• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Normatif dan Sosiologis Penggu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Normatif dan Sosiologis Penggu"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Hubungan Industrial adalah kegiatan yang mendukung terciptanya hubungan yang harmonis antara pelaku bisnis yaitu pengusaha, karyawan dan pemerintah, sehingga tercapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak didukung oleh pekerja, demikian pula sebaliknya. Hubungan antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas suatu proses timbal balik dari pekerja dengan pengusaha yang bertujuan menciptakan hubungan yang aman dan harmonis dalam proses produksi baik barang maupun jasa antara pekerja, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat dalam suatu hubungan kerja.1

Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.2

Berdasarkan amandemen Undang - Undang Dasar Tahun 1945 tentang ketenagakerjaan disebutkan dalam Pasal 28d ayat (2). Hal tersebut berimplikasi setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Termasuk perlakuan yang sama dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam hubungan kerja yang merupakan keterikatan antara

1 Supomo Suparman, S.H., Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial, Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009, hlm. 3.

(2)

pekerja/buruh dengan pengusaha berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak.

Perselisihan Hubungan Industrial terjadi karena suatu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja.3

Dalam bidang perburuhan timbulnya perselisihan antara pengusaha dengan buruh biasanya berpangkal dari adanya perasaan kurang puas. Dimana pengusaha memberikan kebijakan yang menurut pertimbangannya sudah baik dan bakal diterima oleh buruh, namun kenyataannya buruh yang bersangkutan memiliki pertimbangan dan pandangan yang berbeda - beda, maka akibatnya kebijakan yang diberikan oleh pengusaha itu menjadi tidak sejalan sehingga terjadilah yang namanya perselisihan.

Perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekhususan karena dua hal, yaitu frekuensinya, dan substansinya. Frekuensi perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja selalu di atas tiga jenis perselisihan lainnya. Secara sosiologis harapan untuk mendapatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidup telah pupus begitu saja lantaran terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja yang tidak disangka-sangka oleh para pekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana. Namun, mau tidak mau para pekerja/buruh harus menerima kenyataan bahwa mereka harus menjalani Pemutusan Hubungan Kerja.4

3 Ugo, S.H.,M.H., Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 27.

(3)

Dalam menjalani pemutusan hubungan kerja, pihak-pihak yang bersangkutan yaitu pengusaha dan pekerja/buruh harus benar-benar mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan PHK, terutama untuk para pekerja/buruh, agar mereka bisa mendapatkan apa yang menjadi hak mereka setelah di PHK. Hal ini dapat dilihat dari data putusan yang ada pada Mahkamah Agung bahwa frekuensi perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja paling banyak dibandingkan ketiga jenis perselisihan lainnya. Substansi perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja mengandung kerumitan, sebab salah satu kemungkinan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial adalah memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja/buruh. Ada persoalan tersendiri apabila pengusaha yang diperintah tersebut tidak dengan sukarela melaksanakan putusan Pengadilan Hubungan Industrial tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari kasus yang dikaji oleh penulis pada Perkara Nomor 10/G/2013/PHI.YK dimana Penggugat adalah pekerja dari Tergugat pada bagian pramugara /kondektur di PT. Jogja Tugu Trans. Penggugat bekerja di tempat Tergugat sejak tahun 2008 secara terus menerus dan tanpa terputus masa tenggang sampai dengan adanya pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang dilakukan Tergugat pada Tahun 2013, dan mendapatkan upah yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja. Setelah melewati perundingan bipartit namun tidak didapati kesepakatan, maka perkara tersebut dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial Daerah Istimewa Yogyakarta.

(4)

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tinjauan normatif dan sosiologis untuk mempekerjakan kembali dalam perkara Nomor. 10/G/2013/PHI.YK ?

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Normatif dan Sosiologis Alasan Hakim Untuk Mempekerjakan Kembali dalam Perkara Nomor. 10/G/2013/PHI.YK

Perselisihan Hubungan Industrial hanya mengenal empat macam perselisihan yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam kasus ini adalah Buruh yang di putus hubungan kerja-nya oleh pengusaha, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.5

Ada dua kemungkinan amar putusan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Yang pertama adalah mengabulkan untuk terjadi pemutusan hubungan kerja. Yang kedua adalah menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) disertai perintah untuk mempekerjakan pekerja/buruh. Hal ini berdasarkan pertimbangan praktis bahwa tidak pernah terjadi pekerja/buruh diputus hubungan kerja-nya oleh pengusaha.

1. Tinjauan Normatif

Secara normatif - kasuistis, hakim dalam memutus Pemutusan Hubungan Kerja dan Upah Proses bisa menggunakan pendekatan rasa keadilan. Kebolehan itu terutama bila gugatan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja itu diajukan oleh pengusaha disertai dengan alasan Pemutusan Hubungan Kerja yang sesuai dengan hukum. Sebaliknya, bila Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan menyimpang dari

(6)

hukum dan pengusaha tidak memperlihatkan keinginan untuk menyelesaikan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja sesuai hukum positif sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-IX/2011.6

Majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan hubungan industrial dalam mengambil keputusan harus mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan. Ketika memutuskan suatu perselisihan hubungan industrial, majelis hakim wajib terlebih dahulu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat agar putusan hakim itu nantinya sudah sesuai dengan hukum dan keadilan yang ada dimasyarakat.7

Majelis hakim yang memimpin persidangan dengan perkara perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja setelah melihat bukti-bukti perjanjian-perjanjian serta fakta-fakta hukum yang dihadirkan dipersidangan, maka majelis hakim memutuskan untuk pihak pekerja tidak layak diputus hubungan kerja-nya dan memerintahkan untuk mempekerjakan kembali. Seperti dalam kasus Perkara Nomor. 10/G/2013/PHI.YK, Hakim memutus untuk Menghukum Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pada praktiknya, Hakim mengupayakan faktor putusan yang isi amar putusannya mempekerjakan kembali untuk dihindari dalam mengambil keputusan, karena apabila amar putusannya mempekerjakan kembali nantinya berakibat fatal kepada pihak pekerja/buruh yang nantinya apabila amar putusannya itu dilaksanakan akan memperoleh perbedaan sosial yang diterima oleh pekerja/buruh apabila diperkerjakan kembali sesuai dengan amar putusan tersebut.

(7)

Tetapi apabila memang harus memberikan putusan yang amar putusannya mempekerjakan kembali, maka juga harus disertai dengan uang paksa (Dwangsom) yang nantinya uang paksa tersebut sebagai hukuman apabila pihak yang kalah dalam berperkara tidak mau menjalankan putusannya. Agar putusan yang amar putusannya mempekerjakan kembali dapat dilaksanakan dengan sukarela.

Para hakim pun pasti telah berupaya sebaik mungkin untuk penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja ini. Hakim tidak dapat menolak perkara tersebut dengan alasan apapun. Namun para hakim disini lebih mementingkan kepentingan bagi para pekerja yang berselisih. Agar nantinya hak-hak yang akan diperoleh dari putusan tersebut untuk para pekerja dapat diperoleh dengan maksimal dan juga dapat dirasakan seadil-adilnya untuk semua pihak.

Menurut penulis, untuk menciptakan keadaan yang seadil-adilnya serta tidak ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan terjadi pada pelaksanaan eksekusi putusan hakim tersebut berlangsung, tidak diinginkan artinya pada pelaksanaan eksekusi tersebut berlangsung terjadi juga demo besar-besaran yang dilakukan oleh pihak pekerja, yang nantinya ditakutkan akan menambah resiko serta kerugian yang dialami oleh para pihak. Sebelum pelaksanaan eksekusi itu berlangsung alangkah baiknya untuk dirundingkan terlebih dahulu untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kodusif agar kepentingan semua pihak dapat telaksana dengan lancar tanpa ada lagi hambatan-hambatan.

(8)

2. Tinjauan Sosiologis

Secara sosiologis alasan hakim mempekerjakan kembali buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja oleh pengusaha apabila buruh/pekerja tersebut sudah di-PHK secara sepihak oleh pihak pengusaha dan dilarang untuk masuk kembali ke perusahaan, maka para pekerja/buruh yang telah di-PHK tersebut untuk dipekerjakan kembali agak sulit bahkan tidak pernah terjadi lagi hal tersebut, karena penilaian dari pengusaha tentang pekerja/buruh tersebut sudah negatif atau sudah dinilai sebagai pembuat masalah di perusahaan tersebut.

Pelaksanaan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan isi amar putusannya tersebut adalah mempekerjakan kembali, meskipun pihak yang menang tersebut telah mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua Pengadilan hubungan industrial pada, tapi pada kenyataannya pihak pengusaha tidak mau untuk melaksanakan putusan hakim tersebut, karena tadi faktor penilaian dari pengusaha kepada pekerja/buruh tersebut sudah buruk. Nantinya akan berdampak diperlakukan tidak baik oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan.

Meskipun pada akhirnya pihak pengusaha mau melaksanakan putusan tersebut, namun nanti pada akhirnya pihak pekerja/buruh tersebut yang mengundurkan diri sendiri karena faktor sosial dan pergaulan dalam perusahaan tadi yang sulit untuk diterima kembali, bahkan sudah dinilai buruk oleh pengusaha itu kedepannya juga tidak baik untuk kinerja pekerja/buruh tersebut untuk perusahaan tersebut.8

Hakim juga harus memperhatikan faktor psikologis, dan ekonomis/financial dalam memutus suatu perkara, dalam hal ini Pemutusan Hubungan Kerja, sebab:

(9)

a. Dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja, bagi buruh telah kehilangan mata pencaharian.

b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan, di samping biaya-biaya lain seperti pembuatan surat-surat untuk keperluan lamaran dan foto copy surat-surat lain).

c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluargannya sebelum mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.

3. Upaya Hukum atas Putusan Pengadilan Terkait Perintah Bekerja Kembali

Belum adanya aturan yang jelas mengenai mekanisme pelaksanaan terhadap putusan pengadilan, yang amarnya memerintahkan pihak perusahaan untuk mempekerjakan kembali, menjadi masalah baru bagi buruh untuk mewujudkan kepastian bekerja. Ketidak-sempurnaan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, semakin menunjukkan keberpihakkan peraturan kepada pengusaha.9

Kepastian bekerja menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk memenuhinya, hingga kini masih menjadi bahasa tekstual dalam UUD 1945. Kepastian bekerja menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

1. adanya penyediaan lapangan kerja oleh Pemerintah

2. pengaturan mekanisme terhadap putusan bekerja kembali.

(10)

yang ada. terkait mekanisme putusan bekerja kembali, sedangkan upaya paksa melalui hukum bukanlah jalan keluar yang baik. Hal tersebut dikarenakan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha merupakan hubungan konflik, yang setiap waktu akan terjadi tanpa diduga sebelumnya. Oleh karenanya, dibutuhkan cara, alat komunikasi dan peran Pemerintah yang baik dalam rangka menyelesaikan sengketa yang berasal dari sebuah pertentangan pendapat.

B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara pada Pengadilan Hubungan Industrial Yogyakarta dalam Perkara Nomor. 10/G/2013/PHI.YK ditinjau dari sistem perundang-undangan dan kondisi sosiologis

1. Duduk Perkara

Pada tanggal 04 Desember 2013 majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial mengabulkan permohonan gugatan yang diajukan oleh Rima Satria Pamungkas sebagai Penggugat dimana hak sebagai pekerja-nya dicabut oleh PT Jogja Tugu Trans yang dalam persidangan ini sebagai Tergugat. Kejadian diawali dimana Penggugat adalah pekerja Tergugat pada bagian pramugara/kondektur di PT. Jogja Tugu Trans sejak tanggal 18 Februari 2008 secara terus-menerus dan tanpa terputus masa tenggang sampai dengan adanya pemutusan hubungan kerja secara sepihak pada tanggal 01 Juli 2013. Perlu diketahui, bahwa Pemutusan Hubungan Kerja sepihak tersebut dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat dikarenakan Penggugat menuntut hak Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/status ‘tetap’ kepada Tergugat.

(11)

dimana Tergugat diwajibkan membayar upah proses kepada Penggugat sejak bulan Juli 2013 (PHK sepihak) sampai dengan diterimanya gugatan ini di Pengadilan Hubungan Industrial Yogyakarta pada bulan Desember 2013, Upah proses dari bulan Juli 2013 sampai dengan bulan November 2013 adalah: 6 bulan x Rp. 1.939.247.00 = Rp. 11.635.482,00 dan Tunjangan Hari Raya sebesar Rp. 6.878.000,00. Kemudian Penggugat meminta kepada majelis hakim untuk memberi putusan sebagai berikut; Dalam Provisi

- Menerima dan mengabulkan permohonan dalam Provisi Penggugat untuk seluruhnya.;

- Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk membayar secara tunai upah proses plus kekurangan gaji plus sisa cuti plus kekurangan THR yang belum dibayarkan kepada Penggugat.;

- Menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara Tergugat dan Penggugat demi hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).;

- Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat di tempat Tergugat (PT. Jogja Tugu Trans).

Kemudian Tergugat dengan eksepsinya : - Exceptio Obscuur Libel

- Bahwa gugatan Pengugat tidak jelas dan kabur karena isinya tidak sinkron antara Posita dengan Petitum.

- Bahwa gugatan Penggugat tidak jelas dan kabur karena penyusunan petitumnya dalam pokok perkara membingungkan.

2. Amar

(12)

- Menerima dan mengabulkan permohonan dalam Provisi Penggugat untuk seluruhnya.;

- Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk membayar secara tunai upah proses plus kekurangan gaji plus sisa cuti plus kekurangan THR yang belum dibayarkan kepada Penggugat.;

- Menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara Tergugat dan Penggugat demi hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).;

- Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat di tempat Tergugat (PT. Jogja Tugu Trans).

DALAM PROVISI :

- Menerima Jawaban Tergugat dalam provisi untuk seluruhnya.; - Menolak Gugatan Dalam Provisi dari Penggugat untuk seluruhnya.;

DALAM POKOK PERKARA :

- Menerima Jawaban Tergugat dalam pokok perkara untuk seluruhnya.; - Menolak gugatan Penggugat dalam pokok perkara untuk seluruhnya ;

3. Pertimbangan Hakim

3.1. Pengajuan gugatan telah memenuhi ketentuan Undang – undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial untuk dapat diperiksa dan diadili melalui Pengadilan Hubungan Industrial

(13)

- Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP-92/MEN/VI/2004 tentang pengangkatan dan pemberhentian Mediator serta tata kerja Mediasi, Pasal 7 menyebutkan “ Mediator bertugas melakukan mediasi kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”; - Penggugat dengan Surat Gugatannya tertanggal 2 Desember 2013 yang telah

didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 4 Desember 2013 dengan register perkara : 10/G/2013/PHI.Yk telah melampirkan risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial Melalui mediasi tertanggal 12 September 2013 yang dikeluarkan oleh Mediator pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kabupaten Bantul.

Menurut hemat penulis, Gugatan Penggugat sudah memenuhi ketentuan Undang–undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta.

3.2. Perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat adalah perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)

- Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, menyatakan “Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan Perintah”

(14)

Jadi dalam hal ini Perjanjian Kerja Waktu Tertentu antara Penggugat dengan Tergugat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dan ayat (6) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sehingga demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu sejak tidak terpenuhinya syarat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut dan/atau terhitung mulai tanggal 16 Februari 2011.

3.3. Dasar Hukum Perihal Surat Keputusan Direksi PT Jogja Tugu Trans Nomor : 179/JTT-SK/B/VII/2013 tanggal 1 Juli 2013 tentang Pemberhentian Sebagai Karyawan Saudara Rima Satria Pamungkas Pada bagian Pramugara PT Jogja Tugu Trans

- Tergugat telah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Penggugat. Hal tersebut dikuatkan dengan bukti T-9 berupa Surat Keputusan Direksi PT Jogja Tugu Trans Nomor : 179/JTT-SK/B/VII/2013 tanggal 1 Juli 2013 tentang Pemberhentian Sebagai Karyawan Saudara Rima Satria Pamungkas Pada bagian Pramugara PT Jogja Tugu Trans terhitung sejak tanggal 1 Juli 2013

- Surat Keputusan Direksi PT Jogja Tugu Trans Nomor : 179/JTT--SK/B/VII/2013 tanggal 1 Juli 2013 tentang Pemberhentian Sebagai Karyawan Saudara Rima Satria Pamungkas Pada bagian Pramugara PT Jogja Tugu Trans dalam diktum MENIMBANG menyebutkan pelanggaran yang dilakukan, yaitu :

- Telah melanggar ijin tidak masuk kerja sesuai dengan ijin yang telah diberikan oleh perusahaan,

- Telah melakukan alpha selama 2 (dua) hari kerja,

(15)

Perbuatan tersebut oleh staf operasional lapangan telah dilakukan peneguran tetapi tetap membantah dan susah diatur saat bertugas sehingga menghambat kelancaran operasional armada dan perbuatan tersebut merupakan pelangaran terhadap Peraturan Perusahaan PT Jogja Tugu Trans dan pelanggaran terhadap standar pelayanan operasional serta janji yang tertuang surat kesepakatan kerja dan untuk menegakkan disiplin dalam Peraturan Perusahaan, maka kepada yang bersangkutan layak dilakukan pemberhentian sebagai karyawan

Saksi Sdri Ambar Barunaningrum, adalah karyawan PT Jogja Tugu Trans dibawah sumpah memberikan keterangan Penggugat pernah ijin tidak masuk kerja melebihi dari ketentuan perusahaan dengan alasan keluar kota, meski sudah diberikan alternatif/solusi namun Penggugat tidak mematuhi

Bukti T-1 berupa Peraturan Perusahaan PT jogja Tugu Trans Periode 2012 – 2014 dan telah disahkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul Nomor : 188/829 tanggal 23 Mei 2012

Pasal 32 ayat (2) huruf a Peraturan Perusahaan PT jogja Tugu Trans Periode 2012-2014 menyatakan “Pada umumnya karyawan yang melakukan pelanggaran peraturan, tata tertib dan keselamatan kerja dapat dikenakan sanksi sebagai berikut : - Peringatan lisan / teguran,

Penggugat pernah mendapat surat peringatan ke II karena berdasarkan data absensi tanggal 11 April 2011 dan laporan kegiatan operasional Penggugat mengatur jadwal dengan rekan kerja lain tanpa sepengetahuan kantor sehingga berakibat alpha. Dan surat peringatan tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan.

(16)

tanggal 1 Juli 2013 tentang Pemberhentian Sebagai Karyawan Saudara Rima Satria Pamungkas Pada bagian Pramugara PT Jogja Tugu Trans terhitung sejak tanggal 1 Juli 2013 adalah batal demi hukum dan kepada Penggugat tidak dapat diputus hubungan kerjanya karena melakukan pelanggaran sebagai disebutkan dalam Surat Keputusan Direksi PT Jogja Tugu Trans Nomor : 179/JTT SK/B/VII/2013 tanggal 1 Juli 2013.

Menurut penulis, Penggugat telah memenuhi alat bukti dan mengajukan lima orang Saksi diantaranya adalah Sdr. Ignas Triyono, Sdr. Bahari Toharudin, SE., Sdr. Arsiko, Sdr. Rina Fatmawati, dan Sdr. Addienulhaq Jati Panuntun, ST. Semuanya adalah karyawan PT Jogja Tugu Trans serta Sdr. Addenulhaq bekerja di DINASKERTRANS Bantul dibawah sumpah bukti Penggugat bertanda P-2a, sampai dengan 2f, 4,7, 8, 9, 10, 14, 15, 16a, 16b, 19, 20, 21, P-23 dan P-24 adalah berupa fotocopy yang telah dibubuhi materai cukup dan telah disesuaikan dengan surat aslinya di persidangan, sedangkan surat bukti bertanda P-1a, P-1b, P-1c, P-3, P-5, P-6,P-11, P-12, P-13, P-17, P-22 dan P-25 diserahkan berupa fotocopy yang telah dibubuhi materai cukup tanpa memperlihatkan surat aslinya di persidangan,

Sedangkan Tergugat telah mengajukan bukti surat bukti Tergugat bertanda T-1, sampai T-7 dan T-9, T12, T-13 adalah berupa fotocopy yang telah dibubuhi materai cukup dan telah disesuaikan dengan surat aslinya di persidangan, sedangkan surat bukti bertanda T-8, dan T-10, T-11 diserahkan berupa fotocopy yang telah dibubuhi materai cukup tanpa memperlihatkan surat aslinya di persidangan, dan mengajukan dua orang saksi yang didengar keterangannya setelah disumpah bernama Saksi Sdri Ambar Barunaningrum, Sdr. Subagyo, SH., Sdr. Rujito, SH.,MH., Sdr. Ir. Sigit Haryanta, MT., Sdr. Totok Yulianta, dan Sdr. Widarto Catur Syahputra.

(17)

Setelah mengetahui pertimbangan hukum hakim dan isi gugatan penggugat maka Hakim menemukan fakta-fakta hukum selama proses persidangan. Adapun fakta-fakta hukumnya sebagai berikut:

- Bahwa pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT.Jogja Tugu Trans mendasarkan Kontrak pertahun antara Pemerintah / Regulator melalui DISHUBKOMINFO Prop DIY yang dievaluasi setiap tahun sehingga sewaktu-waktu kontrak dapat dihentikan oleh DISHUBKOMINFO Prop DIY

- Bahwa pekerjaan yang dilaksanakan Tergugat merupakan Program Pelayanan Umum dan merupakan Pilot Projck Pemerintah yang sewaktu-waktu dievaluasi dan dapat dihentikan, karena merupakan kegiatan baru, hal ini sesuai Pasal 59 ayat 1a, 1d UU No.13 Tahun 2003.

- Bahwa berkaitan dengan Pemberhentian Sebagai Karyawan senyatanya yang dialami Penggugat adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu telah habis jangka waktu perjanjiannya dan tidak diperpanjang lagi oleh Tergugat

- Bahwa senyatanya permasalahan yang ada bukanlah perselisihan hak akan tetapi karena Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Penggugat yang sudah habis jangka waktunya akan tetapi tidak diperpanjang kontraknya dan dipertegas lagi dengan Pemberhentian Sebagai Karyawan

Maka, berdasarkan fakta-fakta hukum dalam persidangan tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa perkara Nomor. 10/G/2013/PHI.YK telah sesuai dengan ketentuan/aturan-aturan yang mengatur tentang proses penyelesain perselisihan hubungan industrial, dan aturan-aturan ketenagakerjaan. Sehingga dengan adanya putusan ini maka buruh dinyatakan telah di PHK, dan tergugat harus memenuhi kewajibannya kepada pihak penggugat sesuai ketentuan yang telah diputuskan.

(18)

cermat kesesuaian fakta-fakta yang ada, dengan alat bukti yang dihadirkan (fakta persidangan).

3.5. Putusan Hakim

DALAM EKSEPSI

Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;

DALAM PROVISI

Menolak Gugatan Provisi Penggugat untuk seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA

1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu antara Penggugat dengan Tergugat demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu sejak tidak terpenuhinya syarat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut;

3. Menyatakan Surat Keputusan Direksi PT Jogja Tugu Trans Nomor : 179/JTT-SK/B/VII/2013 tanggal 1 Juli 2013 tentang Pemberhentian Sebagai Karyawan Saudara Rima Satria Pamungkas Pada bagian Pramugara PT Jogja Tugu Trans adalah batal demi hukum;

4. Menyatakan antara Penggugat dengan Tergugat masih terikat hubungan kerja; 5. Menghukum Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap;

6. Menolak Gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

7. Menyatakan biaya yang timbul dalam pemeriksaan perkara ini dibebankan kepada Negara;

(19)

Lahirnya putusan ini telah memberikan pengaruh terhadap hukum perburuhan di Indonesia khususnya penyelesaian hubungan industrial, setiap pengusaha yang mempekerjakan pekerjanya, baik dalam perusahaan besar maupun perusahaan kecil di berbagai sektor bidang usaha harus mementingkan kepentingan pekerjanya,dimana adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja itu sendiri yang dilandasi dengan kesepakatan kerja bersama dan telah dibuat secara bersama-sama antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja atau serikat pekerja melalui musyawarah yang memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi kedua belah pihak dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Maka dari itu, setiap perbuatan hukum yang dilakukan mempunyai konsekuensi hukum, sama halnya dengan kasus ini karena adanya perselisihan antara kedua belah pihak yang penyelesaian yang ditempuh melalui jalur hukum maka lahirlah implikasi yang berkekuatan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku didalamnya, serta didukung oleh pertimbangan hakim yang didasari fakta-fakta hukum untuk mendapatkan titik temu dalam penyelesaiannnya.

Namun dalam kasus ini proses peradilannya tidak berpedoman pada peradilan yang cepat dan mudah, hal ini diperkuat dengan tanggal masuknya surat gugatan yang didaftarkan di kepanitraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 4 Desember 2013, dan putusan dijatuhkan pada tanggal 20 Februari 2013, jadi proses peradilannya terhitung 78 hari yang semestinya hanya 50 hari untuk memenuhi syarat peradilan cepat dan mudah.

C.

PENUTUP

KESIMPULAN

(20)

1. Secara Normatif, majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan hubungan industrial dalam mengambil keputusan harus mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-IX/2011. Secara Sosiologis, Pelaksanaan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan isi amar putusannya tersebut adalah mempekerjakan kembali, meskipun pihak yang menang tersebut telah mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua Pengadilan hubungan industrial pada, tapi pada kenyataannya pihak pengusaha tidak mau untuk melaksanakan putusan hakim tersebut, karena tadi faktor penilaian dari pengusaha kepada pekerja/buruh tersebut sudah buruk. Nantinya akan berdampak diperlakukan tidak baik oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan.

(21)

uang pengganti cuti, dan upah proses serta tergugat wajib membayar biaya perkara nihil dan semua akibat hukum yang diperoleh dari kedua belah pihak berlandaskan atas ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SARAN

1. Dengan adanya pengadilan hubungan industrial ini diharapkan dapat memberikan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat dan mudah serta biaya ringan. Dalam hal ini, seharusnya pihak pengusaha terlebih dahulu memberikan kepastian mengenai status hukum pekerja/buruh, sehingga hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat terpenuhi, agar tidak terjadi perselisihan, dan perlu adanya komunikasi dan keterbukaan dari pihak pengusaha terhadap pekerja/buruh begitupun sebaliknya.

2. Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial mengupayakan semaksimal mungkin untuk membuat putusan hakim yang sebenar-benarnya sesuai dengan kenyataan yang ada dan juga mempertimbangkan asas kemanusiaan dan sosial. Majelis hakim tidak perlu melanggar asas kehakiman yakni hakim tidak dapat menolak perkara tersebut dengan alasan apapun. Sebaiknya para hakim disini lebih mementingkan kepentingan bagi para buruh/pekerja yang berselisih. Agar nantinya hak-hak yang akan diperoleh dari putusan tersebut untuk para buruh/pekerja dapat diperoleh dengan maksimal dan juga dapat dirasakan seadil-adilnya untuk semua pihak.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

(23)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6)

Buku

Mu’azd, Farid, 2006, Pengadilan Hubungan Industrial dan Alternative Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan, Jakarta.

Ugo, 2011, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Sinar Grafika, Jakarta.

Suparman, Supomo, 2009, Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial, Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, Jala Permata Aksara, Jakarta.

Internet

https://anggaraniintan.wordpress.com/2014/01/06/makalah-pemutusan-hubungan-kerja/ Diakses pada 11 November 2016 Pukul 12.32.

http://www.gajimu.com/main/pekerjaan-yanglayak/kontrak-kerja/pemutusan-hubungan-kerja Diakses pada tanggal 15 November 2016 Pukul 16.00.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ef3dcaacf2c6/putusan-mk-dan-ragam-tafsir-tentang-upah-proses-phk-broleh--juanda-pangaribuan- Diakes pada tanggal 16 November 2016 pukul 19.43.

hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/.../510 Diakses pada tanggal 20 November 2016 pukul 20.22.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Skripsi ini meneliti tentang praktik jual beli padi dengan sistem tebas dan Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa transaksi jual beli padi

pemberian pelayanan kepada masyarakat artinya suatu pelayanan dapat dikatakan efektif apabila telah disediakannya fasilitas sarana dan prasarana yang lengkap dan

Untuk mengetahui kualitas media pembelajaran berbasis android dengan Program Adobe Flash CS5.5 untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP Kelas VIII pada

Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan

Apakah ada Polis atau SPAJ atau proses pemulihan untuk asuransi dasar, asuransi penyakit kritis, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan yang pernah diajukan atau masih dalam

Pada umumnya penutur-penutur bahasa Indonesia mengenal kata di mana sebagai kata tanya yang digunakan untuk menanyakan tempat (lokasi) di dalam kalimat tanya informasi (Wijana,

Selain itu karakteristik yang harus dimiliki oleh wirausahawan menurut Sagoro (3:2013) adalah: 1) Selalu berfikir positif, merupakan sikap mental yang melibatkan