• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak lama. Pencucian uang sebagai suatu tindak pidana telah berkembang sejak tahun 1920-an. Tahun 1980-an adalah masa perkembangan bisnis haram di berbagai negara.Perdagangan narkotika dan obat bius misalnya, mampu menghasilkan omset yang sangat besar.Dari sinilah muncul istilah narco dollar untuk menyebut uang haram yang dihasilkan dari perdagangan narkotika.31

Fenomena tersebut merupakan pemantik lahirnya istilah “pencucian

uang”.Istilah ini mulai digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1986, kemudian

digunakan secara internasional dalamKonvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1988.32

Menurut Billy Steel, istilah pencucian uangatau money laundering berasal dari Laundromats, nama sebuah tempat usaha pencucian pakaian secara otomatis di Amerika Serikat. Perusahaan yang dimiliki oleh kelompok mafia ini dipilih untuk menyamarkan uang haram menjadi uang sah.Kalangan mafia memperoleh penghasilan besar dari bisnis pemerasan, prostitusi, perjudian, dan penyeludupan minuman keras.Mereka kemudian membeli atau mendirikan perusahaan yang

31

Philips Darwin, Money launderingCara Memahami Dengan Tepat dan Benar Soal Pencucian Uang, Sinar Ilmu, 2012, hlm. 12.

32

(2)

bergerak di bisnis halal untuk mengaburkan asal usul uang hasil dari bisnis haram.33

Para gangster memilih Laundromats karena usaha ini dilakukan dengan menggunakan uang tunai dan pasti menguntungkan.Salah satu pelakunya adalah mafia terkenal, Al Capone. Pada Oktober 1931,ia dihukum dengan pidana penjara selama sebelas tahun di penjara Alcatraz setelah dinyatakan bersalah melakukan penggelapan pajak. Namun ia dihukum bukan karena terbukti bersalah melakukan kejahatan asal (predicate crime) seperti pembunuhan, pemerasan, dan penjualan minuman keras tanpa izin.34

Money laundering telah menjadi bagian penting dalam kejahatan karena pelaku kejahatan dapat menyembunyikan hasil kejahatan dalam suatu sistem yang relatif sulit untuk ditemukan yang dikenal dengan istilah pencucian uang.Tindakan menyembunyikan hasil kejahatan atau dana-dana yang diperoleh dari tindak pidana dimaksudkan untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan.35Suatu Tindak Pidana Pencucian Uang tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya kejahatan lain (tindak pidana asal) terlebih dahulu.Tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang akan selalu berjalan berdampingan, saling membutuhkan dan tidak saling terlepas satu sama lain.

Saat ini, money laundering merupakan fenomena di dunia dan permasalahan dunia internasional.Semua negara sepakat bahwa pencucian uang

33

Philips Darwin, Loc.Cit. 34

Ibid, hlm. 13. 35

(3)

merupakan suatu kejahatan serius yang harus ditangani secara serius pula dan diberantas dengan melakukan kerjasama antarnegara.

RezimAnti-Money Laundering yang diatur berbagai negara di dunia berkaitan dengan ketentuan United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988, yang lahir 19 Desember 1988. Bahkan pengaturan rezimanti-money laundering di berbagai negara tersebut boleh dikatakan mirip atau hampir sama dengan United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 itu, oleh karena sebagian substansi pengaturannya diambil dari ketentuan-ketentuan

United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and

Psychotropic Substances of 1988 tersebut.36

Salah satu pengertian money laundering yang menjadi acuan di seluruh dunia adalah pengertian yang dimuat dalam United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Secara lengkap money lauendering tersebut adalah:37

“The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a

36

Bismar Nasution, Op.Cit, hlm. 17. 37

(4)

serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.

Salah satu upaya serius untuk melawan kegiatan pencucian uang adalah dengan membentuk satuan tugas yang disebut The Financial Action Task Force

(FATF) on Money Laundering yang diprakarsai oleh Kelompok 7 negara (G-7) dalam G-7 Summit di Perancis pada bulan Juli 1989. Saat ini, FATF memiliki anggota sebanyak 29 negara/teritorial serta 2 organisasi regional yaitu the European Commission and the Gulf Cooperation Council yang mewakili pusat-pusat keuangan utama di Amerika, Eropa dan Asia.38

Salah satu peran penting dari FATF adalah menetapkan kebijakan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi tindakan untuk mencegah dan memberantas pencucian uang.Sejauh ini FATF telah mengeluarkan 40 (empat puluh) rekomendasi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang.39

Rekomendasi tersebut oleh berbagai negara di dunia telah diterima sebagai standar internasional dan dibuat menjadi pedoman baku dalam pemberantasan kejahatan pencucian uang. Negara-negara yang berdasarkan penilaian FATF tidak memenuhi rekomendasi tersebut, akan dimasukkan dalam daftar Non-Cooperative and Teritories (NCCTs). Negara yang masuk dalam daftar NCCTs dapat dikenakan counter-measures. Dengan masuknya suatu negara pada daftar NCCTs tersebut dapat menimbulkan akibat buruk terhadap sistem keuangan negara bersangkutan, misalnya meningkatnya biaya transaksi keuangan dalam melakukan

38

Bismar Nasution, Op.Cit, hlm. 21. 39

(5)

perdagangan internasional khususnya terhadap negara maju atau penolakan oleh negara lain atas Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh perbankan di negara yang terkena counter-measures tersebut.

Akibat lain yang cukup serius adalah pemutusan hubungan korespondensi antara bank luar negeri dengan bank domestik, pencabutan izin usaha kantor cabang atau kantor perwakilan bank nasional di luar negeri, dan kemungkinan penghentian bantuan luar negeri kepada pemerintah. Sanksi tersebut pada akhirnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas.40

Oleh karena itu, penanganan tindak pidana pencucian uang telah menjadi perhatian khusus oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.Salah satu bentuk nyatanya adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana undang-undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa pencucian uang adalah suatu tindak pidana dan memerintahkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun demikian, undang-undang tersebut dinilai oleh FATF masih belum memadai karena belum sepenuhnya mengadopsi 40 rekomendasi dan 8 rekomendasi khusus yang mereka keluarkan.FATF meminta dengan resmi agar undang-undang tersebut diperbaiki dan disempurnakan. Akhirnya upaya perbaikan dan penyempurnaan undang-undang tersebut dapat diselesaikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas

40

(6)

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada tanggal 13 Oktober 2003.41

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut kemudian telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan berbagai perubahan yang dianggap perlu untuk mendukung pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang

Tujuan seseorang atau organisasi kejahatan melakukan pencucian uang adalah supaya asal-usul uang tersebut tidak dapat diketahui atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan oleh para pencucinya, yakni:42

Faktor pertama, kepemilikan yang sebenarnya dan sumber yang sesungguhnya dari uang yang dicuci itu harus disembunyikan. Tidak ada gunanya untuk melakukan pencucian uang apabila setiap orang mengetahui siapa yang memiliki uang tersebut apabila uang itu nantinya muncul di akhir dari proses pencucian uang itu.

Faktor kedua, bentuk uang tersebut harus berubah.Dana yang berasal dari perdagangan narkoba hampir dipastikan berupa uang tunai. Uang tunai ini harus dapat diubah bentuknya menjadi alat pembayaran lain, misalnya berbentuk cek.

41

Bismar Nasution,Loc.Cit. 42

(7)

Kongres Amerika Serikat pada waktu membicarakan mengenai undang-undang

money laundering mengemukakan sebagai berikut:

In typical drug organization, the proceed generated by the drug traffickers are almost entirely in the form of cash. The typical denomination of currency in street circulation is a twenty dollars bill. As the profits for street sales move up the ladder of the trafficking organization-from the street seller to the wholesaler to the importer-these twenty-dollars bills, so crumpled and covered with dirt and drug residue that they will often jam the counting machines, are bundled together and collected in warehouse. Regularly, the volume becomes so large that it is to count it. Handling this volume of cash is often a more serious logistical problem for the trafiicker than the handling of the drugs themselves”. (One hundred billion dollars in twenty-dollars bills weighs about 26 million pounds.)

Tidak ada seorang pun yang ingin mencuci uang sejumlah £3 juta dalam bentuk uang-uang kertas £20-an hanya untuk berpayah-payah dengan memproses uang senilai £3 juta yang akhirnya muncul dalam bentuk uang-uang kertas £20-an juga. Antara lain, apabila terlibat jumlah uang tunai yang besar sekali, mengubah bentuk uang tunai itu berarti juga melakukan pengurangan tumpukannya. Berbeda dengan keyakinan umum, kita tidak dapat misalnya, memasukkan uang kertas senilai £1 juta ke dalam suatu attache case.Satu juta pound (£1 juta) yang terdiri atas mata uang kertas £50 hampir setinggi 10 kaki (10 feet high).

Faktor ketiga, jejak yang ditinggalkan oleh proses pencucian uang harus tersamar atau tidak dapat diketahui (obscured). Tujuan dari pencucian uangakan sia-sia apabila orang lain dapat mengikuti jalannya proses pencucian uang dari permulaan sampai akhir proses tersebut.

(8)

dan apabila mereka dapat mengambil atau mencurinya, maka kecil sekali kemungkinannya bagi pemilik uang itu untuk dapat mengambil tindakan hukum terhadap perbuatan tersebut.

Pencucian uang biasanya termanifestasi dalam transaksi yang berkali-kali dan sering kali dilakukan secara simultan.43 Pada umumnya, supaya keempat faktor diatas tercapai, maka proses pencucian uang harus dilakukan dengan menempuh beberapa tahap. Para pakar telah membagi proses money laundering

ke dalam 3 tahap, yaitu: 1) Placement

Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system).44 Atau upaya menempatkan uang giral (cek, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama perbankan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.45 Jeffrey Robinson menggunakan istilah immersion bagi tahap pertama ini, yaitu yang berarti

consolidation and placement.46

Placement adalah tahap yang paling lemah dan paling mudah untuk dilakukan pendeteksian terhadap upaya pencucian uang.47 Pada tahap

placement, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misalnya, hasil yang

43

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm. 58. 44

(9)

diperoleh dari perdagangan narkoba yang pada umumnya terdiri dari uang-uang yang berdenominasi kecil dalam tumpukan-tumpukan yang besar dan lebih berat daripada narkobanya sendiri, dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar. Kemudian uang itu didepositokan langsung ke dalam suatu rekening di bank, atau digunakan untuk membeli sejumlah instrumen-instrumen moneter (monetary instruments) seperti cheques, money orders, dan lain-lain kemudian menagih uang tersebut serta mendepositokannya ke dalam rekening-rekening di lokasi lain. Sekali uang tunai itu telah dapat ditempatkan pada satu bank, maka uang itu telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Oleh karena uang yang telah ditempatkan di satu bank itu selanjutnya dapat dipindahkan lagi ke bank lain, baik di negara tersebut maupun di negara lain, maka uang tersebut bukan saja telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan, tetapi telah pula masuk ke dalam sistem keuangan global atau internasional.48

Jeffrey Robinson memberikan contoh bagaimana dalam tahap immerson, pencucian uang dilakukan.Seorang pengedar narkoba (drug dealer) yang mengumpulkan uang tunai sejumlah £5 juta dihadapkan pada tugas yang berat untuk menempatkan uang tersebut sebanyak-banyaknya ke dalam sistem perbankan (banking system). Tidak seperti halnya pemalsu uang yang harus dapat memasukkan uang palsu yang dibuatnya ke dalam sirkulasi, pencuci uang (laundryman) terpaksa mengandalkan rekening-rekening bank (bank accounts), surat berharga yang dikeluarkan oleh kantor pos (postal

48

(10)

orders), cek bepergian (traveler’s checks), dan negotiable instruments lainnya untuk menyalurkan uang tunai itu ke dalam sistem perbankan.49

2) Layering

Pekerjaan dari pihak pencuci uang (lauderer) belum berakhir dengan ditempatkannya atau didepositokannya uang tunai tersebut ke dalam sistem keuangan.50 Layering adalah upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan lain. Transfer harta kekayaan hasil kejahatan ini dilakukan berkali-kali, melintasi negara, memanfaatkan semua wahana investasi. Dengan dilakukan layering, penegak hukum mengalami kesulitan untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut atau mempersulit pelacakan (audit trail). Pada tahap ini, pelaku pencucian uang bermaksud memperpanjang rangkaian dan memperumit transaksi, sehingga asal usul uang menjadi sukar untuk ditemukan pangkalnya51 atau dengan kata lain pencuci uang berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya.

Layering diartikan sebagai suatu tindakan untuk memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini, terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks, didesain untuk

49

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit. 50

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit 51

(11)

menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang haram tersebut. Layering

dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.52 Prinsip rahasia bank inilah yang dijadikan tameng oleh para pencuci uang sebelum gerakan anti pencucian uang dilakukan secara internasional.

Transaksi-transaksi dalam tahap layering harus dapat dilakukan sedemikian rupa dengan mencampurkan ke dalam transaksi-transaksi sah yang berjumlah triliunan yang terjadi setiap hari. Beberapa variasi dalam melakukan transaksi dalam tahap layering ini ialah menggunakan apa yang disebut loan-backs dan double invoicing. Kedua transaksi tersebut merupakan teknik dalam tahap layering yang lazim dilakukan.Pada loan-backs, pencuci uang menempatkan hasil pencucian kejahatan yang diperolehnya ke dalam perusahaan di luar negeri (offshore entity). Perusahaan tersebut didirikan bukan atas namanya tetapi atas nama pihak lain, tetapi dikendalikan olehnya secara rahasia. Kemudian perusahaan di luar negeri itu memberikan pinjaman dengan menggunakan kembali dana yang ditempatkan oleh pencuci uang yang bersangkutan kepada diri sendiri. Teknik ini dapat dilaksanakan karena di beberapa negara tertentu sulit untuk dapat menentukan siapa yang sebenarnya mengendalikan (siapa pemilik sebenarnya) perusahaan di luar negeri itu.53

52

Ibid, hlm. 62. 53

(12)

Teknik lain dari layering ialah membeli efek (saham atau obligasi), kendaraan, dan pesawat terbang atas nama orang lain. Kasino sering juga digunakan karena kasiono menerima uang tunai. Sekali uang tunai tersebut dikonversikan ke dalam chips dari kasino tersebut, maka dana yang telah dibelikan chips tersebut dapat ditarik kembali dengan menukarkan chips tadi dengan cek yang dikeluarkan oleh kasino tersebut.54

Metode lain yang umum dipakai dalam tahap layering adalah cash converted into monetary instruments (mengubah uang tunai ke dalam instrumen moneter). Sekali placement berhasil dilakukan dalam sistem keuangan melalui bank atau institusi keuangan, hasil kejahatan dapat diubah ke dalam instrumen moneter. Ini memerlukan bankers draft dan money orders. Sekali berhasil melakukan pembelian instrumen moneter, uang hasil kejahatan telah menjadi uang yang sah.Bank dapat menjadi alat bagi pelaku untuk melakukan pencucian uang. Pelaku pencucian uang dapat meminta bank untuk membeli instrumen yang diperdagangkan di pasar uang untuk kepentingan dirinya. Atau aset yang dibeli dengan uang hasil kejahatan atau kegiatan ilegal kemudian dijual kembali di pasar dalam negeri atau di luar negeri.Dalam kasus semacam ini aset menjadi lebih sulit untuk dilacak atau disita.Pelaku pencucian uang dapat membeli saham atau tagihan perusahaaan, kendaraan mewah, properti atau perhiasan secara tunai, kemudian segera

54

(13)

dijual, kemudian hasil penjualan tersebut kembali dibelikan aset lain secara tunai lagi dan seterusnya.55

3) Integration

Tahap yang ketiga ialah integration, atau disebut juga repatriation and integration, atau disebut pula spin dry.56 Integrasi adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer, sehingga menjadi harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Integration pada dasarnya adalah tahapan di mana pelaku telah berhasil mencuci dananya dalam sistem keuangan atau tahapan dimana dana yang telah dicuci diharapkan dapat disejajarkan dengan dana yang sah secara hukum maupun ekonomi.57 Para pencuci uang dapat memilih penggunaannya dengan menginvestasikan dana tersebut ke dalam real estate, barang-barang mewah (luxury assets) atau perusahaan-perusahaan (business ventures).58

Kegiatan money laundering dapat pula terkonsentrasi secara geografis sesuai dengan tahap pencucian uang itu. Pada tahap placement, misalnya, dana tersebut biasanya diproses di tempat di dekat aktivitas yang menghasilkan dana itu dilakukan, sering tetapi tidak pada setiap kasus, di negara di mana dana itu dihasilkan. Pada tahap layering, pencuci uang yang bersangkutan mungkin memilih suatu offshore financial centre, pusat bisnis

55

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm. 62-63. 56

Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 37. 57

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm.63. 58

(14)

regional yang besar (a large business centre) atau pusat perbankan dunia (a world banking centre), yaitu dimana saja yang menyediakan infrastruktur keuangan atau bisnis yang memadai. Pada tahap ini dana yang dicuci tersebut mungkin saja hanya transit di rekening-rekening bank di beberapa tempat, yang dapat dilakukan tanpa meninggalkan jejak pada tahap integration, para pencuci uang dapat memilih untuk menginvestasikan dana yang telah dicuci itu di lokasi lain apabila di negara tersebut kesempatan-kesempatan investasinya sangat terbatas.59

Adalah menarik perumpamaan yang dikemukakan oleh Jeffrey Robinson mengenai apa yang sebenarnya terjadi terhadap uang yang berhasil dicuci. Jeffrey Robinson menggambarkannya seperti melempar batu ke sebuah kolam. Dikemukakan oleh Jeffrey Robinson sebagai berikut:60

“It’s like a stonebeing thrown into a pond.

You see the stone hit the water because it splashes. As it begins to sink. The water ripples and, for a few moments, you can still find the spot where the stone hit. But, as the stone sinks deeper, the ripples fade. By the time the stone reaches the bottom, any traces of it are long gone and the stone itself may be impossible to find.

That’s exactly what happens to laundered money”.

Sebagaimana pendapat Jeffrey Robinson, tahap immersion (placement) adalah tahap yang paling rentan (vulnerable) bagi pencuci uang karena apabila pencuci uang tidak dapat memasukkan uang haram tersebut ke dalam proses pencucian, maka ia tidak akan dapat mencuci uang haram tersebut. Namun, sekali uang haram itu berhasil dikonversikan ke dalam nomor-nomor rekening bank yang muncul di suatu layar komputer dan nomor-nomor

59

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit. 60

(15)

tersebut berhasil dipindahkan mondar-mandir melintasi dunia, maka hal itu seperti halnya riak air sebagaimana digambarkan di atas lenyap dan batu tersebut terkubur di dalam lumpur di dasar kolam itu.61

B. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

1. Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pemberantasan kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana maupun pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah Indonesia dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanat PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997.62 Setiap negara yang turut menandatangani konvensi tersebut dengan sendirinya menyatakan siap untuk menetapkan bahwa pencucian uang merupakan bentuk kejahatan dan mengambil tindakan serius dalam penanganan pencucian uang itu sendiri, termasuk pemerintah Indonesia.

Sebelum adanya undang-undang khusus mengatur tindak pidana pencucian uang,pemerintah Indonesia telah menindaklanjuti komitmen untuk pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan mengaturnya pada beberapa ketentuan sebagai berikut:63

61

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit. 62

Yunus Husein, Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita?,dimuat dalam Buletin PENGEMBANGANPERBANKAN Mei-Juni No. 89 Th 2001, hlm. 4.

63

(16)

a. Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Psikotropika

Perintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yangberkaitan dengan psikotropika, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Di samping itu,terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam undang-undang ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.

b. Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Narkotika

(17)

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat

memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh

kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia

terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang

perbankan”.

Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan transaksi tertentu antara lain hádala transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk pula kegiatan pencucian uang.

d. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang LATU (Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar)

Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melaluipergerakan dana dalam transaksi internacional. Undang-UndangNomor 24 Tahun 1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2), misalnya, mengatur sebagai berikut: “Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai

kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui

pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.

(18)

e. Ketentuan Bank Indonesia

Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secaralangsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara administratif, antara lain:

1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia;

2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum;

3) PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum;

4) PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungí Audit Intern Bank Umum;

5) PBI No. 1/9/PBI/1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank Beserta Peraturan Pelaksanaannya SE No.1/9/DSM tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank;

6) Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/10/DASP tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong;

(19)

8) Peraturan Bank Indonesia No. 2/23/PBI/2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test);

9) Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal Nasabah (Know Your Customers Principles).

2. Setelah Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Di Indonesia, istilah “money laundering” diterjemahkan dengan

“pencucian uang”. Terjemahan tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ini merupakan ketentuan anti-money laundering di Indonesia.64

Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, semakin menunjukkan komitmen dari pemerintah Indonesia dalam penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Diaturnya pencucian uang secara khusus dalam sebuah undang-undang menunjukkan adanya perubahan cara memandang dan menangani kejahatan ini.

64

(20)

Hal terpenting dari lahirnya undang-undang ini yang menunjukkan adanya perubahan itu adalah dengan ditetapkan kegiatan pencucian uang sebagai bentuk tindak pidana yang tentunya dibarengi dengan sanksi pidana bagi mereka yang melakukannya. Selain itu, dibentuknya suatu unit kerja yang independen yang akan berperan besar dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Terjadinya perubahan pada undang-undang yang mengatur tindak pidana pencucian uang tentunya juga dikarenakan oleh adanya perkembangan yang dianggap perlu untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Saat ini, undang-undang yang mengatur tindak pidana pencucian uang yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 terdapat beberapa hal-hal pokok yang menjadi perhatian dan perubahan penting dari undang-undang sebelumnya, yaitu:

a. Jenis Tindak Pidana Asal (Predicate Crime)

(21)

kelautan dan perikanan atautindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

b. Lex Specialis

Pada Pasal 68 ditentukan bahwa penyidikan, penuntutan danpemeriksaan di persidangan, dilakukan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU ini. Dari pengaturan ini tampak

bahwa para pembuat UU menginginkan UUTPPU ini lebih banyak disesuaikan

dengan sifat perkembangan masalah kejahatan pencucianuang yang memiiki

karakter yang lebih khusus dari masalah yang diatur oleh

perundangundanganlain65. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

undang-undang ini memiliki sifat lexspecialis karena undang-undang ini bisa menjadi

pengecualian terhadapketentuan-ketentuan undang-undang lain (KUHAP)

berdasarkan prinsip lex specialis derogate legi lexgeneralis.

c. Pembuktian Terbalik

Pada Pasal 77 diatur bahwa “untuk kepentingan pemeriksaan di sidang

pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan

merupakan hasil tindak pidana”. Ketentuan ini dikenal dengan istilah pembuktian terbalik, dimana diberikan kesempatan kepada terdakwa untuk

65

(22)

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau membuktikan bahwa harta kekayaannya bukanlah hasil tindak pidana.

d. Eksistensi PPATK

Pada Pasal 40, keberadaan PPATK semakin diakui dengan memperluas fungsi PPATK dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, yaitu:

1. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; 2. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; 3. Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor;

4. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

e. Alat Bukti

Pada Pasal 73 ditentukan bahwa alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang, yaitu:

1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,

atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen.

(23)

dan media-media yang tidak terduga sebelumnya. Melalui ketentuan ini diharapkan pembuktian tindak pidana pencucian uang semakin mudah sehingga lebih mudah juga pencegahan dan pemberantasannya.

f. Peradilan In Absentia

Pasal 79 mengakui bahwa dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang dibenarkan tanpa kehadiran terdakwa apabila sudah dipanggil secara sah dan patut namun tidak hadir juga (in absentia). Kekhususkan dalam hukum acara pidana yang diterapkan oleh undang-undang ini tentu memberikan dukungan positif terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu untuk mempermudah pemeriksaan meskipun terdakwa tidak hadir. Dengan dilanjutkannya pemeriksaan tanpa kehadiran terdakwa tentu membantu pemerintah dalam menyelamatkan harta hasil kejahatan yang dilakukan terdakwa.

g. Kualifikasi Perbuatan Pidana dan Ancaman Hukuman

(24)

inimenunjukkan bahwa pembuat undang-undang dan pemerintah Indonesia tidak main-main dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

h. Paradigma Follow The Money

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan disempurnakan lagi dalam Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menggunakan pendekatan follow the money dalam mengkriminalisasi pencucian uang. Dalam setiap tindak pidana, setidaknya ada tiga komponen, yaitu adanya pelaku, tindak pidana yang dilakukan, dan hasil tindak pidana dapat berupa uang atau harta kekayaan lain. Pendekatan follow the moneymendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil diperoleh barulah dicari pelakunya. Pendekatan ini dirasa lebih menguntungkan dan adil karena jangkauannya lebih jauh, dapat dilakukan secara diam-diam sehingga memiliki resiko perlawanan dari pelaku tindak pidana sangat kecil.66

i. Penerobosan Rahasia dan Kode Etik

Pasal 28 undang-undang ini memberikan suatu jaminan kepada pihak pelapor dalam melaksanakan kewajiban pelaporannya dikecualikan dari prinsip

66

(25)

kerahasiaanbank. Berdasarkan Pasal 45 undang-undang ini PPATK dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya tidak terkait dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur tentang prinsip kerahasiaan. Sedangkan berdasarkan Pasal 72 undang-undang ini penyidik, penuntut umum atau hakim dalam meminta keterangan tidak berlaku ketentuan peraturan perundang perundang-undangan yg mengatur rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Dikesampingkannya rahasia dan kode etik ini berguna untuk memudahkan para penegak hukum dalam melaksanakan prinsip

follow the money agar penanganan suatu perkara dugaan pencucian uang tidak berlarut-larut.

j. Penundaan, Penghentian Sementara dan Pemblokiran Transaksi

Suatu transaksi keuangan dapat ditunda paling lama 5 hari kerja terhitung sejak penundaan transaksi oleh pihak penyedia jasa keuangan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 26 dan pada Pasal 71. Pihak penyidik, penuntut umum maupun hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari suatu tindak pidana.

k. Kerjasama Pertukaran Informasi

Referensi

Dokumen terkait

Isolat diperoleh dari sampel darah penderita demam tifoid dipilih secara Purposive Sampling yang telah meme- nuhi kriteria inklusi yaitu isolat salmo- nella typhii yang

• Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan IgM sangat penting untuk mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya infeksi oleh HSV II dan mencegah

Ukuran dalam, lebar dan tempat galian untuk pemasangan pipa dan peralatannya, serta bangunan yang termasuk di dalam pekerjaan ini harus dibuat sesuai gambar rencana.. Patokan

[r]

Selanjutnya dijelaskan mengenai karakteristik waktu survival pasien DBD RSU Haji Surabaya berdasarkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi waktu survival

Berdasarkan data yang telah dijabarkan pada dalam hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa para validator sepakat jika perangkat pembelajaran IPA berbasis

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: jumlah jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di RPH Kalirajut yaitu 32 jenis yang terdiri dari 17 famili, sedangkan di

Dengan mendapatkan data jumlah material yang harus dikerjakan untuk penanganan lumpur pada main sump , maka dapat diperkirakan lama waktu yang dibutuhkan oleh