• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Drainase sebagai Upaya Pengendali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sistem Drainase sebagai Upaya Pengendali"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH SAINS DAN TEKNOLOGI

Kelompok 1

1. Eriana Yudaningrum

2. Mela Fitriyani

3. Zulkifli Pelana

Pendidikan Sejarah (A)

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Jakarta

(2)

Sistem Drainase Sebagai Upaya Pengendalian Banjir Jakarta

Abstrak

Paper ini akan menjelaskan perihal perkembangan sistem drainase sebagai salah satu sistem pengendali banjir di Jakarta. Lalu, dari perkembangan tersebut dapat dijelaskan berbagai dampak pada kehidupan sosial di masyarakat akibat kinerja sistem drainase dan berbagai penghambat kinerja sistem drainase tersebut serta bagaimana efektivitas kinerja sistem drainase dalam upaya pengendalian banjir di Jakarta sehingga berimbas pada kehidupan sosial masyarakat di Jakarta.

Pendahuluan

Banjir yang terjadi pada musim penghujan sudah menjadi peristiwa rutin di beberapa kota di Indonesia, terutama di Jakarta. Banjir di Jakarta sesungguhnya bukanlah masalah baru, karena banjir di Jakarta sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda, yakni pada tahun 16211.

Dari segi geografis, empat puluh persen atau sekitar 24.000 hektare dari seluruh wilayah DKI Jakarta adalah dataran yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut. Dataran yang rendah ini dialiri oleh tiga belas sungai yang bermuara di Laut Jawa. Saat ini Jakarta juga merupakan kota dengan jumlah penduduk tertinggi di Indonesia dan jumlah ini terus bertambah karena daya tarik kota ini sebagai pusat perekonomian Indonesia. Tingkat pertambahan penduduk yang tinggi ini menimbulkan tekanan yang semakin berat pada lingkungan hidup Jakarta. Perpaduan antara kondisi geografis berupa dataran yang rendah dan dialiri banyak sungai, serta kian rusaknya lingkungan hidup akibat tekanan pertumbuhan penduduk, menyebabkan Jakarta kian lama kian rentan terhadap ancaman bencana banjir.2

Salah satu upaya dalam pengendalian banjir di Jakarta adalah penggunaan sistem drainase. Secara umum, drainase didefinisikan sebagai serangkaian

1 Team Mirah Sakethi, Mengapa Jakarta Banjir?; Pengendalian Banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Jakarta: PT Mirah Sakethi, 2010), h. 3

(3)

bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Drainase juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas.3

Sistem drainase diperlukan di daerah perkotaan yang berkembang karena adanya interaksi antara aktivitas manusia dan siklus alami air.4 Interaksi ini

memiliki dua bentuk utama, yaitu air sebagai siklus alami untuk menyediakan pasokan air bagi kehidupan manusia dan sebagai sarana yang mengalirkan air hujan dari sistem drainase alami di sekitarnya. Kedua bentuk interaksi ini menimbulkan dua jenis air yang memerlukan drainase. Jenis pertama adalah air yang digunakan untuk mendukung kehidupan dan memenuhi kebutuhan industri. Lalu, air yang telah digunakan tersebut menghasilkan limbah rumah tangga yang terdiri dari air bekas mandi, cuci, kakus (MCK) dan limbah sisa pengolahan industri. Jenis kedua adalah aliran air hujan yang mengalir ke permukaan tanah yang berasal dari siklus hidrologi.

Perkembangan Sistem Drainase Sebagai Sistem Pengendali Banjir Jakarta

Indonesia pada umumnya dan terutama kota Jakarta sudah mengenal sistem drainase sejak zaman kedudukan VOC di Batavia dengan sistem yang disebut tanggul. Namun, dua tahun setelah pembangunan tanggul tersebut tepatnya tahun 1621 Batavia mengalami banjir besar.5 Banjir besar pun akhirnya dikenal akrab

oleh masyarakat Batavia, tercatat banjir besar setelahnya terjadi antara lain pada tahun 1654, 1872, 1909, dan 1918. Hal ini tentunya membuat pusing Pemerintah Pusat dan warga Batavia.

Beberapa kali Jakarta dilanda banjir besar selama masa VOC sampai masa pemerintahan kolonial Belanda (di antaranya pada tahun 1621, 1654, 1872, 1909,

3 Dr. Ir. Suripin, M. Eng, Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan (Yogyakarta: Andi, 2004), h. 7

4 David Butler & John W. Davis, Urban Drainage; Second Edition (London: Spon Press, 2004), h. 1

(4)

dan 1918) dan upaya pengendalian banjir masa itu terasa kurang efektif. Lalu, sebagai upaya pengendalian banjir yang lebih mutakhir dibangunlah Banjir Kanal Barat pada tahun 1922 yang dikenal efektif karena mampu mengatur air yang masuk ke Batavia, dan mampu menampung air dari empat sungai besar, seperti Sungai Ciliwung, Sungai Cideng, Sungai Krukut, dan Sungai Grogol.6 Banjir

Kanal Barat terbentang dari Manggarai ke arah barat melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah barat laut di daerah Karet Kubur. Selanjutnya ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di sebuah reservoir di muara, di daerah Pluit.7

Gagasan mengenai pembuatan Banjir Kanal Barat ini merupakan gagasan Herman van Breen dari Burgelijke Openbare Werken (BOW), cikal bakal Departemen Pekerjaan Umum, yang dirilis tahun 1920.8 Inti konsep ini adalah

pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta. Termasuk juga disarankan adalah penimbunan daerah-daerah rendah. Dengan adanya proyek Banjir Kanal Barat, daerah Menteng hingga Gambir yang menjadi pusat kota Batavia terhindar dari banjir.9

Dari pembangunan Banjir Kanal Barat tersebut membuktikan bahwa sistem drainase di Jakarta yang lebih mutakhir pada masa itu sudah mulai berkembang sebagai upaya pengendalian banjir. Tetapi, perkembangan drainase ternyata tidak berhenti hanya sampai pada tahap itu, sistem drainase di Jakarta juga terus berkembang seiring dengan jumlah penduduknya yang semakin banyak dan tata ulang kota semakin diperlukan. Sistem drainese sendiri juga bertujuan untuk meminimalisir masalah yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan lingkungan sekitar.10 Dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah maka aktivitas

manusia di Jakarta akan semakin besar dampaknya pada lingkungan Jakarta yang sangat sedikit memiliki daerah resapan air.

6ibid., h. 4

7 Wikipedia, “Kanal Banjir Jakarta” <http://id.wikipedia.org/wiki/Kanal_Banjir_Jakarta> [diakses 18 Juni 2013, pukul 9.23 WIB]

8ibid.

9 M. Rizal, “Kisah Van Breen dan Warisan Kanal Jakarta”

<http://news.detik.com/read/2013/01/03/083802/2131834/159/kisah-van-breen-dan-warisan-kanal-jakarta> [diakses 18 Juni 2013, pukul 9.93 WIB]

(5)

Pada perkembangan sistem drainase Jakarta selanjutnya, pemerintah DKI Jakarta merencanakan pembuatan Banjir Kanal Timur yang sebenarnya sudah direncanakan sejak zaman Pemerintah Kolonial Belanda tetapi tidak pernah terwujud. Pada tahun 1973, ada kajian oleh konsultan Belanda yang menyarankan Banjir Kanal Timur disambung dengan Banjir Kanal Barat, sehingga akan berbentuk seperti huruf U (sekarang Banjir Kanal Timur sudah berfungsi dan Banjir Kanal Barat menjadi lebih efektif dalam mengendalikan aliran air dari daerah hulu).

Banjir Kanal Timur mulai dibangun pada tahun 2003 dan selesai serta mulai dipergunakan pada bulan Januari tahun 2010. Dengan selesainya pembangunan Banjir Kanal Timur, banjir di kawasan timur dan utara kota Jakarta, yang mencapai sekitar seperempat luas kota, tidak akan separah tahun-tahun sebelumnya lagi.11

Banjir Kanal Timur dapat menampung aliran air Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Banjir Kanal Timur melintasi 13 kelurahan (2 kelurahan di Jakarta Utara dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,5 kilometer. Total biaya pembangunannya Rp 4,9 triliun, terdiri dari biaya pembebasan tanah Rp 2,4 triliun (diambil dari APBD DKI Jakarta) dan biaya konstruksi Rp 2,5 triliun dari dana APBN Departemen Pekerjaan Umum.12

Berbagai Dampak di Masyarakat dan Penghambat Kinerja Sistem Drainase Jakarta

Pertambahan jumlah penduduk dan semakin menyempitnya daerah resapan air akibat digunakan untuk keperluan pemukiman, perkantoran, tempat usaha, dan sebagainya merupakan tantangan sekaligus penghambat kinerja sistem drainase yang ada di Jakarta. Pembangunan drainase di Jakarta seharusnya juga diimbangi dengan pembangunan daerah resapan air yang tersisa. Namun selama ini yang kita

11 Team Mirah Sakethi, Mengapa Jakarta Banjir?; Pengendalian Banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Jakarta: PT Mirah Sakethi, 2010), h. 18

(6)

lihat, pemerintah lebih memperhatikan pembangunan drainase tanpa diiringi pengelolaan lingkungan sebagai media tersedianya sumber air bersih, lahan terbuka digantikan dengan rumah dan bangunan, yang tersisa pun ditutupi oleh jalanan aspal dan pelataran parkir sehingga tidak mampu menyerap air.13 Hal

inilah yang membuat banjir di Jakarta menjadi agenda wajib untuk dibenahi, mengingat kinerja dari sistem drainase yang tidak dioptimalkan dengan pembangunan daerah resapan air sekitarnya. Hal ini kemudian menjadi perbincangan dan dikaitkan dengan masalah ekonomi bahkan politik.

Lantas, apakah yang sesungguhnya menghambat kinerja dari sistem drainase yang sampai saat ini tidak juga mampu mencegah Jakarta agar tidak banjir kembali? Untuk menjawabnya, ada dua metode utama untuk mengendalikan banjir. Metode yang pertama adalah metode struktural yaitu metode pengendalian banjir dari stuktur hidrolik atau sistem drainasenya. Sedangkan metode yang kedua adalah metode nonstruktural yaitu pengendalian banjir nonteknis yang mendukung metode struktural. Termasuk metode ini adalah pengendalian perubahan fungsi lahan, hutan kota, penataan kawasan sesuai Rencana Tata Ruang Kota (RUTK).14 Artinya antara sistem drainase dan tata ruang di sekitarnya

haruslah saling melengkapi dan berkesinambungan. Namun, ternyata yang kita lihat mengenai tata ruang kota di Jakarta justru didasari pada kepentingan sebagian elemen masyarakat. Dengan demikian, sistem drainase dan sistem tata ruang kota yang tidak saling melengkapi dan tidak berkesinambungan mengakibatkan ketidakmampuan mencegah Jakarta agar tidak banjir kembali.

Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) sering tidak dapat dilaksanakan secara efisien dan konsisten karena golongan masyarakat yang mempunyai akses ke pengambil keputusan berusaha sedemikian rupa untuk memanfaatkan ruang sesuai kepentingannya.15 Hal lain yang lebih memperlihatkan campur tangan

politik dalam pembangunan dan tata ruang kota di Jakarta adalah mengenai izin. Para pengusaha swasta (yang notabene bermodal) nyatanya lebih memiliki izin

13 Team Mirah Sakethi, Mengapa Jakarta Banjir?; Pengendalian Banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Jakarta: PT Mirah Sakethi, 2010), h. 6

14 Achmad Nurmandi, “Dimensi Politis Banjir di Jakarta,” Republika, 23 Oktober 1996, h. 1

(7)

mendirikan bangunan, apartement, dan sebagainya tentunya jarang memerhatikan sistem drainase dan tata ruang di sekitarnya. Sebuah lahan terbuka yang seharusnya menjadi hutan lindung atau daerah resapan air ternyata berubah menjadi apartement, padang golf atau sebagainya. Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan besar, bagaimana mungkin izin bagi para pengusaha untuk mendirikan atau membangun bisa dengan mudah didapatkan, kalau sudah begini pihak mana yang bisa kita salahkan.

Berbagai permasalahan tersebut kemudian dikaitkan dengan persoalan kerjasama antara pemerintah daerah dengan para pengusaha. Banyak pihak yakin bahwa izin prinsip, izin rencana guna lahan dan izin mendirikan bangunan telah menjadi semacam jaringan kolusi antara pengusaha dan pejabat atau pemerintah daerah.16 Ini berarti ada kaitannya dengan faktor ekonomi, bagaimana pun Jakarta

adalah wilayah megapolitan, harga lahan yang tersedia di Jakarta dengan cepatnya meninggi. Karena semakin meningginya harga tanah akibat meningkatnya minat akan kepemilikan tanah di Jakarta, para pengusaha pun tak mau ketinggalan ambil alih lahan tersebut, dan mengenai izin bukan tidak mungkin faktor ekonomi mampu membuat pejabat atau pemerintah daerah ‘luluh’.

Penjelasan para arsitek dari pihak pengusaha mengenai pembangunan daerah di bidang ekonomi membuat para pejabat dengan mudah memberikan izin. Hal inilah yang mungkin menjadi kesalahan para pejabat daerah kita, sebelum menyetujui dan memberikan izin pada para pengusaha (yang cenderung berorientasi pada profit). Pejabat daerah mempunyai hak untuk menanyakan apa pengaruhnya pada sistem drainase Jakarta dan bagaimana upaya mereka untuk tetap menyediakan lahan terbuka sebagai daerah resapan air.17 Karena pada

dasarnya Jakarta tidak hanya memerlukan pengembangan di sektor perekonomian saja, tetapi juga pembangunan tata ruang kotanya.

Berdasarkan data statistik, rata-rata kepadatan penduduk Jakarta pada tahun 2009 adalah 13.000 orang per kilometer persegi. Sementara itu, kepadatan penduduk di Jakarta Pusat jauh lebih tinggi dan mencapai 19.600 orang per

16ibid., h. 3

(8)

kilometer persegi.18 Ini artinya pertumbuhan masyarakat semakin cepat mengalahi

perkembangan tata ruang kota yang semakin dibutuhkan.

Akibat pengembangan kota hanya pada sektor perekonomian saja, tetapi pembangunan tata ruang kotanya kurang diperhatikan, berimbaslah dengan makin menyempitnya bagian hulu beberapa sungai besar di Jakarta, salah satunya adalah sungai Ciliwung.

Semakin tingginya harga lahan di Jakarta, biaya hidup yang semakin mahal, dan semakin banyaknya populasi masyarakat Jakarta akibat tingginya angka urbanisasi mengakibatkan kebutuhan akan tempat tinggal pun meningkat. Hal itu memicu munculnya pemukiman-pemukiman ilegal di sepanjang saluran air, misalnya di sepanjang sungai Ciliwung. Dengan banyaknya pemukiman liar tersebut, mengakibatkan penyempitan lebar saluran air dan menumpuknya sampah yang dikarenakan limbah rumah tangga yang mengakibatkan sedimentasi pada saluran air. Dengan demikian, kinerja sistem drainase yang seharusnya mengalirkan dan mengendalikan air dapat menurun kualitasnya.

Banyak penduduk yang memilih mendirikan rumah ilegal didasari pula anggapan mereka kalau tersedianya air di sungai membuat kebutuhan MCK terpenuhi, tidak menjadi masalah walaupun dengan konsekuensi di kala hujan turun air sungai bisa saja meluap dan menghanyutkan rumah mereka.

Tidak berhenti sampai di situ, penghambat kinerja sistem drainase nyatanya juga terkait dengan kebiasaan dan perilaku masyarakat Jakarta yang masih memiliki kegemaran membuang sampah sembarangan. Sampah-sampah ini yang nantinya bisa menyumbat dan mematikan fungsi sistem drainase di Jakarta, pemukiman-pemukiman ilegal dan kumuh di sepanjang hulu sungai juga nyatanya belum bisa tertib untuk tidak membuang sampah ke sungai yang menjadi jalur drainase di Jakarta.

Dalam upaya pemerintah DKI Jakarta untuk pembangunan proyek sistem drainase dan merevitalisasi (mengembalikan) fungsi sistem drainase yang sudah ada terhalang masalah pembebasan lahan sehingga menjadi pekerjaan yang sulit

18 Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta, dikutip langsung oleh Team Mirah Sakethi, Mengapa Jakarta Banjir?; Pengendalian Banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

(9)

dipecahkan oleh pemerintah. Hal itu disebabkan karena adanya pertentangan kehendak antara pemerintah dan warga penghuni pemukiman-pemukiman tersebut terkait biaya ganti rugi tanah warga yang terkena proyek. Hal ini salah satunya dapat dibuktikan dalam proyek pembuatan Cengkareng Drain yang direncanakan pada tahun 1979 oleh Menteri Pekerjaan Umum Purnomosidi Hajisarosa19.

Selain itu, keterbatasan dana, baik dari pemda (APBD) maupun dari pemerintah pusat (APBN) dan ketidaksiapan sistem manajemen pemerintah20

menjadi faktor lain yang penghambat kinerja sistem drainase di Jakarta.

Efektivitas Kinerja Sistem Drainase dalam Upaya Pengendalian Banjir Jakarta

Secara umum, sistem drainase kota yang efektif kinerja dan fungsinya akan mendatangkan manfaat yang paling berharga dalam kehidupan masyarakat, yaitu pemeliharaan kesehatan masyarakat. Tujuan khusus ini sering diabaikan dalam praktek modern dan belum memiliki andil penting, khususnya dalam perlindungan terhadap penyebaran penyakit. Drainase perkotaan memiliki sejumlah peran utama dalam mempertahankan kesehatan dan keselamatan masyarakat. Kotoran manusia adalah penyebab utama dalam penyebaran berbagai penyakit menular yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. Drainase perkotaan memiliki peran langsung dalam menghilangkan kotoran yang ada di sekitar tempat tinggal.21

Sistem drainase yang efektif juga sangat penting dalam menghindari munculnya genangan air setelah turun hujan. Di mana genangan air tersebut dapat mengurangi habitat nyamuk sehingga mengisolasi penyakit malaria dan berbagai penyakit lainnya.22 Sistem drainase yang efektif pun harus sejalan dengan sistem

sanitasi yang efektif pula, hal itu berguna dalam mencegah munculnya wabah penyakit yang diakibatkan oleh air.

19 Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa

(Jakarta: Kompas, 2010), h. 307

20 Dr. Ir. Nelwan Kusnomo Dipl HE, “Keterbatasan Dana dan Ketidakdisiplinan”

<http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/05/13/224531/10/Keterbatasan-Dana-dan-Ketidakdisiplinan> [diakses 18 Juni 2013, pukul 11.34 WIB]

21 David Butler & John W. Davis, Urban Drainage; Second Edition (London: Spon Press, 2004), h. 5

(10)

Terkait efektivitas kinerja sistem drainase di Jakarta, dapat kita kaji dalam seberapa berhasilnya sistem drainase yang dikembangkan pemerintah DKI Jakarta dalam mengendalikan bahkan mencegah banjir di berbagai wilayah di Jakarta.

Jika diukur dari seberapa berhasilnya Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur dalam mengendalikan bahkan mencegah banjir di berbagai wilayah di Jakarta, maka dapat dikatakan Banjir Kanal Barat cukup efektif dalam mengendalikan banjir Jakarta, terutama melindungi daerah Jakarta sebelah barat hingga tahun 1970-an. Namun, efektivitas Banjir Kanal Barat tidak akan berlangsung lama jika kesadaran warga Jakarta dalam menjaga kebersihan aliran drainase tidak berjalan seiring perkembangan zaman.

Selain pemeliharaan efektivitas kinerja Banjir Kanal Barat, pemeliharaan efektivitas kinerja Banjir Kanal Timur yang belum lama dibangun pun harus dilakukan. Pemeliharaan tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah DKI Jakarta, tetapi seluruh elemen masyarakat berkewajiban dalam memelihara kelangsungan efektivitas kinerjanya.

Kesimpulan

(11)

Daftar Pustaka

Buku

Butler, David & Davis, John W. 2004. Urban Drainage; Second Edition. London: Spon Press

Gunawan, Restu. 2010. Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. Jakarta: Kompas

Sakethi, Mirah. 2010. Mengapa Jakarta Banjir?; Pengendalian Banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: PT Mirah Sakethi

Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Yogyakarta: Andi

Sumber Lain

Kusnomo, Nelwan “Keterbatasan Dana dan Ketidakdisiplinan”

<http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/05/13/224531/1 0/Keterbatasan-Dana-dan-Ketidakdisiplinan> [diakses 18 Juni 2013, pukul 11.34 WIB]

Nurmandi, Achmad “Dimensi Politis Banjir di Jakarta” hlm. 1. Jakarta: Republika, 1996

Rizal, M. “Kisah Van Breen dan Warisan Kanal Jakarta”

<http://news.detik.com/read/2013/01/03/083802/2131834/159/kisah-van-breen-dan-warisan-kanal-jakarta> [diakses 18 Juni 2013, pukul 9.93 WIB] Wikipedia, “Kanal Banjir Jakarta”

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang sama juga boleh dilihat dalam isu tempoh maksimum kehamilan dan darah haid bagi wan ita mengandung, kebanyakan mereka hanya menggunakan pengalaman individu-individu

Pseudoalbaillella longicornis Ishiga &amp; Imoto bersama-sama Hegleria mammilla (Sheng &amp; Wang), jujukan rijang yang dikaji sesuai dimasukkan ke dalam Zon

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pengaruh diet bebas gluten dan kasein terhadap perkembangan anak autis di SLB Khusus Autistik Fajar Nugraha

Dari Gambar 8 dan 9 terlihat bahwa uap superheat yang tidak dialirkan temperaturnya akan lebih tinggi di bagian ruang antar Sirip (T2) di- bandingkan dengan yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 63% masyarakat yang ada di Desa Luhu memiliki pengetahuan yang cukup dan 37% lainnya memiliki pengetahuan yang baik, yang

Sedangkan untuk dapat dipergunakan selanjutnya seperti untuk pembawa pupuk urea, untuk imbuh makanan ternak (unggas), untuk pengkondisian air tambak, maka zeolit yang

Setelah Islam sudah sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Indikator atau penanda yang saya lihat disini adalah

Beton mutu tinggi berserat tembaga metode dreux yakni beton yang terdiri dari agregat kasar (kerikil), agregat halus (pasir), semen portland, air ditambah dengan