• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Ibu Pasangan Usia Subur yang Mengalami Abortus di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2010-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Karakteristik Ibu Pasangan Usia Subur yang Mengalami Abortus di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2010-2013"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Pengertian Abortus menurut Chalik (1998) ialah kehamilan yang berhenti prosesnya sebelum umur 20 minggu, atau berat fetus yang lahir 500 gram atau

kurang. Abortus menurut Taber yaitu berakhirnya kehamilan sebelum periode viabilitas janin, yaitu yang berakhir sebelum berat badan janin 500 gram. Bila berat

badan tidak diketahui, maka perkiraan lama kehamilan kurang dari 20 minggu lengkap (Taber,1994). Sementara WHO mendefenisikan abortus sebagai kematian dan pengeluaran janin dari uterus baik secara spontan maupun disengaja sebelum usia kehamilan 22 minggu.

Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil

yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan

di bawah 500 gram bertahan hidup, maka abortus ditentukan sebagai berakhirnya kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.

2.2Klasifikasi Abortus

2.2.1 Abortus Berdasarkan Riwayat Kejadiannya a. Abortus Spontan (Spontaneus Abortion)

Abortus yang terjadi tanpa disengaja atau tanpa didahului tindakan apapun.

(2)

b. Abortus Buatan (Provokatus Abortion)

Abortus yang terjadi karena disengaja dengan maksud-maksud tertentu.

2.2.2 Abortus Berdasarkan Pelaksanaannya a. Abortus provokatus medisinalis (Abortus Legal)

Pengguguran kandungan yang dilakukan atas dasar pertimbangan untuk

menyelamatkan jiwa ibu hamil. Misalnya jika ibu tersebut mengalami penyakit yang sangat berat.

b. Abortus provokatus kriminalis (Abortus Ilegal)

Pengguguran kandungan yang dilakukan bukan atas pertimbangan keselamatan jiwa ibu hamil.

2.2.3 Abortus Berdasarkan Gambaran Klinis a. Abortus mengancam (imminens)

Abortus yang ditegakkan jika muncul rabas vagina mengalami perdarahan selama

paruh pertama pertama kehamilan. b. Abortus tak terelakkan (insipiens)

Perdarahan per vagina yang hebat karena area plasenta yang luas terlepas dari dinidng uterus mengakibatkan kehamilan mustahil untuk dilanjutkan.

c. Abortus yang Tidak Lengkap (inkomplet)

Kondisi dimana sebagian atau seluruh bagian plasenta tertahan,walaupun janin sudah dikeluarkan, sehingga terjadi perdarahan hebat walaupun nyeri dapat hilang.

d. Abortus Lengkap (komplet)

(3)

e. Kegagalan kehamilan dini (missed abortion)

Kehamilan dengan janin yang sudah mati tetapi jaringan janin dan plasenta tertahan di dalam uterus.

f. Abortus septik

Abortus disertai infeksi beratdengan penyebaran kuman atau toksinnya kedalam

peredaran darah. g. Abortus infektious

Abortus yang disertai infeksi pada genitalia. h. Abortus yang Berulang (habitualis)

Abortus yang berulang 3 kali berturut-turut atau lebih. Wanita yang mengalami abortus habitualis tidak mengalami kesulitan untuk hamil, tetapi kehamilannya

terhenti sebelum waktunya.

2.3Gejala Klinis 1. Perdarahan

Berlangsung ringan sampai dengan berat. Perdarahan pervaginam pada

abortus imminens biasanya ringan berlangsung berhari-hari dan warnanya merah kecoklatan.

2. Nyeri

(4)

3. Febris

Menunjukkan proses infeksi intra genital,biasanya disertai lokia berbau dan nyeri pada waktu pemeriksaan dalam (Fitria, 2007).

2.4Patogenesis Abortus

Pada umumnya abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin, diikuti

perdarahan ke dalam desidua basalis. Selanjutnya terjadi nekrosis pada jaringan sekitar daerah yang mengalami perdarahan tersebut yang mengakibatkan pelepasan

hasil konsepsi dari tempat implantasinya, dan berakhir dengan perdarahan per vaginam. Pelepasan hasil konsepsi baik seluruhnya maupun sebagian, diinterpretasi sebagai benda asing, sehingga uterus mulai berkontraksi untuk mendorong benda asing keluar rongga rahim (Chalik, 1997)

Sebelum minggu ke-10 seluruh hasil konsepsi biasanya dapat keluar dengan lengkap karena vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua.

Pada kehamilan 10- 12 minggu, korion tumbuh cepat dan hubungan antara vili korialis dengan desidua makin erat sehingga abortus pada fase ini sering menyisakan

plasenta (Krisnadi, Annwar, 2013). Pengeluaran hasil konsepsi terdiri dari 4 tahap yaitu:

1. Kantung korion keluar pada kehamilan yang sangat dini, meninggalkan desidua.

2. Kantung amnion dan isinya didorong keluar meninggalkan korion dan desidua.

(5)

4. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong secara utuh

2.5Komplikasi Abortus

Risiko komplikasi akibat abortus antara lain:

1. Perdarahan

Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera

organ panggul maupun usus. Kematian akibat perdarahan umumnya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi darah di rumah sakit (Royston,

Amstrong, 1994). 2. Syok dan Infeksi

Komplikasi dini yang paling sering adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tertahan di

dalam rahim. Jika tidak diatasi dapat terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menyebabkan abortus septik. Jika abortus septik dibiarkan dan tidak diobati , pasien

dapat mengalami syok septik (Chalik, 1994). 3. Gangguan pembekuan darah

Komplikasi pengguguran yang potensial fatal adalah bendungan sistem pembuluh darah oleh bekuan darah,gelembung udara, atau cairan, gangguan

mekanisme pembekuan darah yang berat yang disebabkan oleh infeksi yang berat, keracunan obat-obat abortif yang menimbulkan gagal ginjal.

4. Hematometra

Kondisi ketika darah terperangkap di dalam uterus yang ditandai dengan rasa

(6)

2.6Epidemiologi Abortus

2.6.1 Distribusi dan Frekuensi Aborsi

Kejadian abortus tidak dapat diketahui secara pasti seberapa sering terjadi

karena:

1. Abortus yang terjadi hanya beberapa hari terlambat haid tidak dirasakan sebagai

keguguran oleh wanita tersebut dan tidak ada yang mengetahui wanita tersebut mengalami keguguran.

2. Karena aborsi ilegal kecuali dengan alasan medis, banyak wanita yang terlanjur hamil, menggugurkan kandungannya secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah muncul ke permukaan kecuali komplikasi.

3. Pada beberapa kasus hiperplasia endometrium dinyatakan sebagai abortus.

a. Berdasarkan Orang

Prevalensi abortus spontan bervariasi sesuai kriteria yang digunakan untuk

mengidentifikasinya.Menurut penelitian Gracia (2005), Warbuton, (1964), Wilson (1986), yang terdapat dalam William’s Obstetri frekuensi abortus meningkat dua kali

lipat dari 12 persen pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26 persen pada mereka yang berusia lebih dari 40 tahun, namun belum diketahui apakah keguguran

tersebut dipengaruhi oleh usia dan paritas.

Bou dan Boue (1978) melaporkan insidens rata-rata abortus spontan pada semua kehamilan yang didiagnosis adalah 15 persen. Menurut pengamatan mereka bila kehamilan pertama terjadi abortus spontan, kemungkinan kehamilan berikutnya

(7)

Therapel,dkk (1985) meringkaskan data dari 79 studi terhadap pasangan yang

mengalami lebih dua kali keguguran. Data ini mencakup 8208 wanita dan 7834 pria, dan kelainan kromosom terdeteksi pada 2,9 persen insiden yang lima kali lebih besar

dari populasi umum.

Pada tahun 2005, total 1,22 juta abortus legal dilaporkan ke Center for

Disease Control and prevention (Gambel,dkk 2005). Jumlah total ini telah berkurang setiap tahun sejak tahun 2002, tapi hal ini paling sedikit disebabkan oleh klinik-klinik

yang memberikan laporan medis kasus abortus secara inkonsisten. b. Berdasarkan Tempat

Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun terjadi 40-70 aborsi per 1.000 wanita usia reproduktif baik aborsi legal maupun ilegal. Seperlima dan sepertiga dari

semua kehamilan diakhiri dengan aborsi (Chalik, 1994). Di Negara berkembang dari 210 juta kehamilan yang terjadi tiap tahun, sekitar 40-50 juta diakhiri dengan

abortus. Berdasarkan data Riskesdas 2010 angka kejadian abortus secara nasional di Indonesia adalah 4%, dimana dari semua kejadian abortus 6,54% diantaranya abortus

yang disengaja.

c. Berdasarkan Waktu

Angka absolute abortus mengalami penurunan tahun 1995 hingga 2003, dari sekitar 45,5 juta tahun 1995 menjadi 41,6 juta pada tahun 2003 atau dari 35 kasus abortus per 1.000 wanita usia 44 tahun 1995 menjadi 29 per 1.000 wanita usia 15-44 tahun pada 2003. Penurunan yang terbesar terjadi di Eropa Timur yang

(8)

mengalami penurunan dari 37 menjadi 31 per 1.000 wanita usia reproduksi, Di Asia

dan Afrika juga mengalami penurunan dari 33 menjadi 29 per 1.000 perempuan usia reproduksi (WHO, 2008)

2.6.2 Faktor Determinan

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya abortus ialah sebagai berikut:

a) Gangguan pada Perkembangan Zigot

Adanya kelainan perkembangan zigot, mudigah, janin dini, atau

kadang-kadang plasenta menjadi salah satu faktor yang meinyebabkan dilakukannya abortus. Tiga perempat dari aborsi aneuploidi terjadi sebelum 8 minggu. Pada abortus spontan 50- 60% penyebab utama adalah kelainan kromosom pada janin ( Cunningham dkk, 2013)

b) Faktor Kesehatan Ibu

Pada kehamilan dini penyakit kronis yang melemahkan seperti tuberkulosis

atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus karena penderita seringkali meninggal sebelum melahirkan. Hipertensi jarang menyebabkan abortus, tetapi dapat

menyebabkan kematian janin dan persalinan prematur. Abortus spontan secara independent berkaitan dengan antibodi virus imunodefisiensi manusia tipe 1(HIV-1)

pada ibu. Selain itu terdapat bukti yang mendukung peran Myccoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum dalam abortus. Infeksi kronis oleh organisme seperti Brucella abortus, Campylobacter fetus, Toxoplasma gondii, Listeria monocytogenenes atau Clamydia trachomatis belum terbukti berkaitan dengan aborsi

(9)

Terdapat hubungan nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun,

misalnya pada sistemik lupus eritematosus (SLE) dan antiphospolipid antibodi(aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE.

Sebagian kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA.

Hipotiroidisme klinis tidak berkaitan dengan peningkatan insiden abortus.

Akan tetapi wanita dengan Hipotiroidime subklinis dan dengan autoantibodi tiroid mungkin memperlihatkan peningkatan resiko. Abortus spontan dan malforasi

kongenital mayor meningkat pada wanita diabetes tergantung insulin, dan risiko ini berkaitan dengan derajat pengendalian metabolik (Cunningham dkk, 1991).

c) Faktor Sperma

Sperma yang mengalami translokasi kromosom apabila berhasil menembus

zona pellusida dari ovum akan menghasilkan zigot yang memiliki material kromosom yang tidak normal yang bisa menyebabkan keguguran. Jika pada analisis

sperma terdapat lebih dari 50% spermatozoa yang berkepala abnormal, keguguran juga meningkat (Royston,Armstrong,1994).

d) Faktor Lingkungan

Dalam dosis memadai radiasi adalah suatu abortifasien, bukti bukti yang ada

sekarang menyatakan bahwa tidak ada peningkatan risiko abortus dari dosis radiasi kurang dari 5 rad. Diperkirakan 1-10% malforasi janin diakibatkan karena paparan obat, bahan kimia, dan radiasi dan berakhir dengan abortus. Contohnya adalah paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau,begitu juga dengan paparan

(10)

e) Umur

Usia mempengaruhi angka kejadian abortus yaitu pada usia 20 tahun dan diatas 35 tahun, kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan keguguran

dapat terjadi pada usia muda, karena pada usia muda/remaja, alat reproduksi belum matang dan belum siap untuk hamil. Separuh dari abortus terjadi karena kelainan

sitogenik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Trisomi timbul karena nondisjunction meiosis selama gametosis. Insiden trisomi meningkat dengan

bertambahnya usia. f) Laparotomi

Pada umumnya makin dekat tempat operasi dengan organ pelvis, makin besar kemungkinan untuk mengalami abortus. Trauma laparotomi terkadang

menyebabkan abortus. Peritonitis meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus (Macdonald dkk,1991).

g) Pendidikan

Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan faktor

pencetus yang berperan mempengaruhi keputusan seseorang berperilaku sehat. Kurangnya pengetahuan mengenai ketersediaan alat kontrasepsi yang mencegah

kehamilan juga pelayanan keluarga berencana yang dapat menekan jumlah anak maka wanita akan terpaksa mengakhiri kehamilan yang yang tidak diinginkan dengan abortus (Bensondkk, 2008). Menurut studi analisis di 3 klinik oleh Jakarta Population Council (1997-1998) terdapat kasus abortus 58,1% berpendidikan SLTA,

(11)

Pasien yang melakukan abortus umumnya adalah perempuan yang sudah

menikah dengan unmeet need untuk kontrasepsi. Dari penelititan-penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa sebagian besar perempuan yanng melakukan aborsi

atau induksi haid di klinik atau rumah sakit memiliki profil khusus; mereka cenderung sudah menikah dan berpendidikan (Guttmacher, 2008).

h) Sosial Ekonomi

Kemiskinan dapat mempengaruhi terjadinya abortus dengan alasan kondisi

ekonomi yang rendah sehingga wanita mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan sehingga wanita mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan dengan aborsi yang tidak aman yaitu dengan usaha sendiri, misalnya minum jamu, memijat perut, memasukkan benda-benda tertentu, dan meminta pertolongan dukun

(Koblinksy,1997). i) Paritas

Paritas 2-3 merupakan paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi

karena keadaan rahim yang lemah, sehingga dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin dan perdarahan saat persalinan. Penelitian yang dilakukan Viel di

(12)

j) Faktor Psikososial

Menurut SKRT (1995) faktor penyebab seorang perempuan melakukan aborsi adalah faktor psikososial (57,5%) yaitu hasil hubungan seksual di luar nikah,

perkosaan, dan cacat janin. Perkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis untuk perempuan yang menjadi korban. Jika perkosaan mengakibatkan kehamilan

ternyata mengakibatkan pengalaman traumatis bertambah besar dan apabila dipaksakan melanjutkan kehamilannya hingga bayinya lahir maka perempuan

tersebut dapat menjadi gila. Dalam kasus ini indikasi medis dapat dipertimbangkan, karena abortus buatan diperlukan untuk menjamin kesehatan jiwa ibu.

2.7Pandangan Terhadap Abortus

Setiap negara di dunia terdapat beberapa situasi yang mengizinkan aborsi

untuk menyelamatkan nyawa ibu, alasan pemberian izinnya bervariasi di seluruh dunia. Kebijakan terapeutik yang yang dikeluarkan oleh American College of

Obstetrician and Gynecologist yaitu:

1. Bila kelangsungan kehamilan dapat mengancam hidup wanita atau

merusak kesehatannya.

2. Bila kehamilan merupakan akibat perkosaan atau hubungan saudara

(incest).

3. Bila kelanjutan kehamilan akan menghasilkan kehamilan anak dengan deformitas fisik yang berat atau retardasi mental.

Aborsi pada saat ini memang pro dan kontra di tengah masyarakat, ada yang

(13)

perdepatan itu terpusat pada dua kutub. Kutub pertama berargumentasi bahwa aborsi

merupakan hak, maka aborsi yang aman menjadi hak pula. Kutub kedua mempertahankan aborsi sebagai pelanggaran nilai sosial. Fakta menunjukkan bahwa

Indonesia tidak berada pada kedua-duanya. Pelayanan aborsi tidak ada, tetapi aborsi dilakukan secara diam-diam dan mempunyai ancaman ketidakamanan (Nainggolan,

LH, 2006). Di Indonesia aborsi dianggap ilegal kecuali atas alasan medis untuk menyelamatkan nyawa ibu. Masalah aborsi buatan diatur dalam undang-undang no

36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 2.8Dampak Abortus

a. Terhadap Kesehatan dan Keselamatan Secara Fisik

Menurut B. Cloves dalam bukunya“The Facts of Life” (2001), resiko yang

dialami saat dan setelah abortus dapat berupa kematian mendadak karena perdarahan hebat, ataupun pembiusan yang gagal. Kerusakan leher rahim dan rahim yang sobek

dapat menyebabkan gangguan pada anak berikutnya berupa gangguan perkembangan mata, otak, pernapasan serta pencernaan. Pada wanita juga bias terjadi infeksi rongga

panggul, dan infeksi lapisan rahim. Abortus yang terjadi berulang kali juga dapat menyebabkan serviks yang inkompeten. Pembukaan paksa serviks dari aborsi

berulang dapat melemahkan atau menyebabkan keguguran, atau sulit mempertahankan berat bayi pada kehamilan berikutnya.

b. Gangguan Psikologi dan Mental

Selain memiliki resiko tinggi bagi kesehatan dan keselamatan fisik, aborsi

(14)

Sanberg (1980) mengemukakan bahwa wanita yang melakukan aborsi

mengalami dampak psikologi depresi, takut, cemas, insomnia, serta ketergantungan alcohol dan obat. Reardon (2002) juga menyatakan bahwa secara psikologis aborsi

menyebabkan perasaan malu, takut dan depresi. Wanita yang mengalami aborsi sering mengalami gejala PASS (Post-Traumatic Stress Disorder) gejala PASS antara

lain depresi, ketidakmampuan untuk berfungsi secara normal, tidak bertanggungjawab, menyakiti diri sendiri, dan pikiran untuk mengakhiri hidup.

2.9Pencegahan Abortus 2.9.1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer dilakukan dengan memperhatikan hal-hal yang berperan dalam terjadinya abortus, agar wanita terhindar dari abortus dan tidak melakukan

abortus ilegal. Pencegahan primer yang lebih diutamakan adalah promosi dan pendidikan kesehatan mengenai abortus. Terjadinya abortus sering dikaitkan dengan

kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak dikehendaki dapat dicegah dengan penggunaan kontarasepsi yang tepat dan adekuat. Dengan demikian

diperlukan promosi kepada pasangan maupun individu tentang pilihan luas metode kontrasepsi, termasuk kontrasepsi darurat yang sesuai.

(15)

2.9.2 Pencegahan Sekunder

Pada pencegahan sekunder dilakukan dengan cara menegakkan diagnosa secara tepat, dan mengadakan pengobatan yang cepat untuk menghindari

kemungkinan terjadinya komplikasi akibat keterlambatan penanganan. a. Diagnosis

Terdapat tiga dasar dalam diagnosa klinis abortus yaitu; anamnesis, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis didasarkan akan adanya

perdarahan dari jalan lahir serta nyeri perut. Pemeriksaan dalam didasarkan pada ditemukannya fluksus, ostium uteri tertutup, dan ukuran uterus sesuai usia kehamilan, sementara pemeriksaan penunjang didasarkan atas ditemukannya tanda-tanda keberadaan janin dengan menggunakan USG (Krisnadi dkk, 2013).

b. Penanganan abortus

Penanganan abortus dapat dilakukan dengan istirahat baring. Tidur berbaring

merupakan unsur terpenting dalam pengobatan ,karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan berkurangnya rangsang mekanik. Apabila

hasil konsepsi sudah keluar tapi masih ada yang tertinggal dalam uterus, maka harus segera dikeluarkan karena perdarahan tidakakan berhenti sebelum hasil konsepsi

dikeluarkan.

Secara umum ada dua tindakan yang dilakukan oleh tenaga media suntuk menangani penderita abortus yaitu:

1. Bedah

(16)

abortus juga ditangani dengan cara laparotomi. Pengeluaran hasil konsepsi dilakukan

dengan pembedahan seperti bedah ceaser. 2. Konservatif

Abortus medis dilakukan dengan cara memberikan obat abortifasien yang efektif dan aman yang biasanya dilakukan pada masa kehamilan dini. Pengobatan

dapat dilakukan dengan menggunakan RU486 (mifepristin), infus intra-amnion, dan prostaglandin. Penanganan abortus yang baik setelah pengeluaran hasil konsepsi

adalah istirahat-baring (Wiknjosastro, 2002). 2.9.3 Pencegahan Tersier

Dalam proses pemberian layanan asuhan pasca aborsi,pasien membutuhkan konseling, perhatian, pemahaman, dan empati selama pemberian asuhan. Dalam

memberikan asuhan pasca aborsi, hal yang pertama kali harus dilakukan adalah mengatasi situasi segera akibat abortus seperti perdarahan dan syok. Setelah kondisi

wanita ini stabil, hal selanjutnya dilakukan yang sama pentingnya adalah memberikan asuhan tindak lanjut meliputi peredaan nyeri, dukungan psikologis,

(17)

2.10 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep penelitian karakteristikIbu PUS yang mengalami abortus di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2010-2013, sebagai berikut:

Karakteristik Ibu PUS yang Mengalami Abortus:

1. Sosiodemografi Umur

Suku Agama Pekerjaan Tempat tinggal 2. Mediko Obstetri

Keluhan

Umur kehamilan Paritas

Frekuensi abortus

Riwayat kejadian abortus Klasifikasi abortus secara klinis Komplikasi

Riwayat penyakit 3. Status Rawatan

Penatalaksanaan medis Lama rawatan rata-rata Asal rujukan

Referensi

Dokumen terkait

saya machfiatul khasanah pada halaman persembahan ini saya akan menyampaikan rasa terimakasih saya dan saya akan mempersembahkan skripsi saya kepada seluruh pihak

 Revaskularisasi arteri koroner segera, baik PCI atau CABG, direkomendasikan pada pasien <75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam IMA dan ideal

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap motivasi belajar mahasiswa semester II Program Studi D III Kebidanan Stikes „Aisyiyah Yogyakarta Tahun 2013 menunjukkan bahwa

Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemik jaringan otak yang dapat menimbulkan odema dan kongesti di sekitarnya.. Trombosis

Hal itu setidaknya dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi Deni Heriyanto dan Ade Tirta Kamandanu, dua orang yang telah dan masih berkiprah sebagai atlit Pencak

1) Medium tumbuh sel dikendalikan dengan menggunakan medium RPMI 1640 yang mengandung FBS 10% untuk sel myeloma dan medium M199 untuk sel Vero. 2) Tempat tumbuh dan waktu

Yang membuat kurangnya tenaga pengereman pada sistem simulasi,seperti kerusakkan yang terjadi padamaster cylinder, kebocoran pada pipa dan flexible hoose, kotornya

Dari data empirik menyatakan melalui penerapan metode Cooperative Script dapat meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia materi menceritakan kembali isi cerpen