• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESA NGANDAGAN MENUJU KAWASAN DESA WISAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DESA NGANDAGAN MENUJU KAWASAN DESA WISAT"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

DESA NGANDAGAN MENUJU KAWASAN

DESA WISATA

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 3

1. ALFIAN BUDI SAPUTRA NIM. 13222754

2. FRANDIKA NIM. 13222766

3. MUHAMMAD ARIEF ASYARI Z NIM. 13222778

4. ZICO EVERT WANENDA NIM. 13222790

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/

BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

PROGRAM D.IV - PERTANAHAN

YOGYAKARTA

(2)

I. PENDAHULUAN

Kebijakan reforma agraria, yakni perombakan struktur distribusi penguasaan tanah (landreform) yang disertai dengan pembaruan sosio ekonomi dan politik yang diperlukan untuk melengkapinya, merupakan kebijakan yang dominan pada dekade 1950-an hingga 1960-an dan banyak dianut oleh Negara-negara Dunia Ketiga yang baru meraih kemerdekaannya dan terlepas dari masa penjajahan. Pada masa ini, kebijakan reforma agraria pada dasarnya merupakan agenda nasional yang dijalankan oleh negara dalam rangka mewujudkan dekelonisasi dan modernisasi di lapangan agraria.1

Adalah Gunawan Wiradi yang pada tahun 1960 meneliti Desa Ngandagan untuk pertama kali dan menginformasikan bahwa desa ini telah melakukan berbagai langkah untuk memperbaiki akses warga desa tak bertanah atas lahan sawah dan tegalan di desa itu, dan dengan demikian berhasil menata struktur penguasaan tanah yang sebelumnya amat timpang. Yang menarik dari temuan Wiradi adalah bahwa upaya pembaruan semacam itu ternyata berasal dari inisiatif local desa Ngandagan sendiri dibawah kepemimpinan Lurah Soemotirto, dan dimulai sejak dini di tahun 1947. Meskipun belum ada pijakan hokum formalnya, namun kebijakan tersebut berhasil dijalankan oleh Lurah Soemotirto berkat dukungan mayoritas warga desa Ngandagan. Dengan demikian, inisiatif lokal ini jauh mendahului pelaksanaan program landreform secara nasional yang baru dimulai dilaksanakan setelah dilahirkannya Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960.2

Sebelumnya, desa Ngandagan merupakan salah satu desa di Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Seperti yang telah dijelaskan diatas, masyarakat Desa Ngandagan memiliki mekanisme yang unik dalam hal pengelolaan tanah yang diwarisi dari leluhur mereka sejak tahun 1947. Mekanisme ini mewajibkan para pemilik tanah menyerahkan hak garap atas sebagian tanahnya kepada Pemerintah Desa Ngandagan,

1 Mohammad Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luthfi dalam Land Reform Lokal Ala Ngandagan.

Hlm.4

(3)

selanjutnya oleh Pemerintah Desa Ngandagan diserahkan hak garapnya kepada kepala keluarga petani yang tidak memiliki tanah. Inilah “landreform ala Ngandagan” yang berlangsung hingga saat ini.3

Landreform ala Ngandagan dicirikan oleh adanya “kulian” yaitu orang yang memiliki tanah satu kuli atau 300 ubin (1 ubin sama dengan 14 m²), yang pada masa Sumotirto (Kepala Desa Ngandagan tahun 1947-1964) diambil hak garapnya seluas 90 ubin oleh Pemerintah Desa Ngandagan untuk diberikan kepada petani Desa Ngandagan yang saat itu tidak memiliki tanah. Hak atas tanah tetap berada pada kulian, meskipun hak garapnya (seluas 90 ubin) telah beralih pada orang lain (petani yang tidak memiliki tanah). Tanah seluas 90 ubin tersebut nantinya diserahkan kepada dua keluarga petani tunakisma, yang masing-masing akan menerima tanah sawah seluas 45 ubin. Tanah selaus 45 ubin pada waktu itu (tahun 1947) diarasa masih cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga petani penggarap.4

Landreform ala Ngandagan merupakan sesuatu yang unik,karena berbeda dengan landreform pada umumnya. Pada umumnya landreform memiliki prinsip bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya. Tetapi dalam landreform ala Ngandagan, yang mengerjakan atau mengusahakan tanahnya adalah bukan pemiliknya (kulian), melainkan penggarapnya (buruh kulian). Jika landreform pada umumnya, tanah yang dipunyai pemilik tanah diserahkan kepemilikannya kepada penggarap, maka pada landreform ala Ngandagan kepemilikan tanahnya tidak pernah diserahkan kepada penggarap, melainkan tetap pada pemilik (kulian). Para pemilik tanah hanya menyerahkan hak garapnya kepada penggarap dalam jangka waktu yang tidak pernah ditentukan.

Landreform ala Ngandagan ini dalam konteks kekinian memberi warna pada cara penghidupan (livelihood) masyarakat Desa Ngandagan. Livelihood

yang dipilih masyarakat desa Ngandagan bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba, namun dibangun paska berlakunya landreform ala Ngandagan ini. Oleh

3 Aristiono Nugroho, dkk dalam Ngandagan Kontemporeer: Implikasi Sosial Landreform Lokal.

Hlm.1

(4)

karena itu, livelihood yang dibangun akan berbasis pada kateori kulian dan buruh kulian, dimana kategori ini merupakan implikasi pemberlakuan landreform ala Ngandagan. Selain kulian dan buruh kulian, ada pula anggota masyarakat Desa Ngandagan yang menekuni bidang lain yang bukan bidang pertanian tetapi masih berkaitan dengan pertanian, seperti: penyewaan traktor dan industry rumah tangga pembuatan tempe. Bahkan ada pula anggota masyarakat yang menekuni bidang yang sungguh-sungguh tidak berhubungan dengan pertanian, seperti: pegawai negeri sipil, pengusaha penyewaan sound system, pedagang dan perantau.

Dari berbagai keunikan masyarakat desa Ngandagan yang ada, baik dari segi sosio-ekonomi, sosio-ekologi, sosio-budaya hingga harmoni sosial masyarakatnya itulah kiranya bisa menjadikan desa Ngandagan sebagai kawasan desa wisata.

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Sejalan dengan dinamika, gerak perkembangan pariwisata merambah dalam berbagai terminologi seperti, sustainable tourism development, village tourism, ecotourism, merupakan pendekatan pengembangan kepariwisataan yang berupaya untuk menjamin agar wisata dapat dilaksanakan di daerah tujuan wisata bukan perkotaan.

Salah satu pendekatan pengembangan wisata alternatif adalah desa wisata untuk pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dalam bidang pariwisata. Ramuan utama desa wisata diwujudkan dalam gaya hidup dan kualitas hidup masyarakatnya. Keaslian juga dipengaruhi keadaan ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan tersebut, misalnya ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian, bentangan alam, jasa, pariwisata sejarah dan budaya, serta pengalaman yang unik dan eksotis khas daerah. Dengan demikian, pemodelan desa wisata harus terus dan secara kreatif mengembangkan identitas atau ciri khas daerah.

(5)

pengusaha setepat. Keaslian akan memberikan manfaat bersaing bagi produk wisata pedesaan. Unsur-unsur keaslian produk wisata yang utama adalah kualitas asli, keorisinalan, keunikan, ciri khas daerah dan kebanggaan daerah diwujudkan dalam gaya hidup dan kualitas hidup masyarakatnya secara khusus berkaitan dengan prilaku, integritas, keramahan dan kesungguhan penduduk yang tinggal dan berkembang menjadi milik masyarakat desa tersebut.

Oleh sebab itu, pemodelan desa wisata bagi pembangunan pedesaan yang berkelanjutan harus terus secara kreatif mengembangkan identitas atau ciri khas yang baru bagi desa untuk memenuhi tujuan pemecahan masalah yang berkaitan dengan krisis ekonomi daerah pedesaan, semakin bertambah akibat adanya berbagai kekuatan yang rumit, yang menyebabkan baik berkurangnya kesempatan kerja maupun peningkatan kekayaan masyarakat desa, salah satu jalan keluar yang dapat mengatasi krisis tersebut adalah melalui pembangunan industri desa wisata skala kecil, sehingga mampu bersaing dan unggul dalam pembangunan daerah pedesaan, dan dalam penciptaan lapangan kerja baru serta peningkatan kesejahteraan masyarakat

II. INVENTARISASI POTENSI

a. Social Mapping

Pemetaan sosial adalah proses penggambaran masyarakat yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat termasuk di dalamnya profil dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut (Suharto, 2009:81). Potensi sosial yang ada pada masyarakat Desa Ngandagan adalah pada sektor farm. Farm disini tidak hanya berarti pertanian dalam arti sempit, melainkan juga berarti pertanian dalam arti luas. Istilah farm memiliki istilah-istilah turunan seperti: “ on-farm”, “off-farm”, dan “non-farm”.5

1. Potensi di sektor On-Farm

Istilah on-farm digunakan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas di tanah pertanian. Potensi masyarakat Ngandagan pada sektor on-farm diantaranya yaitu:

(6)

a) Untuk daerah persawahan dengan pengairan irigasi yang memadai masyarakat Ngandagan menanam padi dan palawija. Dalam jangka waktu satu tahun biasanya 2 kali menanam padi dan 1 kali menanam palawija khususnya adalah kedelai.

b) Untuk daerah tegalan yang merupakan wilayah dengan jaringan irigasi kurang memadai, masyarakat menanaminya dengan tanaman semusim, semisal kacang tanah, ketela pohon, ada juga yang menanaminya dengan tanaman buah-buahan.

c) Pemanfaatan lahan pekarangan sekarang ini banyak ditanami oleh tanaman buah-buahan seperti: papaya, kelapa, melinjo, ketela, dan lain-lain. Bahkan pada tahun 2010 masyarakat desa mendapat bantuan bibit tanaman jati dari Dinas Pertanian Kabupaten Purworejo yan kemudian oleh masyarakat ditanam disekitar pekarangan.

2. Potensi di sektor Off-Farm

Sektor off-farm yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas di luar pertanian, namun masih berkaitan dengan pertanian. Potensi yang ada pada sector off-farm diantaranya, yaitu:

a) Menjadi tukang tebas dan bawon. Pada saat panen padi tiba, tukang teabs dating ke sawah untuk menemui penggarapnya. Harga tebasan satu iring (125 ubin) bila tidak terkena hama adalah Rp. 1.800.000,- Buruh tani yang bekerja sebagai bawon pada masa panen bekerja secara berombongan (satu regu) dalam memanen bidang tanah sawah yang telah ditentukan. Upah yang diterima buruh tani sebagai bawon adalah 1 kg padi basah untuk setiap 6 kg padi basah yng dipanen.

b) Industri rumah tangga, diantaranya yaitu industri pembuatan tempe. c) Usaha penyewaan alat pertanian, seperti misalnya traktor,

kemudian pelayanan jasa pemarutan kelapa.

3. Potensi di sektor Non-Farm.

(7)

a) Industri rumah tangga, yaitu seperti usah pemintalan kapas dan perkreditan barang kelontong.

b) Buruh dan dagang, contohnya yaitu: penjual rongsokan, buruh bangunan, pedagang di pasar, tukang, dan lain-lain.

c) Pegawai Negeri Sipil, kebanyakan adalah menjadi seorang guru.

b. Physical Mapping

Pemetaan fisik juga dilakukan untuk mengetahui gambaran umum suatu masyarakat tapi dari sudut pandang keadaan wilayah dimana masyarakat itu tinggal (hidup). Keadaan fisik suatu wilayah akan mempengaruhi pola kehidupan sosial masyarakat yang menempatinya.

Dilihat dari topografinya, desa Ngandagan terbagi menjadi dua kategori, yaitu daerah dataran di wilayah Dusun Krajan dan daerah perbukitan di wilayah Dusun Karangturi. Untuk mengoptimalkan kesuburan tanah Desa Ngandagan, maka dibangunlah jaringan irigasi. Berdasarkan keterjangkauannya irigasi, diketahui bahwa Dusun Krajan merupakan wilayah yang mendapat jaringan irigasi yang memadai, sedangkan Dusun Karangturi yang merupakan wilayah perbukitan kurang mendapatkan jaringan irigasi yang memadai.

Berdasarkan kondisi jaringan irigasinya, Desa Ngandagan terbagi atas tiga wilayah garapan yaitu wilayah persawahan, wilayah tegalan, dan wilayah “alas”. Pertama wialayah persawahan yang merupakan wilayah dengan jaringan irigasi memadai, sehingga secara intensif dapat ditanami dengan padi dan palawija. Kedua wilayah tegalan yang merupakan wilayah dengan jaringan irigasi kurang memadai, sehingga secara intensif dapat ditanami dengan tanaman semusim. Ketiga wilayah “alas” yang merupakan wilayah tanpa jaringan irigasi, shingga secara intensif dapat ditanami dengan tanaman keras atau tanaman tahunan.

(8)

sendiri. Dan hasilnya, untuk tingkat kemiskinan di desa Ngandagan hanya 2,25%, berada jauh dibawah rata-rata tingkat kemiskinan di Kecamatan Pituruh yaitu sebesar 35,00% dan Kabupaten Purworejo 34,00%. Hal itulah daya tarik dari desa Ngandagan, yang bisa dijadikan tempat study banding bagi masyarakat umum dan khususnya bagi pemerintah desa maupun intansi-instansi pemerintah lainnya yang sedang berusaha unutk memajukan daerahnya. Terdapatnya situs “Gunung Pencu” juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan apabila situs tersebut dikelola dengan maksimal.

III.MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT a. Model Asistensi

Asistensi atau pendampingan (Suharto, 2009:93) adalah tindakan membantu orang agar orang tersebut mampu membantu dirinya sendiri. Model asistensi diwujudkan dengan “menemani” dan mengarahkan masyarakat pada suatu kegiatan dari awal perencanaan sampai akhir pelaksanaan untuk bersama-sama memecahkan masalah maupun memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

Prinsip pengembangan desa wisata adalah sebagai salah satu produk wisata alternatif yang dapat memberikan dorongan bagi pembangunan pedesaan yang berkelanjutan serta memiliki prinsip-prinsip pengelolaan antara lain, ialah: (1) memanfaatkan sarana dan prasarana masyarakat setempat, (2) menguntungkan masyarakat setempat, (3) berskala kecil untuk memudahkan terjalinnya hubungan timbal balik dengan masyarakat setempat, (4) melibatkan masyarakat setempat, (5) menerapkan pengembangan produk wisata pedesaan, dan beberapa kriteria yang mendasarinya seperti antara lain:

(9)

b) Mendorong peningkatan pendapatan dari sektor pertanian dan kegiatan ekonomi tradisional lainnya.

c) Penduduk setempat memiliki peranan yang efektif dalam proses pembuatan keputusan tentang bentuk pariwisata yang memanfaatkan kawasan lingkungan dan penduduk setempat memperoleh pembagian pendapatan yang pantas dari kegiatan pariwisata.

d) Mendorong perkembangan kewirausahaan masyarakat setempat.

b. Model Fasilitasi

Fasilitasi dapat diartikan sebagai mempermudah atau memungkinkan suatu hal. Fasilitasi (Suharto, 2009) dalam pemberdayaan biasanya dilakukan dalam bentuk pembukaan akses masyarakat terhadap segala sesuatu hal yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah sosial yang sedang dihadapi. Segala sesuatu hal tersebut dapat berupa (1) sumber personal yaitu pengetahuan, motivasi maupun pengalaman hidup, (2) sumber interpersonal yaitu sistem pendukung yang lahir baik dari jaringan pertolongan alamiah maupun interaksi formal dengan orang lain dan (3) sumber sosial yaitu berupa respon kelembagaan yang mendukung kesejahteraan klien maupun masyarakat pada umumnya)

Fasilitasi secara umum juga dapat dimaksudkan dengan menyediakan alat atau bahan-bahan yang diperlukan dalam suatu kegiatan. Prinsip utama fasilitas adalah proses bukan isi. Ada 3 (tiga) tahapan penting dalam fasilitasi yaitu (1) divergensi, yakni memfasilitasi munculnya keragaman ide, (2) dialog, yakni mempertemukan dan mendiskusikan ide-ide dan (3) konvergensi, yakni mengerucutkan ide-ide.

IV. DUKUNGAN BAGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT a. Peningkatan Partisipasi

(10)

a) Partisipasi aktif, yakni proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah yang bertolak dari kemampuan memutuskan, bertindak dan berefleksi atas tindakan masyarakat sebagai subyek yang sadar.

b) Partisipasi pasif, yakni masyarakat hanya dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan, dirancang dan dikontrol oleh orang lain. Munculnya proses partisipasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat mendasarkan atas dua perspektif. Pertama : Pelibatan masyarakat, setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan dan pelaksanaan program yang akan mewarnai kehidupan masyarakat, sehingga dengan demikian dapatlah dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap, dan pola pikir serta nilai-nilai pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh. Ke-dua : membuat umpan balik yang pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan pembangunan.

Masyarakat dapat diajak terlibat guna mengarahkan perencanaan dan program pemodelan desa wisata dalam kerangka pembangunan desa secara keseluruhan yang berintikan ; (1) desa tempat dimana pemerintahan desa menjalankan pemerintahannya, (2) desa tempat dimana penduduk desa menjalankan pola kehidupan dan keagamaannya dan berkumpul dalam satu harmonisasi kehidupan yang mencerminkan tata karma masyarakat, (3) desa tempat dimana masyarakat desa melakukan kegiatan waktu luang dan berekreasi bercengkerama di alam desa yang mereka miliki, (4) desa dimana masyarakat memiliki sikap, prilaku melindungi, memelihara dan memanfaatkan kepemilikan seni budaya, lingkungan, nilai-nilai tradisi yang dapat mendorong kelestarian promosi desa itu sendiri.

b. Pengembangan Jaringan/Network

(11)

diantaranya adalah mengikuti promosi ke luar daerah, mengikuti promosi yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Strategi komunikasi pemasaran pariwisata yang tepat diperlukan untuk memperkenalkan dan mempromosikan daya tarik desa wisata kepada wisatawan. Target dari komunikasi pemasaran pariwisata ini adalah untuk meningkatkan jumlah wisatawan. Strategi komunikasi pemasaran pariwisata dalam meningkatkan jumlah wisatawan, khususnya wisatawan nusantara di desa wisata adalah bagaimana menawarkan produk dan pelayanan desa wisata tersebut kepada wisatawan, yakni penyediaan fasilitas sesuai tradisi masyarakat desa wisata tersebut.

V. RENCANA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT a. Penentuan Program/Kegiatan

Peningkatan peran masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan memerlukan berbagai upaya pemberdayaan (empowerment), agar masyarakat dapat berperan lebih aktif dan optimal serta sekaligus menerima manfaat positif dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan untuk peningkatan kesejahteraannya. Pemberdayaan Masyarakat dalam konteks pembangunan kepariwisataan dapat didefinisikan sebagai: “Upaya penguatan dan peningkatan kapasitas, peran dan inisiatif masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan, untuk dapat berpartisipasi dan berperan aktif sebagai subjek atau pelaku maupun sebagai penerima manfaat dalam pengembangan kepariwisataan secara berkelanjutan”. (Renstra Dit. Pemberdayaan Masyarakat,2010). Definisi tersebut menegaskan posisi penting masyarakat dalam kegiatan pembangunan, yaitu masyarakat sebagai subjek atau pelaku pembangunan; dan masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan.

(12)

untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan kepariwisataan di wilayahnya.

Sadar Wisata dalam hal ini digambarkan sebagai bentuk kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut, yaitu:

a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif sebagaimana tertuang dalam slogan Sapta Pesona.

b) Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi pelaku wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tujuan wisata, sebagai wujud kebutuhan dasar untuk berekreasi maupun khususnya dalam mengenal dan mencintai tanah air.

Sadar Wisata sebagai unsur penting dalam mendukung pengembangan destinasi pariwisata tentu tidak dapat terwujud secara otomatis tanpa adanya langkah dan upaya-upaya untuk merintis, menumbuhkan, mengembangkan dan melaksanakan secara konsisten di destinasi pariwisata. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan peran serta masyarakat secara aktif dalam mengembangkan Sadar Wisata bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait lainnya.

Untuk itu pembentukan Kelompok Masyarakat Sadar Wisata (Pokmasdarwis) sebagai bentuk kelembagaan informal yang dibentuk anggota masyarakat (khususnya yang memiliki kepedulian dalam mengembangkan kepariwisataan di daerahnya), yang merupakan salah satu unsur pemangku kepentingan dalam masyarakat yang memilki keterkaitan dan peran penting dalam mengembangkan dan mewujudkan Sadar Wisata di desa Ngandagan perlulah dibentuk.

b. Penentuan Penerima Manfaat

(13)

menekankan kepada: Pertama; investasi pada modal manusia (human capital) yaitu dalam bidang pendidikan dan kesehatan, Ke-dua; peningkatan kapasitas organisasi di pedesaan, disamping organisasi pemerintahan desa yang secara bersama-sama memiliki keinginan untuk mengembangkan desa wisata sebagai upaya pembangunan yang berkelanjutan, Ke-tiga; memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi bisa tercapai, Ke-empat; memperbaiki budaya kerja, kerja keras, tanggung jawab dan hemat, Ke-lima; menghilangkan sifat dan mental negatif, boros, konsumtif yang dapat merusak produktivitas. Sedangkan melalui pendidikan lebih diarahkan kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam bentuk pekerjaan yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Pendidikan pelatihan tidak hanya memberikan keilmuan yang lebih penting adalah kesadaran untuk tumbuhnya sikap menerima, bekerja sama, dan menimbulkan prilaku baru dalam upaya mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan dan ketergantungan.

VI. MANAJEMEN PEBERDAYAAN MASYARAKAT a. Manajemen Pelaksanaan

Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui Pembentukan Kelompok Masyarakat Sadar Wisata (Pokmasdarwis) dilakukan dengan pendekatan inisiasi dari instansi pemerintah, dalam hal ini yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Purworejo.

Kegiatan dimulai dari koordinasi antara Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Purworejo. Selanjutnya Kepala Desa Ngandagan menfasilitasi pertemuan antara masyarakat dengan penyuluh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo dan Dinas Pariwisata Kabupaten Purworejo untuk membentuk Kelompok Masyarakat Sadar Wisata (Pokmasdarwis).

(14)

lebih lanjut. Pengukuhan Pokmasdarwis dilakukan oleh Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Purworejo. Pencatatan dan pendaftaran Pokmasdarwis dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Purworejo untuk dilaporkan ke Dinas Pariwisata Provinsi serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

b. Manajemen Konflik Pasca Pelaksanaan (Exit Strategy)

Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, maka pembentukan desa wisata akan memilki dampak yang tidak diharapkan, seperti semakin buruknya kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan ekonomi, dan lain-lain. Dampak-dampak negatif tersebut disebabkan karena pengembangan pariwisata semata-mata dilakukan dengan pendekatan ekonomi dan pariwisata dipersepsikan sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan, terutama oleh bidang usaha swasta dan pemerintah. Sementara itu banyak pakar yang menyadari bahwa pariwisata, meskipun membutuhkan lingkungan yang baik, namun bilamana dalam pengembangannya tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kerentanan lingkungan terhadap jumlah wisatawan akan menimbulkan dampak negatif.

Untuk menanggulangi akibat negatif diatas maka bisa dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan kualitas lingkungan masyarakat, dasar utama yang senantiasa harus dijaga keutuhannya, sehingga situasi konflik tidak akan timbul bila langkah-langkah pendekatan dengan segala kearifan untuk memenuhi fungsi-fungsi timbal balik, estetika, rekreatif, ilmiah dan konservasi.

b. Pendekatan perencanaan fisik yang meliputi daya tampung ruang, pemilihan daya tampung ruang, pemilihan lokasi yang tepat serta peletakan zonasi yang seimbang antara zona inti, zona penyangga, dan zona pelayanan, fisis, tanah, air dan iklim biotis. c. Pendekatan terhadap unsur-unsur pariwisata yang dapat

(15)

d. Pendekatan dasar rencana tapak yang berkaitan dengan peletakan fisik, sistem transportasi, sistem utilitas tipologis, pola penghijauan, pola disain/arsitektural, tata bangunan, topografi, iklim, desain lanskap.

e. Pendekatan struktur geo-klimatologis dan geo-morfologis setempat harus mendukung kesuburan dan keindahan seperti karakter, pegunungan/perbukitan yang indah, udara yang sejuk serta kondisi hidrologis yang memungkinkan, budi daya pertanian berkembang

VII. PENUTUP

Pertimbangan pemilihan lokasi desa Ngandagan untuk dijadikan kawasan desa wisata diantaranya adalah:

a. Kehidupan penduduk, sebagai layaknya mereka hidup dalam pedesaan, pola usaha berkaitan dengan komposisi ekonomi yang dapat berkembang dari berbagai potensi produksi. Lembaga masyarakat yang hidup dalam kerukunan dan gotong royong.

b. Keberhasilan desa Ngandagan dalam menjalankan program Landreform lokal yang berasal dari inisiatif internal desa itu sendiri, sehingga patut untuk dijadikan tempat percontohan bagi desa-desa yang lainnya.

(16)

Adapun struktur perencanaan dan pengembangan kawasan desa wisata diawali secara bottom up dengan mengkaji berbagai kekuatan masyarakat desa baik dari sisi budaya sosial, lingkungan, ekonomi, sumber daya yang menjadi landasan kehidupan masyarakat desa. Unsur pembangunan tersebut diatas berkembang menjadi potensi desa yang dapat menjadi bagian integral pembangunan pada tingkat desa dan wilayah kecamatan bahkan bagian integral dari pembangunan kabupaten.

Dengan perencanaan dan pengembangan kawasan desa wisata tidak dapat dipisahkan dari pembangunan wilayah kecamatan maupun pembangunan desa baik dari segi kebijakan strategi maupun program. Oleh karena desa wisata merupakan salah satu bentuk keterkaitan pembangunan antar sektor yang tercermin pada perencanaan dan pengembangan integrasi dalam bentuk prasarana, sarana dan pemberdayaan masyarakat. Untuk tercapainya optimalisasi unsur-unsur tersebut maka pendekatan zonasi dalam kawasan desa wisata merupakan sistem yang dapat memadukan kebutuhan fasilitas dan perlindungan atau konservasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James R. (et.al.). 2001. “A Land Use And Land Cover Classification System For Use With Remote Sensor Data.” Washington: United States Government Printing Office.

(17)

Nugroho, Aristiono., dkk. 2013. Resonansi Landreform Lokal: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karangaynyar. Yogyakarta: STPN Press.

Shohibuddin, Mohammad dan Luthfi, Ahmad Nashih. 2010. Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inovasi Sistem Tneurial Adat Di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Yogyakarta: STPN Press dan Sayoggyo Institute.

Sastrayudha, Gumelar S. 2010. Strategi Pengembangan dan Pengelolaan Resort and Liesure. Tidak diterbitkan.

Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung:Refika Aditama.

Referensi

Dokumen terkait

Bioaktivitas larva Artemia salina Leach dilihat dari kemampuan yaitu tinggi atau rendahnya konsentrasi yang digunakan oleh ekstrak daun kecapi untuk mematikan

Setelah dilakukan pengujian hasil peramalan melalui uji statistik dengan tabel distribusi F dapat disimpulkan bahwa metode yang tepat digunakan untuk peramalan

Pedoman perhitungan selengkapnya diatur dalam Surat Edaran (SE) Bank Indonesia No.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum

Maka, dari penelitian ini didapatkan bahwa risiko bahaya yang ditimbulkan pada area proses pembuatan kaca pengaman antara lain yaitu : risiko ekstrim terdapat pada area

oleh semua pemeran dunia pendidikan. Untuk mencapai tujuan ini banyak faktor yang mempengaruhi yang terdapat selama pelaksanaan proses pembelajaran, di antaranya adalah

Kandidiasis oral atau dikenal juga dengan thrush adalah infeksi oportunistik umum pada rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan yang berlebihan dari spesies Kandida..

Gambar Seri Terhadap Kemampuan Menulis Karangan Narasi Siswa Kelas V SD Negeri Landak 1 Kecamatan Tanahmerah Kabupaten Bangkalan Tahun Pelajaran 2016/2017 telah disetujui

Permasalahan tersebut antara lain: (a) kemampuan profesional guru dan kesulitan mengajar yang cukup tinggi; (b) semakin tingginya tamatan pendidikan yang