• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah hadis berdasarkan kualitas dan k

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah hadis berdasarkan kualitas dan k"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam skema dapat dipahami, bahwa hadits dilihat dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud, hadits maqbul terbagi menjadi dua mutawatir dan ahad yang shahih dan hasan baik lidzatihi maupun lighayrihi sedang hadits mardud ada satu yaitu hadits dha’if.

Hadits mutawatir memberikan pengertian yakin bi al-qath’i bahwa Nabi Muhammad saw., bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar (persetujuannya) di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk berbuat dusta kepada Rasulullah Saw., karena kebenaran sumber-sumbernya telah meyakinkan, maka hadits mutawatir ini harus diterima dan diamalkan tanpa perlu lagi mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sanad, maupun matannya.

Berbeda dengan hadits ahad, yang hanya memberikan pengertian (prasangka yang kuat kebenarannya) mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun terhadap matannya, sehingga status ahad tersebut menjadi jelas, apakah bisa diterima sebagai hujjah atau ditolak.

B. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas hadis berdasarkan rawi nya 2. Untuk mengetahui lebih rinci lagi tentang pembagian hadits.

(2)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits

a. Pengertian Hadits Secara Etimologis :

Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.

b. Pengertian Hadits Secara Terminologi

Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.Pengertian hadis menurut Ahli Hadis, ialah:“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”

Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan. Ada juga yang memberikan pengertian lain : “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”. sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.

Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.

B. Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Dan Kuantitas 1. Pembagian hadits berdasarkan kuantitas

Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.

(3)

 Ta’rif Hadits Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.

Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”

Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang periwayatkan hadits itu. Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian ituadalah secara mutawatir.

 Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

(4)

a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.

c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang-orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).

d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu Mutanatsirah fi Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

c.Faedah Hadits Mutawatir

(5)

mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).

A. Hadits Shahih

1. Pengertian hadits shahih

Menurut bahasa hadits shahih adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit. sedangkan menurut istilah yang didefenisikan oleh ulama al-mutaakhirin hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan berilat.

Kesimpulannya hadits shahih adalah hadits yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya selamat dari kejanggalan dan ‘illat.

2. Syarat-syarat hadits shahih a. Sanadnya bersambung

Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung seperti itu sampai akhir sanad dari hadis itu. Jadi dapat dikatakan bahwa rengkaian para perawi hadis shahih sejak perawi terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadis langsung dari nabi Muhammad saw bersambung dari periwatannya. Persambungan sanad dalam periwayatan ada 2 macam lambang yang digunakan oleh para periwayat:

1) Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Seperti:

تعمس = aku mendengar

| ينثدح | |

انربخأ انث دح ينربخأ = memberitakan kepadaku/kami

انلف تيأر = aku melihat si Fulan, dan lain-lain

Jika dalam periwayatan sanad hadits menggunakan kalimat tersebut atau sesamanya maka berarti sanad-nya muttashil (bersambung)

2) Pertemuan secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadits dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:

| |

(6)

Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut, sehingga dapat diketahui benar apakah ia bertemu dengan syaikhnya atau tidak.

Untuk mengetahui persambungan atau tidaknya suatu sanad dapat dicek dan diperiksa melalui dua teknik:

1) Mengetahui orang yang diterima periwayatannya telah wafat sebelum atau sesudah perawi berusia dewasa. Untuk mengetahui hal ini harus dibaca terlebih dahulu biografi para perawi hadits dalam buku-buku Rijial Al-hadits atau Tawarikh Ar-Ruwah, terutama dari segi kelahiran dan kewafatannya.

2) Keterangan seorang perawi atau imam hadits bahwa seorang perawi bertemu atu tidak bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat dengan orang yang menyampaikan periwayatan atau tidak melihat. Keterangan seorang perawi ini dijadikan saksi kuat yang memperjelas keberadaan sanad.

b. Perawinya adil

Kata adil menurut bahasa adalah lurus, tidak berat sebelah, tidak zhalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur. Sedangkan menurut istilah adalah orang yang konsisten (istiqomah) dalm beragama, baik akhlaknya, tidak fasik, dan tidak melakukan muru’ah.

Syarat-syaratnya adalah: 1) Islam

2) Baligh 3) Mukallaf

4) Melaksanakan ketentuan agama c. Perawinya dhabit

Kata dhabit menurut bahasa yyang kokoh, yang kuat. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap segala sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kepada orang lain. Dhabit terbagi dua macam yaitu dhabit Aa-sadr dan dhabit fi alkitab.

d. Tidak Syadz

Menurut Syafi’i Syadz adalah suatu hadits yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lainyang lebih kuat atau lebih tsiqah.

e. Tidak ada ‘illat

(7)

samar-samar sehingga dapat merusak keabsahan suatu hadits padahal lahirnya Musaddad, memberitakan kepada kami Mu’tamir ia berkata: Aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi Saw. berdoa: “Ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada Engkau dari sifat lemah, lelah, penakut, dan pikun. Aku mohon perlindungan kepada Engkau dari fitnah hidup dan mati dan aku mohon perlindnungan kepada Engkau dari azab kubur,”

Hadits di atas dinilai berkualitas shahih karena telah memenuhi 5 kriteria di atas, yaitu sebagai berikut:

a. Sanad-nya bersambung dari awal sampai akhir. Anas seorang sahabat yang mendengar hadits ini dari Nabi langsung. Sulaiman bin Tharkhan bapaknya Mu’tamir menegaskan dengan kata as-sama’ (mendengar) dari Anas. Demikian juga menegaskan dengan as-sama’ dari ayahnya. Mussadad syaikhnya Al-Bukhari juga menegaskan dengan kata as-sama’ dari Mu’tamir, sedang Al-Bukhari menegaskan pula dengan as-sama’ dari syaikhnya.

b. Semua para perawi dalam sanad hadits di atas menurut ulama al-jarhwa at-ta’dil telah memenuhi persyaratan adil dan dhabit. Anas bin Malik seorang sahabat semua semua sahabat bersifat adil. Sulaiman bin Tharkhan bapaknya Mu’tamir bersifat terpercaya dan ahli ibadah. Musaddad bin Musarhad memiliki titel terpercaya dan penghafal. Sedang Al-Bukhari Muhammad bin Isma’il, pemilik kita Ash-Shahih terkenal memiliki kecerdasan hafalan yang luar biasa dan menjadi Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits.

c. Hadits di atas tidak syadz, karena tidak bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah.

d. Dan tidak terdapat ‘illah (ghayr mu’allal). 3. Macam-macam hadits shahih

a. Shahih lidzati (shahih dengan sendirinya) ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan shahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan perawi.

(8)

4. Kehujahan hadits shahih

Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadits dan sebagian ulama ushul dan fiqih. Hadits shahih lighayrih lebih tinggi derajatnya dari pada Hasan lidzati, tetapi lebih rendah dari pada shahih lidzati. Sekalipun demikian ketiganya dapat dijadikan hujah.

5. Tingkatan Shahih

Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, dari tingkat tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah:

a. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim; b. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja;

c. Diriwayatkan oleh Muslim saja;

d. Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim; e. Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja;

f. Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja;

g. Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

B. Hadits Hasan

1. Pengertian hadits hasan

Menurut bahasa kata hasan diambil kata al-husnu bermakna al-jamal yang artinya keindahan. Sedangkan menurut istilah ialah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil, kurang dhabit, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ada ‘ilat.

2. Syarat-syarat hadits hasan a. Sanadnya bersambung; b. Perawinya adil;

c. Perawinya dhabit tetapi ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an hadits shahih; d. Tidak terdapat kejanggalan (syadz);

e. Tidak ada ‘ilat. Contoh hadits hasan:

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda :

كلد زوجي نم محلقأو نيعبسلا يلإ نيعبسلا يلإ نيتسلا نيب ام يتمأ ر امعأ

(9)

Para perawi hadits di atas tsiqah semua kecuali Muhammad bin Amr dia adalah shaduq = sangat benar. Oleh para ulama hadits nilai ta’dil sahduq tidak mencapai dhabit tamm sekalipun telah mencapai keadilan, ke-dhabit-annya kurang sedikit jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an shahih seperti tsiqatun (terpercaya) dan sesamanya.

3. Macam-macam hadits hasan

a. Hasan lidzatihi adalah hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan

b. Hasan lighayrihi adalah hadits hasan yang tidak memenuhi hadits hasan secara sempurna.

4. Kehujahan hadits hasan

Hadits hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya di bawah hadits shahih. Semua fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkannya ke dalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu hibban, dan Ibnu Khuzaimah.

C. Hadits Dhaif 1. Pengertian

Menurut bahasa dhaif artinya lemah lawan dari kata kuat. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.

Contoh hadits dhaif:

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda:

دمحم لع لزنأ امب رفك دقف انه اك وأ ربد نم ةأرما وأ اضئ اح ىتأ نم

“Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Dalam sanad hadits di atas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahzhib memberikan komentar : نيل هيف = padanya lemah.

2. Macam-macam hadits dhaif

a. Dhaif dari segi bersambung sanadnya, yaitu:

1) Hadits mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabiin.

(10)

3) Hadits mu’dal ialah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.

b. Dhaif dari segi sandarannya

1) Hadits mauquf ialah hadits yang disandarkan pada sahabat

2) Hadist maqtu’ ialah hadits yang diriwayatkan dari tabiin dan disandarkan kepadanya baik perkataan maupun perbuatannya.

c. Dhaif dari segi-segi lainnya

1) Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dhaif) yang bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.

2) Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya) atau nampak kefasikannya, baik pada perbuatan atau pada perkataannya atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu.

3) Hadits syadz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul akan tetapi bertentangan matannya dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.

4) Hadits maqlub ialah hadits yang lafalnya tertukar pada salah seseorang dari sanadnya atau nama seseorang sanadnya, kemudian mendahulukan penyebutannya yang seharusnya disebut belakangan atau membelakangkan penyebutan yang seharusnya didahulukan atau dengan sesuatu pada tempat yang lain.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadits shahih, hasan dan dhaif adalah pembagian dari hadits ahad. Hadits shahih adalah hadits yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya selamat dari kejanggalan dan ‘illat. Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil, kurang dhabit, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ada ‘ilat. Dan hadits dhaif adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.

B. Kritik dan saran

Kami sebagai penulis mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang tertulis dalam makalah kami ini, dan kami sangat berharap atas kritik dan saran dari para pembaca sekalian.

DAFTAR PUSTAKA

- As-Shalih. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Pustaka Firdaus: Jakarta

(11)

- Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Pustaka Setia: Bandung

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian tidak dapat dikategorikan dalam hadis Mutawatir segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pan-caindera, juga segala berita yang diriwayatkan oleh

Ialah Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap peringkat tetapi tidak sampai ke.

 Secara istilah hadits ahad masyhur adalah hadits yang diriwayatkan lebih dari tiga perawi tetapi tidak mencapai ukuran jumlah rawi hadits mutawatir.  Hadits ghair masyhur

Al-Hafiz Ibn Hajar mengatakan bahawa hadith sahih ialah hadith yang diriwayatkan oleh orang-orang yang adil, kuat ingatannya, bersambung-sambung terus sanadnya kepada Nabi

Hadits: Orang yang beruntung yang hari ininya lebih baik dari kemarin, orang yang merugi yang hari ininya sama saja kualitasnya dengan hari kemarin, dan orang yang celaka yang

Dengan demikian tidak dapat dikategorikan dalam hadis Mutawatir segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pan-caindera, juga segala berita yang diriwayatkan oleh

“Bacalah AlQuran dengan cara dan suara orang Arab yang fasih”. Thabrani) Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Semoga Allah meridhainya (istri Nabi

dijanjikan walaupun orang yang menyampaikan hadits tersebut merupakan seorang pembohong.” Hujjah lain yang dikemukakan adalah bahwa hadits Da’if lebih kuat daripada pendapat ulama