• Tidak ada hasil yang ditemukan

IKHTISAR PERKEMBANGAN SASTRA JAWA PERIOD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IKHTISAR PERKEMBANGAN SASTRA JAWA PERIOD"

Copied!
413
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

© copyrights reserved

2001, Kalika, Yogyakarta Sanksi Pelanggaran Pasal 44:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta

Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, di-pidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4)

IKHTISAR PERKEMBANGAN

SASTRA JAWA MODERN

PERIODE KEMERDEKAAN

Tim Peneliti

BALAI BAHASA YOGYAKARTA

Penanggung Jawab

Kepala Balai Bahasa Yogyakarta

Koordinator

Sri Widati

Anggota

Slamet Riyadi

Tirto Suwondo

Dhanu Priyo Prabowa Pardi

Herry Mardianto Imam Budi Utomo

Pembantu Teknis

Agung Tamtama

Kata Pengantar

Sapardi Djoko Damono

Kalika

Press

Jalan Wachid Hasjim No. 99 Yogyakarta 55262 e-mail:kalikasih@yahoo.com

BEKERJA SAMA DENGAN

(5)

IKHTISAR

PERKEMBANGAN SASTRA JAWA MODERN

PERIODE KEMERDEKAAN

Tim Peneliti

BALAI BAHASA YOGYAKARTA

Penanggung Jawab

Kepala Balai Bahasa Yogyakarta Koordinator

Sri Widati Anggota

Slamet Riyadi Tirto Suwondo Dhanu Priyo Prabowa Pardi

Imam Budi Utomo Herry Mardianto Pembantu Teknis

Agung Tamtama Kata Pengantar

Sapardi Djoko Damono

Editor

Herry Mardianto Dyah Tavipa Pracetak

Wiwib, Anis, Agus Sinandar

Desain Sampul Anis

Cetakan Pertama, Juli 2001 ISBN: 979 – 9420 – 07 – 5

Penerbit

Kalika

Press

(6)

Daftar Isi

Daftar Isi vi

PengantarSapardi Djoko Damono vii Sekapur Sirih xi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Pengantar 1

1.2 Pokok-Pokok Pikiran 17 1.3 Sistematika 18

BAB II DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL-BUDAYA 21

BAB III LINGKUNGAN PENDUKUNG SASTRA

JAWA MODERN PERIODE KEMERDEKAAN 43

3.1 Pengarang dan Kepengarangan 43

3.1.1 Pengarang dan Kepengarangan Masa Orde Lama 48 3.1.2 Pengarang dan Kepengarangan Masa Orde Baru 63 3.2 Pengayom dan Kepengayoman 91

3.2.1 Lembaga-Lembaga Pemerintah 92 3.2.2 Lembaga-Lembaga Swasta 98

3.3 Penerbit dan Penerbitan 103 3.4 Pembaca 147

3.5 Kritik 198

3.5.1 Kritik Sastra pada Masa Orde Lama 202 3.5.2 Kritik Sastra pada Masa Orde Baru 216

BAB IV KARYA-KARYA SASTRA JAWA MODERN 246

4.1 Jenis Karya 246 4.1.1 Prosa 247 4.1.2 Puisi 268 4.1.3 Drama 290

4.1.4 Cerita Bergambar 295 4.2 Beberapa Karya Penting 298 4.3 Perkembangan Bahasa 315

4.4 Perkembangan Tema 347

BAB V PENUTUP 386

(7)

Pengantar

---Sapardi Djoko Damono

Karya sastra adalah benda budaya; ia diciptakan oleh manusia. Konon manusia adalah makhluk sosial, yang perkem-bangan jiwanya tidak ditentukan sejak lahir tetapi dibentuk oleh lingkungannya. Lingkungan manusia itu, yang disebut yaan, sulit ditentukan batasnya. Manusia adalah produk kebuda-yaan sekaligus pencipta kebudakebuda-yaan sebab setiap sosok manusia merupakan hasil pengaruh sosok lain yang sekaligus juga mem-pengaruhinya. Dalam kaitannya dengan struktur atau hubungan-hubungan antara kebudayaan dan perkembangan masyarakat ada dua pandangan yang perlu disebutkan. Pandangan pertama me-nyatakan bahwa proses perubahan budaya itu terjadi secara alamiah sesuai dengan cara berpikir orang-orang yang membentuk masyarakat itu. Pandangan ini tidak memberikan tekanan pada hubungan-hubungan antara proses tersebut dengan faktor-faktor lingkungan manusia. Pandangan kedua menyatakan bahwa per-kembangan kultural masyarakat tergantung sama sekali pada kondisi material hidupnya, yakni sumber energi, teknologi, dan sistem produksi yang ada dalam kelompok-kelompok masyarakat itu. Jelas bahwa menurut pandangan kedua ini kebudayaan dan berbagai faktor yang disebut itu merupakan suatu struktur. Pan-dangan kedua itu juga menekankan pentingnya keadaan geografis dan iklim ke dalam struktur tersebut, di samping kepercayaan dan ideologi dalam artian yang sempit.

(8)

meng-tahuan tentang latar belakang kebudayaan yang telah mengha-silkannya. Tentu saja karya sastra bisa saja didekati sebagai suatu benda budaya yang otonom, yang penghayatan dan pema-hamannya tergantung sama sekali pada dirinya sendiri dan penga-laman serta pengetahuan pembaca. Dengan demikian jelas bahwa kedudukan sastra dalam masyarakat memang rumit; meskipun konon ia bisa saja dihayati lepas dari lingkungannya, tetapi toh pembaca tidak bisa melepaskan dirinya dari kebudayaan yang telah menghasilkannya. Sastra Jawa modern adalah hasil kebu-dayaan orang Jawa, namun bisa saja ia dihayati dan dipahami oleh siapa pun yang non-Jawa – tidak peduli apakah ia memiliki

pengetahuan tentang kebudayaan yang telah menghasilkan ba-caannya itu. Apa pun yang terjadi, pengarang dan pembaca karya sastraseperti halnya karya sastra itu sendirimerupakan produk kebudayaan, yang mungkin saja berbeda-beda.

(9)

pemikiran estetik orang Jawa. Berdasarkan pendekatan inilah rupanya buku ini disiapkan untuk kita.

Sudah dikatakan sebelumnya bahwa lingkungan manusia itu sulit ditentukan batasnya, dan salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh penyusun buku ini adalah menentukan batas-batas ituapa saja yang dianggap penting dalam penciptaan karya sastra. Yang paling dekat dengan penciptaan karya sastra tentu saja adalah pengarang, penerbit, pembaca (yang menyangkut juga pengayom), dan tanggapan atau kritik atasnya. Lingkungan itulah yang dicoba digambarkan dan diuraikan dalam buku ini. Hasilnya adalah karaangan yang memberikan gambaraan serta uraian menyeluruh mengenai lingkungan sastra Jawa modern di samping tentang benda budaya itu sendiri. Dalam melakukan tugasnya, penyusun buku ini pantas telah melakukan tugasnya dengan baik.

Dengan membaca buku ini kita bisa mengetahui fungsi dan kedudukan sastra Jawa modern dalam masyarakat, di samping hubungan-hubungannya yang rumit dengan berbagai faktor lain yang mempengaruhinya. Pandangan masyarakat tentang sastra-wan diulas dengan jelas, fungsi dan kedudukan sastrasastra-wan dalam perkembangan masyarakat digambarkan dengan baik, berbagai organisasi sosial, misalnya sistem reproduksi sastra, yang mem-bantu penulisan dan penerbitannya juga diuraikan dengan runtut. Buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia, oleh sebab itu pem-bacanya tentu saja juga menjangkau khalayak non-Jawa. Kha-layak semacam itu perlu mendapat gambaran dan uraian mengenai kebudayaan yang telah menghasilkan karya sastra Jawa modern. Siapa tahu kemudian ada yang berminat mempelajari bahasa dan sastra Jawa, atau membaca terjemahan sastra Jawa dalam bahasa Indonesia. Buku ini pasti akan membantu mereka.

(10)

dan uraian yang ada untuk kemudian membayangkan suatu kebu-dayaan Jawa modern. Kebukebu-dayaan itulah yang telah menghasilkan sastra Jawa modern, benda budaya yang sekaligus juga ikut mengembangkan kebudayaan Jawa modern.

(11)

Sekapur Sirih

(12)

yang dicatat di dalamnya selama harus berkomunikasi dengan faktor-faktor dari luar dirinya yang tidak dapat dielakkan.

Seperti halnya buku I, buku II ini adalah hasil kerja keras yang tanpa pamrih dari sebuah tim peneliti sastra Balai Bahasa Yogyakarta, yang terdiri atas Sri Widati (koordinator), Slamet Riyadi, Tirto Suwondo, Dhanu Priyo Prabowa, Imam Budi Utomo, Pardi, dan Herry Mardianto (anggota), dan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (konsultan). Untuk itu, tidak ada kata lain yang pantas saya ucapkan selain terima kasih yang tulus kepada seluruh anggota tim. Khusus untuk Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, saya beserta seluruh anggota tim juga hanya dapat mengucapkan terima kasih yang amat dalam atas kesediaannya membimbing tim ini, membaca ulang naskah, dan memberikan kata pengantar. Akhirnya, yang tidak dapat saya lupakan adalah ucapan terima kasih kepada Drs. Suwadji, Kepala Balai Bahasa Yogyakarta, atas izin dan dorongannya kepada tim sehingga buku ini dapat terbit.

Semoga, harapan saya beserta seluruh anggota tim, agar buku ini dapat dibaca oleh seluruh pencinta sastra Jawa, dan selanjutnya berdialog (membaca cermat) secara langsung dengan setiap unsur yang dipaparkan di dalam buku ini, terutama mengenai pengarang, karya-karya, dan sebagainyanya. Dari dialog itu niscaya akan terlihat secara lebih transparan perjalanan sejarah sastra Jawa modern periode kemerdekaan (1945--1997).

Saya dan seluruh anggota tim sadar sepenuhnya bahwa buku ini masih banyak kekurangannya. Terlebih lagi, buku ini hanyalah sebuah "ikhtisar", sehingga dapat dipastikan akan terbayang sesuatu yang singkat dan kurang memuaskan. Oleh karena itu, kami berharap pembaca dapat memberikan masukan dan koreksi sehingga terbitan berikutnya akan lebih sempurna. Terima kasih.

Koordinator,

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengantar

Dalam buku I (Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan) telah dipaparkan sejarah perjalanan sastra Jawa modern periode prakemerdekaan yang mencakupi masa peralihan (transisi) hingga tahun 1945. Periode tersebut amat penting karena di dalamnya tergambar suatu dinamika sastra Jawa modern dan lingkungannya, terutama ketika sastra Jawa mengubah konsep estetika sastra tradisional menjadi konsep estetika sastra baru yang meng-gunakan perangkat modern (Barat). Buku I secara implisit menggambarkan perkembangan elemen-elemen internal dan eksternal (elemen mikro dan makro-sastra) yang terjadi di sepanjang dua masa pemerintahan kolonial (Belanda dan Jepang). Pada periode kemerdekaan pun --seperti yang digarap di dalam buku II ini-- telah terjadi pergantian peme-rintahan yang melatari kehidupan sastra Jawa modern karena sejak tahun 1945 hingga tahun 1997 (sebelum masa Refor-masi) berlangsung dua masa pemerintahan (Orde Lama dan Orde Baru) yang tidak dapat dipisahkan dari dinamika sastra Jawa modern.

(14)

masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagian dari elemen-elemen peristiwa sosial dan politik tersebut menempel atau tersirat di dalam sejumlah karya sastra yang dihasilkan, atau dapat juga memotivasi munculnya perge-seran dan inovasi dalam unsur internal karya-karya sastra yang dihasilkan. Jenis-jenis utama sastra Jawa (yang telah ada pada periode prakemerdekaan) yang berkembang men-jadi ragam-ragam baru yang lebih merenik pada periode kemerdekaan ini tidak dapat dilepaskan juga dari dinamika sosial dan politik waktu itu.1

Refleksi dan dampak perubahan sosial-kultural di dalam sejumlah karya sastra Jawa modern periode kemer-dekaan sesungguhnya merupakan suatu gambaran mata rantai

1

(15)

dari periode sebelumnya (prakemerdekaan). Hal itu sekaligus menggambarkan bahwa periode kemerdekaan tidak datang dari situasi kekosongan budaya. Bukti literer lainnya dapat pula dilihat dari misi yang dibawa oleh para pengarang Jawa periode kemerdekaan, misalnya penolakan unsur budaya priayi, emansipasi, dan pergeseran etos kerja dalam masya-rakat merupakan tema-tema yang pernah (telah) digarap oleh para pengarang periode prakemerdekaan, bahkan telah dirintis sejak masa transisi. Hal itu ditegaskan oleh Damono (1993:58) bahwa beberapa novel Balai Pustaka tahun 1950-an merupak1950-an sastra Jawa periode sebelum per1950-ang. Beberapa masalah yang telah digarap pada periode terdahulu ada yang mendapat tekanan lebih banyak pada periode kemerdekaan walaupun setiap dekade dimungkinkan memiliki visi yang berbeda.

(16)

sosial di sekitarnya.

Periode kemerdekaan yang berlandaskan UUD 1945 mendapatkan acuan tentang hak-hak masyarakat, terutama dalam hal kebebasan berpendapat dan atau kebebasan memperoleh pendidikan, sehingga mendorong para penerbit swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan (penerbitan) buku, termasuk buku-buku sastra (berbahasa) Jawa. Kebe-basan itu juga didukung oleh gerakan nasional mengenai pemberantasan buta huruf karena hingga tahun 1965 masyarakat yang melek huruf baru mencapai sekitar 46,7%. Hal itu terutama disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi negara yang amat buruk. Jumlah tersebut mengalami kena-ikan sejak pemerintahan Orde Baru; hal itu terbukti, Biro Pusat Statistik mencatat bahwa pada tahun 1971 jumlah melek huruf naik menjadi sekitar 60% (Ricklefs, 1991:433).

Perkembangan penerbit pada masa Orde Lama lebih didominasi oleh penerbit swasta. Akan tetapi, seperti tampak pula pada periode prakemerdekaan, misi penerbit swasta memang berbeda dengan penerbit pemerintah (RI)--yang jumlahnya sedikit--sehingga dapat diramalkan bahwa arah sastra Jawa modern pada masa Orde Lama mengacu kepada selera penerbit swasta yang lebih mementingkan profit.2 Dengan demikian, terlihat bahwa perkembangan tema pada karya-karya hasil terbitan dua penerbit itu (swasta dan pemerintah) juga akan berkaitan dengan kondisi pengarang dan karyanya yang pada gilirannya juga berpengaruh pada pembaca yang dituju.

2

(17)

Masa atau era Orde Lama adalah kurun waktu yang amat penting karena pada masa itu berbagai kebijakan yang benar-benar baru (pada masa republik) mulai dijalankan. Sementara itu, masyarakat Jawa --sebagai bagian dari masya-rakat Indonesia-- sedang melanjutkan suatu proses mengin-donesia dengan melepaskan beberapa unsur budaya tradi-sional (selain pergeseran ragam bahasakrama) untuk menjadi budaya baru di tengah masyarakat Indonesia yang amat plural. Berbagai perubahan dalam elemen internal sastra secara tersirat menunjukkan bahwa sistem sastra di ling-kungan masyarakat Jawa sebenarnya merupakan sistem yang terbuka. Penanda keterbukaan pada sistem sastra Jawa modern itu juga dapat dilihat melalui jenis-jenis sastra yang berkembang pesat ke arah prosa modern dengan munculnya variasi-variasi baru, terutama jenis fiksi. Berbeda dengan sastra klasik, sastra modern (termasuk sastra Jawa modern) pada umumnya bukan merupakan sastra penggerak atau penyebab situasi, melainkan merupakan sastra yang hanya mendukung dan menggambarkan akibat dari situasi atau peristiwa yang telah terjadi (Darma, 1998).

(18)

cerita detektif, cerita bergambar, dan bentuk-bentuk cerpen pendek (crita sakaca dan roman sacuwil) atau cerpen panjang (long short-story) merupakan bukti keter-libatan kondisi sosial dan penerbitan.

Perkembangan dalam hal bahasa pengantar yang digunakan dalam karya sastra Jawa modern sebenarnya merupakan kelanjutan dari karya-karya prakemerdekaan, terutama sejak tahun 1930-an. Hal demikian tidak hanya tampak pada adanya kecenderungan menggunakan bahasa ragamngoko (yang dirasa lebih egaliter) dalam narasi, tetapi juga tampak pada semakin tidak dapat bertahannya bahasa Jawa dari pengaruh kosakata Indonesia dan asing (Belanda, Inggris, Arab, dan Mandarin). Karena sejak kemerdekaan dunia pers demikian maju, di samping meningkatnya pendi-dikan dan profesi (pekerjaan) para pengarang, kedudukan pengarang sastra Jawa pada periode kemerdekaan bergeser; mereka tidak lagi ekabahasawan, tetapi dwibahasawan atau bahkan multibahasawan (tidak hanya fasih berbahasa ibu, tetapi juga fasih berbahasa Indonesia dan asing).

Fakta-fakta kepengarangan itu mendorong eksodus sastrawan Jawa (yang berbahasa Jawa) ke dalam penulisan sastra berbahasa Indonesia; atau mereka menulis sastra dalam dua bahasa secara bergantian. Sejak tahun 1975, misalnya,

Grup Diskusi Sastra Blora yang beranggotakan guru-guru bahasa Jawa aktif mengikuti diskusi sastra dan kebudayaan di berbagai kesempatan sehingga mereka mengembangkan pe-nulisan fiksi dalam dwibahasa. Pergeseran tersebut semakin jelas pada dekade selanjutnya, terutama sejak didirikannya

(19)

Bonari Nabonenar, dan Sri Purnanto. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta pun pengaruh keberadaan sanggar amat men-colok. Krishna Mihardja dan A.Y. Suharyono, misalnya, pada mulanya aktif di Yoga Sastra asuhan Ragil Suwarno Prago-lapati dan Kembang Brayan pimpinan Kusfandi, demikian juga Turiyo Ragilputra melalui Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta(SSJY). Melalui pergaulan lintas sastra semacam itu pengarang sastra Jawa setelah tahun 1970-an melakukan adaptasi dan belajar secara autodidak dengan berbagai informasi dari luar sehingga mereka memperkenalkan jenis fiksi Jawa eksperimental yang surealistis.

Perkembangan lain yang mulai tampak adalah dalam hal penggarapan elemen sastra, seperti tokoh dan latar, yang menunjukkan penguasaan (imaji) kehidupan riil dalam masyarakat. Dalam jenis puisi, sejumlah nama seperti St. Iesmaniasita, Ngalimu Anna Salim, Poer Adhie Prawoto, Susilomurti, Trim Sutidja, Muryalelana, Anie Sumarno, Suripan Sadi Hutomo, Lesmanadewa Purbakusuma, Moch. Nursyahid Purnomo, Anjrah Lelana Brata, Turiyo Ragilputra, dan Jaimin K. muncul dengan guritan-guritannya yang mengindonesia atau yang kembali kepada jiwa Jawa. Para penggurit itu sebagian besar berprofesi sebagai guru atau wartawan, dan beberapa di antaranya adalah dosen. Fakta dalam sistem pengarang itulah yang kemudian memberikan kemungkinan (peluang) pada pengembangan struktur, teknik penceritaan, dan pengembangan kosakata.

(20)

modern akibat kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. Bahkan, kebijakan yang berubah-ubah itu tidak hanya berdampak pada pengajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah, tetapi juga pada sistem-sistem lain yang berkaitan (sistem pengarang, pengayom, pembaca, dan kritik sastra).

Keberadaan sastra Jawa di tengah rubrik-rubrik ma-jalah atau pers umum (berbahasa Jawa) yang populer itu mendorong perkembangan sastra ke arah selera massa. Karena pers, terutama pers swasta, bertujuan khusus mencari keuntungan melalui luas kolom dan durasi penerbitan, hal itu berpengaruh pada kebijakan internal dan eksternal penerbit sehingga karya-karya yang dimuat lebih diarahkan pada tujuan mencari keuntungan (uang) daripada menjaring pem-baca. Betapa pun, pada periode kemerdekaan tampak bahwa kreativitas sastra Jawa modern yang dihasilkan merupakan kelanjutan dari kreativitas sastra periode prakemerdekaan. Keberlanjutan sastra Jawa modern dalam majalah itu membuktikan bahwa pers masih menjadi pengayom bagi sastra Jawa karena berkat lembaga-lembaga itu sastra Jawa masih dapat beredar di tengah masyarakat.

(21)

menun-jukkan pula keberadaannya yang riil di tengah sistem sosial yang rumit dan luas. Berkaitan dengan hal itu, secara beru-rutan di dalam buku ini dibicarakan berbagai peristiwa dalam sastra Jawa modern periode kemerdekaan, baik yang ber-kaitan dengan perkembangan unsur internal yang berupa konsep-konsep sistem formal (elemen-elemen sistem mikro) maupun perkembangan unsur-unsur eksternal atau sistem konkret (elemen-elemen sistem makro), seperti pengarang, pengayom, penerbit, pembaca, dan kritik.

Periode kemerdekaan yang mencakupi dua masa pemerintahan, yaitu Orde Lama (1945--1965) dan Orde Baru (1966--1997), menyimpan banyak peristiwa literer yang berkaitan dengan dinamika sastra Jawa modern. Di sepanjang masa pemerintahan Orde Lama telah terjadi beberapa peris-tiwa historis yang penting bagi kehidupan sastra Jawa. Peristiwa penting pertama adalah pergantian pengarang yang disebabkan oleh adanya peralihan pemerintahan (dari peme-rintahan kolonial, Belanda dan Jepang, ke pemepeme-rintahan RI). Peralihan pemerintahan pada awal kemerdekaan bersifat amat krusial karena pemerintahan baru terpaksa harus bekerja

keras “membersihkan” unsur-unsur kolonial dalam berbagai

bidang kehidupan. Pembersihan “kenangan masa lalu”

tersebut menandai adanya keinginan untuk mengganti iklim politik kolonial.

(22)

di-mungkinkan karena faktor-faktor makro-sastra merupakan sistem yang dinamis. Perubahan yang terjadi dalam kondisi internal dan eksternal sastra Jawa modern pada periode kemerdekaan justru menunjukkan fakta bahwa kehadiran sastra Jawa modern tidak begitu saja jatuh dari langit. Sastra merupakan bagian dari sistem komunikasi yang luas dan konkret. Dengan demikian, elemen-elemen struktural bebe-rapa jenis sastra yang terjadi pada periode sebelumnya pasti berhadapan dengan berbagai perubahan lingkungan yang terdekat (pengarang, pengayom, penerbit, pembaca, dan kritik).3 Hubungan timbal-balik antarsistem itu amat penting artinya bagi perkembangan sastra Jawa modern karena tanpa komunikasi semacam itu sistem sastra Jawa pasti tidak akan berfungsi (tertutup).

Sejak awal kemerdekaan (sebagai lanjutan dari masa Jepang) dinamika sastra Jawa modern terus bergulir. Seperti diketahui bahwa--walaupun hanya berlangsung tiga tahun

3

Istilah pengayom (patron, maecenas) yang bersinonim dengan pelindung atau penyokong adalah orang atau lembaga yang turut berperan dalam melindungi dan mendukung proses kehadiran sastra (The New Oxford Encyclopedic Dictionary Vol.V, 1987:1232; The Glorier International Dictionary Vol. 2, 1988:961; Encyclopedia AmericanaVol. 16, 1991:74). Penerbit (publisher) adalah lembaga yang berfungsi menerbitkan dan menyebarluaskan sastra. Pembaca (reader)

adalah kelompok masyarakat yang menjadi “penerima” kehadiran sastra. Dalam pengertian “penerima” ini terdapat dua kelompok

(23)

dan sangat restriktif--kehadiran kolonialisme Jepang memi-liki arti yang cukup penting. Dikatakan penting karena masa (Jepang) itu berfungsi menyiapkan kehadiran sebuah periode baru kesastraan Jawa modern.4 Tiga orang pengarang yang disiapkan pada masa Jepang adalah pengarang yang benar-benar baru sehingga mereka disebut generasi perintis periode kemerdekaan. Mereka adalah Soebagijo I.N., Poerwadhie Atmodihardjo, dan Any Asmara. Mereka disebut generasi perintis bukan hanya karena waktu kehadirannya saja, melainkan juga--yang lebih penting--karena mereka mem-bawa wacana sastra yang benar-benar baru dan “mem

-bangkitkan” sehingga oleh Hutomo (1975) masa itu disebut

sebagai masa kebangkitan.

Kenyataan menunjukkan bahwa periode awal kemer-dekaan memang dapat disebut periode vakum yang tidak memungkinkan kelanjutan sejarah secara langsung. Keva-kuman yang disebabkan oleh kekacauan suasana sosial-politik sejak tahun 1945 itu baru berakhir pada tahun 1949 (kedaulatan bangsa kembali di tangan RI).5 Namun, dengan kehadiran tiga pengarang di masa Jepang itu kevakuman dapat dikatakan tidak terjadi. Kehadiran kembali mereka seiring dengan kehadiran kembaliPanjebar Semangat(1949)

4

Periode zaman Jepang yang dalam kesastraan Indonesia dikenal dengan

nama Angkatan ’45, setidak-tidaknya, telah melahirkan sebuah generasi baru sastra Jawa modern. Generasi tersebut menawarkan aspirasi baru bagi sastra, konsep puisi baru dari luar (soneta), dan model sastra propaganda yang tendensius.

5

(24)

walaupun masih berisi rubrik-rubrik yang sederhana.6 Sebenarnya, masalah kehadiran kembali sastra Jawa dalam majalah telah diawali oleh sebuah majalah berbahasa Jawa milik Veteran di Kediri (1945) bernama Djaja Baja

(selanjutnya diubah ejaannya menjadi Jaya Baya)7. Dengan demikian, kevakuman total sastra Jawa pada awal periode kemerdekaan dapat dikatakan hampir tidak ada karena pada tahun 1955 terbit dua majalah khusus sastra Jawa, yaituTjrita Tjekak (selanjutnya ditulis Crita Cekak)dan Pustaka Roman

asuhan Soebagijo I.N.8 Dengan demikian, usaha itu mem-berikan peluang bagi bangkitnya suatu generasi pengarang dan pembaca baru, termasuk di dalamnya pembaca kritis (kritikus). Sistem kritik yang diperkirakan tidak berjalan, ternyata dapat hidup melalui rubrik "Sorotan” dalam majalah

6

Majalah tersebut milik dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, telah berdiri sejak tahun 1933. Pada saat itu majalah tersebut bersaing ketat dengan majalah berbahasa Jawa milik kolonial, Kadjawen(selanjutnya ditulis Kajawen) yang telah berdiri lebih dahulu (1926).

7

Majalah yang telah terbit tahun 1945 di Kediri ini pada tahun 1950--1954 pernah berganti menggunakan media bahasa Indonesia, dan baru kembali menggunakan bahasa Jawa setelah pindah ke Surabaya. Di samping itu, penataan rubrik, terutama rubrik kesastraan, belum menunjukkan kemantapan. Setelah kembali menggunakan bahasa pengantar bahasa Jawa, barulah majalah ini mulai menata dan melengkapi rubrik-rubrik sastra dengan lebih baik, misalnya dengan

membuka rubrik “cerkak”, “cerbung”, “geguritan”, dan “cergam”.

8

(25)

Crita Cekak. Rubrik kritik seperti itu diasumsikan masih berlanjut hingga sekarang walaupun diperkirakan tetap tidak berjalan lancar karena tidak didukung oleh tradisi.

Harapan kebangkitan pengarang baru memang dimo-titivasi oleh pers, seperti kehadiran majalah Panjebar Se-mangat, Jaya Baya, Crita Cekak, Pustaka Roman, Kuman-dhang, Gotong Royong, dan Tjederawasih (selanjutnya ditulis Cenderawsih). Di samping menampung jenis sastra khusus seperti cerkak dan roman, majalah-majalah itu juga memuat rubrik kritik dan puisi modern (guritan)9. Pada dekade 1960-an, kedua rubrik itu menunjukkan gejala perkembangan literer yang disusul semakin berkembangnya model-model penulisan realistis dan roman-roman populer. Dengan melihat berbagai perubahan internal--sebagai kelan-jutan dari kebangkitan sebuah generasi pengarang Jawa--dapat dikatakan bahwa mata rantai sastra Jawa modern tidak terhenti pada masa mempertahankan kedaulatan negara (di sepanjang tahun 1945—1949), tetapi terus berlanjut. Pemba-ruan dalam sisi internal juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan lingkungan yang mendukung dan memperluas wawasan, profesi, dan pendidikan pengarang angkatan baru, terutama sejak berdirinyaOrganisasi Pengarang Sastra Jawa

(OPSJ) tahun 1966 di Yogyakarta. Kehadiran organisasi pengarang sastra Jawa tersebut diasumsikan berpengaruh pula terhadap sistem pengarang, pengayom, penerbit dan penyebarluasan, pembaca yang diharapkan, dan kritik sastra.

Dengan adanya perkembangan jumlah majalah (umum dan khusus) dan semakin jelasnya pergantian generasi

9

(26)

(yang diawali sejak zaman Jepang) dapat dikatakan bahwa sastra Jawa modern mampu belajar dan beradaptasi dengan berbagai perubahan dari elemen-elemen pendukung di sekitarnya. Perkembangan sastra Jawa modern itu setidaknya dimotivasi oleh tiga aspek pokok.Pertama, masyarakat Jawa bukan lagi masyarakat monolingual karena sebagian dari mereka adalah dwilingual atau multilingual akibat semakin banyaknya pengarang yang mengenyam pendidikan tinggi.

Kedua, fakta empirik tersebut memberikan kemungkinan bagi mereka untuk dapat berkomunikasi secara lebih luas sehingga berdampak pada berbagai aspek kesastraan sastra Jawa yang dihasilkan.Ketiga, sejak dilepaskannya dari patron kerajaan, sastra Jawa menikmati kebebasannya menjadi sastra indi-vidual (milik masyarakat). Dengan demikian, sastra Jawa modern benar-benar harus mandiri dan harus mencari penyangga hidupnya sendiri. Di sepanjang periode kemer-dekaan memang ada beberapa lembaga yang menunjukkan kepengayomannya secara terbuka. Pers, misalnya, merupakan lembaga di luar sastra yang sejak awal (sejak periode pra-kemerdekaan) telah menunjukkan simpatinya kepada sastra Jawa. Selanjutnya, beberapa lembaga pemerintah dan nonpe-merintah juga menjadi pengayom sastra Jawa modern. Dengan kondisi demikian, walaupun kurun waktu 1945--1965 relatif pendek, perkembangan apa pun yang terjadi pada periode itu menjadi fondasi bagi perkembangan sastra Jawa selanjutnya.10

10

(27)

Perjalanan sejarah sastra Jawa modern periode kemer-dekaan memang harus membahas kurun waktu Orde Lama yang hanya berjarak waktu pendek (1945--1965). Masa itu sama pentingnya dengan masa Jepang karena pada masa itu bangsa Indonesia--dari berbagai kalangan dan etnis--sedang bersiap-siap untuk menegakkan dasar-dasar sebuah peme-rintahan baru melalui penataan kebijakan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Proses perubahan itu diikuti oleh perubahan sistem-sistem penyangga lainnya, yaitu sistem pengarang, sistem pegayom, sistem penerbit dan penyebarluasan, sistem pembaca, dan sistem kritik. Hal itu terlihat pada berbagai kondisi sastra dari periode ke periode sehingga sastra menjadi bagian dari sistem komunikasi sosial yang kompleks dan rumit.11

Dari komunikasi tersebut terlihatlah beberapa aspek kesastraan yang penting. Pertama, tumbuhnya generasi pengarang baru yang membawa perkembangan baru. Ke-lompok pengarang baru memiliki keberanian untuk meng-garap berbagai jenis sastra dengan tema yang beragam. Selain itu, sejak akhir tahun 1960-an mulai tampak ada sejumlah pengarang sastra Jawa yang beralih ke penulisan sastra Indonesia. Di antara mereka ada yang kemudian tetap menulis dalam dua bahasa (Jawa dan Indonesia), misalnya Suparto Brata, Poerwadhie Atmodihardjo, dan Prijana winduwinata. Kedua, seperti ditunjukkan oleh Ras (1979:2), sejak akhir tahun 1960-an berkembang beberapa ragam puisi

yang diterima oleh sebagian besar pembaca sastra Jawa.

11

(28)

dan fiksi. Dalam hal fiksi, muncul cerita detektif dan cerita berlatar perang. Sejak tahun 1980-an, perkembangan itu semakin tampak terutama dalam hal bentuk pengucapan. Misalnya, bentuk pengucapan realistis bergeser ke surealistis atau sastra yang berkolaborasi dengan gambar (cergam) berkembang menjadi jenis komik.Ketiga, pergeseran tersebut menandai adanya perkembangan internal sastra Jawa pada masa Orde Baru.12 Dalam hal puisi, sejak tahun 1970-an, puisi realisme berkembang ke arah puisi imajisme, di samping berkembang pula puisi-puisi balada yang kemudian disusul dengan bentuk-bentuk puisi tipografis. Selain itu, berkembang pula berbagai bentuk sastra fiksi, misalnya (1) cerita bergambar dan (2) cerita pendek, seperti cerita pendek yang pendek (short short-story) dan cerita pendek yang panjang (long short-story) yang berdampingan dengan puisi modern (guritan).13 Ras (1979:2) menjelaskan bahwa pada tahun 1970-an terjadi eksodus pengarang sastra Jawa ke

12

Khusus tentang tema berlatar perang, sebagai negara yang baru merdeka, masalah perang mempertahankan kedaulatan negara diasumsikan merupakan bagian dari masalah pokok waktu itu dan mampu menciptakan sekelompok pengarang yang mengangkat tema-tema perjuangan. Penelitian berjudul Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang (Widati-Pradopo dkk., 1988) menunjukkan bahwa tema-tema perang sangat menonjol karena sebagian besar pengarang pada periode itu adalah pelaku atau saksi sejarah. Hal itu dapat dibuktikan oleh akrabnya sebagian besar pengarang dengan berbagai situasi dan masalah pertempuran.

13

(29)

sastra Indonesia, di antaranya Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, dan Arswendo Atmowiloto. Arus eksodus itu terjadi sebagai akibat adanya kesadaran baru di kalangan masyarakat yang merasa bahwa mereka merupakan warga bangsa yang besar (bangsa Indonesia), bukan lagi warga sebuah etnis. Keempat, munculnya berbagai penerbitan swasta—sebagai upaya untuk mengimbangi keterbatasan penerbitan pemerintah--memberi kemungkinan bagi lahirnya pengayom baru. Karena tidak diimbangi oleh kontrol yang baik, termasuk tidak didukung oleh masyarakat pembaca kritis, kebijakan pemerintah dalam pers dan kemudahan izin penerbitan buku berdampak ke arah suburnya penulisan dan penerbitan panglipur wuyung.14 Kelima, perkembangan kelompok pembaca baru di kota dan di desa berkorelasi dengan munculnya generasi pengarang sastra Jawa dan tumbuhnya penerbitan swasta. Dalam hal tema dan jenis sastra yang dipilih oleh pengarang (baru), secara umum, tersirat pula adanya arah pembaca yang berbeda-beda sesuai dengan missi penerbit(an).

1.2 Pokok-Pokok Pikiran

Dalam buku I (Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan) telah disebutkan bahwa perkembangan sastra Jawa modern periode prakemerdekaan tidak hanya didukung oleh sejumlah pengarang yang andal, tetapi juga oleh adanya kenyataan bahwa sastra merupakan suatu institusi yang kompleks yang di dalamnya tersirat adanya komunikasi antara pengarang dan berbagai sistem di luar sastra. Hal tersebut menggarisbawahi pandangan bahwa

14

(30)

karya sastra memang tidak dapat hadir secara sendiri, tetapi selalu didukung oleh beberapa elemen yang berada di luarnya (Tanaka,1976:1). Dengan demikian, elemen-elemen yang terlibat dalam penghadiran sastra adalah elemen atau sub-elemen dari suatu sistem yang kompleks. Elemen-sub-elemen

“luar” sastra (sistem makro) dan elemen-elemen “dalam”

sastra (sistem mikro) masing-masing memiliki sistem sendiri-sendiri yang mengatur dirinya sendiri-sendiri (Ackoff dalam Tanaka, 1976:8--11). Akan tetapi, seperti halnya sebuah organisasi, bagian dari masing-masing sistem sastra yang luas itu saling berkomunikasi dan semuanya mendukung satu tujuan (Ackoff dalam Tanaka, 1976:9).

Dari sudut pandang tersebut, kedudukan sastra dapat dilihat dari dua arah, yaitu (1) sebagai sistem yang luas yang terbangun oleh sejumlah elemen pendukung dan (2) sebagai subjek dirinya sendiri yang spesifik (Tanaka, 1976:1). Dengan demikian, di samping dapat ditinjau dari sisi elemen-elemen di luarnya, sastra dapat pula ditinjau dari dirinya sendiri, yaitu sebagai karya imajinatif yang menggunakan media bahasa dengan unsur estetik dominan (Wellek dan Warren, 1956:25). Oleh karena itu, di dalam buku ikhtisar perkembangan sastra Jawa periode kemerdekaan ini, selain dipaparkan elemen-elemen sistem makro (pengarang, peng-ayom, penerbit, pembaca, dan kritik), diuraikan pula elemen-elemen sistem mikro karya-karya sastra Jawa modern periode kemerdekaan, khususnya sejak tahun 1945 hingga 1997.

1.3 Sistematika

(31)

Bab pertama (pendahuluan) berisi pengantar dan uraian latar belakang sastra Jawa modern periode kemer-dekaan. Dalam bab ini dibicarakan secara ringkas beberapa aspek pokok, yaitu pertautan historis antara periode prake-merdekaan dan periode keprake-merdekaan, informasi kondisi internal (sistem mikro) dan kondisi eksternal (sistem makro) yang mendukung kehadiran sastra Jawa periode kemer-dekaan, dan masalah-masalah lain yang perlu dibahas dalam uraian inti. Selain itu, dibicarakan pula landasan penalaran yang menjelaskan berbagai masalah substansial mengenai ikhtisar perkembangan sastra Jawa modern periode kemer-dekaan.

Bab kedua (dinamika perubahan sosial-budaya) berisi uraian tentang berbagai peristiwa sosial-politik-ekonomi-budaya yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi keberadaan atau eksistensi sastra Jawa modern periode kemerdekaan, terutama pada masa pemerintahan Orde Lama (1945--1965) dan Orde Baru (1966—1997).

Bab ketiga (lingkungan pendukung sastra Jawa modern periode kemerdekaan) berisi uraian berbagai elemen sistem makro yang mencakupi kondisi pengarang dan kepengarangan, pengayom dan kepengayoman, penerbit dan penerbitan, pembaca, dan kondisi kritik sastra yang menjadi lingkungan (terdekat) pendukung keberadaan sastra Jawa modern periode kemerdekaan.

(32)
(33)

BAB II

DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL-BUDAYA

Sastra Jawa mengalami perubahan-perubahan menda-sar yang perlu dicermati keberadaannya. Perubahan itu seti-daknya tercermin dari pergeseran kecenderungan penulisan

yang semula bersifat “sejarah”, didaktis (ajaran moral), atau

jurnalisme ke karya-karya kreatif-imajinatif yang lebih inovatif. Perubahan kecenderungan tersebut tidak begitu saja terjadi tanpa adanya perubahan-perubahan di luar sastra.15 Hal yang turut membentuk situasi itu adalah meluasnya kesempatan mendapatkan pendidikan bagi masyarakat Jawa dan menguatnya rangsangan kreatif ke arah masyarakat modern. Sinyalemen ini sejalan dengan apa yang diungkap-kan Ras (1985:1) bahwa peristiwa-peristiwa terpenting yang berpengaruh terhadap masyarakat Jawa adalah (1) pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan (2) terjadinya pening-katan taraf pendidikan.

Sesungguhnya perubahan corak di dalam karya sastra tidak hanya terjadi pada sifat dan bentuknya, tetapi juga menyangkut pandangan pengarang tentang berbagai hal yang

15

Ras (1985:1) menyatakan bahwa sastra Jawa merupakan hamparan objek studi yang rumit dan sangat menarik, baik ditinjau dari isinya

maupun dari konteks “pengarang-pembaca” atau “produsen-konsumen”,

(34)

melingkupinya.16 Grebstein (Damono, 1978:4) menyatakan bahwa karya sastra tidak akan dapat dipahami selengkap-lengkapnya jika dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan (peradaban) yang menghasilkannya. Sastra harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya karena merupakan hasil pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Boleh dikatakan bahwa tidak ada karya sastra besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal.

Dalam sastra Jawa, transformasi perubahan itu seti-daknya tercermin dalam pembagian sastra keraton, sastra priayi, dan sastra masyarakat kebanyakan (luar keraton). Kategori tersebut dibedakan dengan titik tolak konteks kedudukan pengarang, motivasi kepengarangan, pengejawan-tahan ide, dan hal-hal yang tergambarkan dalam karya sastra. Kenyataan ini memiliki korelasi dengan pemikiran Kunto-wijoyo (Prawoto, 1991:54) bahwa sastra keraton memiliki ciri-ciri (1) mistisisme, (2) mengedepankan etika satria, dan (3) memiliki cita-cita nggayuh utami 'meraih keutamaan'.17

16

Kenyataan membuktikan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri atau terpisah dari masyarakat yang melahirkan dan menikmatinya. Sastra mempunyai kedudukan, peran, dan kegunaan dalam masyarakat; dan semua itu selalu mengalami pergeseran dari waktu ke waktu dan perbedaan antara satu masyarakat dan masyarakat lain.

17

(35)

Ketiga ciri tersebut oleh Kuntowijoyo dipertentangkan dengan eksistensi sastra priayi yang tidak lagi didominasi oleh mistisisme, etika satria digantikan oleh etika priayi, dan nilai-nilai sosial keraton (untuk nggayuh utami) digantikan oleh cita-cita mobilitas sosial dalam arti mencari tempat dalam masyarakat baru. Apabila sastra priayi memuat petuah-petuah, petuah tersebut lebih menekankan bagaimana orang dapat meraih kedudukan sebagai priayi meskipun ia berasal dari golongan wong cilik. Jadi, kesadaran tentang perubahan sosial dan adanya mobilitas vertikal sangat disa-dari oleh pengarang sastra priayi.

Sementara itu, ciri sastra masyarakat kebanyakan (luar keraton) tidak lagi mempunyai patron keraton sentris dan tidak terkungkung oleh pengagungan terhadap jagad priayiisme. Asumsi tersebut bertolak dari hipotesis bahwa pembentukan kesusastraan merupakan pembangunan sebuah wilayah sastra yang di dalamnya para sastrawan mereali-sasikan diri sebagai subjek yang bebas dan mandiri. Dengan demikian, pembentukan kesusastraan Jawa (juga) berfungsi sebagai sarana bagi penyebaran gagasan mengenai dunia ideal; dalam arti orang Jawa secara keseluruhan dapat mere-alisasikan diri dengan cara yang sama, bebas, dan mandiri. Dari kenyataan tersebut pada akhirnya dapatlah dipahami mengenai dinamika perubahan tema-tema sastra Jawa dari keraton atau istana sentris (tahun 1800--1900-an), tema keluarga dan kawin paksa (tahun 1920-an), tema pendidikan,

dan penguasa dunia’. Oleh karena itu, raja adalah wenang wisesa ing nagari ‘memegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri’ (bdk.

(36)

tema perjuangan (tahun 1930--1950-an), dan tema-tema sosial dengan beragam persoalan (tahun 1960-an--1997).

Perubahan besar yang terjadi di Indonesia dapat dicermati dari tumbangnya Orde Lama--sebuah rentang waktu yang selalu dikaitkan dengan situasi merajalelanya korupsi, cepatnya pertumbuhan penduduk yang menciptakan banyak pengangguran, merebaknya tindak kejahatan, dan tidak tercukupinya pangan bagi masyarakat--serta berkua-sanya Orde Baru18 yang eksistensinya selalu dikaitkan dengan pembangunan, perbaikan ekonomi, dan berbagai program pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

Sebelum memasuki era Orde Baru, terdapat dua sistem politik yang berkembang di Indonesia, yaitu demo-krasi liberal parlementer dan demodemo-krasi terpimpin. Sistem politik demokrasi liberal parlementar memiliki spesifikasi adanya pembagian kekuasaan pada setiap institusi yang ada, yaitu kekuasaan legislatif (DPR), kekuasaan eksekutif (Perdana Menteri atau kabinet), dan kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung) (Setiawan, 1998:98). Dengan adanya pembagian dan pelaksanaan kekuasaan seperti itu berarti tidak terjadi sentralisasi kekuasaan. Sementara itu, sistem politik demokrasi terpimpin muncul setelah lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (pembubaran konstituante pembuat UUDS dan berlakunya kembali UUD 1945).

Pada masa demokrasi terpimpin, setelah DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan, terjadi sentralisasi kekuasaan:

18

(37)

seluruh kekuasaan, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif berada di tangan Presiden (Soekarno). Partai-partai politik yang ada pada waktu itu sebagian dibu-barkan (membudibu-barkan diri) karena tidak bersedia menerima konsep Nasakom. Partai yang tetap berdiri adalah PNI, NU, PSII, PERTI, Partai Murba, PKI, IPKI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik Indonesia, dan Partindo. Pada waktu itu fungsi-fungsi partai, baik yang dilakukan oleh partai-partai agama maupun partai nasional, tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya kecuali partai komunis (Setiawan, 1998:103). Konsekuensi dari sentralisasi kekua-saan itu adalah keterbatasan masyarakat dalam menyalurkan kreativitas dan kritik-kritik kepada pemerintah. Tidak meng-herankan jika majalah, koran, siaran radio, dan berbagai media lain dikendalikan secara sempurna sehingga tidak lagi mampu menyuarakan suara rakyat, baik mengenai kepen-tingan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan pula jika karya-karya sastra (terma-suk karya sastra Jawa) yang lahir pada waktu itu adalah karya-karya dengan latar perang atau romantisme yang sifatnya menghibur (tidak berurusan dengan politik).19Hal ini tampak jelas jika disimak, misalnya Serat Gerilya Sala

(1957) karya Sri Hadidjojo, Kembang Kanthil (1957) karya Senggono, Kumpule Balung Pisah (1957) karya A. Saerozi A.M., Kemandhang (1958) antologi susunan Senggono, dan

Kidung Wengi ing Gunung Gamping (1958) antologi karya St. Iesmaniasita.

19

(38)

Kelanjutan dari situasi tersebut adalah tumbuh subur-nya karya-karya panglipur wuyung yang diterbitkan dalam bentuk buku saku. Karya sastra yang diterbitkan dalam bentuk buku saku ditandai oleh beberapa ciri, antara lain (1) ditulis dengan media bahasa yang mudah dipahami khalayak luas, (2) cerita yang disajikan tidak berbelit-belit, (3) kisah yang ditampilkan umumnya dibumbui dengan peristiwa-peristiwa sensasional erotik, dan (4) sampul novel menge-depankan gambar natural realisme yang eksotis. Dua ciri terakhir dapat dikaitkan dengan judul-judul yang memberi

sugesti “suram” kepada pembaca terhadap unsur-unsur erotik yang dikandung oleh sebuah karya sastra, misalnya Gara-Gara Rok Mepet Rambut Sasak, Randha Teles, Asmara Tanpa Weweka, Godhane Prawan Indo,danPrawan Kaosan. Kurangnya nilai sastra yang dikandung novel-novel saku

tersebut menyebabkan banyak pemerhati sastra “mengejek”

novel-novel itu sebagai cerita picisan ataupanglipur wuyung

‘pelipur lara’. Namun, eksistensi novel-novel saku tetap dipertahankan dengan kedok (sengaja dipasang sebagai

“label” di bagian sampul dalam) bahwa karya-karya tersebut dihadirkan untuk nguri-uri basa lan kasusastran Jawa

‘melestarikan bahasa dan kesusasteraan Jawa’, nyengkuyung kiprah lan gregete revolusi ‘mendukung kiprah dan gerak revolusi’, dan dadiya tepa palupining para mudha ing samadyaning bebrayan ‘semoga menjadi teladan bagi generasi muda di tengah masyarakat’.

(39)

terpu-ruknya perekonomian Indonesia tahun 1960-an, yang ditandai oleh terjadinya inflasi, bangkrutnya pengusaha-pengusaha pribumi, dan sulitnya mendapatkan kertas. Dalam situasi sulit tersebut masyarakat membutuhkan hiburan, dan media hi-buran yang mudah terjangkau adalah bacaan berbentuk novel saku: mudah dibuat, berharga murah, bersifat meng-hibur, dan tidak memerlukan banyak bahan baku (kertas); di samping munculnya beberapa percetakan kecil yang bersedia menerbitkan karya sastra dalam bentuk buku saku.

(40)

dibandingkan dengan koran dan majalah yang terbit tahun 1950-an hingga pertengahan 1960-an.

Ricklefs (1995:356—357) memberi gambaran bahwa situasi setelah kemerdekaan merupakan kegagalan kelompok elite (pimpinan) dalam memenuhi harapan masyarakat luas. Beberapa faktor yang membangun situasi tersebut adalah lajunya pertumbuhan penduduk (dari tahun 1950-an hingga 1960-an), produksi pangan tidak mencukupi, adanya keku-asaan otoriter yang memusat, banyaknya rakyat buta huruf dan miskin. Ricklefs memperkirakan jumlah penduduk pada tahun 1950 mencapai 77,2 juta jiwa; pada tahun 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa; dan menurut Sensus Penduduk 1961 jumlah penduduk meningkat menjadi 97,02 juta jiwa. Produksi pangan meningkat, tetapi tidak mencukupi kebu-tuhan. Produksi beras pada tahun 1956 setidaknya 26% lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 1950, tetapi beras impor masih tetap diperlukan.20 Dari sisi politik, pada masa itu Pulau Jawa lebih mendapat perhatian karena ibu kota negara berada di Pulau Jawa. Sebagian kota-kota besar lain di luar Jawa (yang dihuni oleh kaum politisi sipil) pada umumnya

cenderung “dilupakan” oleh pemerintah pusat. Perkembangan

20

(41)

sarana dan prasarana selalu diutamakan bagi kepentingan Pulau Jawa. Tindakan ini menurut Ricklefs (1995:357) menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi daerah-daerah di luar Jawa yang berperekonomian ekspor sehingga menimbulkan kekacauan dengan munculnya pasar-pasar gelap dan terjadi-nya penyelundupan.

Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengatasi situasi sulit tersebut adalah dengan memperbaiki bidang pendidikan dan ekonomi. Di bidang pendidikan, jumlah lembaga pendidikan ditingkatkan. Tahun 1953—1960 jumlah anak didik sekolah dasar meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta.21 Sekolah-sekolah lanjutan, baik negeri maupun swasta

21

(42)

(umumnya sekolah dengan latar belakang agama), dan lembaga-lembaga tingkat universitas bermunculan (terutama) di Pulau Jawa.22 Keuntungan dari perluasan bidang pendidikan adalah (1) tahun 1930 jumlah orang dewasa melek huruf tercatat 7,4%, sedangkan tahun 1961 jumlah tersebut mencapai 46,7% dari jumlah anak-anak di atas usia sepuluh tahun (56,6% di Sumatera dan 45,5% di Jawa) dan (2) meningkatnya jumlah penduduk melek huruf; hal itu tercermin dari oplah surat kabar harian yang melonjak hampir dua kali lipat dari 500.000 eksemplar tahun 1950 menjadi di atas 933.000 eksemplar tahun 1956. Sementara itu, oplah majalah meningkat tiga kali lipat menjadi di atas 3,3 juta eksemplar dalam kurun waktu yang sama.23

Sejak pertumbuhan beberapa surat kabar dan majalah itulah perkembangan sastra Jawa menjadi lebih subur. Keme-lekhurufan tersebut juga mendorong penerbit pemerintah (Balai Pustaka) menyediakan bahan bacaan bagi masyarakat

membaca karya-karya Agatha Christy, Hilda Lauwrence, dsb.--ia dapat menjadi pengarang pertama roman detektif berbahasa Jawa (Brata, 1991:93).

22

Beberapa universitas didirikan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 1954 yang diberlakukan mulai tanggal 10 November 1954 (Ricklefs, 1995:357; Poesponegoro dkk., 1984:285).

23

(43)

luas dengan diterbitkannya O, Anakku…(1952) karya Th.

Suroto,Jodho kang Pinasthi (1952) karya Sri Hadidjojo, Sri Kuning (1953) karya R. Hardjowirogo, Serat Gerilya Sala

(1957) karya Sri Hadidjojo, Kembang Kanthil (1957) karya Senggono, Kumpule Balung Pisah (1957) karya A. Saerozi A.M., Kemandhang (1958) antologi susunan Senggono, dan

Kidung Wengi ing Gunung Gamping(1958) karya St. Iesma-niasita. Di samping itu, ada pula beberapa penerbit swasta yang menerbitkan karya sastra, misalnya Taman Pustaka Kristen menerbitkan Mitrane Wong Buwangan (1955) karya S. Bratasoewignja dan Jaker menerbitkan Putri Gangga

(1961).

Pemulihan bidang ekonomi dimulai dengan meng-ubah struktur ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional.24 Langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah menumbuhkan kelas pengusaha. Pengusaha-pengu-saha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah

24

(44)

diberi kesempatan untuk berpartisipasi membangun ekonomi nasional lewat program Benteng yang pada tahun 1950—

1953 memberikan bantuan kredit terhadap 700 perusahaan bangsa Indonesia. Program pemerintah ini pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk melindungi perusahaan pribumi. Kendati demikian, upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan: pengusaha Indonesia lamban menjadi dewasa, bahkan banyak pihak menyalahgunakan kebijakan itu untuk mencari keuntungan. Banyak perusahaan baru didirikan, tetapi perusahaan baru itu hanya dijadikan kedok orang-orang Cina untuk meraup uang pemerintah.25

Ketidakberhasilan program Benteng mengakibatkan defisit keuangan negara sehingga pada tahun 1952 terjadi krisis moneter. Namun, pemerintah tetap memberi perhatian kepada pengusaha dan pedagang nasional golongan ekonomi lemah. Langkah selanjutnya dilakukan oleh pemerintah dengan mewajibkan perusahaan asing memberikan pelatihan dan tanggung jawab kepada pekerja pribumi; mendirikan perusahaan-perusahaan negara; menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha swasta nasional dan memberikan perlin-dungan agar mereka mampu bersaing dengan perusahaan asing.

Situasi ekonomi pada masa Orde Lama semakin terpuruk karena pemerintah Indonesia membangun wacana anti-Barat, menolak liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme, termasuk kolonialisme dan imperialisme

25

(45)

baru (neokolonialisme dan neoimperialisme). Upaya yang dilakukan pemerintah dengan mengambil jarak terhadap negara-negara Barat tersebut mempunyai dampak tidak mengalirnya bantuan (dana) dari negara-negara Barat. Kondisi tersebut diperburuk oleh politik luar negeri Indonesia yang memihak kepada negara-negara sosialis (Uni Soviet, RRC, dan negara-negara Eropa Timur).

Ketika Orde Baru26 mulai berkuasa, kebijakan eko-nomi mengarah kepada strategi yang berorientasi ke luar.27 Strategi ini memberi peluang bagi pihak swasta untuk berperan aktif dalam sistem pasar bebas. Langkah itu

26

Kekuatan Orde Baru didukung oleh militer (ABRI) dibantu para teknorat (umumnya berpendidikan Barat), mahasiswa, intelektual, dan eksponen lepas lainnya. Selanjutnya kekuatan Orde Baru semakin meluas. Meskipun ABRI tetap diklaim sebagai kekuatan utama, hampir semua orang--dari pejabat, politisi, teknorat, sampai pegawai negeri--tidak dapat melepaskan diri dari wacana kekuatan Orde Baru (bdk. Ali, 1986:120).

27

Meskipun demikian, sejak terjadinya peristiwa Malari pada tahun 1974, pemerintah Orde Baru menyadari secara serius dampak negatif dari strategi ekonomi dan pembangunan yang berorientasi ke luar, yang antara lain menimbulkan lonjakan kenaikan harga untuk setiap macam barang dan jasa, kemacetan sektor produksi, dan menimbulkan kebangkrutan di kalangan pengusaha pribumi. Sejak saat itu pemerintah

berupaya melaksanakan program “Indonesianisasi” dan “pribuminisasi”

kehidupan ekonomi nasional. Strategi ke arah nasionalisme ekonomi

tersebut, menurut Mas’oed (1990:119), berorientasi pada (1) pengalihan

(46)

diharapkan segera membuahkan hasil tanpa memerlukan perombakan radikal struktur sosial-ekonomi (Mas’oed,

1990:116—117). Semua ini tidak lain berkat diberlakukannya peraturan 3 Oktober 1966 yang memuat pokok-pokok usaha, yaitu (1) penyeimbangan anggaran belanja, (2) pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya bidang pangan, ekspor, prasarana, dan industri, (3) penun-daan pembayaran utang luar negeri dan upaya mendapatkan kredit baru, dan (4) penanaman modal asing guna membe-rikan kesempatan negara lain untuk berpartisipasi membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja, membantu usaha peningkatan kerja, dan membantu usaha peningkatan pendapatan nasional.28

Pemilihan strategi tersebut memiliki dua alasan mendasar, yaitu (1) memberikan kepuasaan material bagi masyarakat luas dalam bentuk penyediaan kebutuhan sandang-pangan; strategi ini diterapkan Orde Baru untuk menarik simpati rakyat dalam melumpuhkan kekuatan Orde Lama dan (2) menumbuhkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia; alasan ini didasari oleh sikap Orde Lama di bawah komando Soekarno yang mencurigai penanaman

28

(47)

modal asing dan bantuan-bantuan negara Barat serta keti-dakmampuan pemerintah membayar utang luar negeri mempersulit pemerintah Orde Baru dalam mencari bantuan

modal asing. Kondisi ini, menurut Mas’oed (1990:118),

membuat pemerintah Orde Baru--agar mendapat dukungan dari pemilik dana di luar negeri--bersedia menerima anjuran

International Monetary Fund (IMF) mengenai perlu diciptakannya iklim usaha yang loyal bagi beroperasinya modal asing dan diintegrasikannya kembali perekonomian Indonesia ke dalam sistem ekonomi kapitalis internasional. Hal itu mencerminkan adanya komitmen untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang merupakan landasan untuk merancang kehidupan politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru (bdk. Setiawan, 1998:108). Rehabilitasi ekonomi itu berkaitan dengan upaya memisahkan diri dari negara-negara komunis dan dijalinnya kembali hubungan dengan dunia nonkomunis. Perbaikan hubungan dengan Amerika dan Jepang merupakan langkah strategis bagi upaya rehabilitasi ekonomi tersebut.

(48)

Ricklefs (1991:433) memperkuat asumsi tersebut dengan menunjukkan data bahwa pada masa pemerintahan kolonial (tahun 1930) hanya terdapat 1.030 orang dokter (yang memenuhi syarat) di Indonesia, padahal penduduk Indonesia pada waktu itu berjumlah 60,7 juta jiwa. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa untuk setiap 59.000 penduduk di seluruh Indonesia hanya tersedia satu orang dokter. Sementara itu, pada tahun 1974 terdapat 6.221 orang dokter. Dengan memperkirakan jumlah penduduk sebesar 130 juta jiwa (menurut sensus tahun 1971 berjumlah 118,4 juta jiwa), berarti bahwa seorang dokter harus melayani 20,9 ribu jiwa. Adapun Sensus Penduduk 1980 mencatat jumlah penduduk sebesar 147,3 juta jiwa dan jumlah dokter sebanyak 12.931 orang sehingga seorang dokter harus melayani 11,4 ribu jiwa. Data-data itu menunjukkan kemajuan drastis meskipun distribusi pelayanan medis tetap tidak merata dan masih jauh dari ideal.

(49)

penduduk melek huruf (Ricklefs, 1991: 434).29 Pada tahun 1930, jumlah penduduk dewasa melek huruf hanya 7,4% (13,2% untuk pria dan 2,3% untuk wanita). Pada tahun 1971, angka-angka tersebut bertambah menjadi 72% untuk pria dan 50,3% untuk wanita, dan pada tahun 1980 masing-masing menjadi 80,4% dan 63,6%. Berbagai keuntungan dari pendidikan umum dalam bahasa Indonesia itu tidak hanya terlihat pada jumlah penduduk melek huruf, tetapi juga terlihat pada peningkatan jumlah penduduk yang dapat berbahasa nasional (Indonesia), yaitu dari 40,8% pada tahun 1971 menjadi 61,4% pada tahun 1980.

Di wilayah pedesaan, dampak dari kemelekhurufan tersebut mampu mengubah hubungan sosial masyarakat dengan terbukanya komunikasi dengan dunia luar sehingga budaya lokal mengalami erosi oleh budaya nasional. Contoh baik mengenai pergeseran ini ditunjukkan Kuntowijoyo (1994:74—75) dengan menyinggung masuknya lembaga-lembaga nasional ke wilayah pedesaan (pelembaga-lembagaan demo-krasi). Hal itu mengisyaratkan bahwa pada tataran tertentu budaya lokal pedesaan, ritual sosial desa, festival, kesenian,

mitologi, dan bahasa “desa” semuanya digantikan oleh

simbol-simbol nasional. Ritual sosial-politik nasional, seperti perayaan 17 Agustus, menggantikan acara-acara desa seperti

suran. Perayaan-perayaan desa dipenuhi oleh pesan-pesan nasional dari permasalahan kesehatan, penataan lingkungan, hingga Keluarga Berencana. Kesenian desa digantikan oleh

29

(50)

TV dan nyanyian desa digeser oleh lagu-lagu--dan artis-artis--nasional. Mitologi mengenai cikal bakal desa tidak lagi memenuhi pikiran anak-anak muda karena nama-nama pah-lawan nasional atau pahpah-lawan revolusi memenuhi pikiran mereka.

Pergeseran tersebut menimpa pula pada bahasa khas desa. Dialek dan intonasi khas (desa) hampir tidak dikenal lagi. Bahasa Indonesia menjadi makin populer di masyarakat karena kedekatan mereka dengan media massa--baik cetak maupun elektronik--berbahasa Indonesia dengan berbagai ragam tawaran yang lebih menarik. Keadaan itu diperburuk lagi oleh diberlakukannya Kurikulum 1975 yang menyi-sihkan bahasa (dan sastra) Jawa dari mata pelajaran wajib. Alasannya adalah bahasa dan sastra daerah tidak begitu penting (dianggap mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa) sehingga hanya dijadikan mata pelajaran tambahan (kokurikuler). Karena disisihkan dari mata pelajaran wajib, banyak sekolah akhirnya tidak memberikan mata pelajaran bahasa dan sastra daerah (Jawa). Dampak dari kebijakan tersebut adalah anak-anak semakin tidak mampu berbahasa dan bersastra Jawa sehingga banyak pihak mengecam bahwa Kurikulum 1975 merupakan sumber malapetaka bagi pembi-naan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa (Riyadi dkk., 1995:132--138).

(51)

sebagai mata pelajaran wajib karena pengajaran bahasa dan sastra daerah sangat efektif untuk menyosialisasikan pe-doman ejaan tersebut. Hal itu menunjukkan dengan jelas bahwa Orde Baru berhasil mendudukkan birokrasi sebagai

agent of change, yaitu sebagai kekuatan efektif bagi pelak-sanaan pembangunan dan modernisasi.

Dinamika perubahan sosial budaya yang terjadi terus-menerus--sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru--itulah yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi partum-buhan dan perkembangan sastra Jawa modern. Di tengah dinamika dan proses perubahan itu sastra Jawa modern tidak hanya terpengaruh dan sekaligus terlibat, tetapi juga mere-kam dan sekaligus mengabadikannya. Karena dinamika perubahan yang terjadi itu melahirkan berbagai macam persoalan (sosial, budaya, politik, ekonomi, kemanusiaan, dan sebagainya), sastra Jawa pada akhirnya juga mengungkap dan merefleksikan berbagai persoalan tersebut. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika tema dan masalah yang ditampilkan dalam karya-karya sastra Jawa modern sangat beragam.

(52)

pada proses dekadensi moral, sosial, dan politik terasa semakin kental dan nyata.

Pada tahun 1990-an muncul pula fenomena menarik. Fenomena itu muncul dari suatu kenyataan bahwa masya-rakat, terutama rakyat bawah, semakin tersisih dari program-program pembangunan ekonomi nasional yang bersifat fisik. Hal itu terjadi barangkali tidak lepas dari kebijakan peme-rintah pada akhir tahun 1980-an--yang dikenal denganPakto 27 (Paket 27 Oktober) 1988--untuk menyongsong dibukanya

“pasar global”. Kebijakan yang lebih memberi peluang kepa -da pengusaha besar -daripa-da pengusaha kecil -dan menengah itu mengakibatkan rakyat kecil tereduksi kesejahteraan dan kemerdekaannya. Oleh sebab itu, sebagai salah satu dokumen budaya yang lebih berpihak kepada aspek manusia dan kemanusiaan, karya-karya sastra Jawa pun kemudian menca-tat dan mengungkapkan berbagai peristiwa dan fenomena yang sedang terjadi (dan melanda) masyarakat.

Beberapa cerpen karya Krishna Mihardja dalam antologi Ratu (Pustaka Nusatama, 1995), misalnya, dengan jelas mengungkapkan ironi dan kritik sosial yang cukup tajam. Beberapa cerpen dalam antologi tersebut berisi gu-gatan terhadap ke(pe)mapanan kekuasaan dan teralie-nasinya masyarakat dalam proses pembangunan. Hal ini terjadi karena peranan negara (Orde Baru) dalam penye-lenggaraan pembangunan (ekonomi) terlalu dominan sehingga masya-rakat tersisihkan. Secara signifikan, beberapa cerpen dalam

(53)

Dalam konteks ini harus dipertim-bangkan bagaimana posisi negara dan masyarakat menurut pemerintah rezim Orde Baru. Menurut Fatah (1999:6), ada empat aspek pokok dalam operasi pemerintah Orde Baru, yaitu (1) kekuasaan negara begitu luas sehingga benar-benar menenggelamkan masyarakat, (2) militer memainkan peranan politik sangat jauh dalam rangka represi yang relatif permanen, (3) biro-krasi didisfungsikan sehingga menjadi instrumen rezimentasi, dan (4) praktik ekonomi pragmatis yang melahirkan

“cukong”, kolusi, dan korupsi. Menurut Muhaimin (1990:78), nilai paling sentral dalam pengendalian kekuasaan dan pembinaan demokrasi (Pancasila) adalah prinsip musya-warah. Dengan demikian, apabila nilai tersebut tidak diaktu-alisasikan secara wajar akan menjadi penyebab timbul-nya kekuasaan mutlak dan kesewenang-wenangan (otoriter). Dalam arti bahwa penguasa memiliki power sangat besar sehingga dapat memaksakan kehendak kepada warga atau kelompok. Bahkan, jika perlu, dengan menggunakan keke-rasan fisik, penguasa dapat memaksa masyarakat untuk patuh terhadap perintah-perintah yang dikeluarkan (bdk. Budiman, 1996:3).

(54)

sikap fatalistik di kalangan masyarakat. Pada tataran ini alienasi masyarakat terlihat dari ketidakberdayaan mereka melakukan koreksi terhadap pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Berbagai hal dan atau kecenderungan semacam itu pula yang kemudian mempengaruhi (dan sekaligus direkam oleh) para pengarang dan karya-karya sastra Jawa modern. Sebagaimana diketahui bahwa apa yang mempengaruhi (dan sekaligus dicatat oleh) pengarang dan karya-karya sastra Jawa modern tidak terbatas pada persoalan hubungan sosial dan politik seperti yang diungkapkan di atas, tetapi juga persoalan lain menyangkut hubungan manusia dengan sesama, dengan dirinya sendiri, dan dengan Tuhan. Persoalan mengenai keberadaan wanita, misalnya, juga menjadi per-hatian para pengarang Jawa. Hal ini setidaknya terlihat jelas, misalnya, dalam Dokter Wulandari (1987) karya Yunani,

Sintru Oh Sintru (1993) karya Suryadi W.S., dan Astirin Mbalela(1995) karya Peni. Demikian juga dengan persoalan pendidikan. Oleh beberapa pengarang Jawa, persoalan pendidikan, antara lain, diabadikan dalam Dokter Wulandari

(55)

BAB III

LINGKUNGAN PENDUKUNG SASTRA JAWA

MODERN PERIODE KEMERDEKAAN

Telah menjadi semacam “hukum alam” bahwa ke -beradaan karya sastra tidak mungkin dipisahkan dari ling-kungan pendukungnya; dan lingling-kungan terdekat yang men-jadi pendukung (penyangga) keberadaan karya sastra itu ialah pengarang, pengayom, penerbit, pembaca, dan kritik. Demi-kian halnya dengan karya sastra Jawa modern periode kemerdekaan (1945--1997). Keberadaan karya-karya sastra Jawa modern tersebut juga tidak mungkin dipisahkan dari para pengarang (yang memproduksi), pengayom (yang melindungi), penerbit (yang mereproduksi dan menyerbar-luaskan), pembaca (yang menikmati), dan kritik (yang menghubungkan karya sastra dengan pembaca) yang secara bersama-sama membangun sistem tertentu yang disebut sistem sastra Jawa modern periode kemerdekaan. Oleh sebab itu, sebelum karya-karya sastra Jawa modern periode kemer-dekaan itu dipaparkan secara lebih memadai (lihat Bab IV), di dalam bab ini (Bab III) terlebih dahulu dipaparkan pengarang dan kepengarangan, pengayom dan kepenga-yoman, penerbit dan penerbitan, pembaca, dan kritik.

3.1 Pengarang dan Kepengarangan

(56)

pengalaman beberapa pengarang, Damono (1993) antara lain menyimpulkan bahwa bagi pengarang Jawa, profesi kepe-ngarangan hanyalah sebagai kerja sambilan yang dapat memberikan penghasilan tambahan, tetapi profesi itu tidak dapat dijadikan sebagai sandaran (hidup). Oleh karena itu, pengarang Jawa kemudian beranggapan bahwa di bidang kepengarangan, mereka dapat bekerja seenaknya. Memang ada sebagian pengarang yang merasa bahwa profesi kepe-ngarangannya dijalaninya dengan sungguh-sungguh dengan alasan agar bahasa dan sastra Jawa berkembang dengan baik sehingga mampu menunjang perkembangan kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, kesungguhan dan kecintaan mereka terhadap sastra Jawa ternyata tidak jelas sumbernya karena kenyataan menunjukkan bahwa--meskipun imbalan materi bukan tujuan utamanya--di antara mereka tidak ada yang merasa menjadi pejuangnya; mereka tidak berusaha mati-matian untuk mempertahankannya ketika sastra Jawa tidak berkembang seperti yang diharapkan.

Kendati simpulan Damono hanya ditarik dari peng-amatannya terhadap pengarang Jawa tahun 1950-an, dapat diduga bahwa gambaran tersebut tidak hanya sesuai dengan kondisi pengarang tahun 1950-an, tetapi juga sesuai dengan kondisi pengarang pada masa sebelum dan sesudahnya. Dugaan tersebut dilandasi oleh suatu kenyataan bahwa pengarang yang aktif berkarya pada tahun 1950-an juga berkarya pada masa sebelum dan sesudahnya. Memang sejak tahun 1960 banyak lahir pengarang baru--yang oleh Hutomo

(57)

dinya-takan bahwa bagi pengarang sastra Jawa modern, profesi kepengarangan hanyalah sekedar sebagai kerja sambilan. Artinya, kerja kepengarangan tidak dianggap sebagai profesi yang mapan karena kenyataan membuktikan bahwa dunia karang-mengarang memang belum--bahkan tidak--dapat dija-dikan sebagai jaminan untuk hidup.

Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa kondisi tersebut dapat terjadi. Pertama-tama adalah karena pengarang sastra Jawa modern tidak lagi memiliki otoritas sebagai "pekerja sastra" yang karena tugas dan kewajibannya memperoleh hak perlindungan dan pengayoman dari lembaga tertentu seperti halnya Jasadipura yang menjadi juru tulis keraton atau Ranggawarsita yang menjadi pujangga ketika Pakubuwana VII, VIII, dan IX berkuasa di keraton Surakarta. Sebagai juru tulis atau pujangga, kedua tokoh yang menulis dan mempersembahkan karyanya kepada penguasa tersebut dijamin hidupnya oleh keraton: dicukupi sandang, pangan, papan, dan keperluan batiniah lainnya (Brata, 1993). Oleh sebab itu, dalam situasi masyarakat modern seperti sekarang ini, keberadaan pengarang Jawa sepenuhnya bergantung pada sebuah "lembaga (pengayom)" yang oleh Damono (1993)

disebut “pasar”. Padahal, selama era pascapujangga terakhir

(58)

keadaan, para pengarang Jawa kemudian cenderung bekerja semau mereka sehingga mereka--sadar atau tidak--benar-benar menempatkan profesinya itu hanya sebagai kerja sampingan.

Di samping hal tersebut, hal yang cukup signifikan ialah bahwa para pengarang Jawa pada era kemerdekaan bukan merupakan satu-satunya kelompok sastrawan yang menjadi pemegang kendali pertumbuhan kesusastraan di Indonesia. Dalam menjalankan profesinya mereka hidup berdampingan dengan sastrawan lain yang mengarang dalam bahasa Indonesia; bahasa yang telah didengungkan sebagai bahasa persatuan sejak 28 Oktober 1928. Selain itu, masya-rakat yang menjadi sasaran pembaca karya mereka juga bukan lagi masyarakat yang hanya menguasai bahasa Jawa, melainkan masyarakat yang--sebagai akibat adanya kemajuan di bidang pendidikan--sedikit banyak telah menguasai bahasa Indonesia, bahkan juga bahasa Belanda dan Inggris, sehingga mereka kemungkinan besar berminat pula membaca karya sastra Indonesia dan atau karya sastra dunia. Kenyataan demikian memperkuat anggapan bahwa tidak salah apabila profesi kepengarangan Jawa dikatakan hanya sebagai kerja sambilan karena bukti menunjukkan banyak pengarang yang "menyeberang" atau, menurut istilah Damono (1993), melakukan perjalanan "ulang-alik" antara sastra Jawa dan sastra Indonesia. Bahkan, hampir seluruh pengarang Jawa memiliki profesi lain yang tidak berhubungan langsung dengan dunia karang-mengarang; dan justru dari profesi lain itulah mereka menggantungkan hidupnya.

Referensi

Dokumen terkait

Subrantas (simbol F), merupakan salah satu jalan arteri yang berada di bagian barat daya Kota Pekanbaru dan mengarah ke arah pinggiran kota (menuju ke arah perbatasan Kota

Spiritualisme yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai spiritual yang terlepas dari agama formal dan bertumpu pada kesadaran manusia yang lebih tinggi ( higher consciusness )

Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah.. Bandung: PT

Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Sistem Informasi Kependudukan yang berjalan saat ini di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Karawang,

The accuracy of classification obtained using TFPC is, however, relatively sensitive to the choice of support and confidence thresholds used when mining the classification rules.. We

Guru selalu dituntut agar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilaksanakannya. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak meningkatkan

Penelitian ini membahas mengenai persepsi nasabah terhadap kualitas pelayanan pada Bank Muamalat Cabang Pembantu Sampit, beranjak dari tiga rumusan masalah yaitu: (1)