Pengertian Abortus menurut Chalik (1998) ialah kehamilan yang berhenti prosesnya sebelum umur 20 minggu, atau berat fetus yang lahir 500 gram atau
kurang. Abortus menurut Taber yaitu berakhirnya kehamilan sebelum periode viabilitas janin, yaitu yang berakhir sebelum berat badan janin 500 gram. Bila berat
badan tidak diketahui, maka perkiraan lama kehamilan kurang dari 20 minggu lengkap (Taber,1994). Sementara WHO mendefenisikan abortus sebagai kematian dan pengeluaran janin dari uterus baik secara spontan maupun disengaja sebelum usia kehamilan 22 minggu.
Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil
yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan
di bawah 500 gram bertahan hidup, maka abortus ditentukan sebagai berakhirnya kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.
2.2Klasifikasi Abortus
2.2.1 Abortus Berdasarkan Riwayat Kejadiannya a. Abortus Spontan (Spontaneus Abortion)
Abortus yang terjadi tanpa disengaja atau tanpa didahului tindakan apapun.
b. Abortus Buatan (Provokatus Abortion)
Abortus yang terjadi karena disengaja dengan maksud-maksud tertentu.
2.2.2 Abortus Berdasarkan Pelaksanaannya a. Abortus provokatus medisinalis (Abortus Legal)
Pengguguran kandungan yang dilakukan atas dasar pertimbangan untuk
menyelamatkan jiwa ibu hamil. Misalnya jika ibu tersebut mengalami penyakit yang sangat berat.
b. Abortus provokatus kriminalis (Abortus Ilegal)
Pengguguran kandungan yang dilakukan bukan atas pertimbangan keselamatan jiwa ibu hamil.
2.2.3 Abortus Berdasarkan Gambaran Klinis a. Abortus mengancam (imminens)
Abortus yang ditegakkan jika muncul rabas vagina mengalami perdarahan selama
paruh pertama pertama kehamilan. b. Abortus tak terelakkan (insipiens)
Perdarahan per vagina yang hebat karena area plasenta yang luas terlepas dari dinidng uterus mengakibatkan kehamilan mustahil untuk dilanjutkan.
c. Abortus yang Tidak Lengkap (inkomplet)
Kondisi dimana sebagian atau seluruh bagian plasenta tertahan,walaupun janin sudah dikeluarkan, sehingga terjadi perdarahan hebat walaupun nyeri dapat hilang.
d. Abortus Lengkap (komplet)
e. Kegagalan kehamilan dini (missed abortion)
Kehamilan dengan janin yang sudah mati tetapi jaringan janin dan plasenta tertahan di dalam uterus.
f. Abortus septik
Abortus disertai infeksi beratdengan penyebaran kuman atau toksinnya kedalam
peredaran darah. g. Abortus infektious
Abortus yang disertai infeksi pada genitalia. h. Abortus yang Berulang (habitualis)
Abortus yang berulang 3 kali berturut-turut atau lebih. Wanita yang mengalami abortus habitualis tidak mengalami kesulitan untuk hamil, tetapi kehamilannya
terhenti sebelum waktunya.
2.3Gejala Klinis 1. Perdarahan
Berlangsung ringan sampai dengan berat. Perdarahan pervaginam pada
abortus imminens biasanya ringan berlangsung berhari-hari dan warnanya merah kecoklatan.
2. Nyeri
3. Febris
Menunjukkan proses infeksi intra genital,biasanya disertai lokia berbau dan nyeri pada waktu pemeriksaan dalam (Fitria, 2007).
2.4Patogenesis Abortus
Pada umumnya abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin, diikuti
perdarahan ke dalam desidua basalis. Selanjutnya terjadi nekrosis pada jaringan sekitar daerah yang mengalami perdarahan tersebut yang mengakibatkan pelepasan
hasil konsepsi dari tempat implantasinya, dan berakhir dengan perdarahan per vaginam. Pelepasan hasil konsepsi baik seluruhnya maupun sebagian, diinterpretasi sebagai benda asing, sehingga uterus mulai berkontraksi untuk mendorong benda asing keluar rongga rahim (Chalik, 1997)
Sebelum minggu ke-10 seluruh hasil konsepsi biasanya dapat keluar dengan lengkap karena vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua.
Pada kehamilan 10- 12 minggu, korion tumbuh cepat dan hubungan antara vili korialis dengan desidua makin erat sehingga abortus pada fase ini sering menyisakan
plasenta (Krisnadi, Annwar, 2013). Pengeluaran hasil konsepsi terdiri dari 4 tahap yaitu:
1. Kantung korion keluar pada kehamilan yang sangat dini, meninggalkan desidua.
2. Kantung amnion dan isinya didorong keluar meninggalkan korion dan desidua.
4. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong secara utuh
2.5Komplikasi Abortus
Risiko komplikasi akibat abortus antara lain:
1. Perdarahan
Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera
organ panggul maupun usus. Kematian akibat perdarahan umumnya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi darah di rumah sakit (Royston,
Amstrong, 1994). 2. Syok dan Infeksi
Komplikasi dini yang paling sering adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tertahan di
dalam rahim. Jika tidak diatasi dapat terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menyebabkan abortus septik. Jika abortus septik dibiarkan dan tidak diobati , pasien
dapat mengalami syok septik (Chalik, 1994). 3. Gangguan pembekuan darah
Komplikasi pengguguran yang potensial fatal adalah bendungan sistem pembuluh darah oleh bekuan darah,gelembung udara, atau cairan, gangguan
mekanisme pembekuan darah yang berat yang disebabkan oleh infeksi yang berat, keracunan obat-obat abortif yang menimbulkan gagal ginjal.
4. Hematometra
Kondisi ketika darah terperangkap di dalam uterus yang ditandai dengan rasa
2.6Epidemiologi Abortus
2.6.1 Distribusi dan Frekuensi Aborsi
Kejadian abortus tidak dapat diketahui secara pasti seberapa sering terjadi
karena:
1. Abortus yang terjadi hanya beberapa hari terlambat haid tidak dirasakan sebagai
keguguran oleh wanita tersebut dan tidak ada yang mengetahui wanita tersebut mengalami keguguran.
2. Karena aborsi ilegal kecuali dengan alasan medis, banyak wanita yang terlanjur hamil, menggugurkan kandungannya secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah muncul ke permukaan kecuali komplikasi.
3. Pada beberapa kasus hiperplasia endometrium dinyatakan sebagai abortus.
a. Berdasarkan Orang
Prevalensi abortus spontan bervariasi sesuai kriteria yang digunakan untuk
mengidentifikasinya.Menurut penelitian Gracia (2005), Warbuton, (1964), Wilson (1986), yang terdapat dalam William’s Obstetri frekuensi abortus meningkat dua kali
lipat dari 12 persen pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26 persen pada mereka yang berusia lebih dari 40 tahun, namun belum diketahui apakah keguguran
tersebut dipengaruhi oleh usia dan paritas.
Bou dan Boue (1978) melaporkan insidens rata-rata abortus spontan pada semua kehamilan yang didiagnosis adalah 15 persen. Menurut pengamatan mereka bila kehamilan pertama terjadi abortus spontan, kemungkinan kehamilan berikutnya
Therapel,dkk (1985) meringkaskan data dari 79 studi terhadap pasangan yang
mengalami lebih dua kali keguguran. Data ini mencakup 8208 wanita dan 7834 pria, dan kelainan kromosom terdeteksi pada 2,9 persen insiden yang lima kali lebih besar
dari populasi umum.
Pada tahun 2005, total 1,22 juta abortus legal dilaporkan ke Center for
Disease Control and prevention (Gambel,dkk 2005). Jumlah total ini telah berkurang setiap tahun sejak tahun 2002, tapi hal ini paling sedikit disebabkan oleh klinik-klinik
yang memberikan laporan medis kasus abortus secara inkonsisten. b. Berdasarkan Tempat
Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun terjadi 40-70 aborsi per 1.000 wanita usia reproduktif baik aborsi legal maupun ilegal. Seperlima dan sepertiga dari
semua kehamilan diakhiri dengan aborsi (Chalik, 1994). Di Negara berkembang dari 210 juta kehamilan yang terjadi tiap tahun, sekitar 40-50 juta diakhiri dengan
abortus. Berdasarkan data Riskesdas 2010 angka kejadian abortus secara nasional di Indonesia adalah 4%, dimana dari semua kejadian abortus 6,54% diantaranya abortus
yang disengaja.
c. Berdasarkan Waktu
Angka absolute abortus mengalami penurunan tahun 1995 hingga 2003, dari sekitar 45,5 juta tahun 1995 menjadi 41,6 juta pada tahun 2003 atau dari 35 kasus abortus per 1.000 wanita usia 44 tahun 1995 menjadi 29 per 1.000 wanita usia 15-44 tahun pada 2003. Penurunan yang terbesar terjadi di Eropa Timur yang
mengalami penurunan dari 37 menjadi 31 per 1.000 wanita usia reproduksi, Di Asia
dan Afrika juga mengalami penurunan dari 33 menjadi 29 per 1.000 perempuan usia reproduksi (WHO, 2008)
2.6.2 Faktor Determinan
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya abortus ialah sebagai berikut:
a) Gangguan pada Perkembangan Zigot
Adanya kelainan perkembangan zigot, mudigah, janin dini, atau
kadang-kadang plasenta menjadi salah satu faktor yang meinyebabkan dilakukannya abortus. Tiga perempat dari aborsi aneuploidi terjadi sebelum 8 minggu. Pada abortus spontan 50- 60% penyebab utama adalah kelainan kromosom pada janin ( Cunningham dkk, 2013)
b) Faktor Kesehatan Ibu
Pada kehamilan dini penyakit kronis yang melemahkan seperti tuberkulosis
atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus karena penderita seringkali meninggal sebelum melahirkan. Hipertensi jarang menyebabkan abortus, tetapi dapat
menyebabkan kematian janin dan persalinan prematur. Abortus spontan secara independent berkaitan dengan antibodi virus imunodefisiensi manusia tipe 1(HIV-1)
pada ibu. Selain itu terdapat bukti yang mendukung peran Myccoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum dalam abortus. Infeksi kronis oleh organisme seperti Brucella abortus, Campylobacter fetus, Toxoplasma gondii, Listeria monocytogenenes atau Clamydia trachomatis belum terbukti berkaitan dengan aborsi
Terdapat hubungan nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun,
misalnya pada sistemik lupus eritematosus (SLE) dan antiphospolipid antibodi(aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE.
Sebagian kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA.
Hipotiroidisme klinis tidak berkaitan dengan peningkatan insiden abortus.
Akan tetapi wanita dengan Hipotiroidime subklinis dan dengan autoantibodi tiroid mungkin memperlihatkan peningkatan resiko. Abortus spontan dan malforasi
kongenital mayor meningkat pada wanita diabetes tergantung insulin, dan risiko ini berkaitan dengan derajat pengendalian metabolik (Cunningham dkk, 1991).
c) Faktor Sperma
Sperma yang mengalami translokasi kromosom apabila berhasil menembus
zona pellusida dari ovum akan menghasilkan zigot yang memiliki material kromosom yang tidak normal yang bisa menyebabkan keguguran. Jika pada analisis
sperma terdapat lebih dari 50% spermatozoa yang berkepala abnormal, keguguran juga meningkat (Royston,Armstrong,1994).
d) Faktor Lingkungan
Dalam dosis memadai radiasi adalah suatu abortifasien, bukti bukti yang ada
sekarang menyatakan bahwa tidak ada peningkatan risiko abortus dari dosis radiasi kurang dari 5 rad. Diperkirakan 1-10% malforasi janin diakibatkan karena paparan obat, bahan kimia, dan radiasi dan berakhir dengan abortus. Contohnya adalah paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau,begitu juga dengan paparan
e) Umur
Usia mempengaruhi angka kejadian abortus yaitu pada usia 20 tahun dan diatas 35 tahun, kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan keguguran
dapat terjadi pada usia muda, karena pada usia muda/remaja, alat reproduksi belum matang dan belum siap untuk hamil. Separuh dari abortus terjadi karena kelainan
sitogenik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Trisomi timbul karena nondisjunction meiosis selama gametosis. Insiden trisomi meningkat dengan
bertambahnya usia. f) Laparotomi
Pada umumnya makin dekat tempat operasi dengan organ pelvis, makin besar kemungkinan untuk mengalami abortus. Trauma laparotomi terkadang
menyebabkan abortus. Peritonitis meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus (Macdonald dkk,1991).
g) Pendidikan
Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan faktor
pencetus yang berperan mempengaruhi keputusan seseorang berperilaku sehat. Kurangnya pengetahuan mengenai ketersediaan alat kontrasepsi yang mencegah
kehamilan juga pelayanan keluarga berencana yang dapat menekan jumlah anak maka wanita akan terpaksa mengakhiri kehamilan yang yang tidak diinginkan dengan abortus (Bensondkk, 2008). Menurut studi analisis di 3 klinik oleh Jakarta Population Council (1997-1998) terdapat kasus abortus 58,1% berpendidikan SLTA,
Pasien yang melakukan abortus umumnya adalah perempuan yang sudah
menikah dengan unmeet need untuk kontrasepsi. Dari penelititan-penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa sebagian besar perempuan yanng melakukan aborsi
atau induksi haid di klinik atau rumah sakit memiliki profil khusus; mereka cenderung sudah menikah dan berpendidikan (Guttmacher, 2008).
h) Sosial Ekonomi
Kemiskinan dapat mempengaruhi terjadinya abortus dengan alasan kondisi
ekonomi yang rendah sehingga wanita mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan sehingga wanita mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan dengan aborsi yang tidak aman yaitu dengan usaha sendiri, misalnya minum jamu, memijat perut, memasukkan benda-benda tertentu, dan meminta pertolongan dukun
(Koblinksy,1997). i) Paritas
Paritas 2-3 merupakan paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi
karena keadaan rahim yang lemah, sehingga dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin dan perdarahan saat persalinan. Penelitian yang dilakukan Viel di
j) Faktor Psikososial
Menurut SKRT (1995) faktor penyebab seorang perempuan melakukan aborsi adalah faktor psikososial (57,5%) yaitu hasil hubungan seksual di luar nikah,
perkosaan, dan cacat janin. Perkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis untuk perempuan yang menjadi korban. Jika perkosaan mengakibatkan kehamilan
ternyata mengakibatkan pengalaman traumatis bertambah besar dan apabila dipaksakan melanjutkan kehamilannya hingga bayinya lahir maka perempuan
tersebut dapat menjadi gila. Dalam kasus ini indikasi medis dapat dipertimbangkan, karena abortus buatan diperlukan untuk menjamin kesehatan jiwa ibu.
2.7Pandangan Terhadap Abortus
Setiap negara di dunia terdapat beberapa situasi yang mengizinkan aborsi
untuk menyelamatkan nyawa ibu, alasan pemberian izinnya bervariasi di seluruh dunia. Kebijakan terapeutik yang yang dikeluarkan oleh American College of
Obstetrician and Gynecologist yaitu:
1. Bila kelangsungan kehamilan dapat mengancam hidup wanita atau
merusak kesehatannya.
2. Bila kehamilan merupakan akibat perkosaan atau hubungan saudara
(incest).
3. Bila kelanjutan kehamilan akan menghasilkan kehamilan anak dengan deformitas fisik yang berat atau retardasi mental.
Aborsi pada saat ini memang pro dan kontra di tengah masyarakat, ada yang
perdepatan itu terpusat pada dua kutub. Kutub pertama berargumentasi bahwa aborsi
merupakan hak, maka aborsi yang aman menjadi hak pula. Kutub kedua mempertahankan aborsi sebagai pelanggaran nilai sosial. Fakta menunjukkan bahwa
Indonesia tidak berada pada kedua-duanya. Pelayanan aborsi tidak ada, tetapi aborsi dilakukan secara diam-diam dan mempunyai ancaman ketidakamanan (Nainggolan,
LH, 2006). Di Indonesia aborsi dianggap ilegal kecuali atas alasan medis untuk menyelamatkan nyawa ibu. Masalah aborsi buatan diatur dalam undang-undang no
36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 2.8Dampak Abortus
a. Terhadap Kesehatan dan Keselamatan Secara Fisik
Menurut B. Cloves dalam bukunya“The Facts of Life” (2001), resiko yang
dialami saat dan setelah abortus dapat berupa kematian mendadak karena perdarahan hebat, ataupun pembiusan yang gagal. Kerusakan leher rahim dan rahim yang sobek
dapat menyebabkan gangguan pada anak berikutnya berupa gangguan perkembangan mata, otak, pernapasan serta pencernaan. Pada wanita juga bias terjadi infeksi rongga
panggul, dan infeksi lapisan rahim. Abortus yang terjadi berulang kali juga dapat menyebabkan serviks yang inkompeten. Pembukaan paksa serviks dari aborsi
berulang dapat melemahkan atau menyebabkan keguguran, atau sulit mempertahankan berat bayi pada kehamilan berikutnya.
b. Gangguan Psikologi dan Mental
Selain memiliki resiko tinggi bagi kesehatan dan keselamatan fisik, aborsi
Sanberg (1980) mengemukakan bahwa wanita yang melakukan aborsi
mengalami dampak psikologi depresi, takut, cemas, insomnia, serta ketergantungan alcohol dan obat. Reardon (2002) juga menyatakan bahwa secara psikologis aborsi
menyebabkan perasaan malu, takut dan depresi. Wanita yang mengalami aborsi sering mengalami gejala PASS (Post-Traumatic Stress Disorder) gejala PASS antara
lain depresi, ketidakmampuan untuk berfungsi secara normal, tidak bertanggungjawab, menyakiti diri sendiri, dan pikiran untuk mengakhiri hidup.
2.9Pencegahan Abortus 2.9.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan dengan memperhatikan hal-hal yang berperan dalam terjadinya abortus, agar wanita terhindar dari abortus dan tidak melakukan
abortus ilegal. Pencegahan primer yang lebih diutamakan adalah promosi dan pendidikan kesehatan mengenai abortus. Terjadinya abortus sering dikaitkan dengan
kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak dikehendaki dapat dicegah dengan penggunaan kontarasepsi yang tepat dan adekuat. Dengan demikian
diperlukan promosi kepada pasangan maupun individu tentang pilihan luas metode kontrasepsi, termasuk kontrasepsi darurat yang sesuai.
2.9.2 Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dilakukan dengan cara menegakkan diagnosa secara tepat, dan mengadakan pengobatan yang cepat untuk menghindari
kemungkinan terjadinya komplikasi akibat keterlambatan penanganan. a. Diagnosis
Terdapat tiga dasar dalam diagnosa klinis abortus yaitu; anamnesis, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis didasarkan akan adanya
perdarahan dari jalan lahir serta nyeri perut. Pemeriksaan dalam didasarkan pada ditemukannya fluksus, ostium uteri tertutup, dan ukuran uterus sesuai usia kehamilan, sementara pemeriksaan penunjang didasarkan atas ditemukannya tanda-tanda keberadaan janin dengan menggunakan USG (Krisnadi dkk, 2013).
b. Penanganan abortus
Penanganan abortus dapat dilakukan dengan istirahat baring. Tidur berbaring
merupakan unsur terpenting dalam pengobatan ,karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan berkurangnya rangsang mekanik. Apabila
hasil konsepsi sudah keluar tapi masih ada yang tertinggal dalam uterus, maka harus segera dikeluarkan karena perdarahan tidakakan berhenti sebelum hasil konsepsi
dikeluarkan.
Secara umum ada dua tindakan yang dilakukan oleh tenaga media suntuk menangani penderita abortus yaitu:
1. Bedah
abortus juga ditangani dengan cara laparotomi. Pengeluaran hasil konsepsi dilakukan
dengan pembedahan seperti bedah ceaser. 2. Konservatif
Abortus medis dilakukan dengan cara memberikan obat abortifasien yang efektif dan aman yang biasanya dilakukan pada masa kehamilan dini. Pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan RU486 (mifepristin), infus intra-amnion, dan prostaglandin. Penanganan abortus yang baik setelah pengeluaran hasil konsepsi
adalah istirahat-baring (Wiknjosastro, 2002). 2.9.3 Pencegahan Tersier
Dalam proses pemberian layanan asuhan pasca aborsi,pasien membutuhkan konseling, perhatian, pemahaman, dan empati selama pemberian asuhan. Dalam
memberikan asuhan pasca aborsi, hal yang pertama kali harus dilakukan adalah mengatasi situasi segera akibat abortus seperti perdarahan dan syok. Setelah kondisi
wanita ini stabil, hal selanjutnya dilakukan yang sama pentingnya adalah memberikan asuhan tindak lanjut meliputi peredaan nyeri, dukungan psikologis,
2.10 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep penelitian karakteristikIbu PUS yang mengalami abortus di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2010-2013, sebagai berikut:
Karakteristik Ibu PUS yang Mengalami Abortus:
1. Sosiodemografi Umur
Suku Agama Pekerjaan Tempat tinggal 2. Mediko Obstetri
Keluhan
Umur kehamilan Paritas
Frekuensi abortus
Riwayat kejadian abortus Klasifikasi abortus secara klinis Komplikasi
Riwayat penyakit 3. Status Rawatan
Penatalaksanaan medis Lama rawatan rata-rata Asal rujukan