• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah - Implementasi Konsep Good Governance Dalam Proses Penyusunan Kebijakan Daerah Karo Periode 2009-2014 Di DPRD Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah - Implementasi Konsep Good Governance Dalam Proses Penyusunan Kebijakan Daerah Karo Periode 2009-2014 Di DPRD Karo"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pasca reformasi 1998, Indonesia sering disebut-sebut masih berada dalam masa transisi demokrasi. Sebuah masa perubahan dari rezim otoritarian menuju sebuah rezim baru yang mungkin berujung pada konsolidasi atau pembentukan demokrasi atau malah rezim orotitarian baru yang lebih kejam dari sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan demokrasi dalam masa yang sering disebut sebagai masa transisi ini, pendapat yang berkembang luas kemudian adalah berkutat pada bagaimana membentuk tipe-tipe pemerintahan yang tepat untuk “mengakhiri masa transisi” tersebut.

Salah satu bentuk perubahan pola pemerintahan adalah dimunculkannya desentralisasi untuk mendorong otonomi daerah. Desentralisasi muncul dari kritik mengenai pola pemerintahan yang cenderung terpusat dan mengabaikan daerah. Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000.

(2)

2

kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranan, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

(3)

3

kabupaten/kota menikmati setiap sisi potensial kekayaan alamnya tanpa berpikir bahwa sumber daya alam akan habis suatu waktu, memperluas kewenangannya walaupun untuk itu harus bersinggungan dengan kewenangan tetangganya. Permasalahan tersebut tidaklah belum pelik bila kita telisik lebih jauh, bahwa titik permasalahan paling krusial adalah desentralisasi belum dapat menjamin kesejahteraan rakyat di daerah.

Memang penitikberatan desentralisasi pada kabupaten/kota masih belum menggembirakan. Banyak sekali persoalan yang harus dibenahi bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sendiri. Desentralisasi agaknya masih mengecewakan, karena tidak serta merta membuahkan demokratisasi, good governance, dan penguatan masyarakat sipil di tingkat daerah.

Jika mendengar istilah good governance yang ada di benak kita hanyalah definisi penyelenggaraan pemerintahan yang baik, tapi penyelenggaraan seperti apa dan bagaimana hal tersebut dilakukan masih belum dapat dibayangkan. Secara umum, penyelenggaraan yang dimaksud terkait dengan isu transparansi, akuntabilitas publik dan sebagainya. Padahal untuk mewujudkan pemahaman

good governance sebenarnya sangatlah pelik dan kompleks, tidak hanya sekedar memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas pada level tertentu.

Good governance lebih dari sekedar usaha untuk memperbaiki kepemerintahan semata, akan tetapi kenyataannya jauh lebih pelik dan kompleks. Permasalahan ini semakin rumit manakala tuntutan good governance

(4)

4

penyelenggaraan pemerintahan yang sudah tertanam lama, terlebih-lebih jika dihadapkan pada sistem pemerintahan yang sudah sangat patologis. Perubahan yang diinginkan adalah meliputi aspek kinerja kepegawaian sampai dengan pertanggungjawaban penyelenggaraan pada level elit pemerintahan.1

Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator atau katalisator, sementara tugas untuk memajukan pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi dunia usaha dan masyarakat. Dengan begitu, kehadiran good governance ditandai oleh terbentuknya “kemitraan” antara pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa, LSM, dunia usaha serta individu secara luas guna terciptanya manajemen pembangunan yang bertanggungjawab.2

Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN. Hal ini sangat tergantung dari adanya aparatur pemerintah dan anggota DPRD yang berkemampuan sepadan dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat

1

Ambar Teguh Sulistiyani, Memahami Konsep Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media, 2011, hlm. 22.

2

(5)

5

peran dan kapasitas parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas.

Pemerintah adalah institusi yang menyelenggarakan kewenangan politik, ekonomi dan adminitratif untuk mengatur urusan negara di setiap tingkatan. Pemerintahan merupakan mekanisme yang kompleks, yang melibatkan proses dan institusi sebagai wahana warga dan kelompok masyarakat mengartikulasikan kepentingan, menjalankan hak dan kewajiban, dan memediasi perbedaan-perbedaan. Dalam perspektif ini pemerintah mencakup seluruh metode membagikan kekuasaan dan mengatur sumber daya dan masalah publik. Pemerintah yang baik akan mengalokasikan sumber daya dan masalah publik secara efisien, memperbaiki kegagalan pasar (market failure), menyusun peraturan yang efektif dan menyediakan kebutuhan publik yang tidak disuplai oleh pasar.3

Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan saja. Pemerintah pusat memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, dan di Pemerintahan berkenaan dengan sistem, fungsi, cara, perbuatam, kegiatan, urusan, atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh pemerintah. Eksekutif adalah cabang kekuasaan dalam negara yang melaksanakan kebijakan publik melalui peraturan perundang-undangan yang telah disiapkan oleh lembaga legislatif maupun atas inisiatif sendiri.

3

(6)

6

Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya pemerintahan di daerah sehari-hari. Perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga daerah biasanya merupakan refleks dari sistem yang ada di pemerintah pusat. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di pemerintah pusat di daerah dibentuk pula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.4

Dalam fungsi membuat peraturan (legislasi), DPRD diberi kewenangan untuk membuat peraturan daerah, dalam pelaksanaannya fungsi ini dapat digunakan melalui hak inisiatif/hak prakarsa dan hak amandemen/hak perubahan.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berfungsi sepenuhnya sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai eksekutif di daerah. Sebagai badan legislatif, dia harus dapat menyerap aspirasi masyarakat untuk disalurkan kepada eksekutif untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Pemerintah Daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD selain melaksanakan fungsi legislasi, juga melaksanakan fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan (control) sebagai tindak lanjut dari penyaluran aspirasi masyarakat kepada eksekutif terhadap kebijakan yang telah ditetapkannya.

4

(7)

7

Dengan dijalankannya fungsi legislasi oleh DPRD, maka seharusnya kebijakan pemerintah di daerah lebih mencerminkan kehendak masyarakat di daerahnya. DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan pemerintah daerah yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabilitas dalam memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan daerahnya.

Dilihat dari proses, legislasi membutuhkan partisipasi masyarakat yang kuat, dilihat dari substansi, legislasi harus mencerminkan kepentingan publik dan strategis bagi percepatan pembangunan daerah. Dilihat dari sisi yuridis, legislasi harus merupakan perangkat hukum yang mampu membangun kepastian hukum. Setiap dimensi tersebut terajut sebagai simpul-simpul yang mempengaruhi kadar demokratisasi proses legislasi di daerah.

Perumusan kebijakan daerah perlu perhatian dan melibatkan masyarakat agar nantinya semua kepentingan dan masalah yang dihadapi masyarakat dapat terakomodasi. Selanjutnya aspirasi itu dibahas menjadi salah satu formulasi kebijakan daerah. Formulasi sebagai tahap awal penyusunan peraturan untuk selanjutnya dibahas kembali untuk dijadikan sebagai kebijakan, kemudian melakukan uji publik sebelum disahkan menjadi kebijakan.

(8)

8

Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bertanggung jawab dan transparan akan menumbuhkan rasa percaya masyarakat pada pemerintah daerah.

Dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik di suatu daerah, DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan dituntut harus mengelola sumber daya seefektif dan seefisien mungkin. Efektif berarti setiap upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan. Efisien artinya pemerintah daerah harus bersikap rasional dengan mempertimbangkan dari setiap sumber daya yang dipakai. Dengan praktek yang baik dari konsep efektif dan efisien tersebut, pemerintah daerah dapat berharap banyak akan sebuah tata kepemerintahan yang baik (good governance) di daerahnya.

DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya . Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. Namun kenyataannya banyak peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di lapangan, hal ini disebabkan kurangnya responsibilitas dan observasi yang dilakukan anggota dewan ke lapangan sebelum merumuskan suatu kebijakan daerah tersebut.

(9)

9

dewan yang kosong, juga anggota DPRD yang sering asal berkomentar, ada anggota dewan yang tidak tahu apa tugas dan fungsinya, bahkan ada yang tidak tahu dengan pasti peraturan perundang-undangan mana yang mengatur hal-hal tertentu sehubungan dengan suatu rancangan peraturan daerah. Ada pula anggota dewan yang sejak dilantik hingga akhir masa baktinya tidak pernah bicara di DPRD, atau bahkan selama masa bakti lima tahun hanya datang beberapa kali saja

Sehubungan dengan penjelasan tersebut diharapkan dengan menerapkan konsep good governance ini sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat, dan selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Oleh sebab itu penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana konsep

good governance telah diimplementasikan dalam proses perumusan kebijakan daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karo periode 2009-2014.

2. Perumusan Masalah

(10)

10

di DPRD, sementara partai-partai itu sendiri pada umumnya masih pada tahap melayani kepentingan pemerintah daerah ketimbang kepentingan masyarakat setempat.

Berdasarkan penjelasan di atas, adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah proses penyusunan peraturan daerah di DPRD Karo periode 2009-2014 telah atau belum mengimplementasikan konsep dan prinsip-prinsip good governance.

3. Pembatasan Masalah

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan adanya pembatasan masalah terhadap hal yang akan diteliti, pembatasan ini diperlukan agar hasil penelitian lebih terfokus dan tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai menjadi karya tulis yang sistematis. Untuk lebih mempermudah kajian penelitian ini, maka permasalahan penelitian ini dibatasi dengan hanya mengkaji implementasi prinsip-prinsip good governance di dalam tahapan penyusunan dan perumusan peraturan daerah selama periode 2009-2014 di DPRD Karo.

4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yang diharapkan adalah untuk:

(11)

11

atau belum menerapkan konsep dan prinsip-prinsip good governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan partisipasi.

2. Memperoleh gambaran mengenai mekanisme dan cara seperti apa yang ditempuh oleh DPRD dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat,

3. Memperoleh gambaran mengenai bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD terhadap masyarakat atau konstituennya,

4. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat bagi peneliti maupun masyarakat luas. Oleh sebab itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya ilmu dan wawasan peneliti dalam membuat karya ilmiah dan tentunya menambah pengetahuan tentang proses penyusunan dan perumusan peraturan daerah.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi tambahan khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik dan juga para civitas akademika lainnya yang nantinya juga akan melakukan penelitian perihal yang sesuai dengan masalah tersebut.

(12)

12

dan sesuai dengan amanat UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

4. Manfaatnya bagi masyarakat adalah memberikan penjelasan dan dorongan terhadap masyarakat umum agar mengetahui proses perumusan peraturan daerah di Kabupaten Karo. Sehingga masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses perumusan peraturan daerah tersebut.

5. Kerangka Teori

6.1 Teori Kebijakan Publik

Ada banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi mengenai apa itu kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda, sehingga pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut pandang masing-masing penulisnya. Berikut ini beberapa definisi tentang kebijakan publik:

• Thomas R. Dye (1981)5

Kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari hal ini adalah negara. Pengertian ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui oleh para ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik. Definisi kebijakan publik

5

(13)

13

menurut Thomas R. Dye ini dapat diklasifikasikan sebagai keputusan (decision making), dimana pemerintah mempunyai wewenang untuk menggunakan keputusan otoritatif, termasuk keputusan untuk membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik.

• David Easton (1969)6

Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik. Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah.

• Carl Friedrich7

Ia memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu

6

Ibid. hlm 2.

7

(14)

14

tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah (intervensi sosio kultural) dengan mendayagunakan berbagai instrumen (baik kelompok, individu maupun pemerintah) untuk mengatasi persoalan publik.

6.1.1 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik.8

a. Tahap Penyusunan Agenda. Sebelum suatu masalah ditempatkan pada agenda publik, masalah tersebut berkompetisi dahulu untuk dapat masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak diangkat sama sekali, sementara masalah lain diangkat menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:

b. Tahap Formulasi Kebijakan. Masalah-masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan,

8

(15)

15

kemudian di definisikan untuk dicari pemecahan masalah terbaik. pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives) yang ada. Masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. setiap aktor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

c. Tahap Adopsi Kebijakan. Salah satu alternatif yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan pada akhirnya akan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.

d. Tahap Implementasi. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

(16)

16

untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai tujuan yang diinginkan atau belum.9

6.1.2 Perumusan Kebijakan

Suatu kebijakan mencakup tindakan oleh satu orang pejabat atau suatu lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang disediakan untuk menjawab suatu isu kebijakan. Dalam bentuknya yang positif, keputusan kebijakan bias berupa penetapan undang-undang ataupun peraturan lainnya. Keputusan kebijakan biasanya merupakan puncak dari berbagai keputusan yang dibuat selama proses perumusan kebijakan.

Pendefinisian Masalah (Defining Problem)

Menurut Winarno, mengenali dan mendefinisikan suatu masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan.10

9

William Dunn dikutip dalam Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002, hlm. 32-34.

10

Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002.

(17)

17

apakah permasalahan-permasalahan tersebut dapat terjawab atau tidak bergantung pada sejauh mana kita mampu mengenali dan mendefinisikan masalah tersebut.

Kegagalan suatu kebijakan sering disebabkan bukan karena pemecahan masalah tersebut kurang tepat, tetapi disebabkan oleh kesalahan-kesalahan para pembuat kebijakan dalam mendefinisikan suatu masalah. Jadi pendefinisian suatu kebijakan. Di dalam perumusan kebijakan inilah dicarikan berbagai alternatif kebijakan yang nantinya akan dibahas lebih mendalam dan mendetail pada

agenda setting.

6.1.3 Aktor-Aktor dalam Proses Pembuatan Kebijakan

Dalam perspektif ilmu politik, analisis terhadap proses kebijakan harus terfokus pada aktor-aktor. Jika politik diartikan sebagai “Siapa, melakukan apa, untuk memperoleh apa”, maka aktivitas yang terjadi dalam proses kebijakan adalah satu bentuk kegiatan yang dilakukan aktor politik untuk memperoleh nilai-nilai politik. Di samping itu, peran aktor-aktor sangat menentukan dalam merumuskan, melaksanakan, dan mempertimbangkan konsekuensi kebijakan yang dibuatnya. Para aktor tersebut masing-masing mempunyai karakteristik yang menunjukkan kekuatannya mempengaruhi proses kebijakan, yang diperinci sebagai berikut:

(18)

18

kuat dalam melakukan rekrutmen para policy maker yang berasal dari lingkaran eksekutif, di samping itu lembaga ini mempunyai resources

yang kuat dalam bentuk dana yang digunakan untuk pelaksanaan proyek-proyek pemerintah.

2. Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga ini merupakan lembaga yang tidak bisa diabaikan dalam proses kebijakan disebabkan konteks politiknya dalam institusi yaitu menentukan rancangan kebijakan, DPR juga mempunyai modal representativitas poltik yang bisa digunakan untuk membentuk opini publik.

3. Birokrat. Lembaga ini penting dalam proses kebijakan disebabkan keahlian yang mereka miliki, pengetahuan tentang institusi (sesuai masa kerja), serta peran pentingnya dalam implementasi kebijakan.

4. Lembaga Yudikatif. Lembaga ini berwenang melakukan ajudikasi pada implementasi kebijakan dan pada gilirannya menjadi masukan untuk formulasi.

5. Partai Politik. Lembaga ini berperan penting dalam menggalang opini publik yang bermanfaat dalam melontarkan isu-isu yang nantinya akan dikembangkan dalam tahap agenda setting.

6. Kelompok-kelompok Kepentingan. Aktor ini berfungsi menyalurkan isu-isu publik dalam proses agenda setting.

(19)

19

massa mempunyai kekuatan yang khas, yaitu kemampuannya menjangkau audiens lebih luas dibanding kelompok manapun.

8. Kelompok Intelektual Kampus dan Non Kampus. Aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, baik dalam agenda setting dan evaluasi, serta membentuk opini publik denagn relatif obyektif. Ada kalanya mereka juga berperan dalam formulasi kebijakan ketika negara menghendaki sumbangan pemikiran para teknokrat secara langsung maupun tidak langsung, dalam perencanaan pembangunan.11

6.1.4 Nilai-Nilai yang Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan

1. Nilai-Nilai Politik. Pembuat kebijakan mungkin menilai alternative-alternatif kebijakan berdasarkan pada kepentingan partai politiknya beserta kelompoknya (clientele group). Keputusaan yang dibuat berdasarkan pada keuntungan politik dan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan partai atau tujuan-tujuan-tujuan-tujuan kelompok kepentingan. Para ilmuwan politik sering menggunakan perspektif ini dalam mempelajari dan menilai keputusan khusus yang dibuat dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingan seperti misalnya, kelompok buruh yang terorganisir, petani-petani di pedesaan, atau mungkin juga kelompok-kelompok lain dalam masyarakat.

11

(20)

20

2. Nilai-Nilai Organisasi. Para pembuat kebijakan, khususnya para birokrat mungkin dipengaruhi pula oleh nilai-nilai organisasi. Organisasi-organisasi, seperti badan-badan administratif menggunakan banyak imbalan dan sanksi dalam usahanya untuk mempengaruhi anggota-anggotanya menerima dan bertindak atas dasar nilai-nilai organisasi yang telah ditentukan.

3. Nilai-Nilai Pribadi. Seorang politisi yang menerima suap untuk membuat kebijakan tertentu, seperti pemberian lisensi atau kontrak menjadi contoh konkret bagaimana nilai-nilai pribadi berpengaruh dalam pembuatan kebijakan.

4. Nilai-Nilai Kebijakan. Pembuat kebijakan ada kalanya bertindak dengan baik atas dasar persepsi mereka tentang kepentingan masyarakat atau kepercayaan mengenai apa yang merupakan kebijakan publik secara moral benar atau pantas. Seorang anggota legislatif memberikan suara mendukung undang-undang hak-hak sipil karena ia berpendapat bahwa tindakannya secara moral benar dan bahwa kesamaan (equality) merupakan tujuan yang diinginkan yang diinginkan dari kebijakan publik, sekalipun ia menyadari bahwa dukungannya itu mungkin mempunyai resiko politik.

(21)

21

melakukan tindakan. Di Cina yang berideologi komunis, paling tidak dipakai sebagai landasan untuk membentuk kebijakan-kebijakan di dalam negeri dan luar negeri, walaupun kadang-kadang meninggalkan ideologi tersebut. Paling tidak ideologi tersebut masih merupakan sarana untuk merasionalkan dan melegitimasi tindakan-tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahannya. Di banyak negara berkembang seperti Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Nasionalisme dan demokrasi masih merupakan landasan untuk membentuk kebijakan-kebijakan pemerintahannya.12

6.2 Good Governance

Istilah governance, good governance, dan good public governance

menjadi popular dalam kurun waktu 1996-1997 karena banyak diperkenalkan oleh lembaga pemberi bantuan luar negeri (foreign donor agencies)13

12

Ayyi. 6 Agustus 2011. Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan.

baik yang bersifat multilateral maupun bilateral. Istilah tersebut sering dikaitkan dengan kebijakan pemberian bantuan (aid policies), dalam arti good governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah.

13

(22)

22

Berdasarkan uraian di atas, governance merujuk pada tiga pilar yakni:

public governance merujuk pada lembaga pemerintah, corporate governance

merujuk pada pihak swasta/dunia usaha, dan civil society (masyarakat sipil). Untuk mewujudkan good governance, upaya pembenahan pada berbagai pilar lainnya secara serentak dan seimbang.14

OECD dan World Bank mendefinisikan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana

Upaya mewujudkan good governance hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran ketiga pilar tesebut. Disamping itu jika ada pembaharuan pada salah satu pilar maka harus diimbangi dengan pembaharuan pada pilar-pilar lain. Hubungan ketiganya harus dalam posisi yang seimbang dan saling kontrol (checks and balances) untuk menghindari penguasaan atau eksploitasi oleh salah satu komponen lainnya. Prinsip checks and balance bagi bangsa Indonesia dapat diterjemahkan dengan prinsip keseimbangan, keselarasan, keserasian dan semangat saling mengawasi (mengingatkan) antar sesama umat dan warga negara. Apabila salah satu komponen lebih tinggi daripada yang lain maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan atas dua komponen lainnya. Dengan menerapkan prinsip–prinsip good governance dalam ketiga pilar tersebut maka akan terjadi proses yang sinergis dan konstruktif antar ketiganya sehingga secara umum sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan.

14

(23)

23

investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.15

“pelaksanaan wewenang ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola urusan Negara di semua tingkat. Kepemerintahan yang baik mencakup semua mekanisme, proses dan lembaga yang merupakan saluran bagi rakyat untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi kewajiban-kewajiban mereka dan menyambung perbedaan-perbedaan mereka”

Sedangkan UNDP mendefinisikan pemerintahan yang baik sebagai:

16

Berdasarkan definisi tersebut, UNDP kemudian mengajukan karakteristik

good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri17

a. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

, sebagai berikut:

b. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.

15

Dr. Sedarmayanti M.Pd, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 7.

16

Purwo Sudjiwo, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik, Yogyakarta, 2004, hlm. 70.

17

(24)

24

c. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau.

d. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.

e. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.

f. Effectiveness and Efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.

g. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

h. Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif

good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

(25)

25

digunakan di dalam manajemen sumber daya sosial dan ekonomi bagi kepentingan pembangunan; (3) kemampuan pemerintah untuk merancang, memformulasikan, melaksanakan kebijakan, dan melaksanakan fungsi-fungsinya.18

Anggota parlemen dianggap duduk di lembaga perwakilan (parlemen) karena mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di

Semua indikator atau aspek yang dikemukakan di atas berbuntut pada mencari jalan ke luar dari permasalahan penyelenggaran pemerintahan yang sudah maupun sedang berjalan.

Setiap pelaku good governance memiliki peran dan tugas masing-masing dalam mencapai tujuan hidup bernegara. Negara (pemerintah) berperan menciptakan lingkungan politik dan hukum kondusif dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik, penyelenggaraan kekuasaan memerintah, dan membangun lingkungan kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional dan global.

6.3 Teori Perwakilan Politik

Sesorang yang duduk di lembaga perwakilan, baik itu karena pengangkatan/penunjukkan maupun melalui pemilihan umum, mengakibatkan timbulnya hubungan si wakil dengan yang diwakilinya. Teori-teori yang membahas hubungan tersebut adalah sebagai berikut:

6.3.1 Teori Mandat

18

(26)

26

Perancis pada masa revolusi dan dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion. Teori mandat dibagi atas 3 jenis, yakni:

a. Mandat Imperatif. Menurut teori ini parlemen bertindak di lembaga perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Parlemen tidak boleh bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal yang baru yang tidak terdapat dalam instruksi tersebut, maka si parlemen harus mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya setelah itu parlemen boleh melaksanakannya.

b. Mandat Bebas. Teori ini berpendapat bahwa parlemen dapat bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Menurut teori ini, parlemen adalah orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga parlemen dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama rakyat.

c. Mandat Representatif. Dalam teori ini, parlemen dianggap bergabung dalam suatu Lembaga Perwakilan. Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga parlemen sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi pertanggungjawabannya, lembaga perwakilan inilah yang bertanggungjawab kepada rakyat.19

19

(27)

27

6.3.2 Teori Gilbert Abcarian

Menurut Gilbert Abcaraian ada 4 tipe mengenai hubungan antara parlemen dengan yang diwakilinya, yaitu:

a. Parlemen bertindak sebagai wali (trustee). Di sini parlemen bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya.

b. Parlemen bertindak sebagai utusan (delegate). Di sini parlemen bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, parlemen selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugasnya.

c. Parlemen bertindak sebagai politico. Di sini parlemen kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan ada kalanya bertindak sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung dari isu yang dibahas.

d. Parlemen bertindak sebagai partisan. Di sini parlemen bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partainya. Setelah anggota parlemen dipilih oleh pemilihnya, maka mulailah hubungan dengan partai yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut.20

20

(28)

28

6.4 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)

6.3.1 DPRD Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat

DPRD sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat daerah, melaksanakan fungsi legislatif, sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat di daerah. DRPD berkedudukan sejajar sebagai mitra Pemerintah Daerah serta bukan bagian dari Pemerintah Daerah. Dalam kedudukannya sebagai Badan Legislatif Daerah, DPRD juga bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah Otonomi.

DPRD sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat, seharusnya mampu dan berani untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dengan tidak mengabaikan organisasi induknya. DPRD merupakan suatu wujud keikutsertaan rakyat dalam mengatur jalannya pemerintahan. Keikutsertaan itu sangat luas, termasuk merumuskan berbagai kebijakan dan melaksanakan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan di daerah. Fungsi DPRD ini tidak semata-mata sebagai penyalur aspirasi rakyat, tetapi juga sebagai lembaga yang member saran dan pertimbangan kepada eksekutif tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan. Bahkan, antara kedua lembaga tersebut sudah ada pembidangan tugas yang jelas, yaitu kepala daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD di bidang legislatif.

6.3.2 Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat

Secara keseluruhan aktivitas wakil rakyat yang mencerminkan peran dan fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat diklasifikasikan sebagai berikut ini:

(29)

29

Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat yang mencirikan demokrasi modern ini memperkenalkan nama badan legislatif atau badan pembuat undang-undang kepadanya. Melalui fungsi ini, parlemen menunjukkan bahwa dirinya adalah wakil rakyat dengan memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya ke dalam pasal-pasal undang-undang yang dihasilkan. Dalam waktu yang bersamaan, Parlemen pula sebagai unsur pemerintah atau memberikan dukungan kepada eksekutif dan yudikatif sebagai lembaga pemerintahan melalui kewenangan mengatur masyarakat yang dikandung oleh pasal-pasal undang-undang yang sama.

b. Fungsi Anggaran

Karena Parlemen mewakili rakyat, badan ini berwenang menentukan pemasukan dan pengeluaran uang negara yang pada hakikatnya adalah uang rakyat. Baik pembelanjaan uang negara yang diambil dari pajak sebagai sumbernya, maupun yang berasal dari bantuan atau pinjaman luar negeri, semuanya tentu menjadi beban rakyat.

Fungsi badan perwakilan menetapkan kebijakan perpajakan menjadi penting karena pajak adalah iuran masyarakat untuk menyelenggarakan kehidupan bersama di dalam negara. Parlemen tetap mempunyai kewenangan untuk merevisi atau mengubahnya. Setidak-tidaknya badan perwakilan memberikan pengesahan kepada rancangan anggraan eksekutif.

(30)

30

Dalam kualifikasinya sebagai wakil rakyat sesungguhnya pengawasan yang dilakukan oleh badan perwakilan pertama kali berkenaan dengan keputusan yang telah dikeluarkannya dalam bentuk undang-undang. Eksekutif dan yudikatif yang bertindak sebagai pelaksana perlu dinilai apakah cukup tepat melaksanakan keputusan tersebut. Kedua pengawasan itu merupakan konsekuensi dari rakyat yang dioperasikannya. Sebagai pemegang mandat kekuasaan, badan perwakilan bertanggungjawab atas pemanfaatan mandat tersebut kepada pemberinya.

d. Hubungan Internasional

Fungsi lembaga ini di bidang hubungan internasional ialah memberikan persetujuan atas perjanjian internasional yang dibuat oleh eksekutif. Persetujuan Parlemen diperlukan supaya isi perjanjian tersebut mengikat seluruh masyarakat yang diwakili. Disamping setelah Parlemen melakukan ratifikasi atas berbagai kesepakatan internasional dengan mengeluarkan undang-undang baru, eksekutif berwenang melaksanakan kesepakatan internasional tersebut.

7. Metodologi Penelitian

7.1 Jenis Penelitian

(31)

31

dan sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.

7.2 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karo yang beralamat di Jalan Veteran No. 14 Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

7.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data primer, yaitu melalui metode wawancara (interview). Teknik pengumpulan data melalui wawancara ialah dengan bertanya langsung kepada informan ataupun narasumber yang dianggap sesuai dengan objek penelitian serta melakukan tanya jawab secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian.21 Wawancara dilakukan dengan anggota DPRD Karo periode 2009-2014, yaitu Wakil Ketua DPRD Onasis Sitepu, ST, Ketua Komisi A Frans Dante Ginting, dan Ketua Fraksi PAN Harison SItepu, SP.

21

(32)

32

7.4 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis meggunakan teknik analisis data deskriptif-kualitatif. Metode deskriptif-kualitatif memungkinkan peneliti menganalisis proses berlangsungnya penyusunan dan perumusan kebijakan daerah di DPRD Karo sehingga memperoleh gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut. Teknik analisis data dalam penelitian ini dimulai dari proses pengumpulan data kemudian dianalisis dengan variabel-variabel pada kerangka teori. Permasalahan dalam penelitian ini akan terjawab setelah data dan informasi telah terkumpul dari narasumber dan sumber-sumber yang terkait dan kemudian dianalisis oleh peneliti.

8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PROFIL DAN AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK DPRD KARO

(33)

33

juga akan menjelaskan tugas, fungsi dan wewenang anggota DPRD Karo.

BAB III : IMPLEMENTASI KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH KARO

Pada bab ini akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian. Dalam bab ini akan diuraikan dengan jelas bagaimana proses penyusunan peraturan daerah di DPRD Karo selama periode 2009-2014. Kemudian penulis akan melakukan analisis dan pembahasan terhadap data yang diperoleh dari proses penyusunan kebijakan daerah tersebut.

BAB IV : PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 7: Cetakan berbahan besi.. Gambar 8: Cetakan berbahan semen. Gambar 9: Cetakan berbahan resin. Cetakan berbahan resin adalah yang paling banyak digunakan hal ini

Secara umum, penelitian ini akan disusun dalam sistematika pembahasan sebagai berikut: (1) Bab satu, pada bab ini penulis menjelaskan mengenai fenomena maraknya

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan melakukan uji identifikasi pewarna rhodamin B pada

BIL BIDANG TUGAS SASARAN KERJA PENILAIAN PERTAMA PENILAIAN AKHIR MELEBIHI JUMLAH YANG DISASARKAN CATATAN 15 Meningkatkan pencapaian kokurikulum dan sukan di peringkat

di Desa Lambang Kuning Kecamatan Lumbang Kabupaten Probolinggo mendapatkan hasil dari total 63 responden dengan hasil pengetahuan paling banyak 24 (38,1%)

Warna coklat tersebut mirip dengan pada Sapi Bali tetapi belum dapat diketahui dengan pasti apakah Sapi Krui tersebut mengandung genetik Sapi Bali atau tidak

Data-data yang telah terkumpul yang berupa semua bunyi bahasa yang terdapat di daerah Motong Are Kecamatan Kediri tersebut dianalisis untuk mengetahui apakah bunyi tersebut

Hasil penelitian ini dapat menunjukkan bahwa dampak informasi dengan media promosi yang digunakan untuk promosi iklan Djarum Black adalah baik dan efektif, hal