• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Media dan Terorisme Studi Kasus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Media dan Terorisme Studi Kasus"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Media dan Terorisme : Studi Kasus Aksi Teror dalam

Pemberitaan Global Serangan 13/11 di Paris

Oleh Muhammad Ahalla Tsauro

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas Airlangga Abstrak

Tulisan ini mencoba melihat seperti apa hubungan media dan terorisme di era kontemporer saat ini yang sama-sama saling mempengaruhi dan saling menguatkan. Serangan teror 13/11 yang terjadi di Paris menjadi pilihan yang tepat lantaran kasus ini menjadi salah satu isu global yang didalamnya mampu melihat bagaimana media dan terorisme bekerja. Dengan menggunakan pendekatan media, penulis melihat bahwa terorisme dimanfaatkan untuk tujuan pemberitaan global itu sendiri. Sedangkan dari teroris, media digunakan sebagai salah satu sarana untuk memperluas pengaruh dan ancamanya terhadap masyarakat global. Serangan yang terjadi di tempat publik di Paris menjadi ajang yang tepat untuk membuka babak baru terorisme dengan menjamurnya berbagai pemberitaan global baik di media dan pers internasional ataupun dari media sosial yang kini juga menjadi sumber berita. Tidak hanya media saja yang aktif dalam pemberitaan isu ini, bahkan pelaku terorisme dalam hal ini ISIS juga mampu memanfaatkan media sebagai alat baru dalam menerapkan strategi terornya, hal ini kemudian menjadi tantangan global seluruh negara dalam memerangi ISIS, sehingga pemahaman akan hubungan media dan terorisme menjadi penting kiranya untuk menjawab persoalan mengenai terorisme.

Kata Kunci : Terorisme, Media, Berita Global, Serangan 13/11 Paris

Pendahuluan

(2)

ulasan menarik lainya yang berjudul, cette fois c’est la guerre, yang artinya untuk kali ini, ini adalah perang. Media internasional lain seperti NewYork Times, Daily News, The Mail, Le Depeche, The Sun dan masih banyak lagi juga tidak mau luput ambil bagian dalam memberitakan kasus terror ini.

Hadirnya media sosial dan juga media korporasi internasional memberikan wajah baru pada aksi teror yang terjadi saat ini. jika dahulu, ketika aksis teror pertama kali yang terpublikasikan adalah pembunuhan yang terjadi pada olimpiade 1972 yang dimuat oleh televisi pada waktu itu memberikan ancaman yang begitu besar. Bagaimana dengan kondisi saat ini yang mana informasi dan teknologi komunikasi telah berkembang pesat, pemberitaan melalui siaran televisi tersebar dimana-mana. Secara tidak langsung opini publik terkontruksi dari apa yang diberitakan oleh berbagai media mainstream. Jika dilihat dari perkembangan aksi terror yang paling dekat, aksi terror yang terjadi di Paris ini masih menjadi agenda perang melawan terorisme pasca kejadian 9/11 di Amerika Serikat. Gedung WTC yang runtuh diolah sedemikian rupa oleh media Amerika sebagai titik awal peperangan melawan teroris. Sejak saat itu, ketakutan masyarakat akan teroris semakin merebak, bahkan sampai bergeser pada phobia islam, karena indikasi berbagai kelompok teroris tersebut berasal dari negara mayoritas muslim. Tidak jauh beda dari tragedi 9/11, kasus serangan 13/11 di Paris menjadi titik penting bagi aksi terror ditengah berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan informasi. Dari sini, aksi teror semakin menjadi isu global, menjadi musuh bersama, lantaran media memainkan peran pentingnya. Anehnya, para teroris yang dalam hal ini Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau yang lebih dikenal dengan ISIS juga mahir memanfaatkan media, bahkan pasca tragedy 13/11, ISIS merilis rekaman yang berisikan bahwa mereka bertanggung jawab atas serangan di Paris.

(3)

Pembahasan

Terorisme menjadi Berita Global (Media, Terorisme dan Pemerintah)

Media dan terorisme tidak dapat dipisahkan, sama halnya dengan media dan pemerintah, keduanya bersifat saling membutuhkan. Penulis mengasumsikan apa daya yang bisa dilakukan aksi terorisme tanpa adanya pemberitaan oleh media. Jika saja terjadi suatu pengeboman di suatu tempat terpencil tanpa ada akses informasi di sana, aksi ini tentu tidak akan tersebar ke seluruh masyarakat lainnya. Dampaknya, pengeboman ini hanyalah bersifat pembunuhan lokal tanpa adanya penyebaran horor dan ketakutan, yang notabene tidak sesuai dengan kepentingan terorisme. Dengan kata lain, media berperan penting dalam menempatkan posisi terorisme sebagai breaking news, demi keuntungan kedua belah pihak.

Dalam masa teknologi informasi, media memiliki peranan untuk menyebarkan berbagai informasi, terutama yang berkaitan dengan masalah publik seperti bencana alam, terorisme, isu politik, isu sosial dan budaya, isu ekonomi, dan lain sebagainya. Bagi media, penyediaan informasi ini berhubungan langsung dengan tingkat pendapatan korporasi media. Jika informasi yang disiarkan menarik minat banyak penonton, rating media akan meningkat dan profit yang dihasilkan juga bertambah. Oleh karenanya, media tidak sembarangan dalam menampilkan berita. Hanya isu-isu tertentu yang dianggap dapat menarik perhatian penontonlah yang ditampilkan. Isu tertentu ini, salah satu yang paling bisa menarik perhatian, adalah isu terorisme. Terorisme sebagai breaking news yang sempurna terlihat dari dihentikannya semua program acara televisi demi tayangan aksi terorisme yang mungkin saja lokasinya jauh dari penonton (Nacos, 2002:35). Sementara media menyebarluaskan berita terorisme demi rating dan profit, pemerintah seakan berusaha mendamaikan kondisi yang mungkin “heboh” pascakemunculan berita.

(4)

memahami bahwa telah terjadi suatu aksi kekerasan yang pada akhirnya menyalahkan pelaku kekerasan tanpa tahu maksud dan tujuan dari terjadinya kekerasan. Di sisi lain, pemerintah berusaha untuk menekan berita terorisme karena khawatir akan timbul chaos akibat ketakutan yang tidak terkontrol. Pemerintah kemudia seakan menjadi pihak yang lemah bagi penonton karena pemerintah tidak mampu mengatasi atau bahkan mencegah tindakan terorisme yang terjadi di negaranya. Tidak hanya itu, pemerintah diharapkan mampu mengeluarkan kebijakan yang tepat dalam merespon segala bentuk terorisme. Meskipun demikian, pemerintah tetap membutuhkan media untuk menginformasikan kepada penonton (masyarakat) mengenai kebijakan yang diambil demi memperoleh kembali legitimasi yang sempat koyak pascatindakan terorisme.

Terorisme merupakan isu yang ada jauh sebelum teknologi informasi dan komunikasi secanggih sekarang. Namun aksi-aksi terorisme hanya berdampak lokal dan tidak menggaung ke seluruh belahan dunia dalam waktu yang singkat seperti akhir-akhir ini. Berkat media, aksi terorisme memperoleh sorotan dan menempati peringkat teratas kejaran paparazi. Menurut Martin (2006:396), media berperan dalam hal publikasi, penyebaran global, dan menyajikan bentuk komunikasi massa baru bagi terorisme. Dampaknya, terorisme kemudian berbasis media, dengan segala proses penyebaran informasi, pengiriman pesan kepada penonton, dan pembentukan iklim teror dilakukan oleh peran aktif media.

Lebih lanjut, Martin (2006:402) berargumen bahwa terorisme berbasis media membawa bentuk baru bagi medan perang. Medan perang baru dikarakteristikkan dengan beragamnya partisipan dalam lingkungan teroris, penggunaan media sebagai konsiderasi praktis dan senjata, serta munculnya risiko reaksi yang menjadi masalah dalam medan perang. Permainan yang berlangsung dalam medan perang ini adalah penguasaan informasi. Penulis memiliki pemahaman bahwa jika yang menguasai informasi adalah media, informasi akan bersifat objektif namun tetap diiringi dengan kepentingan korporasi. Sementara jika informasi dikuasai teroris, legitimasi akan jatuh ke pangkuan terorisme. Sedangkan jika pemerintah yang berhasil menguasai informasi, legitimasi tetap berada di tangan pemerintah namun dengan adanya regulasi khusus bagi media.

(5)

lawan (misalnya saja kapitalisme atau Barat), tidak dapat dimusnahkan, namun ketakutan akan terorisme sudah tersebar ke seluruh dunia. Penyebutan kelompok-kelompok tertentu yang diduga teroris akan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi yang mendengarnya. Iklim horor dan penyebaran pesan inilah yang sebenarnya menjadi tujuan para teoris karena iklim semacam ini akibatnya bisa menjadi dua, yakni kebencian terhadap terorisme atau bahkan perekrutan orang-orang yang sepaham dengan terorisme. Dalam kasus 9/11 misalnya, Nacos (2002:38) menyebutkan dua kepentingan utama terorisme, yakni (1) menunjukkan kelemahan Amerika Serikat, menakuti publik, dan melemahkan kebebasan sipil; dan (2) mengupayakan perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam kaitannya dengan Timur Tengah dan negara mayoritas Muslim lainnya.

Terorisme bergerak dalam multiplikasi, bahwa keberhasilan terorisme tidak akan terjadi tanpa media turut campur dalam mendramatisasi aksi mereka (Nacos, 2002:41). Dalam hal ini, publik menyimak aliran informasi yang disediakan media sehingga publik merasa terlibat dalam berita yang disajikan dan menjadi bagian dari tragedi tersebut. secara tidak langsung, teroris juga ingin mencari tahu reaksi publik terhadap tindakan mereka menayangkan gambar dramatis. Media mampu menyajikan kepentingan publik dalam mengulas suatu tragedi kemanusiaan. Hal inilah yang menjadi poin penting peranan media sebagai aktor yang menjalankan fungsi informan bagi publik (Nacos, 2002:67). Oleh karenanya, pemerintah sebagai pemegang legitimasi publik seyogyanya perlu membuat suatu regulasi khusus, baik berupa gatekeeping maupun intervensi kebebasan media, demi terciptanya suatu standar etis dalam memberitakan insiden terorisme (Martin, 2006:413).

Hubungan antara pemerintah, media, dan terorisme dapat disimpulkan bahwa bahwa hubungan ketiganya meskipun bertolak belakang, tetap memiliki kesinambungan yang bersifat saling membutuhkan. Pemerintah butuh media, media butuh terorisme, dan terorisme berupaya menggulingkan legitimasi rezim pemerintahan. Dalam era masyarakat informasi, terorisme bukanlah suatu keniscayaan ataupun konsekuensi tak terhindarkan.

(6)

menjadi jeda bagi terorisme ketika informasi ini memiliki standar etis pemberitaan terorisme sehingga aliran informasi tidak bergerak tanpa kontrol. Masyarakat dapat memperoleh berita yang nyata dan benar mengenai terorisme ketika media mengutamakan objektivitas yang dilingkupi oleh standar etis demi meluruskan mispersepsi terhadap terorisme.

Serangan 13/11 di Paris

Menurut rangkuman berita AFP dan Reuters, Serangan di Paris merupakan serangan teroris bersenjata dan pengeboman yang menewaskan tidak kurang dari 128 korban meninggal dan ratusan lainya menderita luka-luka di tempat penting seperti restoran Le Petit Cambodge dan Le Carillon di Rue Aliert, Stadion sepak bola Stade de France, bar La Belle Equipe di Rue La Charonne, Les Halles di Rue de la Fontaine, dan pertunjukan konser musik di Bataclan. (www.reuters.com) Kejadian ini mendapat simpati yang begitu luar biasa dari masyarakat internasional. Dan kejadian di Paris ini menjadi salah satu aksi teror yang menarik begitu banyak perhatian yang dilakukan oleh ISIS di tahun 2015. Bahkan harian berita Kompas menyebutkan dalam headline-nya, Mimpi Buruk Perancis Menjadi Kenyataan, Dunia Bersatu Mengecam Serangan Teror di Paris.

(7)

Presiden Francois Hollande merespon kejadian ini dengan memberlakukan tiga hari berkabung nasional. Ia menyebut bahwa kejadian ini merupakan kejadian horor, karena ia merasakan secara langsung karena ia dievakuasi ketika menonton pertandingan persahabatan timnas Perancis. Hollande juga menyebut bahwa kejadian ini merupakan serangan yang dipersiapkan dengan baik, terorganisir, terencana dan direncanakan oleh pihak dari luar dan dalam Perancis. Jauh sebelum kejadian ini berlangsung, terdapat dua aksi teror di bulan januari ; serangan ke kantor redaksi Charlie Hebdo yang menewaskan dua belas orang dan juga penyanderaan tiga puluh orang oleh tiga orang pelaku yang menewaskan 4 pengunjung swalayan khusus makanan yahudi.

Hubungan Media dan Terorisme

Terorisme dan media memang bukan sebuah term yang memiliki makna yang sama. Terorisme merupakan paham yang berangkat dari bagaimana menciptakan ketidakamanan, ketakutan pada masyarakat. Sedangkan media, lebih cenderung pada alat, yang mana menjadi wadah bagi segala aktivitas untuk dipublikasikan. Terorisme dan Media memiliki kaitan erat satu sama lain, banyak para penstudi yang melakukan penelitian secara mendalam dan kemudian memberikan argumenya masing-masing terkait hubungan media dan terorisme. The media are the terrorist’s best friends, the terrorist’s act by itself is nothing, publicity is all (Laquer 2004). Bagaimana terorisme bisa menjadi mitra kerja teroris yang begitu dekat. Hal ini tidak lain karena apa yang dilakukan oleh media adalah publikasi kepada masyarakat umum sehingga apa yang diberitakan secara tidak langsung memberikan dampak tersendiri bagi terorisme. Bahkan terorisme tidak melakukan apa-apa dengan hadirnya media. Kejadian di Paris juga secara erat menunjukkan bahwa pelaku teror cukup diam saja, media internasional yang akan memberikan justifikasi sesuai penerjemahan mereka masing-masing, dengan demikian ia telah menebar teror terhadap orang-orang disekitar. Sikap majalah Le Parisien misalnya, kontribusinya dalam mengulas berita baik itu opini, mengolah data selama berhari-hari mengenai kasus ini, ditambah lagi dengan hadirnya dugaan pelaku yang merupakan anggota ISIS menjadi bahan berita yang cukup menunjukkan betapa menakutkanya aksi teror tersebut (www.reuters.com).

(8)

keperluan lain, serangan teror menjadi pemecah berita mainstream yang terjadi. CNN memberikan laporan bahwa penyerangan November lalu, adalah kejadian ditengah padatnya aktivitas di pusat ibukota (www.cnn.com ). Serangan yang terjadi tidak jauh dari Stade de France misalnya, menjadi perhatian tersendiri bagi media. Kamera dan perilis berita berlomba-lomba memberikan cara terbaik untuk memberikan berita yang menarik.

Aksi teror dalam beberapa kejadian juga bisa dimaknai sebagai pesan politik. Apa yang dilakukan ISIS sebenarnya menyimpan tanda Tanya, apa yang sebenarnya ISIS inginkan dari serangan yang terjadi di Paris. Apakah sebenarnya ia memberikan pesan secara langsung bahwa aksi teror ini bukan lagi mengancam negara di Timur Tengah saja, akan tetapi negara di Eropa pun berpotensi untuk diserang. Menurut berita harian Kompas (2015), aksi teror ini menjadi sebuah pesan bagi publik atas apa yang mereka perbuat, bukan hanya serangan di Paris. Akan tetapi serangkaian perang di Suriah dan Irak, penguasaan minyak, serangan di Mali, Somalia dan Mesir seakan menjadi sebuah pesan bahwa mereka ini sangat kuat. “Terrorism..may be seen as a violent act that is conceived specifically to attract attention and then, through the publicity it generates, to communicate a message” (Hoffman 1998, 131)

(9)

media, dampak kekerasan hanya terbatas pada korban dan sasaran langsung. Hal ini menjadi kriteria tersendiri dalam perkembangan terorisme di era kekinian.

Kemajuan teknologi komunikasi meningkatkan kemampuan propaganda teroris, baik media ataupun pihak teroris itu sendiri. Betapa hebatnya teknologi komunikasi tersebut dapat berhasil menjadi ancaman serius bagi banyak orang. Berapa banyak warga eropa yang begitu berhari-hati keluar rumah pasca serangan 13/11, berapa banyak ketakutan akan simbol islam bermunculan, betapa banyak polisi yang bertugas menjaga keamanan masyarakat dan lain lain (www.reuters.com). Propaganda teroris menjadi keberhasilan tersendiri bagin berita harian yang muncul. Publisitas media menjadi oksigen bagi terorisme untuk bernafas, menjadi aliran darah yang mampu menyebar samoai ke nadi-nadi tersempit dan terkecil dilapisan masyarakat, dan menjadi sahabat baikbagi teroris tentunya dengan kebaikan-kebaikan dalam menyebar luaskan berita teror (www.cbsnews.com ).

Terorisme yang sekarang ini terjadi, oleh Weiman dan Winn (1994) dianggap sebagai model baru terorisme. Hal ini tidak lain disebabkan oleh peran media dalam memberitakan kejadian tersebut secara dramatis, efek inilah yang menjadi pembeda dari kejadian-kejadian sebelumnya. Modern terrorism can be understood in terms of the production requirements of theatrical engagements. Terrorists pay attention to script preparation, cast selection, sets, props, role playing & minute-by-minute stage management (Weiman & Winn 1994, 52 in Nacos 2002). Mengapa kejadian di Paris diberitakan oleh media secara detail bagaimana pengeboman dan penembakan terjadi, kantor berita Reuters misalnya yang dikutip oleh kompas kejadian perkara dengan menghadirkan kronologi detail kejadian di Paris mulai dari Stade de France dampai Bataclan. Itu semua terjadi dalam satu malam, dan uniknya media lain sepakat dengan realitas yang terjadi ini.

Terorisme dan Media Saling Memanfaatkan

(10)

satu kejadian menarik pasca serangan 13/11, adalah kemunculan pria bertopeng yang mengatasnamakan ISIS dan mengaku bahwa mereka bertanggung jawab atas kejadian ini yang secara tidak langsung memberikan tekanan pada masyarakat bahwa terorisme benar-benar ada.. dalam video youtube yang diunggah, pria tersebut menyampaikan pesan berikut;

"This is only the beginning, ISIS. We will hunt you, take down your sites, accounts, emails and expose you ... You will be treated like a virus and we are the cure. We are Anonymous. We are legion. We do not forgive. We do not forget. ISIS, it is too late to expect us."

(www.cbsnews.com )

Kedua, Terorisme berhasil mempolarisasi pendapat umum dengan memberikan stereotype permanen pada simbol-simbol yang memiliki kaitan erat dengan pelaku teror, ketakutan yang dimunculkan dimanfaatkan oleh media untuk menarik dan menawarkan opini mengenai realitas yang terjadi (Nacos, 2002). Berapa banyak warga eropa yang mengalami phobia dengan pemberitaan media tersebut. bahkan semua media dan pers internasional seakan telah berhasil memberikan pendapat umum dan opini yang disepakati bahwa teror yang menakutkan tersebut berasal dari kelompok radikal (Weimann, 2005). Dengan ini para teroris dapat menikmati laporan media yang berlebihan tentang kekuatan teroris hingga menciptakan ketakutan pihak musuh dan mencegah keberanian polisi secara individual

(11)

menambah ketakuran dengan menebar informasi yang tidak benar. Seringkali, strategi ini berhasil mengelabui lawan para teroris yakni pihak yang memerangi teror.

Keenam, Terorisme memanfaatkan media untuk mengiklankan diri dan menyebabkan mereka merasa terwakili.keterwakilan inilah yang menjadikan mereka para teroris untuk terus menunjukkan diri mereka ke public (Nacos, 2002). Kriteria teroris ini memang bisa dibilang cukup aneh, lantaran pelaku kejahatan tertentu ingin menunjukkan bahwa mereka pelaku, dan bangga dengan itu.Ketujuh, Terorisme memanfaatkan media untuk membangkitkan keprihatinan publik terhadap korban untuk menekan agar pemerintah melakukan kompromi atau konsesi. Keprihatinan ini kemudian menjadi isu utama yang dituangkan oleh para netizen di media sosial mereka.ukuran ini kemudian menjadi isu sentral yang mampu menarik langkah atau kebijakan untuk menanggulangi kasus ini. secara tidak langsung, pemerintah meninggalkan urusan yang lebih penting lainya untuk urusan ini dan mendapatkan bantuan dari negara yang berbelah kasihan atas korban serangan. Kedepalan, Terorisme memanfaatkan media untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang tak dikehendaki dengan harapan berita teror mereka mengisi halaman depan media. Untuk bagian ini, pembaca harus cerdas dalam menyikapi suatu pemberitaan, apakah benar-benar menimbulkan teror yang mengalihakan isu lain. Bisa jadi ada sesuatu yang lebih besar yang ingin disampaikan oleh teroris tersebut. Kesembilan, terorisme memanfaatkan media untuk membangkitkan kekecewaan publik terhadap pemerintah (Nacos, 2002). Dalam hal ini yang menjadi sorotan utama adalah bagaiman negara tidak mampu mengamankan warganya sehingga teror pun tidak terelakkan dan banyak korban berjatuhan. Sebagaimana terjadi di Perancis dan Uni Eropa, dengan kekuatan keamanan yang begitu ketat, mereka tetap kecolongan yang kemudian menjadi indikator terjadinya kejadian yang tidak diinginkan tersebut.

(12)

penanganan terbaru terhadap yang dilakukan dalam kebijakan pemerihatah mengenai terorisme dari laporan media (Weimann, 2005). Hal ini terkadang dimanfaatkan sebagai celah untuk mengidentifikasi kejadian dan mampu mengoperasionalisasikan target-target selanjutnya. Sebagaimana pemberitaan media mengenai strategi apa yang akan diterapkan oleh pemerintah dan pasukan keamanan menghadapi teror yang mereka lakukan malah menjadi informasi bagi para teroris, seharusnya strategi tersebut dibatasi agar tidak ada kemungkinan para teroris mengakses infomasi tersebut.

Sebaliknya, hubungan media dan terorisme juga bisa dilihar dari bagaimana media memanfaatkan Teroris. Ada beberapa cara yang diterapkan oleh media dalam memanfaatkan peluang ini. pertama, media memanfaatkan aksi teror sebagai sebuah berita kriminal yang penuh kekejaman dan kejahatan (Weimann, 2005). Kejahatan merupakan good news bila perhatian utama hanya menjual koran atau program televisi (bad news is good news) tergantung persepsi masing masing korporasi media dalam melihat kejadian ini. Kejadian 9/11 di Amerika, oleh beberapa media dimanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam menguak dan mengidentifikasi kasus ini dalam banyak aspek. Dalam hal ini media sangat beruntung, ditambah lagi jika berita yang diangkat menjadi dasar rujukan dan pedoman akan studi yang berkaitan dengan terorisme, semakin menggiurkan tentunya bagi media yang berbasis profit oriented (Nacos, 2002).

(13)

Ketiga, media memanfaatkan aksi teror untuk menambah informasi sehari-hari yang selalu didominasi oleh berita mainstream. Publik bahkan menginginkan berita ini untuk merasakan suasana baru dalam menikmati berita. Kehidupan khalayak yang membosankan karena rutinitas harian membutuhkan berita-berita kekerasan sebagai gairah yang menggetarkan. Akan tetapi jangan disalah artikan bahwa kejadian ini mengharapkan agar aksi teror terus terjadi, ini hanyalah persepsi sebagian orang dalam melihat suatu kejadian. Keempat, Kadangkala ada kelompok orang yang menyatakan simpati pada tujuan (misi) para teroris, dan media mengeksposnya karena menganggapnya unik atau demi covering both sides. Untuk yang seperti ini biasanya dilakukan oleh media yang lagi-lagi berbasis profit oriented (Nacos, 2002)..

Kesimpulan

Terorisme dan Media di era perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menjadi sebuah kombinasi yang semakin memberikan ketakutan pada masyarakat. Keduanya memiliki hubungan dan saling memanfaatkan yang secara tidak langsung membawa terorisme ke dalam bentuk baru di era keninian. Terorisme melihat media sebagai alat yang digunakan sebaik mungkin untuk menebar pengaruh yang luar biasa sedangkan bagi media, terorisme merupakan fenomena yang mampu mewarnai pemberitaan global. Serangan 13/11 di Paris menjadi sebuah celah contoh kekinian untuk melihat hubungan seperti apa yang muncul kaitanya terorisme dan media. Media Internasional seakan tidak mau melewatkan kejadian ini untuk dimuat di laman utamanya maupun di headline media cetaknya. Sebaliknya, terorisme semakin menancapkan pengaruhnya di dunia internasional akan eksistensinya sebagaimana diberitakan oleh media.

Referensi

Martin, Gus. (2006). “The Information Battleground: Terrorist Violence and the Role of the Media. Dalam Understanding Terrorism 2nd edition. London: SAGE Publications.

Nacos, Birgitte L. (2002). Mass-Mediated Terrorism: The Central Role of the Media in Terrorism and Counterterrorism. Oxford: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.

(14)

___________________. “Terrorism as Breaking News: Attack on America”, dalam Mass-Mediated Terrorism: the Central Role of the Media in Terrorism and Counterterrorism, Oxford: Rowman & Littlefield Publisher, Inc. pp. 33-63

____________________. “Political Violence as Media Event”, dalam Mass-Mediated Terrorism: the Central Role of the Media in Terrorism and Counterterrorism, Oxford: Rowman & Littlefield Publisher, Inc. pp. 65-102.

Weiman, Gabrielle. 2005. Cybeterrorism: The Sum of All Fears. United States Institut of Peace, Washington, USA.

UNODC. 2012. United Nation Office on Drug and Crime in Collaboration with United Nation Counter-Terrorism Impelentation Task Force. The Use of Internet for Terrorist Purpose

Martin, Gus. 2006. The information battleground: terrorist violence and the role of the media. Dalam Understanding terrorism 2nd edition. London: SAGE publications.

Priyambodo, RH. 2015. Kronologi Awal Teror di Paris

http://www.antaranews.com/berita/529333/kronologi-awal-teror-di-paris (diakses pada 4 Januari 2015)

Reuters, 2015. Paris Under Attack. http://www.reuters.com/news/picture/paris-under-attack?articleId=USRTS6VT0 (diakses pada 4 Januari 2015)

Ed Payne, 2015. Terror in Paris: Social media reacts.

http://edition.cnn.com/2015/11/14/europe/paris-attacks-social-media/ (diaskes pada 4 Januari 2015)

Brian Mastroianni, 2015. Anonymous Versus ISIS: Social Media War

http://www.cbsnews.com/news/anonymous-vs-isis-social-media-war/ (diakses pada 4 Januari 2015)

Eliott C. McLaughlin Catherine E. Shoichet. 2015. Paris Attack: What We Know So Far

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Pertama kali sebelum menggunakan mesin penyedot dalam penambangan ini masyarakat Desa Tondasi mengambil pasir dengan menggunakan alat-alat yang sangat sederhana yaitu berupa

shear connector yang terdapat pada balok (Gambar 64), tidak sekedar agar menjadi balok komposit, tetapi juga diperlukan untuk menyatukan lantai dengan sistem struktur

script tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah untuk dipahami. Peneliti mencoba untuk menganalisis data-data yang ditemukan dan membandingkan data

Juta) DUKUNGAN MANAJEMEN ESELON I Total Anggaran Kegiatan (Rp. Juta) PEMBERDAYAAN PEKARANGAN PANGAN PENGAWASAN KEAMANAN DAN MUTU PANGAN SEGAR DUKUNGAN PRODUKSI

PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI (Studi Quasi Eksperimen di Kelas X SMA Negeri 2 Bandung). DISETUJUI DAN

bahwa untuk tugas sebagaimana dimaksud pada huruf a, telah dibentuk Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) melalui Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1993 yang

Menruunnya p€la]?nan petugas di puskesmas ke- mungkinan karena jumlah pasien semakin meoingkat, setelah diberlakukaDnyd ke- bijakan tersebut.. dibandinckan

Kondisi air limbah di Kecamatan Semarang Utara yang tergolong buruk sebesar 142,73 ha, cenderung berada di Kelurahan Tanjung Mas karena padatnya permukiman di wilayah ini