 Tahun 2003 tentang Pedoman Pendidikan dan

Danah Zohar dan Ian Marshal, 2007. SQ : Kecerdasan Spritual, Mizan, Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., (1988), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Perum Balai Pustaka.

Eko Sutrisno, 2001. Upaya Reformasi Sumber Daya Aparatur , Sebuah Dilema Antara Peran Politis dan Profesionalisme, Seri Kertas Kerja 05/2001, Pusat penelitian Pengembangan Badan kepegawaian. Negara, Jakarta, 2001

Goleman, Daniel,(1995), Emotional Intelligence, New York: Scientific American, Inc.

Mahfud, M.D. Moh. 1999 Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gama Media. Yogyakarta.

Manihuruk A.E., 2001, Pegawai Negeri Sipil Di awal Kemerdekaan dan Era Reformasi, Seri kertas Kerja, Edisi Khusus, Ulang Tahun ke 53, badan kepegawaian Nasional, Jakarta, Puslitbang BKN.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya serta memberikan kesempatan kepada penulis untuk

Hasil wawancara penulis dengan pelaku turut serta melakukan tindak pidana tidak melakuan pertolongan terhadap istrinya yang berakibat mati, tentang resiko yang

Namun Pengurus Ranting Muhammadiyah Padang Bandung bukan tanpa hambatan sama sekali, sistem kaderisasi yang berjalan lambat dan tidak berkesinambungan menjadi salah satu

Kapsul adalah sediaan padat yang t  sediaan padat yang terdiri dari obat dalam erdiri dari obat dalam cangka cangkang ng keras atau lunak yang dapat larut.. Cangkang umumnya

Dengan diketahuinya keberadaan Battra ramuan dengan ramuan tanaman obat yang digunakan, merupakan tantangan bagi para peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan ramuan

Alat Tubuh Bagian n Dalam Manusia dan Hewan Hasil yang harus kamu capai: mengidentifikasi fungsi organ tubuh manusia dan hewan...

memilih pilihan akademik yang disebut program peminatan, yang dilaksanakan oleh guru BK (Konselor) sekolah/ madrasah. Peminatan yang dilaksanakan di sekolah dilakukan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kinerja keuangan yang terdiri dari debt to equity ratio, return on equity, return on investment, earning